Senin, 18 Agustus 2025

Guru Bukan Beban Negara, Melainkan Penopang Masa Depan Bangsa

 
                    
        Beberapa waktu terakhir, opini tentang guru yang dianggap sebagai “beban negara” mencuat ke permukaan. Sebagai seorang masyarakat sekaligus guru honorer, saya merasa perlu menyikapi pernyataan tersebut dengan hati yang jernih namun juga dengan kesadaran kritis. Guru tidak pernah menjadi beban. Justru sebaliknya, guru adalah penopang utama peradaban bangsa.
Mari kita renungkan sejenak: siapa yang membentuk dokter, insinyur, pemimpin bangsa, bahkan menteri keuangan itu sendiri? Semua bermula dari sosok guru yang sabar mengajarkan huruf, angka, dan nilai-nilai kehidupan. Jika negara ini diibaratkan sebagai sebuah bangunan megah, maka guru adalah tiang penyangganya. Tanpa guru, bangsa hanya memiliki rakyat, tetapi tidak memiliki generasi penerus yang berilmu dan berkarakter.
            Allah SWT telah menegaskan dalam Al-Qur’an betapa mulianya kedudukan ilmu. Dalam QS. Al-Mujadilah [58]:11 disebutkan:
"Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat."
Ayat ini menunjukkan bahwa ilmu adalah jalan kemuliaan, dan guru adalah perantara utama yang menyampaikan ilmu tersebut. Rasulullah SAW pun menegaskan dalam hadis riwayat Tirmidzi: “Sesungguhnya Allah, malaikat, penghuni langit dan bumi, sampai semut di dalam lubangnya dan ikan di lautan, semuanya bershalawat kepada orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia.”
Dari dalil-dalil ini jelas, guru bukanlah beban. Guru adalah sosok yang dimuliakan, bahkan oleh langit dan bumi.
    `    Sebagai guru honorer, saya menyaksikan langsung bagaimana rekan-rekan guru tetap berjuang mendidik dengan sepenuh hati, meski dengan keterbatasan penghasilan dan status. Kami tetap hadir di kelas, membimbing anak-anak, dan memastikan mereka tidak hanya cerdas secara akademik tetapi juga tumbuh dengan akhlak mulia. Apakah pengabdian seperti ini pantas disebut sebagai beban? Tentu tidak. Ini adalah bentuk pengorbanan yang seharusnya dihargai dan dimuliakan.
    Jika negara menganggap guru sebagai beban, maka sejatinya negara sedang melupakan sejarahnya sendiri. Bangsa ini lahir dan merdeka karena ada guru yang mendidik generasi pejuang, menanamkan semangat nasionalisme, dan menjaga api cinta tanah air tetap menyala. Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa, dan penghargaan terhadap guru sesungguhnya adalah penghargaan terhadap masa depan bangsa.
Oleh karena itu, dalam momentum peringatan HUT RI ke-80 ini, mari kita luruskan pandangan. Guru bukanlah beban anggaran, melainkan investasi terbesar bangsa. Anggaran untuk guru bukanlah biaya, melainkan modal untuk mencetak generasi emas yang akan membawa Indonesia menuju peradaban maju.
    Sebagai masyarakat, mari kita bersama-sama menghormati dan memuliakan guru. Sebab, sebagaimana pepatah mengatakan: “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya.” Dan hari ini, pahlawan itu hadir di depan kelas dengan penuh dedikasi, bernama guru.

Guru bukan beban negara. Guru adalah penopang masa depan bangsa.


Merdeka dalam Bingkai Keluarga: Refleksi Seorang Ibu di HUT RI ke-80


       


            Tahun ini bangsa Indonesia merayakan usia ke-80 tahun kemerdekaan. Sebuah perjalanan panjang yang penuh dengan pengorbanan, perjuangan, dan doa para pahlawan. Bagi saya, seorang ibu yang juga berkarir di dunia pendidikan, kemerdekaan memiliki makna yang sangat personal. Kemerdekaan bukan hanya tentang terbebas dari penjajahan bangsa lain, melainkan juga tentang bagaimana kita bisa menyeimbangkan peran, menunaikan tanggung jawab, dan tetap menjaga nilai-nilai luhur dalam keluarga.

        Sebagai ibu, saya merasakan bahwa kemerdekaan sejati dimulai dari rumah. Keluarga adalah madrasah pertama bagi anak-anak, tempat di mana nilai-nilai kebangsaan, kejujuran, kerja keras, dan cinta tanah air ditanamkan. Di dalam keluarga, saya belajar bagaimana mendidik dengan cinta, memberi teladan dengan kesabaran, dan membimbing anak-anak agar tumbuh menjadi pribadi yang mandiri dan berakhlak mulia. Inilah bentuk perjuangan kecil namun berarti dalam mengisi kemerdekaan.

    Kemerdekaan ke-80 juga mengingatkan saya bahwa peran ibu dalam keluarga tidak bisa dilepaskan dari peran ibu dalam masyarakat. Sebagai seorang ibu sekaligus wanita yang berkarir, saya ditantang untuk bisa membagi waktu, tenaga, dan perhatian. Ada kalanya saya merasa lelah, tetapi saya selalu teringat bahwa perjuangan ini adalah bagian dari pengabdian. Mengabdi pada keluarga, pada pekerjaan, dan pada bangsa.

Al-Qur’an dalam QS. An-Nahl [16]:97 menegaskan: “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sungguh akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan sungguh akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” Ayat ini memberi kekuatan bagi saya untuk melangkah. Bahwa kerja keras seorang ibu, baik di rumah maupun di ruang publik, adalah ibadah yang bernilai.

Kemerdekaan juga berarti ruang untuk berkontribusi. Sebagai ibu, saya ingin anak-anak saya memahami bahwa kemerdekaan bukan hadiah, melainkan amanah. Karena itu, saya selalu berusaha menghadirkan suasana rumah yang penuh dengan semangat cinta tanah air. Mulai dari hal sederhana seperti membacakan kisah pahlawan sebelum tidur, hingga mengajak anak-anak ikut serta dalam kegiatan masyarakat. Dari situ, mereka belajar bahwa mengisi kemerdekaan bukan sekadar upacara dan simbol, tetapi aksi nyata yang berawal dari lingkup terkecil: keluarga.

Di HUT RI ke-80 ini, saya merefleksikan bahwa merdeka bagi seorang ibu bukan berarti bebas tanpa tanggung jawab, melainkan bebas untuk memilih, menentukan jalan, dan berkarya dengan tetap berlandaskan pada nilai-nilai moral dan agama. Merdeka berarti mampu menjalani peran ganda dengan ikhlas: sebagai pendidik utama di rumah dan sebagai insan yang bermanfaat di luar rumah.

Dirgahayu Republik Indonesia ke-80! Semoga kemerdekaan ini menjadi pengingat bahwa setiap ibu adalah pahlawan di zamannya. Dengan cinta, doa, dan kerja nyata, kita tidak hanya menjaga keluarga, tetapi juga menopang bangsa menuju masa depan yang lebih beradab dan berdaya saing.

Guru Bukan Beban Negara, Melainkan Penopang Masa Depan Bangsa

                                    Beberapa waktu terakhir, opini tentang guru yang dianggap sebagai “beban negara” mencuat ke permukaan. S...