Sebagai wali kelas 7, Bu Ifa Ratnasari tidak hanya berperan sebagai pendidik, tetapi juga sebagai figur orang tua kedua di lingkungan sekolah. Ia memahami bahwa setiap siswa memiliki karakter, latar belakang, dan kebutuhan yang berbeda. Oleh karena itu, pendekatannya dalam membina siswa didasarkan pada empati, komunikasi terbuka, dan perhatian personal. Setiap pagi, ia menyambut peserta didiknya dengan senyum dan sapaan hangat, menciptakan suasana yang penuh keakraban dan semangat sejak awal pembelajaran dimulai.
Kedekatan emosional ini tidak hanya membangun rasa nyaman, tetapi juga memperkuat motivasi intrinsik siswa. Menurut teori Humanistik Abraham Maslow, kebutuhan akan rasa aman dan kasih sayang merupakan dasar penting dalam mencapai aktualisasi diri (Maslow, 1943). Bu Ifa mengimplementasikan teori ini dengan memastikan bahwa setiap siswa merasa diterima dan dihargai, sehingga mereka lebih berani mengungkapkan pendapat, bertanya, dan aktif dalam kegiatan belajar. Hasilnya, dinamika kelas menjadi lebih hidup, interaktif, dan produktif.
Selain itu, Bu Ifa juga menerapkan pendekatan komunikasi edukatif dengan melibatkan nilai-nilai Islami seperti ukhuwah, akhlakul karimah, dan tanggung jawab. Ia kerap memberikan bimbingan personal kepada siswa yang mengalami kesulitan belajar atau masalah pribadi. Pendekatan ini sejalan dengan konsep educare dalam pendidikan Islam, yaitu menumbuhkan dan mengembangkan potensi peserta didik melalui kasih sayang dan keteladanan (Al-Attas, 1999). Dalam setiap interaksi, Bu Ifa menekankan pentingnya adab sebelum ilmu, membentuk karakter siswa agar menjadi pribadi yang berakhlak, disiplin, dan berempati.
Peran wali kelas yang dilaksanakan dengan penuh dedikasi oleh Bu Ifa juga berdampak signifikan terhadap peningkatan kedisiplinan dan prestasi siswa. Berdasarkan pengamatan sekolah, kelas yang ia bina menunjukkan peningkatan dalam kehadiran, kerjasama kelompok, serta partisipasi dalam kegiatan ekstrakurikuler. Hal ini membuktikan bahwa suasana emosional yang positif mendorong siswa untuk berkembang secara menyeluruh — baik dalam aspek akademik, sosial, maupun spiritual.
Lebih jauh, kedekatan emosional yang terjalin menciptakan rasa saling percaya antara guru, siswa, dan orang tua. Bu Ifa sering berkomunikasi secara terbuka dengan wali murid melalui pertemuan kelas maupun media digital untuk memantau perkembangan anak-anak mereka. Kolaborasi ini menjadi wujud nyata dari pendidikan yang humanis dan partisipatif, sebagaimana ditekankan oleh Ki Hadjar Dewantara bahwa “pendidikan harus menuntun segala kekuatan kodrat anak agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.”
Dengan demikian, peran Bu Ifa Ratnasari sebagai wali kelas bukan hanya sebatas tanggung jawab administratif, tetapi merupakan panggilan hati untuk membimbing dan menginspirasi. Melalui kedekatan emosional, ia berhasil menumbuhkan lingkungan belajar yang penuh kasih, meneguhkan nilai-nilai moral, serta menanamkan semangat belajar sepanjang hayat. Kedekatan guru dan siswa bukan sekadar hubungan di ruang kelas, melainkan fondasi utama dalam mewujudkan pendidikan yang berkualitas dan berkarakter di MTs Nurul Hidayah Krian Sidoarjo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar