Senin, 18 Agustus 2025

Guru Bukan Beban Negara, Melainkan Penopang Masa Depan Bangsa

 
                    
        Beberapa waktu terakhir, opini tentang guru yang dianggap sebagai “beban negara” mencuat ke permukaan. Sebagai seorang masyarakat sekaligus guru honorer, saya merasa perlu menyikapi pernyataan tersebut dengan hati yang jernih namun juga dengan kesadaran kritis. Guru tidak pernah menjadi beban. Justru sebaliknya, guru adalah penopang utama peradaban bangsa.
Mari kita renungkan sejenak: siapa yang membentuk dokter, insinyur, pemimpin bangsa, bahkan menteri keuangan itu sendiri? Semua bermula dari sosok guru yang sabar mengajarkan huruf, angka, dan nilai-nilai kehidupan. Jika negara ini diibaratkan sebagai sebuah bangunan megah, maka guru adalah tiang penyangganya. Tanpa guru, bangsa hanya memiliki rakyat, tetapi tidak memiliki generasi penerus yang berilmu dan berkarakter.
            Allah SWT telah menegaskan dalam Al-Qur’an betapa mulianya kedudukan ilmu. Dalam QS. Al-Mujadilah [58]:11 disebutkan:
"Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat."
Ayat ini menunjukkan bahwa ilmu adalah jalan kemuliaan, dan guru adalah perantara utama yang menyampaikan ilmu tersebut. Rasulullah SAW pun menegaskan dalam hadis riwayat Tirmidzi: “Sesungguhnya Allah, malaikat, penghuni langit dan bumi, sampai semut di dalam lubangnya dan ikan di lautan, semuanya bershalawat kepada orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia.”
Dari dalil-dalil ini jelas, guru bukanlah beban. Guru adalah sosok yang dimuliakan, bahkan oleh langit dan bumi.
    `    Sebagai guru honorer, saya menyaksikan langsung bagaimana rekan-rekan guru tetap berjuang mendidik dengan sepenuh hati, meski dengan keterbatasan penghasilan dan status. Kami tetap hadir di kelas, membimbing anak-anak, dan memastikan mereka tidak hanya cerdas secara akademik tetapi juga tumbuh dengan akhlak mulia. Apakah pengabdian seperti ini pantas disebut sebagai beban? Tentu tidak. Ini adalah bentuk pengorbanan yang seharusnya dihargai dan dimuliakan.
    Jika negara menganggap guru sebagai beban, maka sejatinya negara sedang melupakan sejarahnya sendiri. Bangsa ini lahir dan merdeka karena ada guru yang mendidik generasi pejuang, menanamkan semangat nasionalisme, dan menjaga api cinta tanah air tetap menyala. Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa, dan penghargaan terhadap guru sesungguhnya adalah penghargaan terhadap masa depan bangsa.
Oleh karena itu, dalam momentum peringatan HUT RI ke-80 ini, mari kita luruskan pandangan. Guru bukanlah beban anggaran, melainkan investasi terbesar bangsa. Anggaran untuk guru bukanlah biaya, melainkan modal untuk mencetak generasi emas yang akan membawa Indonesia menuju peradaban maju.
    Sebagai masyarakat, mari kita bersama-sama menghormati dan memuliakan guru. Sebab, sebagaimana pepatah mengatakan: “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya.” Dan hari ini, pahlawan itu hadir di depan kelas dengan penuh dedikasi, bernama guru.

Guru bukan beban negara. Guru adalah penopang masa depan bangsa.


Merdeka dalam Bingkai Keluarga: Refleksi Seorang Ibu di HUT RI ke-80


       


            Tahun ini bangsa Indonesia merayakan usia ke-80 tahun kemerdekaan. Sebuah perjalanan panjang yang penuh dengan pengorbanan, perjuangan, dan doa para pahlawan. Bagi saya, seorang ibu yang juga berkarir di dunia pendidikan, kemerdekaan memiliki makna yang sangat personal. Kemerdekaan bukan hanya tentang terbebas dari penjajahan bangsa lain, melainkan juga tentang bagaimana kita bisa menyeimbangkan peran, menunaikan tanggung jawab, dan tetap menjaga nilai-nilai luhur dalam keluarga.

        Sebagai ibu, saya merasakan bahwa kemerdekaan sejati dimulai dari rumah. Keluarga adalah madrasah pertama bagi anak-anak, tempat di mana nilai-nilai kebangsaan, kejujuran, kerja keras, dan cinta tanah air ditanamkan. Di dalam keluarga, saya belajar bagaimana mendidik dengan cinta, memberi teladan dengan kesabaran, dan membimbing anak-anak agar tumbuh menjadi pribadi yang mandiri dan berakhlak mulia. Inilah bentuk perjuangan kecil namun berarti dalam mengisi kemerdekaan.

    Kemerdekaan ke-80 juga mengingatkan saya bahwa peran ibu dalam keluarga tidak bisa dilepaskan dari peran ibu dalam masyarakat. Sebagai seorang ibu sekaligus wanita yang berkarir, saya ditantang untuk bisa membagi waktu, tenaga, dan perhatian. Ada kalanya saya merasa lelah, tetapi saya selalu teringat bahwa perjuangan ini adalah bagian dari pengabdian. Mengabdi pada keluarga, pada pekerjaan, dan pada bangsa.

Al-Qur’an dalam QS. An-Nahl [16]:97 menegaskan: “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sungguh akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan sungguh akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” Ayat ini memberi kekuatan bagi saya untuk melangkah. Bahwa kerja keras seorang ibu, baik di rumah maupun di ruang publik, adalah ibadah yang bernilai.

Kemerdekaan juga berarti ruang untuk berkontribusi. Sebagai ibu, saya ingin anak-anak saya memahami bahwa kemerdekaan bukan hadiah, melainkan amanah. Karena itu, saya selalu berusaha menghadirkan suasana rumah yang penuh dengan semangat cinta tanah air. Mulai dari hal sederhana seperti membacakan kisah pahlawan sebelum tidur, hingga mengajak anak-anak ikut serta dalam kegiatan masyarakat. Dari situ, mereka belajar bahwa mengisi kemerdekaan bukan sekadar upacara dan simbol, tetapi aksi nyata yang berawal dari lingkup terkecil: keluarga.

Di HUT RI ke-80 ini, saya merefleksikan bahwa merdeka bagi seorang ibu bukan berarti bebas tanpa tanggung jawab, melainkan bebas untuk memilih, menentukan jalan, dan berkarya dengan tetap berlandaskan pada nilai-nilai moral dan agama. Merdeka berarti mampu menjalani peran ganda dengan ikhlas: sebagai pendidik utama di rumah dan sebagai insan yang bermanfaat di luar rumah.

Dirgahayu Republik Indonesia ke-80! Semoga kemerdekaan ini menjadi pengingat bahwa setiap ibu adalah pahlawan di zamannya. Dengan cinta, doa, dan kerja nyata, kita tidak hanya menjaga keluarga, tetapi juga menopang bangsa menuju masa depan yang lebih beradab dan berdaya saing.

Selasa, 12 Agustus 2025

Prestasi Gemilang! Inilah Juara Umum Putra dan Putri Pesta Siaga Cabang Sidoarjo 2025

Sidoarjo, 10 Agustus 2025 – Gelaran Pesta Siaga Cabang Sidoarjo 2025 di SMPN 2 Sidoarjo berlangsung meriah dan penuh semangat. Ribuan Pramuka Siaga dari seluruh Kwartir Ranting se-Kabupaten Sidoarjo berkumpul untuk menunjukkan bakat, keterampilan, dan kreativitas mereka di ajang bergengsi ini. Kegiatan ini sekaligus menjadi bagian dari perayaan Hari Ulang Tahun Pramuka ke-64 dengan mengusung tema “Siaga Kreatif Berprestasi.”


Tahun ini, partisipasi peserta melampaui target yang direncanakan. Sebanyak 154 barung ikut bersaing dalam empat cabang lomba: Menggambar Batik Udang Bandeng, Menjahit Tunas Kelapa, Menyajikan Isi Piringku, dan Menghias Layang-Layang. Seluruh lomba berlangsung seru, diwarnai semangat pantang menyerah dari para peserta yang ingin memberikan penampilan terbaiknya.



Puncak acara menjadi momen yang paling ditunggu, yakni pengumuman Juara Umum Putra dan Putri. Berdasarkan rekapitulasi nilai dari semua cabang lomba, para pemenang resmi ditetapkan melalui Surat Keputusan Kwartir Cabang Gerakan Pramuka Sidoarjo Nomor 39 Tahun 2025.

Dalam sambutannya, Ketua Panitia Pesta Siaga Cabang Sidoarjo 2025, Kak Ifa Ratnasari, S.Sos.I, S.E, menyampaikan ucapan selamat dan apresiasi tinggi kepada seluruh peserta, khususnya para juara umum. “Juara umum bukan hanya gelar, tetapi bukti nyata kerja keras, kekompakan, dan kreativitas yang luar biasa. Terima kasih kepada semua pihak yang telah berjuang, baik peserta, pembina, maupun panitia, juga sponshorship terutama kwarcab sidoarjo ,” ujarnya penuh semangat.



Untuk Kategori Putra, Juara I di raih oleh no peserta 69 barung putih dari sdn cemengkalang kwarran sidoarjo, Juara II dari sdn keboan anom, dan Juara III dari sdn kepuh kiriman 1, berhasil diraih oleh barung-barung terbaik yang tampil konsisten di setiap cabang lomba. Mereka menunjukkan keterampilan teknis, ketelitian, dan kekompakan yang memukau dewan juri.

Di Kategori Putri, Juara I di raih oleh no peserta 06 barung putih  dari sdn kepuhkiriman 1 kwarran waru, Juara II dari sdn tropodo, , dan Juara III dari mi sunan ampel juga menorehkan prestasi yang mengesankan. Kreativitas, kerapian, serta kemampuan mengolah ide menjadi karya yang indah menjadi kunci keberhasilan mereka.



Para juara pulang dengan membawa piala, piagam, dan kebanggaan yang tak ternilai. Namun, lebih dari itu, mereka membawa pengalaman berharga dan semangat baru untuk terus berprestasi.

Pesta Siaga Cabang Sidoarjo 2025 membuktikan bahwa ajang ini bukan hanya kompetisi, melainkan sarana mempererat persaudaraan, menumbuhkan rasa percaya diri, dan mengasah keterampilan generasi muda. Dengan semangat Dasa Dharma dan Tri Satya, para Pramuka Siaga siap melangkah lebih maju, meraih mimpi, dan menjadi kebanggaan daerah.

Selamat kepada seluruh Juara Umum Putra dan Putri Pesta Siaga Cabang Sidoarjo 2025! Teruslah berjuang dan jadilah teladan bagi teman-teman lainnya. Sampai jumpa di Pesta Siaga tahun depan dengan prestasi yang lebih gemilang!  

 Read: Ifa Ratnasari,S.Sos.I,S.E Andalan Bina Muda golongan Siaga Putri Kwarcab Sidoarjo

Rabu, 04 Juni 2025

Pendidikan Bukan Sekadar Materi, Tapi Juga Relasi

Ditulis Oleh: Ifa Ratnasari,S.Sos.I,S.E

Selama ini, banyak orang memandang pendidikan sebagai kegiatan yang hanya berfokus pada penyampaian materi. Padahal, esensi pendidikan jauh lebih luas daripada sekadar transfer pengetahuan. Pendidikan adalah proses membangun relasi—antara guru dan siswa, antara siswa dan lingkungan, bahkan antara individu dengan makna hidupnya.

Dalam konteks pembelajaran modern, relasi menjadi kunci terciptanya ruang belajar yang menyenangkan, mendalam, dan bermakna. Ketika relasi yang hangat dan saling menghargai terbangun, maka proses belajar bukan lagi kewajiban, tetapi kebutuhan dan kesenangan.

Nel Noddings (2005), seorang tokoh pendidikan moral, memperkenalkan konsep pedagogy of care, yakni pendidikan yang berakar pada kepedulian dan relasi antarmanusia. Ia menekankan bahwa keberhasilan pendidikan sangat tergantung pada hubungan yang sehat dan penuh empati antara guru dan peserta didik. Ketika seorang anak merasa didengarkan, diperhatikan, dan dihargai, maka ia akan memiliki semangat belajar yang tinggi dan rasa percaya diri yang kuat.

Lebih lanjut, menurut Vygotsky (1978), proses belajar terjadi secara maksimal ketika anak berada dalam zona perkembangan proksimal, yaitu kondisi di mana anak belajar melalui interaksi sosial dengan orang yang lebih ahli, dalam hal ini guru atau teman sebaya. Artinya, interaksi atau relasi sosial menjadi fondasi utama dalam perkembangan kognitif seorang anak.

Relasi yang baik dalam pendidikan juga berdampak langsung terhadap pencapaian akademik. Penelitian oleh Roorda et al. (2011) menunjukkan bahwa hubungan positif antara guru dan siswa berkorelasi dengan motivasi belajar yang tinggi, partisipasi aktif di kelas, serta hasil belajar yang lebih baik. Hal ini membuktikan bahwa pendidikan yang efektif tidak hanya berisi konten pelajaran, tetapi juga kehadiran emosional guru yang menjadi tempat berlindung dan inspirasi bagi siswa.

Sayangnya, dalam praktiknya, pendidikan sering terjebak pada aspek administratif dan target kurikulum, hingga melupakan aspek relasional yang justru menjadi dasar pendidikan itu sendiri. Guru disibukkan dengan laporan dan asesmen, sementara siswa hanya berfokus pada nilai. Dalam suasana seperti ini, relasi menjadi kering, dan pendidikan kehilangan rohnya.

Untuk itu, sudah saatnya paradigma pendidikan digeser: dari sekadar "mengajar untuk menyampaikan materi", menjadi "mendidik untuk membangun hubungan". Guru perlu membangun komunikasi yang tulus, mendengarkan lebih banyak, dan hadir secara utuh dalam kehidupan siswanya. Siswa pun perlu diperlakukan sebagai subjek yang memiliki perasaan, mimpi, dan potensi yang unik.

Kesimpulannya, pendidikan yang bermakna adalah pendidikan yang menjadikan relasi sebagai jantung dari seluruh proses. Ketika guru dan siswa terhubung secara emosional dan spiritual, maka pendidikan bukan hanya akan mencerdaskan otak, tapi juga menguatkan hati dan membentuk karakter.


Referensi:

·          Noddings, N. (2005). The Challenge to Care in Schools: An Alternative Approach to Education. Teachers College Press.

·     Vygotsky, L. S. (1978). Mind in Society: The Development of Higher Psychological Processes. Harvard University Press.

·          Roorda, D. L., Koomen, H. M. Y., Spilt, J. L., & Oort, F. J. (2011). The Influence of Affective Teacher–Student Relationships on Students’ School Engagement and Achievement. Review of Educational Research, 81(4), 493–529.

 

Mengajar dengan Hati, Mendidik dengan Cinta



Oleh : Ifa Ratnasari,S.Sos.I,S.E

Mengajar bukan hanya soal menyampaikan materi pelajaran, tetapi sebuah misi kemanusiaan. Guru yang mengajar dengan hati dan mendidik dengan cinta mampu menghadirkan ruang belajar yang tidak hanya berisi ilmu pengetahuan, tetapi juga kasih, perhatian, dan keteladanan. Dalam proses itulah, pendidikan menjadi hidup dan bermakna.

Menurut Noddings (2005), pendidikan yang berkualitas tidak hanya fokus pada pencapaian kognitif, tetapi juga harus dilandasi oleh kepedulian atau care. Noddings menyebut konsep ini sebagai pedagogy of care, yaitu pendekatan yang menempatkan hubungan emosional dan kepedulian antara guru dan siswa sebagai inti dari proses belajar-mengajar. Dalam pendekatan ini, guru hadir sebagai manusia yang peduli dan memahami bahwa setiap anak memiliki kebutuhan, emosi, dan potensi yang berbeda.

Mengajar dengan hati berarti guru mampu membangun empati. Ia tidak sekadar berdiri di depan kelas untuk menyampaikan teori, tetapi juga mau mendengarkan, memahami, dan menemani proses tumbuh kembang siswa secara menyeluruh. Guru menjadi sosok yang hadir secara utuh bukan hanya sebagai pengajar, tetapi sebagai pendamping dan panutan.

Di sisi lain, mendidik dengan cinta bukan berarti memanjakan siswa, tetapi memberikan kasih sayang yang mendewasakan. Cinta dalam pendidikan menumbuhkan rasa aman dan nyaman, yang merupakan fondasi penting bagi tumbuhnya motivasi belajar. Penelitian dari Jennings dan Greenberg (2009) membuktikan bahwa guru yang memiliki kompetensi sosial dan emosional tinggi cenderung menciptakan suasana kelas yang lebih positif dan mendukung perkembangan akademik dan psikologis siswa.

Dalam konteks pendidikan Indonesia, nilai-nilai ini sejalan dengan semangat Profil Pelajar Pancasila dalam Kurikulum Merdeka. Guru tidak lagi menjadi satu-satunya sumber informasi, tetapi sebagai fasilitator yang membantu siswa menemukan makna dan nilai dalam proses belajar. Pendekatan ini membutuhkan kepekaan, komunikasi yang hangat, dan ketulusan.

Paulo Freire (1970), seorang filsuf pendidikan asal Brasil, dalam bukunya Pedagogy of the Oppressed, mengingatkan bahwa pendidikan bukan sekadar proses transfer pengetahuan, tetapi dialog penuh kesadaran antara guru dan siswa. Dalam dialog itu, cinta menjadi jembatan utama. Tanpa cinta, pendidikan kehilangan arah dan hanya menjadi rutinitas tanpa jiwa.

Mengajar dengan hati dan mendidik dengan cinta adalah panggilan moral seorang pendidik. Tidak semua bisa dilakukan dengan mudah, apalagi di tengah tuntutan administratif dan tekanan target capaian. Namun, ketika guru mampu menghadirkan cinta dalam kelasnya—melalui senyuman, perhatian, atau dorongan tulus—ia sesungguhnya telah mengubah hidup seseorang.

 

 

 

Referensi:

Noddings, N. (2005). The Challenge to Care in Schools: An Alternative Approach to Education. Teachers College Press.

Jennings, P. A., & Greenberg, M. T. (2009). The Prosocial Classroom: Teacher Social and Emotional Competence in Relation to Student and Classroom Outcomes. Review of Educational Research, 79(1), 491–525.

Freire, P. (1970). Pedagogy of the Oppressed. New York: Herder and Herder.

 

Dari Sekadar Tahu Deep Learning ke Makna yang Mendalam

Oleh : Ifa Ratnasari, S.Sos.I,S.E

Dalam dunia pendidikan, proses belajar seringkali hanya dipahami sebagai kegiatan menghafal informasi. Padahal, hakikat belajar yang sejati bukan sekadar mengingat, tetapi memahami dan mengaitkan pengetahuan dengan kehidupan nyata. Di sinilah konsep deep learning atau pembelajaran mendalam menjadi sangat penting.

Deep learning dalam konteks pendidikan bukanlah teknologi kecerdasan buatan, melainkan pendekatan belajar yang menekankan pada pemahaman konseptual, keterkaitan antaride, dan penerapan pengetahuan secara reflektif. Konsep ini pertama kali dikenalkan oleh Marton dan Säljö (1976), yang membedakan antara surface learning (pembelajaran permukaan) dan deep learning (pembelajaran mendalam). Pembelajaran permukaan hanya fokus pada menghafal fakta untuk lulus ujian, sedangkan pembelajaran mendalam mendorong siswa memahami makna, mencari hubungan, dan berpikir kritis.

Menurut Biggs dan Tang (2011), pembelajaran mendalam muncul ketika siswa secara aktif terlibat dalam proses belajar, memiliki motivasi intrinsik, dan mampu mengaitkan materi dengan pengalaman pribadi. Ini berarti pembelajaran bukan lagi tentang “apa yang harus saya hafal?”, melainkan “apa makna ini bagi saya dan bagaimana saya bisa menggunakannya?”

Implementasi deep learning dalam kelas bisa dimulai dengan mendorong pertanyaan terbuka, diskusi kelompok, studi kasus, dan proyek berbasis masalah (problem-based learning). Pendekatan ini membuat siswa tidak hanya tahu suatu konsep, tetapi juga memahami cara kerjanya, mengapa itu penting, dan bagaimana mengaplikasikannya.

Penelitian dari Entwistle & Ramsden (1983) menunjukkan bahwa siswa yang mengalami deep learning lebih mampu bertahan dalam menghadapi tantangan akademik dan lebih cenderung menjadi pembelajar sepanjang hayat. Mereka tidak mudah puas dengan jawaban instan, tetapi terus menggali, merenung, dan mencari makna.

Dalam Kurikulum Merdeka yang sedang diterapkan di Indonesia, deep learning sangat relevan dengan Profil Pelajar Pancasila yang menekankan pemikiran kritis, kemandirian, dan kreatifitas. Guru didorong untuk menjadi fasilitator pembelajaran yang membantu siswa menemukan makna, bukan sekadar menyampaikan materi.

Penerapan deep learning bukan tanpa tantangan. Sistem pendidikan yang masih menekankan pada ujian standar dan capaian angka dapat menghambat proses belajar yang bermakna. Namun, jika guru berani mengubah pendekatan—misalnya dengan memberi ruang refleksi, mengaitkan pembelajaran dengan kehidupan nyata, dan menghargai proses berpikir—maka pembelajaran mendalam akan tumbuh secara alami.

Kesimpulannya, deep learning membawa siswa dari sekadar tahu menuju pemahaman yang utuh dan bermakna. Pendidikan yang menanamkan makna bukan hanya mencetak siswa yang pandai, tetapi juga yang bijak, reflektif, dan siap menghadapi tantangan masa depan. Dengan deep learning, kita tidak hanya menciptakan generasi cerdas, tetapi juga generasi yang memahami dan mengerti dunia dengan lebih dalam.

Referensi:

·                Marton, F., & Säljö, R. (1976). On qualitative differences in learning: I—Outcome and process. British Journal of Educational Psychology, 46(1), 4–11.

·                Biggs, J., & Tang, C. (2011). Teaching for Quality Learning at University (4th ed.). McGraw-Hill Education.

·                Entwistle, N., & Ramsden, P. (1983). Understanding Student Learning. Croom Helm.

 

 

Selasa, 03 Juni 2025

Menyemai Pendidikan dengan Kasih melalui Kurikulum Cinta

        


Ditulis Oleh: Ifa Ratnasari,S.Sos.I,S.E

        Pendidikan sejatinya bukan sekadar proses transfer ilmu, tetapi juga proses penanaman nilai-nilai kemanusiaan. Di tengah tantangan zaman yang semakin kompleks, hadirnya Kurikulum Cinta menjadi angin segar dalam dunia pendidikan. Kurikulum ini mengedepankan kasih sayang, empati, dan penghargaan terhadap kemanusiaan sebagai fondasi utama pembelajaran.

        Kurikulum Cinta bukanlah sekadar istilah puitis, melainkan pendekatan pendidikan yang berakar dari teori humanistik, khususnya pemikiran tokoh-tokoh seperti Carl Rogers dan Paulo Freire. Carl Rogers (1983) menekankan pentingnya student-centered learning yang memanusiakan siswa sebagai individu yang memiliki potensi, perasaan, dan kebutuhan. Dalam pendekatan ini, guru bukan sekadar pengajar, melainkan fasilitator yang membimbing dengan empati dan perhatian.

        Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed (1970) juga mengkritik pendidikan gaya "bank", di mana guru menjejalkan pengetahuan dan siswa hanya menjadi objek pasif. Sebaliknya, ia menawarkan pendidikan dialogis yang membangun hubungan saling menghargai antara guru dan siswa, berbasis cinta dan solidaritas. Menurut Freire, “tidak ada pendidikan tanpa cinta.”

       Kurikulum Cinta mendorong proses belajar yang hangat dan inklusif. Guru diposisikan sebagai teladan dalam memberi kasih sayang, bukan hanya kepada siswa, tetapi juga kepada sesama tenaga pendidik dan lingkungan sekitar. Sementara itu, siswa dididik untuk memahami nilai-nilai empati, toleransi, serta kerja sama. Dengan demikian, pembelajaran tidak hanya menghasilkan siswa cerdas secara akademik, tetapi juga berkarakter kuat dan memiliki kepekaan sosial.

        Penelitian dari Noddings (2005), seorang tokoh pendidikan moral, menunjukkan bahwa pendidikan yang dilandasi oleh nilai kasih (caring) mampu meningkatkan motivasi belajar siswa, membentuk hubungan sosial yang sehat, dan menurunkan angka kekerasan di sekolah. Ia menyatakan bahwa “pedagogi kasih” atau pedagogy of care adalah kunci dalam membentuk komunitas belajar yang harmonis dan saling mendukung.

       Dalam konteks Indonesia, Kurikulum Cinta dapat disinergikan dengan Profil Pelajar Pancasila yang dicanangkan oleh Kemendikbudristek. Nilai-nilai seperti gotong royong, beriman dan bertakwa kepada Tuhan, serta berkebinekaan global sejalan dengan semangat kasih yang ingin dibangun dalam Kurikulum Cinta. Ini menunjukkan bahwa kasih bukanlah konsep asing, melainkan bagian dari jati diri bangsa.

        Implementasi Kurikulum Cinta dapat dimulai dari hal sederhana: menyapa siswa dengan senyum, mendengarkan keluh kesah mereka, memberikan ruang aman untuk berekspresi, hingga membiasakan aktivitas refleksi dan diskusi yang penuh hormat. Lingkungan sekolah juga didorong menjadi ruang yang nyaman, tanpa kekerasan dan diskriminasi.

        Kesimpulannya, Kurikulum Cinta adalah jawaban atas tantangan pendidikan modern yang kerap kehilangan sisi kemanusiaan. Pendidikan bukan hanya tentang mencetak lulusan yang kompeten, tapi juga manusia yang utuh, penuh kasih, dan siap hidup berdampingan dalam keragaman. Dengan menyemai pendidikan dengan kasih, kita membangun generasi masa depan yang bukan hanya pintar, tapi juga penuh cinta.


Referensi:

  • Freire, P. (1970). Pedagogy of the Oppressed. New York: Herder and Herder.

  • Rogers, C. R. (1983). Freedom to Learn for the 80s. Columbus: Charles E. Merrill.

  • Noddings, N. (2005). The Challenge to Care in Schools: An Alternative Approach to Education. Teachers College Press.

Selasa, 20 Mei 2025

Kurikulum Cinta sebagai Pendekatan Inovatif dalam Pendidikan Karakter Abad 21

 

    Pendidikan karakter menjadi isu sentral dalam dunia pendidikan abad 21. Di tengah kemajuan teknologi, informasi yang serba cepat, dan tantangan global yang kompleks, pendidikan tak bisa hanya fokus pada aspek kognitif. Diperlukan pendekatan yang mampu menyentuh hati, menumbuhkan empati, dan membentuk kepribadian yang utuh. Salah satu pendekatan inovatif yang layak diterapkan adalah Kurikulum Cinta.

Apa Itu Kurikulum Cinta?

    Kurikulum Cinta adalah pendekatan pendidikan yang menempatkan kasih sayang, kepedulian, empati, dan penghargaan terhadap sesama sebagai inti proses pembelajaran. Kurikulum ini tidak hanya menanamkan nilai-nilai moral secara teoritis, tetapi juga menghadirkan nilai itu dalam praktik sehari-hari, baik dalam hubungan antara guru dan siswa, maupun antar siswa.

    Dalam bukunya, Nel Noddings (2005), seorang tokoh pendidikan dari Amerika Serikat, menjelaskan konsep “pedagogy of care” yang sangat selaras dengan Kurikulum Cinta. Menurutnya, pendidikan yang berhasil adalah pendidikan yang dibangun atas dasar rasa peduli dan cinta kepada peserta didik.

Mengapa Kurikulum Cinta Penting?

    Anak-anak di abad 21 menghadapi banyak tantangan: dari tekanan media sosial, krisis identitas, sampai kehilangan arah dalam kehidupan sosialnya. Dalam situasi ini, pendidikan karakter tidak cukup hanya diajarkan lewat teori. Dibutuhkan pendekatan yang hidup dan menyentuh hati, dan Kurikulum Cinta menjawab kebutuhan itu.

Melalui Kurikulum Cinta, peserta didik diajarkan nilai-nilai seperti:

  • Empati dan toleransi terhadap perbedaan

  • Rasa tanggung jawab dan kepedulian sosial

  • Kesadaran diri dan pengendalian emosi

  • Hormat kepada orang tua, guru, dan teman

Landasan Religius

Islam sendiri sangat menekankan pentingnya kasih sayang dalam proses pendidikan. Rasulullah ﷺ bersabda:

"Sesungguhnya Allah Maha Penyayang, dan Dia mencintai kasih sayang dalam segala urusan."
(HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Ayat ini memperkuat bahwa segala bentuk interaksi, termasuk pendidikan, sebaiknya dibangun atas dasar cinta dan kasih sayang.

Inovasi dalam Praktik

Kurikulum Cinta dapat diimplementasikan melalui berbagai inovasi pendidikan karakter, seperti:

  • Pembelajaran berbasis proyek sosial (project-based learning dengan kegiatan yang menyentuh lingkungan dan masyarakat)

  • Sesi refleksi harian yang membangun kesadaran diri dan rasa syukur

  • Kegiatan mentoring antara guru dan siswa untuk memperkuat relasi emosional

  • Ruang dialog terbuka, di mana siswa bisa menyampaikan ide dan perasaannya tanpa takut dihakimi

Penutup

    Kurikulum Cinta bukan sekadar pendekatan emosional, tetapi merupakan strategi pendidikan karakter yang menyentuh akar kemanusiaan. Dalam dunia yang semakin kompetitif dan individualistis, pendidikan yang menumbuhkan cinta akan menjadi pembeda. Cinta membuat proses belajar menjadi menyenangkan, mendalam, dan membentuk kepribadian yang tangguh.

Dengan mengintegrasikan Kurikulum Cinta dalam sistem pendidikan, kita tidak hanya mencetak siswa yang cerdas secara akademik, tetapi juga pribadi yang bijak, lembut, dan penuh kasih terhadap sesama. Inilah wajah pendidikan karakter abad 21 yang kita harapkan.

Senin, 19 Mei 2025

Mendidik dengan Cinta Arah Baru Kurikulum Humanis 2025

 


        Di tengah hiruk-pikuk disrupsi teknologi dan kompleksitas sosial, pendidikan Indonesia berdiri di persimpangan jalan. Kita tak bisa lagi hanya berfokus pada transfer pengetahuan dan keterampilan semata. Lebih dari itu, dibutuhkan fondasi kuat yang mampu membentuk karakter, menumbuhkan empati, dan membekali generasi mendatang dengan bekal kemanusiaan yang utuh. Inilah esensi dari "Mendidik dengan Cinta: Arah Baru Kurikulum Humanis 2025", sebuah visi transformatif yang menempatkan kasih sayang sebagai inti dari setiap proses pembelajaran.

    Konsep ini bukan sekadar revisi minor dari kurikulum yang ada, melainkan sebuah pergeseran paradigma. Kita akan beralih dari model pendidikan yang seringkali berorientasi pada hasil akademis semata, menuju sistem yang mengedepankan pertumbuhan holistik peserta didik. Ini berarti pendidikan yang mengakui dan memupuk kecerdasan emosional, sosial, dan spiritual, setara dengan kecerdasan kognitif.


Pilar-Pilar Cinta dalam Pendidikan

        Kurikulum Humanis 2025 akan dibangun di atas pilar-pilar cinta yang kokoh, dimulai dari cinta diri. Ini adalah fondasi paling fundamental. Peserta didik akan diajarkan untuk memahami, menerima, dan menghargai diri mereka sendiri, dengan segala keunikan dan potensinya. Mereka akan belajar mengenali emosi, mengelola stres, dan membangun resiliensi. Program ini akan mendorong praktik-praktik mindfulness, refleksi diri, dan pengembangan harga diri yang sehat, memastikan setiap anak merasa berharga dan memiliki tujuan.

        Selanjutnya, kita akan menguatkan cinta dalam hubungan. Di era digital ini, keterampilan interpersonal menjadi semakin vital. Kurikulum akan menekankan pentingnya komunikasi efektif, mendengarkan aktif, empati, dan resolusi konflik yang konstruktif. Melalui kegiatan kolaboratif, simulasi peran, dan diskusi terbuka, peserta didik akan belajar bagaimana membangun persahabatan yang tulus, berinteraksi harmonis dalam keluarga, dan menjalin koneksi yang bermakna dengan sesama. Tujuannya adalah menciptakan lingkungan belajar dan masyarakat yang saling mendukung dan penuh pengertian.


Merajut Kebaikan untuk Bangsa

        Beyond itu, Kurikulum Humanis 2025 akan menumbuhkan cinta kepada sesama dan lingkungn. Ini adalah panggilan untuk melampaui kepentingan pribadi dan berkontribusi pada kebaikan bersama. Peserta didik akan didorong untuk mengembangkan kepekaan sosial, memahami isu-isu kemanusiaan, serta berpartisipasi aktif dalam kegiatan sosial dan proyek-proyek komunitas. Penanaman rasa tanggung jawab terhadap kelestarian alam juga menjadi prioritas. Melalui proyek-proyek lingkungan dan edukasi mengenai keberlanjutan, generasi muda akan menjadi penjaga bumi yang peduli dan bertanggung jawab.

        Implementasi kurikulum ini membutuhkan perubahan mendasar dalam peran guru. Mereka bukan lagi sekadar penyampai materi, melainkan fasilitator cinta dan teladan empati. Pelatihan intensif akan diberikan untuk membekali guru dengan keterampilan pedagogi yang humanis, kemampuan mendampingi perkembangan emosional peserta didik, dan menciptakan iklim kelas yang hangat dan inklusif. Metodologi pembelajaran akan beralih ke pendekatan yang lebih partisipatif, berbasis proyek, dan pengalaman, memungkinkan peserta didik untuk merasakan dan memraktikkan nilai-nilai cinta secara langsung.

        "Mendidik dengan Cinta: Arah Baru Kurikulum Humanis 2025" adalah sebuah janji. Janji untuk mencetak generasi yang tak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga kaya hati, memiliki kepekaan sosial, dan mampu membangun masa depan Indonesia yang lebih harmonis dan berkelanjutan. Ini adalah langkah berani menuju pendidikan yang benar-benar memanusiakan manusia, di mana setiap anak tumbuh dalam lingkungan yang penuh kasih, siap mencintai dan dicintai, serta menjadi agen perubahan positif bagi dunia.

Kurikulum CintaTransformasi Pendidikan Berbasis Kasih Sayang di Era 5.0

        



         Di era Revolusi Industri 5.0, dunia pendidikan mengalami transformasi besar, bukan hanya dalam teknologi, tetapi juga dalam pendekatan terhadap peserta didik. Salah satu pendekatan yang mulai banyak diperbincangkan adalah “Kurikulum Cinta”, yaitu model pendidikan yang berlandaskan kasih sayang, empati, dan kemanusiaan. Kurikulum ini menempatkan peserta didik bukan sekadar sebagai objek pembelajaran, melainkan sebagai manusia utuh yang memiliki hati, akal, dan potensi yang harus dikembangkan secara holistik.

        Kurikulum Cinta mengedepankan hubungan yang harmonis antara guru dan siswa, antar sesama siswa, bahkan antara sekolah dan keluarga. Pendidikan tidak lagi hanya tentang nilai angka dan ujian, tetapi tentang bagaimana membentuk karakter yang mulia, akhlak yang baik, serta kepekaan sosial yang tinggi. Dalam Islam, pendekatan pendidikan berbasis cinta sangat ditekankan. Rasulullah ﷺ adalah teladan utama dalam mendidik dengan penuh kasih sayang. Beliau bersabda:

“Bukanlah termasuk golongan kami, orang yang tidak menyayangi anak-anak kecil dan tidak menghormati orang dewasa di antara kami.”
(HR. At-Tirmidzi)

Dalil ini menunjukkan bahwa kasih sayang adalah fondasi utama dalam membangun hubungan sosial, termasuk dalam dunia pendidikan.

Mengapa Cinta Dibutuhkan dalam Pendidikan?

        Kasih sayang bukan berarti lemah, melainkan pendekatan yang memperkuat hubungan emosional antara guru dan siswa. Ketika siswa merasa dicintai dan dihargai, mereka akan lebih termotivasi, merasa aman, dan berani mengembangkan diri. Cinta mendorong rasa tanggung jawab, toleransi, dan kepedulian nilai-nilai yang sangat dibutuhkan dalam membangun generasi masa depan.

        Era 5.0 mengharuskan kita tidak hanya berfokus pada penguasaan teknologi, tetapi juga pada kemanusiaan. Kecerdasan buatan dan robot mungkin bisa menggantikan tugas teknis, tetapi tidak bisa menggantikan sentuhan cinta seorang guru. Maka, Kurikulum Cinta adalah jawaban agar pendidikan tetap berjiwa di tengah arus digitalisasi yang dingin dan serba instan.

Prinsip-prinsip Kurikulum Cinta

  1. Empati – Guru harus memahami latar belakang dan perasaan siswa.

  2. Penguatan karakter – Pendidikan difokuskan pada pembentukan nilai moral dan spiritual.

  3. Komunikasi dua arah – Siswa diberikan ruang untuk menyampaikan ide, perasaan, dan masalahnya.

  4. Pembelajaran humanis – Kegiatan belajar tidak hanya kognitif, tetapi juga menyentuh afektif dan psikomotorik.

Penutup

        Kurikulum Cinta bukan utopia, melainkan kebutuhan. Di tengah kemajuan teknologi, kita harus tetap menjaga kemanusiaan. Guru adalah pahlawan peradaban yang harus mendidik dengan hati, bukan hanya dengan kepala. Dengan kasih sayang, pendidikan akan menjadi lebih bermakna, dan anak-anak akan tumbuh menjadi pribadi yang cerdas, berakhlak, dan mencintai sesama.

Allah SWT berfirman:
“Dan tidaklah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.”
(QS. Al-Anbiya: 107)

      Jika Nabi Muhammad diutus sebagai rahmat, maka pendidikan pun harus menjadi jalan kasih sayang. Mari kita jadikan Kurikulum Cinta sebagai fondasi pendidikan Indonesia menuju era 5.0 yang lebih manusiawi dan beradab.

Senin, 10 Maret 2025

Kebersamaan MPI-C



Bersama kita meniti jalan,
dalam lautan ilmu nan luas terbentang.
Setapak demi setapak berjalan,
demi masa depan yang kian terang.

Tiada lelah, tiada ragu,
karena kita melangkah bersama.
Menggapai ilmu, meraih restu,
agar kelak bahagia menyapa.

Ujian tuntas, gelar menanti,
doa terlantun dalam hati.
Bersama kita, teguh berdiri,
mengukir jejak, menulis abadi.

Wisuda pun kan tiba jua,
menjadi nyata, bukan angan semata.
Bersama MPI-C, kita melangkah,
menggapai mimpi, dengan penuh berkah.

Read : Ifa Ratnasari

Perjalanan Titian Ilmu bersama MPI-C

 


Di bawah langit yang luas membentang,
kita melangkah dengan harapan terang.
Bersama pena, kertas, dan mimpi,
meniti jalan menuju hakikat hakiki.

Hari-hari penuh tanya dan makna,
kita lalui dengan jiwa yang setia.
Bahu membahu, saling menguatkan,
di lorong ilmu yang tak berkesudahan.

Proposal tersusun, ujian menanti,
gugup menyelinap, namun tak sendiri.
Dalam ruang yang dipenuhi debar,
kita bertahan, kita bersinar.

Dan saat jawaban mengalir deras,
senyum dan doa pun tak terlepas.
Syukur terucap, hati mengembang,
satu langkah menuju gemilang.

Waktu berputar, kelulusan menjelang,
wisuda di depan, tak lagi bayang.
Bersama kita, hingga purna,
meraih asa, menggapai cita.

read : Ifa Ratnasari



Perjuangan dalam ilmu pengetahuan

Di lorong sunyi malam yang panjang,
kuanyam mimpi di antara lembaran terang.
Kata demi kata, bak titian bening,
menyatu dalam risalah yang kian menggema.

Kutata teori, kurangkai makna,
di atas pena yang menari mesra.
Tiap paragraf, tiap aksara,
adalah jejak perjalanan jiwa.

Lalu tiba hari penuh debar,
di hadapan para penjaga nalar.
Aku berdiri, tak hanya dengan kata,
namun dengan keyakinan yang menjelma nyata.

Pertanyaan datang, ujian menantang,
namun aku teguh, tak goyah, tak gamang.
Karena ilmu bukan sekadar hafalan,
tapi nyala cahaya dalam genggaman.


                                                Syukur alhamdulillah, langit tersenyum,
                                                aku melangkah, kuhirup harum.
                                                Bukan akhir, tapi awal yang baru,
                                                sebab ilmu adalah petualangan tanpa ragu.
read: Ifa Ratnasari

 

Senin, 20 Januari 2025

Lentera Pramuka



Di ujung cakrawala harapan terpancar,
Pramuka, lentera yang tak boleh pudar,
Menuntun tunas muda melangkah tegap,
Menyulam asa di tengah zaman yang sergap.

Bukan sekadar seragam cokelat nan rapi,
Tapi jiwa yang berani, tangguh, dan suci,
Di hutan, di gunung, di pantai terbuka,
Nilai-nilai hidup terajut bersama.

Aku ingin melihat api unggun menyala,
Di tengah tawa yang hangat di bawah bintang,
Di mana janji setia diucap penuh rasa,
Menjadi pedoman dalam hidup yang panjang.

Pramuka, bukan soal wajib atau tidak,
Namun tentang warisan jiwa yang kuat,
Untuk generasi yang mencintai negeri,
Berbakti tanpa pamrih, sejati dalam hati.

Maka, mari kita nyalakan harapan ini,
Menanam semangat dalam diri setiap insani,
Agar pramuka tetap hidup dan bersemi,
Menjadi pijar terang di negeri pertiwi.

Read : Kak Ifa Ratnasari

Asa di Tenda Masa Depan



Di bawah langit yang tak pernah usang,
Ada harapan yang tak henti bergetar,
Untuk pramuka yang terus hidup di hati,
Walau waktu mencoba memudarkan arti.

Kami titipkan doa pada api unggun,
Agar nyalanya tak pernah padam,
Menjadi lentera di tengah gelap zaman,
Menerangi jalan generasi yang kian samar.

Kelak, pramuka bukan hanya tradisi,
Tapi pilihan hati yang penuh makna,
Di mana setiap simpul tali yang terikat,
Menjalin persaudaraan lintas masa.

Aku percaya, tenda-tenda itu akan berdiri lagi,
Di padang luas yang menantang mimpi,
Dengan langkah tegar para penegak bangsa,
Menyusuri jalan, membawa panji Indonesia.

Kegiatan ini bukan sekadar permainan,
Namun medan belajar yang membentuk insan,
Mereka yang tahu cara berdiri saat jatuh,
Dan tak pernah lelah berjuang untuk teguh.

Mari kita bangun harapan ini bersama,
Untuk tunas muda yang tak takut badai,
Agar pramuka terus menjadi nafas bangsa,
Mengajarkan nilai yang tak lekang oleh waktu.

Di masa depan, aku ingin melihat,
Pramuka berdiri di setiap hati anak negeri,
Menjadi cahaya, menjadi pelita,
Untuk Indonesia yang penuh cinta.

Read: Kak Ifa Ratnasari


Kemarin yang Membekas, Perjuangan di Tengah Keputusan




 

Kelanjutan Cerita (Part 4):

Hari demi hari, komunitas Pramuka mandiri yang kami bangun semakin berkembang. Tidak hanya anak-anak dari sekolah tempatku mengajar, tetapi juga siswa dari sekolah lain mulai bergabung. Orang tua mereka datang dengan harapan agar anak-anaknya tetap mendapatkan nilai-nilai pendidikan karakter yang selama ini mereka percaya hanya Pramuka yang mampu memberikannya.

Sore itu, aku menerima telepon dari Pak Rahmat. Suaranya terdengar penuh semangat.

"Kak Ifa, saya ingin mengundang Anda untuk berbicara di forum kepala sekolah kabupaten minggu depan. Saya ingin Anda berbagi tentang bagaimana Anda mempertahankan kegiatan Pramuka meski tanpa dukungan kebijakan formal," katanya.

Aku terdiam sejenak. Aku tidak pernah berpikir perjuangan kecil ini akan menarik perhatian sejauh itu. "Terima kasih, Pak. Ini kehormatan besar. Saya akan berusaha memberikan yang terbaik," jawabku.

Hari yang dijanjikan pun tiba. Dengan Seragam Coklat muda , coklat tua sederhana dan setangan merah putih Pramuka yang selalu kubanggakan, aku melangkah ke aula tempat forum itu digelar. Di depan, para kepala sekolah dan pejabat pendidikan duduk mendengarkan. Aku mulai bercerita, bukan tentang pencapaian besar, tetapi tentang nilai-nilai kecil yang kami perjuangkan setiap hari tentang bagaimana Fahril kini menjadi pemimpin yang percaya diri, tentang Dina yang belajar arti kebersamaan, dan tentang tawa anak-anak yang menghidupkan kembali semangatku.



"Apa yang kami lakukan mungkin sederhana," kataku menutup presentasi, "tetapi saya percaya, Pramuka bukan hanya tentang ekstrakurikuler. Ini adalah tentang membentuk manusia seutuhnya. Dan tugas kita, sebagai pendidik, adalah memastikan ruang itu tetap ada, meski dalam bentuk yang berbeda."

Ruangan itu hening sejenak sebelum tepuk tangan menggema. Aku merasa beban yang selama ini menghimpit perlahan terangkat. Mungkin, perjuangan kecil kami akan menjadi awal dari gerakan yang lebih besar.

Malam itu, saat aku kembali ke rumah, aku duduk di beranda sambil menatap langit. Pikiranku melayang ke wajah anak-anak yang penuh harapan. Aku tahu, jalan ini masih panjang, tetapi aku tidak sendiri. Ada begitu banyak orang yang peduli, yang percaya bahwa pendidikan tidak hanya tentang nilai akademis, tetapi juga tentang membentuk karakter dan jiwa.

"Kemarin mungkin menyakitkan," bisikku pada diri sendiri, "tetapi hari ini kita melangkah dengan keyakinan. Dan esok, kita akan menciptakan masa depan yang lebih baik, bersama-sama."

Aku menutup malam itu dengan doa, berharap perjuangan ini terus diberkahi. Karena seperti yang selalu diajarkan oleh Pramuka,” tidak ada tantangan yang terlalu besar jika dihadapi dengan semangat dan kebersamaan.” Read: Kak Ifa Ratnasari

Minggu, 19 Januari 2025

Kemarin yang Membekas, Perjuangan di Tengah Keputusan (6)

 


Kelanjutan Cerita (Part 3):

Kegiatan-kegiatan komunitas Pramuka mandiri mulai menarik perhatian. Suatu hari, aku dikejutkan oleh kunjungan seorang tamu tak terduga. Pak Rahmat, seorang pengawas pendidikan dari kabupaten, datang ke lapangan tempat kami berkegiatan.

"kak Ifa, saya mendengar banyak hal baik tentang komunitas ini," katanya sambil menyalami tanganku. "Apa saya boleh melihat langsung kegiatan kalian hari ini?"

Aku sedikit gugup, tetapi juga bangga. "Tentu, Pak. Silakan bergabung," jawabku sambil mempersilakan beliau untuk melihat anak-anak yang sedang berlatih pionering.

Pak Rahmat mengamati dengan saksama. Ia tersenyum melihat Aldi memberikan instruksi dengan suara lantang, memimpin timnya menyelesaikan menara sederhana dari bambu. "Luar biasa," gumamnya. "Saya kira, keputusan itu akan mematikan semangat Pramuka. Tapi ternyata, Anda membuktikan sebaliknya."

Aku tersenyum kecil. "Semangat mereka yang membuat ini semua mungkin, Pak. Saya hanya mencoba menjaga agar api itu tidak padam."

Pak Rahmat mengangguk pelan. "Saya akan berbicara dengan beberapa pihak. Mungkin komunitas seperti ini bisa menjadi model untuk daerah lain. Saya yakin, Pramuka tetap relevan di mana pun."

Setelah Pak Rahmat pergi, aku merasa harapan baru mulai muncul. Dukungan kecil seperti itu memberikan keyakinan bahwa perjuangan ini tidak sia-sia. Anak-anak, orang tua, bahkan pihak-pihak yang dulu ragu, kini mulai melihat bahwa Pramuka lebih dari sekadar kegiatan—ia adalah jiwa yang menyatukan kita.

Hari itu, aku berdiri di depan anak-anak, melihat mereka bekerja sama, belajar, dan tumbuh. Dalam hati, aku berbisik, "Kemarin adalah pelajaran, hari ini adalah perjuangan, dan esok adalah harapan."

 

Guru Bukan Beban Negara, Melainkan Penopang Masa Depan Bangsa

                                    Beberapa waktu terakhir, opini tentang guru yang dianggap sebagai “beban negara” mencuat ke permukaan. S...