Dalam
dunia pendidikan, proses belajar seringkali hanya dipahami sebagai kegiatan
menghafal informasi. Padahal, hakikat belajar yang sejati bukan sekadar
mengingat, tetapi memahami dan mengaitkan pengetahuan dengan kehidupan nyata.
Di sinilah konsep deep learning atau pembelajaran mendalam menjadi
sangat penting.
Deep
learning dalam konteks pendidikan bukanlah teknologi
kecerdasan buatan, melainkan pendekatan belajar yang menekankan pada pemahaman
konseptual, keterkaitan antaride, dan penerapan pengetahuan secara reflektif.
Konsep ini pertama kali dikenalkan oleh Marton dan Säljö (1976), yang
membedakan antara surface learning (pembelajaran permukaan) dan deep
learning (pembelajaran mendalam). Pembelajaran permukaan hanya fokus pada
menghafal fakta untuk lulus ujian, sedangkan pembelajaran mendalam mendorong
siswa memahami makna, mencari hubungan, dan berpikir kritis.
Menurut
Biggs dan Tang (2011), pembelajaran mendalam muncul ketika siswa secara aktif
terlibat dalam proses belajar, memiliki motivasi intrinsik, dan mampu
mengaitkan materi dengan pengalaman pribadi. Ini berarti pembelajaran bukan
lagi tentang “apa yang harus saya hafal?”, melainkan “apa makna ini bagi saya
dan bagaimana saya bisa menggunakannya?”
Implementasi
deep learning dalam kelas bisa dimulai dengan mendorong pertanyaan
terbuka, diskusi kelompok, studi kasus, dan proyek berbasis masalah (problem-based
learning). Pendekatan ini membuat siswa tidak hanya tahu suatu konsep,
tetapi juga memahami cara kerjanya, mengapa itu penting, dan bagaimana
mengaplikasikannya.
Penelitian dari Entwistle & Ramsden (1983) menunjukkan bahwa siswa yang mengalami deep learning lebih mampu bertahan dalam menghadapi tantangan akademik dan lebih cenderung menjadi pembelajar sepanjang hayat. Mereka tidak mudah puas dengan jawaban instan, tetapi terus menggali, merenung, dan mencari makna.
Dalam
Kurikulum Merdeka yang sedang diterapkan di Indonesia, deep learning
sangat relevan dengan Profil Pelajar Pancasila yang menekankan pemikiran
kritis, kemandirian, dan kreatifitas. Guru didorong untuk menjadi fasilitator
pembelajaran yang membantu siswa menemukan makna, bukan sekadar menyampaikan
materi.
Penerapan
deep learning bukan tanpa tantangan. Sistem pendidikan yang masih
menekankan pada ujian standar dan capaian angka dapat menghambat proses belajar
yang bermakna. Namun, jika guru berani mengubah pendekatan—misalnya dengan
memberi ruang refleksi, mengaitkan pembelajaran dengan kehidupan nyata, dan
menghargai proses berpikir—maka pembelajaran mendalam akan tumbuh secara alami.
Kesimpulannya,
deep learning membawa siswa dari sekadar tahu menuju pemahaman yang utuh
dan bermakna. Pendidikan yang menanamkan makna bukan hanya mencetak siswa yang
pandai, tetapi juga yang bijak, reflektif, dan siap menghadapi tantangan masa
depan. Dengan deep learning, kita tidak hanya menciptakan generasi
cerdas, tetapi juga generasi yang memahami dan mengerti dunia dengan lebih
dalam.
Referensi:
·
Marton, F., & Säljö, R. (1976). On
qualitative differences in learning: I—Outcome and process. British Journal
of Educational Psychology, 46(1), 4–11.
·
Biggs, J., & Tang, C. (2011). Teaching
for Quality Learning at University (4th ed.). McGraw-Hill Education.
·
Entwistle, N., & Ramsden, P. (1983). Understanding
Student Learning. Croom Helm.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar