Rabu, 04 Juni 2025

Pendidikan Bukan Sekadar Materi, Tapi Juga Relasi

Ditulis Oleh: Ifa Ratnasari,S.Sos.I,S.E

Selama ini, banyak orang memandang pendidikan sebagai kegiatan yang hanya berfokus pada penyampaian materi. Padahal, esensi pendidikan jauh lebih luas daripada sekadar transfer pengetahuan. Pendidikan adalah proses membangun relasi—antara guru dan siswa, antara siswa dan lingkungan, bahkan antara individu dengan makna hidupnya.

Dalam konteks pembelajaran modern, relasi menjadi kunci terciptanya ruang belajar yang menyenangkan, mendalam, dan bermakna. Ketika relasi yang hangat dan saling menghargai terbangun, maka proses belajar bukan lagi kewajiban, tetapi kebutuhan dan kesenangan.

Nel Noddings (2005), seorang tokoh pendidikan moral, memperkenalkan konsep pedagogy of care, yakni pendidikan yang berakar pada kepedulian dan relasi antarmanusia. Ia menekankan bahwa keberhasilan pendidikan sangat tergantung pada hubungan yang sehat dan penuh empati antara guru dan peserta didik. Ketika seorang anak merasa didengarkan, diperhatikan, dan dihargai, maka ia akan memiliki semangat belajar yang tinggi dan rasa percaya diri yang kuat.

Lebih lanjut, menurut Vygotsky (1978), proses belajar terjadi secara maksimal ketika anak berada dalam zona perkembangan proksimal, yaitu kondisi di mana anak belajar melalui interaksi sosial dengan orang yang lebih ahli, dalam hal ini guru atau teman sebaya. Artinya, interaksi atau relasi sosial menjadi fondasi utama dalam perkembangan kognitif seorang anak.

Relasi yang baik dalam pendidikan juga berdampak langsung terhadap pencapaian akademik. Penelitian oleh Roorda et al. (2011) menunjukkan bahwa hubungan positif antara guru dan siswa berkorelasi dengan motivasi belajar yang tinggi, partisipasi aktif di kelas, serta hasil belajar yang lebih baik. Hal ini membuktikan bahwa pendidikan yang efektif tidak hanya berisi konten pelajaran, tetapi juga kehadiran emosional guru yang menjadi tempat berlindung dan inspirasi bagi siswa.

Sayangnya, dalam praktiknya, pendidikan sering terjebak pada aspek administratif dan target kurikulum, hingga melupakan aspek relasional yang justru menjadi dasar pendidikan itu sendiri. Guru disibukkan dengan laporan dan asesmen, sementara siswa hanya berfokus pada nilai. Dalam suasana seperti ini, relasi menjadi kering, dan pendidikan kehilangan rohnya.

Untuk itu, sudah saatnya paradigma pendidikan digeser: dari sekadar "mengajar untuk menyampaikan materi", menjadi "mendidik untuk membangun hubungan". Guru perlu membangun komunikasi yang tulus, mendengarkan lebih banyak, dan hadir secara utuh dalam kehidupan siswanya. Siswa pun perlu diperlakukan sebagai subjek yang memiliki perasaan, mimpi, dan potensi yang unik.

Kesimpulannya, pendidikan yang bermakna adalah pendidikan yang menjadikan relasi sebagai jantung dari seluruh proses. Ketika guru dan siswa terhubung secara emosional dan spiritual, maka pendidikan bukan hanya akan mencerdaskan otak, tapi juga menguatkan hati dan membentuk karakter.


Referensi:

·          Noddings, N. (2005). The Challenge to Care in Schools: An Alternative Approach to Education. Teachers College Press.

·     Vygotsky, L. S. (1978). Mind in Society: The Development of Higher Psychological Processes. Harvard University Press.

·          Roorda, D. L., Koomen, H. M. Y., Spilt, J. L., & Oort, F. J. (2011). The Influence of Affective Teacher–Student Relationships on Students’ School Engagement and Achievement. Review of Educational Research, 81(4), 493–529.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Guru Bukan Beban Negara, Melainkan Penopang Masa Depan Bangsa

                                    Beberapa waktu terakhir, opini tentang guru yang dianggap sebagai “beban negara” mencuat ke permukaan. S...