Selama
ini, banyak orang memandang pendidikan sebagai kegiatan yang hanya berfokus
pada penyampaian materi. Padahal, esensi pendidikan jauh lebih luas daripada
sekadar transfer pengetahuan. Pendidikan adalah proses membangun relasi—antara
guru dan siswa, antara siswa dan lingkungan, bahkan antara individu dengan
makna hidupnya.
Dalam
konteks pembelajaran modern, relasi menjadi kunci terciptanya ruang belajar
yang menyenangkan, mendalam, dan bermakna. Ketika relasi yang hangat dan saling
menghargai terbangun, maka proses belajar bukan lagi kewajiban, tetapi
kebutuhan dan kesenangan.
Nel
Noddings (2005), seorang tokoh pendidikan moral, memperkenalkan konsep pedagogy
of care, yakni pendidikan yang berakar pada kepedulian dan relasi
antarmanusia. Ia menekankan bahwa keberhasilan pendidikan sangat tergantung
pada hubungan yang sehat dan penuh empati antara guru dan peserta didik. Ketika
seorang anak merasa didengarkan, diperhatikan, dan dihargai, maka ia akan
memiliki semangat belajar yang tinggi dan rasa percaya diri yang kuat.
Lebih
lanjut, menurut Vygotsky (1978), proses belajar terjadi secara maksimal ketika
anak berada dalam zona perkembangan proksimal, yaitu kondisi di mana anak
belajar melalui interaksi sosial dengan orang yang lebih ahli, dalam hal ini
guru atau teman sebaya. Artinya, interaksi atau relasi sosial menjadi fondasi
utama dalam perkembangan kognitif seorang anak.
Relasi
yang baik dalam pendidikan juga berdampak langsung terhadap pencapaian
akademik. Penelitian oleh Roorda et al. (2011) menunjukkan bahwa hubungan
positif antara guru dan siswa berkorelasi dengan motivasi belajar yang tinggi,
partisipasi aktif di kelas, serta hasil belajar yang lebih baik. Hal ini
membuktikan bahwa pendidikan yang efektif tidak hanya berisi konten pelajaran,
tetapi juga kehadiran emosional guru yang menjadi tempat berlindung dan
inspirasi bagi siswa.
Sayangnya,
dalam praktiknya, pendidikan sering terjebak pada aspek administratif dan
target kurikulum, hingga melupakan aspek relasional yang justru menjadi dasar
pendidikan itu sendiri. Guru disibukkan dengan laporan dan asesmen, sementara
siswa hanya berfokus pada nilai. Dalam suasana seperti ini, relasi menjadi
kering, dan pendidikan kehilangan rohnya.
Untuk
itu, sudah saatnya paradigma pendidikan digeser: dari sekadar "mengajar
untuk menyampaikan materi", menjadi "mendidik untuk membangun
hubungan". Guru perlu membangun komunikasi yang tulus, mendengarkan lebih
banyak, dan hadir secara utuh dalam kehidupan siswanya. Siswa pun perlu
diperlakukan sebagai subjek yang memiliki perasaan, mimpi, dan potensi yang
unik.
Kesimpulannya,
pendidikan yang bermakna adalah pendidikan yang menjadikan relasi sebagai
jantung dari seluruh proses. Ketika guru dan siswa terhubung secara emosional
dan spiritual, maka pendidikan bukan hanya akan mencerdaskan otak, tapi juga
menguatkan hati dan membentuk karakter.
Referensi:
· Noddings, N. (2005). The Challenge to
Care in Schools: An Alternative Approach to Education. Teachers College
Press.
· Vygotsky, L. S. (1978). Mind in
Society: The Development of Higher Psychological Processes. Harvard
University Press.
· Roorda, D. L., Koomen, H. M. Y., Spilt, J.
L., & Oort, F. J. (2011). The Influence of Affective Teacher–Student
Relationships on Students’ School Engagement and Achievement. Review of
Educational Research, 81(4), 493–529.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar