Ditulis Oleh: Ifa Ratnasari,S.Sos.I,S.E
Pendidikan sejatinya bukan sekadar proses transfer ilmu, tetapi juga proses penanaman nilai-nilai kemanusiaan. Di tengah tantangan zaman yang semakin kompleks, hadirnya Kurikulum Cinta menjadi angin segar dalam dunia pendidikan. Kurikulum ini mengedepankan kasih sayang, empati, dan penghargaan terhadap kemanusiaan sebagai fondasi utama pembelajaran.
Kurikulum Cinta bukanlah sekadar istilah puitis, melainkan pendekatan pendidikan yang berakar dari teori humanistik, khususnya pemikiran tokoh-tokoh seperti Carl Rogers dan Paulo Freire. Carl Rogers (1983) menekankan pentingnya student-centered learning yang memanusiakan siswa sebagai individu yang memiliki potensi, perasaan, dan kebutuhan. Dalam pendekatan ini, guru bukan sekadar pengajar, melainkan fasilitator yang membimbing dengan empati dan perhatian.
Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed (1970) juga mengkritik pendidikan gaya "bank", di mana guru menjejalkan pengetahuan dan siswa hanya menjadi objek pasif. Sebaliknya, ia menawarkan pendidikan dialogis yang membangun hubungan saling menghargai antara guru dan siswa, berbasis cinta dan solidaritas. Menurut Freire, “tidak ada pendidikan tanpa cinta.”
Kurikulum Cinta mendorong proses belajar yang hangat dan inklusif. Guru diposisikan sebagai teladan dalam memberi kasih sayang, bukan hanya kepada siswa, tetapi juga kepada sesama tenaga pendidik dan lingkungan sekitar. Sementara itu, siswa dididik untuk memahami nilai-nilai empati, toleransi, serta kerja sama. Dengan demikian, pembelajaran tidak hanya menghasilkan siswa cerdas secara akademik, tetapi juga berkarakter kuat dan memiliki kepekaan sosial.
Penelitian dari Noddings (2005), seorang tokoh pendidikan moral, menunjukkan bahwa pendidikan yang dilandasi oleh nilai kasih (caring) mampu meningkatkan motivasi belajar siswa, membentuk hubungan sosial yang sehat, dan menurunkan angka kekerasan di sekolah. Ia menyatakan bahwa “pedagogi kasih” atau pedagogy of care adalah kunci dalam membentuk komunitas belajar yang harmonis dan saling mendukung.
Dalam konteks Indonesia, Kurikulum Cinta dapat disinergikan dengan Profil Pelajar Pancasila yang dicanangkan oleh Kemendikbudristek. Nilai-nilai seperti gotong royong, beriman dan bertakwa kepada Tuhan, serta berkebinekaan global sejalan dengan semangat kasih yang ingin dibangun dalam Kurikulum Cinta. Ini menunjukkan bahwa kasih bukanlah konsep asing, melainkan bagian dari jati diri bangsa.
Implementasi Kurikulum Cinta dapat dimulai dari hal sederhana: menyapa siswa dengan senyum, mendengarkan keluh kesah mereka, memberikan ruang aman untuk berekspresi, hingga membiasakan aktivitas refleksi dan diskusi yang penuh hormat. Lingkungan sekolah juga didorong menjadi ruang yang nyaman, tanpa kekerasan dan diskriminasi.
Kesimpulannya, Kurikulum Cinta adalah jawaban atas tantangan pendidikan modern yang kerap kehilangan sisi kemanusiaan. Pendidikan bukan hanya tentang mencetak lulusan yang kompeten, tapi juga manusia yang utuh, penuh kasih, dan siap hidup berdampingan dalam keragaman. Dengan menyemai pendidikan dengan kasih, kita membangun generasi masa depan yang bukan hanya pintar, tapi juga penuh cinta.
Referensi:
-
Freire, P. (1970). Pedagogy of the Oppressed. New York: Herder and Herder.
-
Rogers, C. R. (1983). Freedom to Learn for the 80s. Columbus: Charles E. Merrill.
-
Noddings, N. (2005). The Challenge to Care in Schools: An Alternative Approach to Education. Teachers College Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar