Oleh
: Ifa Ratnasari,S.Sos.I,S.E
Mengajar
bukan hanya soal menyampaikan materi pelajaran, tetapi sebuah misi kemanusiaan.
Guru yang mengajar dengan hati dan mendidik dengan cinta mampu menghadirkan
ruang belajar yang tidak hanya berisi ilmu pengetahuan, tetapi juga kasih,
perhatian, dan keteladanan. Dalam proses itulah, pendidikan menjadi hidup dan
bermakna.
Menurut
Noddings (2005), pendidikan yang berkualitas tidak hanya fokus pada pencapaian
kognitif, tetapi juga harus dilandasi oleh kepedulian atau care.
Noddings menyebut konsep ini sebagai pedagogy of care, yaitu pendekatan
yang menempatkan hubungan emosional dan kepedulian antara guru dan siswa
sebagai inti dari proses belajar-mengajar. Dalam pendekatan ini, guru hadir
sebagai manusia yang peduli dan memahami bahwa setiap anak memiliki kebutuhan,
emosi, dan potensi yang berbeda.
Mengajar
dengan hati berarti guru mampu membangun empati. Ia tidak sekadar berdiri di
depan kelas untuk menyampaikan teori, tetapi juga mau mendengarkan, memahami,
dan menemani proses tumbuh kembang siswa secara menyeluruh. Guru menjadi sosok
yang hadir secara utuh bukan hanya sebagai pengajar, tetapi sebagai pendamping
dan panutan.
Di
sisi lain, mendidik dengan cinta bukan berarti memanjakan siswa, tetapi
memberikan kasih sayang yang mendewasakan. Cinta dalam pendidikan menumbuhkan
rasa aman dan nyaman, yang merupakan fondasi penting bagi tumbuhnya motivasi
belajar. Penelitian dari Jennings dan Greenberg (2009) membuktikan bahwa guru
yang memiliki kompetensi sosial dan emosional tinggi cenderung menciptakan
suasana kelas yang lebih positif dan mendukung perkembangan akademik dan
psikologis siswa.
Dalam
konteks pendidikan Indonesia, nilai-nilai ini sejalan dengan semangat Profil
Pelajar Pancasila dalam Kurikulum Merdeka. Guru tidak lagi menjadi
satu-satunya sumber informasi, tetapi sebagai fasilitator yang membantu siswa
menemukan makna dan nilai dalam proses belajar. Pendekatan ini membutuhkan
kepekaan, komunikasi yang hangat, dan ketulusan.
Paulo
Freire (1970), seorang filsuf pendidikan asal Brasil, dalam bukunya Pedagogy
of the Oppressed, mengingatkan bahwa pendidikan bukan sekadar proses
transfer pengetahuan, tetapi dialog penuh kesadaran antara guru dan siswa.
Dalam dialog itu, cinta menjadi jembatan utama. Tanpa cinta, pendidikan
kehilangan arah dan hanya menjadi rutinitas tanpa jiwa.
Mengajar
dengan hati dan mendidik dengan cinta adalah panggilan moral seorang pendidik.
Tidak semua bisa dilakukan dengan mudah, apalagi di tengah tuntutan
administratif dan tekanan target capaian. Namun, ketika guru mampu menghadirkan
cinta dalam kelasnya—melalui senyuman, perhatian, atau dorongan tulus—ia
sesungguhnya telah mengubah hidup seseorang.
Referensi:
Noddings,
N. (2005). The Challenge to Care in Schools: An Alternative Approach to
Education. Teachers College Press.
Jennings,
P. A., & Greenberg, M. T. (2009). The Prosocial Classroom: Teacher Social
and Emotional Competence in Relation to Student and Classroom Outcomes. Review
of Educational Research, 79(1), 491–525.
Freire,
P. (1970). Pedagogy of the Oppressed. New York: Herder and Herder.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar