Rabu, 04 Juni 2025

Mengajar dengan Hati, Mendidik dengan Cinta



Oleh : Ifa Ratnasari,S.Sos.I,S.E

Mengajar bukan hanya soal menyampaikan materi pelajaran, tetapi sebuah misi kemanusiaan. Guru yang mengajar dengan hati dan mendidik dengan cinta mampu menghadirkan ruang belajar yang tidak hanya berisi ilmu pengetahuan, tetapi juga kasih, perhatian, dan keteladanan. Dalam proses itulah, pendidikan menjadi hidup dan bermakna.

Menurut Noddings (2005), pendidikan yang berkualitas tidak hanya fokus pada pencapaian kognitif, tetapi juga harus dilandasi oleh kepedulian atau care. Noddings menyebut konsep ini sebagai pedagogy of care, yaitu pendekatan yang menempatkan hubungan emosional dan kepedulian antara guru dan siswa sebagai inti dari proses belajar-mengajar. Dalam pendekatan ini, guru hadir sebagai manusia yang peduli dan memahami bahwa setiap anak memiliki kebutuhan, emosi, dan potensi yang berbeda.

Mengajar dengan hati berarti guru mampu membangun empati. Ia tidak sekadar berdiri di depan kelas untuk menyampaikan teori, tetapi juga mau mendengarkan, memahami, dan menemani proses tumbuh kembang siswa secara menyeluruh. Guru menjadi sosok yang hadir secara utuh bukan hanya sebagai pengajar, tetapi sebagai pendamping dan panutan.

Di sisi lain, mendidik dengan cinta bukan berarti memanjakan siswa, tetapi memberikan kasih sayang yang mendewasakan. Cinta dalam pendidikan menumbuhkan rasa aman dan nyaman, yang merupakan fondasi penting bagi tumbuhnya motivasi belajar. Penelitian dari Jennings dan Greenberg (2009) membuktikan bahwa guru yang memiliki kompetensi sosial dan emosional tinggi cenderung menciptakan suasana kelas yang lebih positif dan mendukung perkembangan akademik dan psikologis siswa.

Dalam konteks pendidikan Indonesia, nilai-nilai ini sejalan dengan semangat Profil Pelajar Pancasila dalam Kurikulum Merdeka. Guru tidak lagi menjadi satu-satunya sumber informasi, tetapi sebagai fasilitator yang membantu siswa menemukan makna dan nilai dalam proses belajar. Pendekatan ini membutuhkan kepekaan, komunikasi yang hangat, dan ketulusan.

Paulo Freire (1970), seorang filsuf pendidikan asal Brasil, dalam bukunya Pedagogy of the Oppressed, mengingatkan bahwa pendidikan bukan sekadar proses transfer pengetahuan, tetapi dialog penuh kesadaran antara guru dan siswa. Dalam dialog itu, cinta menjadi jembatan utama. Tanpa cinta, pendidikan kehilangan arah dan hanya menjadi rutinitas tanpa jiwa.

Mengajar dengan hati dan mendidik dengan cinta adalah panggilan moral seorang pendidik. Tidak semua bisa dilakukan dengan mudah, apalagi di tengah tuntutan administratif dan tekanan target capaian. Namun, ketika guru mampu menghadirkan cinta dalam kelasnya—melalui senyuman, perhatian, atau dorongan tulus—ia sesungguhnya telah mengubah hidup seseorang.

 

 

 

Referensi:

Noddings, N. (2005). The Challenge to Care in Schools: An Alternative Approach to Education. Teachers College Press.

Jennings, P. A., & Greenberg, M. T. (2009). The Prosocial Classroom: Teacher Social and Emotional Competence in Relation to Student and Classroom Outcomes. Review of Educational Research, 79(1), 491–525.

Freire, P. (1970). Pedagogy of the Oppressed. New York: Herder and Herder.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Guru Bukan Beban Negara, Melainkan Penopang Masa Depan Bangsa

                                    Beberapa waktu terakhir, opini tentang guru yang dianggap sebagai “beban negara” mencuat ke permukaan. S...