الثلاثاء، 30 سبتمبر 2025

Guru 5.0: Membangun Generasi Cerdas Emosional dan Digital di Era Artificial Intelligenc

      


       Era Society 5.0 menghadirkan tantangan sekaligus peluang besar bagi dunia pendidikan. Kehadiran Artificial Intelligence (AI), big data, dan teknologi digital bukan sekadar mengubah cara manusia bekerja, tetapi juga menuntut lahirnya generasi yang cerdas emosional dan digital. Di sinilah peran guru 5.0 sebagai pendidik transformatif sangat diperlukan. Guru tidak lagi sekadar menyampaikan ilmu, tetapi menjadi fasilitator, motivator, sekaligus teladan yang mampu menyeimbangkan antara kecerdasan intelektual, emosional, spiritual, dan digital.

Landasan Spiritual dalam Peran Guru



Islam menempatkan guru pada posisi mulia. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Mujadilah [58]:11:

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat...”

Ayat ini menegaskan bahwa ilmu pengetahuan adalah kunci kemuliaan, dan guru sebagai penyampai ilmu memiliki peran penting dalam meninggikan derajat generasi. Nabi Muhammad SAW juga bersabda:

“Sesungguhnya Allah, malaikat-Nya, penghuni langit dan bumi, bahkan semut di dalam lubangnya dan ikan di lautan, semuanya bershalawat kepada orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia.” (HR. Tirmidzi).

Dalil tersebut mengisyaratkan bahwa guru adalah agen perubahan yang keberkahannya dirasakan luas.

Teori Sosial: Pendidikan sebagai Transformasi

        Menurut Paulo Freire dalam teorinya Pedagogy of the Oppressed, pendidikan bukan hanya transfer pengetahuan, tetapi proses dialogis yang membebaskan manusia dari keterkungkungan. Guru 5.0 menerjemahkan gagasan ini dengan menghadirkan pembelajaran yang mendalam, interaktif, dan adaptif terhadap teknologi. Bukan sekadar mengajarkan keterampilan digital, guru juga membimbing siswa agar mampu memaknai informasi, memilah data, serta menjaga etika digital.

        Selain itu, teori Daniel Goleman tentang Emotional Intelligence relevan untuk era ini. Ia menegaskan bahwa keberhasilan seseorang tidak hanya ditentukan oleh IQ, melainkan juga oleh kemampuan mengelola emosi, empati, dan keterampilan sosial. Guru 5.0 harus mengintegrasikan penguatan emotional intelligence dalam proses pembelajaran sehingga generasi muda tidak hanya cerdas digital, tetapi juga berkarakter dan berakhlak.

Peran Guru 5.0

  1. Fasilitator Pembelajaran Mendalam
    Guru tidak hanya menyajikan materi, tetapi memandu siswa agar berpikir kritis, kreatif, dan kolaboratif. Teknologi AI digunakan bukan untuk menggantikan guru, melainkan memperkaya metode belajar.

  2. Pembangun Kecerdasan Emosional
    Di tengah derasnya arus digitalisasi, guru menjadi teladan dalam menjaga akhlak, komunikasi empatik, dan pengendalian diri. Dengan demikian, siswa mampu menyeimbangkan kehidupan nyata dan dunia maya.

  3. Penggerak Literasi Digital dan Etika
    Guru 5.0 membekali siswa dengan kemampuan literasi digital, yaitu memahami, menggunakan, dan menciptakan konten digital dengan bijak. Hal ini sejalan dengan tujuan pendidikan nasional untuk mencetak generasi beriman, berilmu, dan berdaya saing global.

Penutup

        Era Artificial Intelligence menuntut hadirnya sosok guru transformatif yang mampu melahirkan generasi cerdas emosional dan digital. Landasan spiritual dari Al-Qur’an dan hadis, dipadukan dengan teori sosial seperti Freire dan Goleman, menunjukkan bahwa pendidikan bukan sekadar mencetak generasi pintar teknologi, tetapi juga generasi yang beretika, berempati, dan berakhlak mulia. Dengan demikian, guru 5.0 adalah lentera yang membimbing generasi menuju masa depan yang manusiawi di tengah derasnya arus digitalisasi.

الأحد، 28 سبتمبر 2025

Solidaritas yang Berbuah Prestasi: Perjalanan MPI-C 2023–2025 dari Awal Pendaftaran hingga Lulus Bersama

        


 Perjalanan panjang menempuh pendidikan tinggi tidak pernah mudah. Namun, kisah angkatan MPI-C 2023–2025 membuktikan bahwa solidaritas, kebersamaan, dan tekad yang kuat mampu mengubah setiap tantangan menjadi prestasi. Dimulai dari semangat “daftar bareng”, perjalanan ini berlanjut hingga puncak kebahagiaan “lulus bareng”, bahkan dengan hasil terbaik yang membanggakan. Kisah ini menjadi bukti bahwa pendidikan bukan hanya soal individu, melainkan juga tentang kekuatan kolektif dan kebersamaan.

    


    Sejak awal pendaftaran, para mahasiswa MPI-C telah menunjukkan komitmen untuk saling mendukung. Mereka melewati proses seleksi dengan semangat kebersamaan, saling mengingatkan persyaratan, hingga berbagi informasi tentang beasiswa. Sikap ini mencerminkan makna solidaritas sejati, sebagaimana ditegaskan dalam sebuah hadis Rasulullah SAW:

“Perumpamaan orang-orang beriman dalam hal saling mencintai, menyayangi, dan berkasih sayang, bagaikan satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuh sakit, maka seluruh tubuh merasakan sakit dan tidak bisa tidur.” (HR. Muslim).

      


         Hadis ini sejalan dengan nilai yang dihidupi oleh angkatan MPI-C, yaitu saling menguatkan agar tidak ada yang tertinggal dalam perjalanan akademik. Ketika satu mahasiswa menghadapi kesulitan, yang lain hadir untuk membantu. Inilah bukti nyata bahwa persaudaraan bukan hanya teori, melainkan praktik hidup yang menumbuhkan semangat juang bersama.Dalam teori pendidikan, solidaritas kelompok juga dijelaskan oleh Émile Durkheim, seorang sosiolog Prancis. Menurutnya, solidaritas adalah perekat sosial yang membuat kelompok tetap utuh dan bergerak menuju tujuan yang sama. Solidaritas mekanik muncul karena kesamaan pengalaman dan tujuan, sedangkan solidaritas organik hadir karena peran yang saling melengkapi. Hal ini sangat relevan dengan pengalaman MPI-C: ada yang unggul di akademik, ada yang cekatan di organisasi, ada pula yang ahli dalam membangun relasi. Semua keunggulan itu disatukan, sehingga melahirkan harmoni yang mendorong pencapaian terbaik.

        


    Perjalanan selama dua tahun penuh tantangan: tugas perkuliahan yang menumpuk, penelitian yang memerlukan ketekunan, hingga ujian yang menuntut konsentrasi tinggi. Namun, berkat kesepakatan untuk belajar bersama, berdiskusi rutin, dan saling berbagi motivasi, setiap rintangan bisa dilalui. Kebersamaan ini menjadi energi kolektif yang tidak ternilai. Bahkan di saat ada yang hampir menyerah, semangat teman-teman seangkatan kembali menjadi penyemangat.

  


     Tidak hanya itu, keberhasilan MPI-C juga sejalan dengan nilai Pancasila, khususnya Sila ke-3: Persatuan Indonesia. Persatuan dalam konteks akademik ini melahirkan kekuatan moral dan spiritual yang berbuah manis dalam bentuk prestasi terbaik. Kebersamaan dalam menempuh studi bukan sekadar perjalanan intelektual, tetapi juga perjalanan emosional yang mempererat persaudaraan. Puncak kebahagiaan itu tiba ketika seluruh anggota angkatan MPI-C dinyatakan lulus bersama dengan hasil terbaik. Momen ini bukan hanya kemenangan individu, melainkan kemenangan kolektif yang layak dirayakan dengan penuh syukur. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Maidah [5]:2,


“...Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan...”

        Ayat ini menjadi pengingat bahwa kebersamaan yang dibangun atas dasar kebaikan akan selalu melahirkan keberkahan. Kisah sukses MPI-C 2023–2025 adalah cermin nyata bahwa solidaritas bukan hanya melahirkan persaudaraan, tetapi juga prestasi. Dengan semangat “daftar bareng, lulus bareng”, mereka telah menunjukkan bahwa cita-cita besar lebih mudah tercapai ketika diperjuangkan bersama. Semoga kisah ini menginspirasi generasi selanjutnya untuk menjadikan solidaritas sebagai kunci dalam meraih kesuksesan akademik maupun kehidupan.


Merelakan Weekend demi Ilmu: Kisah Ifa Ratnasari Menyelesaikan S2 dengan Beasiswa Berkat Dukungan Suami dan Dua Putri Tercinta




    Perjalanan pendidikan bukanlah sekadar mengejar gelar, melainkan sebuah perjuangan yang sarat makna. Kisah Ifa Ratnasari dalam menyelesaikan studi S2 dengan program beasiswa adalah bukti nyata bahwa keteguhan hati, dukungan keluarga, dan pengorbanan bersama mampu membawa seseorang mencapai puncak keberhasilan. Di tengah kesibukan sebagai seorang istri, ibu dari dua putri tercinta, sekaligus pendidik dan pembina Pramuka, Ifa mampu membuktikan bahwa keterbatasan waktu bukanlah penghalang untuk menuntaskan amanah akademik.

        Program studi S2 yang ditempuh Ifa membutuhkan fokus dan pengorbanan besar. Salah satunya adalah merelakan waktu berharga bersama keluarga di akhir pekan. Jika bagi sebagian orang weekend identik dengan kebersamaan keluarga, jalan-jalan, atau sekadar melepas penat, bagi Ifa weekend justru dihabiskan dengan kuliah, belajar, serta mengerjakan tugas-tugas akademik. Hal ini tentu bukan hal yang mudah, terlebih bagi seorang ibu dengan dua putri yang masih membutuhkan perhatian. Namun, dengan komitmen kuat serta dukungan penuh dari sang suami, Nur Hida Fauzil Khoir, dan kedua putrinya, Aerilyn Adeeva Afshen Mysha Fazillah dan Fawzia Nazinda Zifara Fazillah, pengorbanan ini berubah menjadi energi positif yang menguatkan.

        Di balik perjuangan Ifa, ada peran besar sang suami yang dengan sabar dan penuh pengertian menggantikan posisi istri dalam mendampingi putri-putrinya. Weekend yang biasanya menjadi momen keluarga, justru menjadi waktu di mana suami dan anak-anak berganti peran, saling melengkapi satu sama lain. Mereka merelakan banyak hal, mulai dari agenda keluarga hingga momen kebersamaan, agar Ifa dapat fokus pada studinya. Kesungguhan keluarga ini mencerminkan prinsip gotong royong dalam lingkup terkecil, yakni keluarga.

        Nilai pengorbanan dan dukungan tersebut sejalan dengan ajaran Islam yang menempatkan ilmu sebagai jalan mulia. Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu,        " maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim). Hadis ini menjadi penguat bahwa perjuangan Ifa tidak sia-sia, sebab setiap langkahnya dalam menuntut ilmu adalah ibadah. Selain itu, teori Abraham Maslow tentang hierarchy of needs juga dapat menjadi cermin bahwa aktualisasi diri melalui pendidikan adalah puncak kebutuhan manusia, yang tidak bisa dicapai tanpa dukungan kebutuhan dasar seperti kasih sayang dan rasa aman dari keluarga.

        Kisah ini bukan sekadar tentang seorang perempuan yang berhasil menyelesaikan pendidikan tinggi, melainkan tentang kekuatan cinta dan dukungan dalam keluarga. Suami yang penuh pengertian, anak-anak yang ikhlas, serta semangat saling bahu-membahu menjadi fondasi kuat bagi Ifa untuk menyelesaikan program beasiswa tepat waktu dan meraih gelar M.Pd.

          Kini, keberhasilan Ifa Ratnasari tidak hanya menjadi kebanggaan pribadi, tetapi juga inspirasi bagi banyak perempuan dan pendidik di Indonesia. Bahwa dengan keteguhan, pengorbanan, serta dukungan keluarga, segala cita-cita, betapapun beratnya, bisa diwujudkan. Perjuangan ini mengajarkan bahwa ilmu memang membutuhkan pengorbanan, namun ketika dijalani dengan niat tulus dan kebersamaan, maka hasilnya bukan hanya gelar, melainkan berkah yang abadi.

Keteguhan dan Pengabdian: Perjuangan Ifa Ratnasari Menyelesaikan S2 Beasiswa di Tengah Banyak Peran Hidup

         


 Menempuh pendidikan tinggi adalah sebuah perjalanan panjang yang memerlukan kesabaran, keteguhan, dan dukungan dari orang-orang terdekat. Kisah Ifa Ratnasari menjadi salah satu bukti nyata bahwa dengan tekad yang kuat dan dukungan keluarga, setiap tantangan dapat dilewati. Selama dua tahun, ia berhasil menyelesaikan studi S2 melalui program beasiswa di Universitas Abdurrahman C (UAC), meskipun harus menjalankan banyak peran sekaligus sebagai ibu, istri, pendidik, putri dari kedua orang tua, serta pembina pramuka.

        Di balik perjuangannya, ada sosok penting yang menjadi pilar semangat, yakni kedua orang tuanya, Bapak Sutarman dan Ibu Ngatemi. Dukungan mereka bukan hanya berupa doa, tetapi juga motivasi moral dan kepercayaan yang tak pernah surut. Kehadiran orang tua memberi energi baru bagi Ifa untuk tidak menyerah meski dihadapkan pada kesibukan dan tanggung jawab yang besar. Seperti pepatah Jawa, “wong tuwo iku pangayom, panglipur, lan pepadhang dalan” (orang tua adalah pelindung, penghibur, dan penerang jalan), peran mereka menjadi penuntun yang tak ternilai dalam perjalanan akademiknya.

            Menjalankan banyak peran dalam satu waktu tentu bukan perkara mudah. Sebagai seorang ibu dan istri, ia tetap harus hadir untuk keluarga dengan penuh cinta. Sebagai pendidik, ia dituntut profesional dalam mengajar dan membimbing siswa. Sebagai pembina pramuka, ia berperan membentuk karakter generasi muda melalui disiplin, kerja sama, dan kepemimpinan. Dan sebagai seorang anak, ia tetap menjaga baktinya kepada kedua orang tua. Semua tanggung jawab ini dijalankan tanpa melupakan amanah sebagai mahasiswa S2 yang harus menyelesaikan kuliah, penelitian, dan penulisan tesis tepat waktu.


Keteguhan Ifa Ratnasari sejalan dengan pesan Al-Qur’an dalam surah Al-Ankabut ayat 69:

“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.”

Ayat ini mencerminkan bahwa kesungguhan akan selalu berbuah hasil. Kesungguhan Ifa dalam belajar bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga sebagai bentuk pengabdian kepada keluarga, lembaga, dan masyarakat.

        Dari sisi teori pendidikan, perjuangan ini juga menggambarkan konsep self-actualization dalam teori Abraham Maslow. Dengan menyelesaikan pendidikan S2, Ifa berhasil mengaktualisasikan potensi dirinya di tengah berbagai peran hidup. Sementara dalam perspektif pendidikan nasional, perjuangan ini selaras dengan ajaran Ki Hajar Dewantara: “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.” Dalam setiap peran, Ifa berusaha menjadi teladan, penggerak, dan pemberi dorongan bagi orang lain.

        Dukungan kedua orang tua, suami, anak, serta lingkungan sekolah menjadi energi penting dalam keberhasilannya. Tanpa doa dan restu Bapak Sutarman dan Ibu Ngatemi, perjalanan ini tentu akan terasa lebih berat. Restu orang tua adalah kunci keberkahan, dan Ifa merasakannya sebagai kekuatan spiritual yang menuntun hingga sukses meraih gelar S2.

        Pada akhirnya, kisah Ifa Ratnasari adalah tentang keteguhan hati, kesungguhan dalam belajar, dan pengabdian kepada banyak peran hidup. Ia membuktikan bahwa seorang perempuan bisa menjadi ibu, pendidik, anak berbakti, sekaligus pembina pramuka tanpa meninggalkan impian akademiknya. Dengan restu orang tua dan semangat pengabdian, pendidikan tidak hanya menjadi gelar, tetapi juga jalan untuk memberi manfaat lebih luas bagi bangsa dan generasi mendatang.

Ibu, Pendidik, dan Pembina Pramuka: Perjuangan Ifa Ratnasari Meraih Gelar S2 Beasiswa UAC di Tengah Kesibukan

  


             Perjuangan seorang perempuan dalam meraih pendidikan tinggi sering kali menjadi kisah inspiratif, terlebih ketika ia harus memainkan banyak peran dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini tercermin dalam perjalanan Ifa Ratnasari, seorang ibu, pendidik, sekaligus pembina pramuka, yang berhasil menyelesaikan studi S2 di Universitas Abdurrahman C (UAC) dengan program beasiswa rekomendasi selama dua tahun. Di tengah padatnya kesibukan sebagai istri, putri yang berbakti kepada orang tua, serta kakak pembina pramuka di sekolah, ia tetap konsisten menjalani proses akademik hingga meraih gelar pascasarjana.

    Perjalanan ini mengajarkan bahwa pendidikan bukan sekadar pencapaian pribadi, melainkan juga bentuk pengabdian. Ifa Ratnasari menunjukkan bahwa kesibukan tidak menjadi penghalang untuk terus menuntut ilmu. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an:

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah: 11)

    Ayat ini seakan menjadi dorongan spiritual yang menguatkan langkahnya. Bahwa menuntut ilmu merupakan ibadah, dan dengan ilmu seseorang dapat memberi manfaat lebih luas kepada keluarga, siswa, maupun masyarakat.

    Dari sudut pandang teori pendidikan, perjuangan Ifa selaras dengan gagasan Abraham Maslow tentang hierarki kebutuhan manusia. Pendidikan tinggi menjadi bagian dari aktualisasi diri, yakni puncak kebutuhan manusia untuk mewujudkan potensi terbaik dalam dirinya. Meski kesibukan sebagai ibu dan pendidik menyita banyak waktu, Ifa mampu menyeimbangkan semuanya karena ia memandang pendidikan sebagai jalan pengabdian, bukan sekadar gelar.

    Dalam kesehariannya, peran ganda dijalani dengan penuh tanggung jawab. Di sekolah, ia mendidik siswa dengan pendekatan humanis dan menginspirasi melalui perannya sebagai guru. Di lingkungan keluarga, ia tetap hadir sebagai ibu yang penuh kasih dan istri yang mendukung suami. Sementara dalam gerakan pramuka, ia menjadi pembina yang menanamkan nilai kedisiplinan, kemandirian, dan kepemimpinan pada generasi muda. Inilah gambaran nyata konsep “ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani” dari Ki Hajar Dewantara—bahwa seorang pendidik harus memberi teladan, menggerakkan semangat, dan memberi dorongan dari belakang.

    Tentu, perjalanan ini tidak lepas dari tantangan. Ada masa ketika tuntutan kuliah bertabrakan dengan tanggung jawab rumah tangga, atau ketika kegiatan pramuka harus diimbangi dengan penelitian tesis. Namun dengan manajemen waktu yang baik serta dukungan keluarga, ia berhasil menyelesaikan semua tugas tepat waktu. Prinsip “Man jadda wajada” (barang siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan berhasil) menjadi pegangan dalam melewati setiap ujian.

    Kisah Ifa Ratnasari memberikan inspirasi bahwa menjadi ibu, pendidik, dan pembina pramuka tidak menghalangi seseorang untuk meraih pendidikan tinggi. Justru peran-peran itulah yang memberi warna, makna, dan motivasi dalam proses akademiknya. Ia membuktikan bahwa ilmu, iman, dan pengabdian dapat berjalan seiring, menghasilkan pribadi yang utuh dan siap mengabdi untuk umat.

    
Dengan demikian, perjuangan Ifa Ratnasari bukan hanya tentang menyelesaikan S2, melainkan juga tentang membangun narasi bahwa pendidikan adalah jembatan untuk melahirkan pemimpin, penggerak, dan inspirasi bagi generasi penerus bangsa.

Kegiatan Seru dan Bermakna Bersama Siaga Hebat di SDI Pancasila Krian Sidoarjo: Belajar Melipat Baju dan Selimut Bersama Bunda Ifa Ratnasari, L.T.

     H ari ini, suasana di SDI Pancasila Krian Sidoarjo terasa begitu ceria dan penuh semangat. Para Pramuka Siaga Hebat berkumpul dengan ...