Setiap tanggal 22 Oktober, bangsa Indonesia memperingati Hari Santri Nasional, sebuah momentum untuk mengenang perjuangan para santri dan ulama dalam mempertahankan kemerdekaan serta menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hari Santri bukan hanya seremonial tahunan, melainkan wujud penghargaan atas kontribusi besar kaum santri dalam membangun moral, spiritual, dan intelektual bangsa.
Landasan Historis: Resolusi Jihad 1945
Penetapan Hari Santri tidak terlepas dari peristiwa bersejarah yang terjadi pada 22 Oktober 1945, ketika Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama, mengeluarkan Resolusi Jihad. Seruan ini mewajibkan umat Islam, khususnya para santri, untuk berjuang melawan penjajahan demi mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Peristiwa tersebut menjadi landasan kuat bagi pemerintah menetapkan Hari Santri melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2015.
Dari sinilah semangat jihad santri dimaknai bukan sebagai peperangan fisik semata, tetapi juga jihad dalam bentuk pengabdian, pendidikan, dan pembentukan karakter bangsa. Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Al-Hajj ayat 78:
“Dan berjihadlah kamu di jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya...”
Ayat ini menjadi pedoman bahwa jihad santri di masa kini adalah berjuang menegakkan nilai-nilai keislaman dan kebangsaan dalam kehidupan modern.
Landasan Sosial: Dinamika Peran Santri di Era Global
Santri masa kini menghadapi tantangan yang berbeda dengan masa perjuangan kemerdekaan. Dinamika sosial dan perkembangan teknologi menuntut santri untuk adaptif terhadap perubahan zaman. Santri tidak lagi hanya mengaji kitab kuning di pesantren, tetapi juga aktif di bidang sains, teknologi, kewirausahaan, dan sosial kemasyarakatan.
Peran santri sebagai agen perubahan sosial sangatlah penting. Mereka diharapkan menjadi generasi yang mampu menjawab tantangan era digital dengan tetap berpegang pada nilai-nilai akhlakul karimah. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW:
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (HR. Ahmad)
Hadis ini menegaskan bahwa santri bukan hanya penerima ilmu, tetapi juga penyebar manfaat di tengah masyarakat.
Landasan Spiritual: Keteguhan Iman dan Pengabdian
Di tengah modernisasi, santri tetap menjaga ruh spiritualitasnya. Keteguhan iman dan ketaatan menjadi pondasi utama dalam setiap langkah. Santri dibentuk bukan hanya untuk menjadi cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara moral dan spiritual.
Dalam konteks ini, pesantren menjadi pusat pembinaan karakter bangsa. Para santri diajarkan untuk ikhlas, tawadhu’, sabar, dan berkhidmat kepada masyarakat. Nilai-nilai inilah yang membuat santri memiliki daya tahan luar biasa dalam menghadapi berbagai dinamika kehidupan.
Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Mujadilah ayat 11:
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”
Ayat ini menjadi motivasi bagi santri untuk terus belajar dan berkontribusi, menjadikan ilmu sebagai jalan ibadah dan kemaslahatan umat.
Penutup
Hari Santri adalah simbol keutuhan antara ilmu, iman, dan perjuangan. Santri Indonesia telah membuktikan perannya dari masa ke masa—mulai dari perjuangan fisik melawan penjajah, membangun pendidikan Islam, hingga menghadapi tantangan era digital dengan semangat moderasi beragama.
Dengan menjadikan Hari Santri sebagai momentum refleksi, diharapkan seluruh santri di Indonesia terus meneladani semangat ulama terdahulu: berilmu tinggi, berakhlak mulia, dan berjiwa nasionalis. Karena dari pesantrenlah lahir generasi penerang negeri—mereka yang menjaga iman sekaligus mencintai tanah air dengan sepenuh hati.
Writer: Ifa Ratnasari,S.Sos.I,S,E,M.Pd

ليست هناك تعليقات:
إرسال تعليق