Sabtu, 23 April 2011

HUKUM SYARA’ DAN PEMBAGIANYA


HUKUM SYARA’ DAN PEMBAGIANYA
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Ushul fiqih



DI SUSUN OLEH :
KELOMPOK 8


IFA RATNASARI                 BO4209039


Dosen Pembimbing

H. ACHMAD SUNARTO A.s

FAKULTAS DAKWAH
JURUSAN MENEJEMEN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA






BAB I
PENDAHULUAN
Hukum syara’ merupakan salah satu objek pembahasan ushul fiqh yang sangat penting, bahkan tujuan dari ushul fiqh itu sendiri adalah menyimpulkan hukum syara’ dari Al-Qur’an dan Hadits dengan berbagai metode yang bisa digunakan. Imam al-Ghazali mengatakan -kami kutip dari Abu Zahrah- mengetahui hukum syara’ merupakan inti dari ushul fiqh dan fiqh. Sasaran keduan ilmu memang mengetahui hukum syara’ dengan tinjauan yang berbeda.
Hukum syara’ mempunyai beberapa unsur lain yang berkaitan dengannya, seperti, hakim sebagai pembuat hukum, al-mahkum fih sebagai perbuatan yang dibebankan dan juga mahkum ‘alaihi sebagai pelaksana hukum. Namun dalam makalah ini kami hanya membahas tentang hukum syara’ saja yang meliputi hukum taklifi dan wadhi’.
Dalam pembahasan hukum taklifi pertama sekali kami menjelaskan hukum taklifi menurut ushuli kemudian baru menjelaskan hukum taklifi sebagai efek dari nash, misalnya, kami menjelasakan ijab dulu dan setelah itu baru menjelaskan wajib yang menjadi salah satu bagian dari ijab.
Sumber utama yang menjadi rujukan kami dalam membuat makalah ini adalah Ushul Fiqih karya Prof. Muhammad Abu Zahra dan Ushul Fiqh karya Drs. Miftahul Arifin , H. A. Wahhab Kholaf  disamping beberapa literature arab lainnya dan juga buku-buku yang berbahasa Indonesia. Alasan kami memilih kedua buku tersebut sebagai rujukan utama dalam makalah ini, karena kedua buku ini menggunakan bahasa yang lebih mudah untuk dipahami dan dalam membahas permasalahan langsung kepada intinya.
Pembahasan yang belum kami dapatkan dalam membahas hukum syara’ ini yang merupakan tugas yang harus dibahas yang. Kemudian ada beberapa hal yang tidak mendetail dalam makalah ini nanti akan kami jelaskan ketika membawakan makalah ini.
Dalam membahas tentang hukum wadh’i, kami menggabungkan langsung antara hukum wadh’i yang asli dan juga penambahan yang ditambahkan atau disempurnakan.



BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Hukum Syara’.
Pengertian Hukum  bisa ditinjau dari tiga aspek, yaitu: [1]
Hukum menurut bahasa yang berarti: mencegah dan memutuskan.
Hukum menurut istilah Ushuliyun, yaitu: Firman Allah swt (nash) yang berhubungan dengan perbuatan manusia baik yang bersifat tuntutan, pilihan ataupun kondisional.
Hukum menurut Fuqaha, yaitu: efek dari penerapan firman Allah (nash) yang menghasilkan mubah, wajib, sunat, haram dan makruh.
Yang dimaksud dengan Firman Allah pada dasarnya adalah Al-qur’an dan Sunnah, karena kedua sumber inilah yang menjadi sumber bagi dalil-dalil syar’i  yang lainnya.
Ada dua aspek penting yang harus dipahami dari pengertian hukum menurut Ushuli yaitu:
1. Tidak termasuk hukum Firman Allah yang tidak berhubungan dengan perbuatan manusia.
2. Firman Allah tentang zat dan sifatnya.
3. Firman Allah yang berhubungan dengan penciptaan makhluk-makhluk tidak berakal.
Firman Allah yang berhubungan dengan perbuatan manusia namun dalam Firman tersebut tidak mengandung tuntutan, pilihan, syarat, sebab dan penghalang.Menurut Ulama Ushul yang dimaksud dengan hukum adalah nash syara’ itu sendiri Menurut Ulama Ushul firman inilah yang dikatakan dengan hukum. Sedangkan menurut Fuqaha hukum disini adalah shalat itu wajib.
Dengan demikian, apa yang disebut hukum dalam pembahasan ini adalah teks ayat-ayat ahkam dan teks hadist ahkam dan dari sini jelaslah kita lihat bahwasanya fiqh bersifat praktis dan ushul fiqh bersifat teoritis.


Pembagian Hukum Syara’.
Hukum syar’i terbagi kepada dua:
Hukum Taklifi.
Hukum Taklifi adalah: Ketentuan-ketentuan Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukalaf baik perintah, larangan ataupun kebebasan untuk melakukan atau meninggalkan.
Hukum Wadh’i.
Hukum wadh’i adalah: Ketentuan-ketentuan ataupun kondisi yang membuat sesuatu menjadi sebab bagi hukum yang lain, syarat ataupun penghalang.
3.  Perbedaan antara Hukum taklifi dan wadhi’.
Hukum taklifi adalah hukum yang mengandung perintah, larangan atau pilihan antara keduanya bagi seorang mukallaf.
Sedangkan Hukum wadhi’ tidak mengandung ketiga unsur yang ada dalam hukum taklifi. Hukum wadh’i hanya penjelasan hubungan suatu peristiwa dengan hukum taklifi baik berupa sebab, syarat ataupun mani’ sehingga mukallaf mengetahui kapan ditetapkannya hukum syara’ dan kapan pula berakhirnya
Misalnya, hukum taklifi menjelaskan bahwa shalat wajib dilaksanakan umat Islam, dan hukum wadh’i menjelaskan bahwa waktu matahari tergelincir di tengah hari menjadi sebab bagi wajibnya seorang mukallaf menunaikan shalat zuhur.
Perbuatan dalam hukum taklifi adalah perbuatan yang mampu untuk dilaksanakan atau ditinggalkan, dengan kata lain perbuatan dalam hukum taklifi selalu berada dalam batas kemampuan seorang mukallaf, karena tujuan dari taklif adalah terlaksananya perbuatan tersebut. Dan dalam hal ini berlaku kaidah: لا تكليف إلا بمقدور
Hukum wadh’i baik sebab, syarat, dan mani’ yang berada dalam kemampuan manusia. Misalnya, mencuri sebab dipotongnya tangan. Saksi syarat sahnya nikah. Membunuh penghalang mendapatkan warisan.
Hukum wadh’i yang di luar kemampuan manusia dan bukan merupakan aktivitas manusia. Misalnya, tergelincir matahari sebab wajibnya shalat, baligh syarat untuk bisa mengelola harta, gila pengahalang atas pembebanan syariat.
4. Pembagian Hukum Taklifi.
A.    Pembagian hukum taklifi menurut Jumhur:
1. Ijab              2. Tahrim               3. Nadb           4. Karahah       5. Ibahah.
B.     Pembagian hukum taklifi menurut Hanafiyah:[2]
1. Fardhu                     2. Wajib                3. Mandub                   4.Haram         
5. Makruh Tahrim       6. Makruh Tanzih              7. Mubah.        8. Sunnah Hadiyah
1.  WAJIB ;
Wajib ( الواجب ) secara bahasa : ( الساقط واللازم ) "yang jatuh dan harus".
 Dan secara istilah :"Apa-apa yang diperintahkan oleh pembuat syari'at dengan bentuk keharusan", seperti sholat lima waktu.
Jika dilakukan mendapatkan pahala (ikhlas), dan jka meninggalkanmendapatkan adzab.
Wajib secara bahasa berarti jatuh atau roboh, sebagaimana firman Allah swt :
وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُم مِّن شَعَائِرِ اللَّهِ لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ فَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهَا صَوَافَّ فَإِذَا وَجَبَتْ جُنُوبُهَا فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ كَذَلِكَ سَخَّرْنَاهَا لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“ Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi’ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. “
 ( QS Al Hajj : 36 )
Tata cara menyembelih unta yang benar menurut para ulama adalah dengan mengikat  tangan  kiri ( kaki kiri depan ) unta dan disembelih dari sebelah kanan, sehingga secara otomatis dia akan jatuh disebelah kiri atau dalam istilah Al Qur’an disebut ( wajabat junubuha )
Wajib juga berarti keharusan, sebagaimana sabda Rosulullah saw :  ÛÓá ÇáÌÜÜãÚÉ æÇÌÜÈ
“ Mandi pada hari jum’at itu adalah suatu keharusan . “ ( HR Bukhari , no : 879 , Muslim, no : 1925 )
Adapun pengertian “ Wajib “ secara syar’I adalah : Sesuatu yang diperintahkan oleh syara’ secara tegas. “  Atau : “ Sesuatu yang apabila dikerjakan   akan mendapatkan pahala, dan jika ditinggalkan akan  mendapatkan sangsi, contohnya adalah firman Allah swt :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa “ ( QS Al Baqarah : 183 )
Mayoritas ulama memandang bahwa  pengertian “ wajib “ sama dengan pengertian “ fardhu “. Sedang menurut ulama Madzhab Hanafi  “ Wajib “ adalah sesuatu yang diketahui dengan praduga.
Sedang Fardhu secara bahasa adalah  ketentuan, sebagaimana firman Allah swt :
فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ
“  Bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu. “ ( QS Al Baqarah : 237 )
سُورَةٌ أَنزَلْنَاهَا وَفَرَضْنَاهَا
“ Ini adalah) satu surat yang Kami turunkan dan Kami wajibkan (menjalankan hukum-hukum yang ada di dalam)nya. “ ( QS. An Nur : 1)
Kedua ayat di atas menunjukkan bahwa Fardhu bersifat  tegas dan ketat, sekaligus mengandung ketentuan yang sangat jelas. Itu semua agar  ketentuan-ketentuan tersebut  bisa  dilaksanakan dengan disiplin  dan mudah. 
Adapun arti Fardhu secara syar’I  adalah “ Ketentuan-ketentuan yang telah  ditetapkan oleh syara’  secara jelas dan tegas, serta pasti.  Ketentuan –ketentuan tersebut  tidak boleh dikurangi maupun ditambah.  Hal itu, karena dalil- dalil yang menjadi sandarannya adalah dalil yang kuat dan tidak diragukan  lagi, seperti kewajiban sholat, zakat, haji dan lain-lainnya.
Sedangkan “ Wajib “ adalah : “ Ketentuan-ketentuan yang telah  ditetapkan oleh syara’  secara tidak tegas , dikarenakan dalil-dalil yang menjadi sandarannya, tidak terlalu kuat.  Oleh karenanya orang yang mengingkari kewajiban, karena tidak menyakininya, dia tidak dikatagorikan sebagai oang yang kafir. Berbeda dengan Fardhu, orang yang mengingkarinya dikatagorikan kafir dan keluar dari Islam.
Secara ringkas Fardhu dan Wajib, mempunyai beberapa perbedaan, diantaranya :
Fardhu dan Wajib sama-sama menunjukkan suatu keharusan, akan tetapi keharusan yang terdapat di dalam Fardhu lebih kuat dari apa yang dikandung di dalam “ wajib “ .
Fardhu berlandaskan dalil-dalil yang kuat dan pasti, sedang Wajib berlandaskan dalil-dalil yang masih mempunyai kelemahan dari beberapa sisi.
Orang yang mengingkari fardhu, tergolong orang yang murtad dan kafir. Berbeda dengan orang yang mengingkari “ Wajib “ , dia tidak dihukumi murtad, tetapi dikatakan sesat. Dan Jika dia mengingkari “ wajib ‘ karena menganggapnya tidak termasuk yang wajib dengan  alasan-alasan tertentu, dia tidak dikatagorikan sesat.
v  Masalah Yang Berhubungan Dengan Wajib Dan Fardhu
1.                             1.  Membaca surat Al Fatihah di dalam sholat.
Mayoritas Ulama memandang bahwa membaca surat Al Fatihah di dalam sholat hukumnya wajib yang berarti fardhu, jika ditinggalkan,  maka sholatnya dinyatakan tidak syah, karena dia termasuk rukun sholat.
Namun bagi ulama mazdhab Hanafi membaca surat Al Fatihah di dalam sholat  hukumnya wajib, yang berarti bukan fardhu.  Mereka beralasan bahwa Al Qur’an yang merupakan dalil qath’I  tidak menyebutkan keharusan membaca surat Al Fatihah, Allah berfirman :
فَاقْرَؤُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ
“ karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran. “ ( QS Al Muzammil : 20 )
Ayat di atas menyatakan bahwa yang fardhu adalah membaca Al Qur’an , baik itu membaca surat Al Fatihah maupun membaca ayat-ayat lain di dalam Al Qur’an. Oleh karenanya, jika seseorang tidak bisa atau belum bisa membaca Al Fatihah, dibolehkan baginya untuk membaca tiga ayat .
Sedang hadist yang menyebutkan tentang kewajiban membaca Al Fatihah di dalam sholat tidak sampai pada derajat mutawatir, sehingga tidak kuat jika dihadapkan pada ayat di atas. Hadits tersebut adalah sabda Rosulullah saw :  لا صلاة لمن لا يقرأ بفاتحة الكتاب
“ Tidak ( syah ) sholatnya bagi siapa yang tidak membaca Al Fatihah “ ( HR Bukhari , Muslim ) 
PEMBAGIAN WAJIB
Wajib bisa diklasifikasikan menjadi  tiga  bagian    :
Bagian  Pertama ; adalah  Kewajiban Ditinjau Dari Obyek Tuntutannya.
Kewajiban  ditinjau dari obyek tuntutannya , dibagi menjadi  dua :  
a.  Wajib Mu’ayyan ( wajib yang telah ditetapkan ) : yaitu kewajiban untuk mengerjakan hal-hal yang tertentu dan tidak ada pilihan di dalamnya, seperti  halnya kewajiban membayar zakat, kewajiban menegakkan solat , kewajiban berpuasa pada bulan Ramadhan.
b. Wajib Mukhayyar ( wajib yang boleh dipilih ) : adalah kewajiban yang  mana seorang mulakkaf dibolehkan  memilih satu dari kewajiban –kewajiban yang ada, seperti : kewajiban seseorang membayar kaffarah , jika melanggar sumpah. Allah berfirman :
لاَ يُؤَاخِذُكُمُ اللّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَـكِن يُؤَاخِذُكُم بِمَا عَقَّدتُّمُ الأَيْمَانَ فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ ذَلِكَ كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ وَاحْفَظُواْ أَيْمَانَكُمْ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُون
«   Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya) ( QS Al Maidah : 89 ) .
Dalam ayat di atas, Allah memberikan pilihan bagi seseorang yang melanggar sumpah untuk membayar salah satu dari tiga bentuk kaffarah :  yaitu :
1.  memberi makan sepuluh orang miskin dari jenis  makanan yang biasa diberikan kepada keluarganya.
2.  memberi pakaian kepada mereka.
3. memerdekakan seorang budak.
     Jika seorang mukallaf mengerjakan salah satu dari tiga pilihan di atas, bisa dikatakan bahwa dia telah mengerjakan kewajiban.
Contoh kedua adalah firman Allah :
إِذَا أَثْخَنتُمُوهُمْ فَشُدُّوا الْوَثَاقَ فَإِمَّا مَنًّا بَعْدُ وَإِمَّا فِدَاء حَتَّى تَضَعَ الْحَرْبُ أَوْزَارَهَا
 “ Sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang berakhir “ .(QS Muhammad : 4 )
     Dalam ayat di atas, Allah mewajibkan bagi pemimpin kaum muslimin, jika telah menawan musuh-musuh Islam di dalam peperangan untuk mengerjakan salah satu dari dua pilihan, yaitu : melepaskan tawanan tersebut tanpa imbalan, atau melepaskannya dengan mengambil tebusan dari musuh.
Bagian Kedua : Kewajiban Ditinjau Dari Waktu Pelaksanan.
Kewajiban  jika ditinjau dari waktu pelaksanaannya dibagi menjadi tiga :
a.  Wajib Mutlaq : yaitu kewajiban yang ditetapkan oleh syara’ tanpa membatasi waktu pelaksanaannya . Seperti : orang yang bernazar untuk puasa tiga hari, maka dia bebas menentukan kapan puasa tersebut mau dilaksanakan.
Hal ini beradasarkan kaedah ushuliyah yang mengatakan bahwa :
الأصل في الأمر لا يقتضي الفور
“ Pada dasanya suatu perintah itu tidak harus dilaksanakan secepatnya “
Kaedah ini dipegang oleh ulama madzhab Hanafi. Sedangkan ulama  madzhab Syafi’I dan Abu Hasan Al Karkhi dari madzhab Hanafi mengatakan bahwa :
الأصل في الأمر يقتضي الفور
 “ Pada dasarnya suatu perintah itu menuntut untuk  dilaksanakan secepatnya “
b. Wajib Muqayyad : yaitu kewajiban yang ditetapkan oleh syara’ dan dibatasi waktu pelaksanaannya.  Wajib Muqayyad ini dibagi menjadi tiga macam :
1/ Wajib Mudhoyaq : “ Yaitu kewajiban yang ditetapkan oleh syara’ batasan waktunya, tidak boleh lebih dan tidak boleh kurang, seperti kewajiban puasa pada bulan Ramadhan, kewajiban wukuf di Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah, dan lain-lainnya.
2/Wajib Muwassa’ : yaitu kewajiban yang ditetapkan syareah batasan waktunya  secara lebih luas, seperti waktu sholat Isya, yang dimulai dari hilangnya awan merah hingga datang waktu subuh.
3/ Wajib yang  pelaksanaannya melebihi waktu yang tersedia, seperti orang yang baligh, atau wanita yang bersih dari haidh , atau orang gila yang sembuh, atau orang yang sadar dari pingsan, yang kesemuanya terjadi  beberapa menit sebelum adzan maghrib.  Mereka itu wajib melaksanakan kewajiban sholat ashar, walaupun waktunya tidak mencukupi untuk mengerjakan sholat  ashar  secara sempurna yaitu empat rekaat.  
3. Bagian ke tiga: kewajiba dari segi pelaku perbuatan hukum (Mukallaf)
a.       Wajib ‘ain yaitu: Kewajiban yang berhubungan dengan pribadi perorangan.
b.      Wajib kifai,yaitu: Kewajiban yang berhubungan dengan orang banyak.
2. Mandub ( المندوب )
secara bahasa : ( المدعو ) "yang diseru".
Dan secara istilah :
"apa-apa yang diperintahkan oleh pembuat syari'at tidak dalam bentuk keharusan", seperti sholat rowatib.
jika dilakukan mendapatkan pahala (ikhlas), dan jika meninggalkan tidak
mendapatkan adzab
                  .pembagian mandub mandub / nadb / sunnah muakkadah sunnah sangat dianjurkan, dibiasakan oleh rasul saw dan jarang ditinggalkannya. misal: shalat sunnah 2 rakaat sebelum fajar. ghair muakkadah sunnah biasa, sesuatu yg dilakukan rasul, namun bukan menjadi kebiasaannya. (shalat sunnah 2x dua rakaat sebelum shalat zuhur). zaw ā id sunnah mengikuti kebiasaan sehari-hari rasulullah saw sebagai manusia. misal: cara makan rasul, tidur, dll.
3. Haram ( المحرم ) 
secara bahasa : ( الممنوع ) "yang dilarang".
Secara istilah :
"Apa-apa yang dilarang oleh pembuat syari'at dalam bentuk keharusan untuk ditinggalkan", seperti durhaka kepada orang tua.
jika ditinggalkan mendapatkan pahala (ikhlas), dan jika melakukan mendapatkan adzab.
pembagian haram: haram al-muharram li dzatihi diharamkan krn esensinya mengandung kemudharatan bagi kehidupan manusia. misal: larangan zina, makan bangkai, darah, babi. al-muharram li ghairihi dilarang bukan krn esensinya, tapi pada kondisi tertentu dilarang karena  ada pertimbangan eksternal. misal: larangan jual beli saat azan jumat.
4. Makruh ( المكروه )
secara bahasa : ( المبغض ) "yang dimurkai".
Secara istilah :
"Apa-apa yang dilarang oleh pembuat syari'at tidak dalam bentuk keharusan untuk ditinggalkan", seperti mengambil sesuatu dengan tangan
kiri dan memberi dengan tangan kiri.
jika ditinggalkan mendapatkan pahala (ikhlas), dan jika melakukan tidak mendapatkan adzab.
pembagian makruh makruh makruh tahrim dilarang oleh syari’at, tapi dalilnya bersifat dhanni al-wurud (dugaan keras, seperti hadis ahad yg diriwayatkan perorangan). misal: larangan meminang wanita yg sedang dalam pinangan orang lain. makruh tanzih dianjurkan oleh syariat untuk meninggalkannya. misal: memakan daging kuda pada waktu sangat butuh di waktu perang, menurut sebagian hanafiah.
5. Mubah ( المباح )
secara bahasa : ( المعلن والمأذون فيه ) "yang diumumkan dan diizinkan
dengannya".
Secara istilah :"Apa-apa yang tidak berhubungan dengan perintah dan larangan secara asalnya". Seperti makan pada malam
hari di bulan Romadhon.
Jika dilakukan dan ditinggalkan tidak mendapatkan ganjaran dan tidak pula adzab.
Pembagian MUBAH
                                                                  Abu Ishaq al-Syatibi dalam kitab Muwafaqat membagi mubah
menjadi 3 macam:
1. Mubah yg berfungsi untuk mengantarkan seseorang kepada sesuatu hal yg wajib dilakukan. Misal: makan dan minum adalah sesuatu yg mubah, namun berfungsi untuk menggerakkan seseorang mengerjakan kewajiban shalat dsb.
2. Sesuatu dianggap mubah hukumnya jika dilakukan sekali-sekali, tetapi haram hukumnya jika dilakukan setiap waktu. Misal: bermain dan mendengar musik, jika menghabiskan waktu hanya untuk bermain dan bermusik maka menjadi haram.
3. Sesuatu yg mubah yg berfungsi sebagai sarana mencapai sesuatu yg mubah pula. Misal: membeli perabot rumah untuk kepentingan kesenangan.
6. TAHRIM
Pengertian Tahrim adalah tuntutan untuk meninggalkan perbuatan dengan tuntutan yang tegas.
Efek dari tuntutan tersebut disebut hurmah dan perbuatan yang dituntut untuk ditinggalkan disebut haram atau mahzhur.
Perbedaan antara Tahrim dan Karahah tahrim menurut Hanafiyah.
Tahrim: larangan yang tegas berdasarkan dalil qath’i, misalnya larangan shalat ketika mabuk
Karahah tahrim: Larangan yang tegas berdasarkan dalil dhanni. Misalnya, larangan memakai sutera dan cincin emas bagi laki-laki:


7. KARAHAH
Pengertian Karahah: Larangan untuk meninggalkan perbuatan dengan larangan yang tidak tegas.
Efek dari Larangan tersebut disebut karahah dan perbuatan yang dituntut untuk ditinggalkan disebut dengan makruh. Karahah ini menurut ulama hanafiyah disebut dengan Karahan tanzih.
8. IBAHAH.
Pengertian Ibahah: Firman Allah yang mengandung pilihan bagi mukallaf untuk mengerjakan atau meninggalkannya.
Efek dari Khitab tersebut disebut Ibahah, dan perbuatan yang mengandung pilihan tersebut disebut dengan mubah, jaiz atau halal.
5. Pembagian Hukum Wadh’i.
Berdasarkan pengertian hukum wadh’i yang telah dijelaskan diatas maka hukum wadh’i itu pada dasarnya adalah sebab, syarat dan mani’. Akan tetapi Al-Amidi, al-Ghazali, asy-Syatibi dan Khudhari Baik  menambahkan shahih, fasid, ‘azimah dan rukhsah.
1. Sebab.
Pengertian Sebab. Sebab menurut bahasa: sesuatu yang bisa menyampaikan kepada sesuatu yang lain. Dan menurut istilah adalah: sesuatu yang dijadikan oleh syari’at sebagai tanda adanya hukum dimana adanya sebab adanya hukum dan tidak adanya sebab tidak adanya hukum.
Pembagian Sebab.
Sebab yang merupakan bukan perbuatan mukallaf dan berada diluar kemampuan manusia. Namun demikian, sebab itu mempunyai hubungan dengan hukum taklifi karena syariat telah menjadikannya sebagai alasan bagi adanya suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh mukallaf. Misalnya, masuknya bulan Ramadhan menjadi sebab untuk berpuasa ramadhan.
Sebab yang merupakan perbuatan mukallaf dan berada dalam batas kemampuan mukallaf. Misalnya, safar merupakan sebab bolehnya berbuka puasa.
Jumhur Ushuli tidak membedakan antara sebab yang bisa ditelusuri oleh akal (logis) dan sebab yang tidak bias ditelusuri oleh akal. Sedangkan sebagian ulama ushul yang lain membedakannya dan menyatakan bahwasanya sebab adalah sesuatu yang tidak bisa ditelusuri oleh akal, seperti tergelincirnya matahari sebab wajibnya shalat dhuhur. Sedangkan yang bisa ditelusuri oleh akal disebut dengan ‘illat, seperti mabuk sebab tidak bolehnya shalat.
Pembagian Sebab menurut Hanafiyah.
Sebab waktu, yaitu: waktu menyebabkan adanya hukum. Misalnya, waktu shalat.
Sebab ma’nawi, yaitu: suatu perkara yang menyebabkan adanya hukum. Misalnya, nisab sebab wajibnya zakat.
2. Syarat.
Pengertian Syarat  Syarat menurut bahasa adalah tanda-tanda yang mesti ada, sedangkan menurut istilah syarat adalah sesuatu yang membuat tidak adanya hukum tanpa adanya syarat dan tidak semestinya hukum itu ada ataupun tidak dengan adanya syarat  dan syarat ini berada diluar dari hakikat perbuatan yang tergantung kepadanya.
. Perbedaan antara syarat dan rukun.
Syarat dan rukun sama-sama menjadi penentu terpenuhinya suatu perbuatan dengan sempurna. Namun keduanya berbeda dari segi:
Rukun merupakan bagian dan hakikat perbuatan sedangkan syarat berada di luar perbuatan tersebut.Misalnya, ruku’ adalah rukun shalat dan merupakan bagian dari dari shalat. Sedangkan wudhu syarat bagi shalat dan bukan merupakan bagian dari shalat.
Syarat harus ada dari awal hingga akhir perbuatan dan rukun berpindah-pindah dari satu ke yang lainnya.
.Pembagian syarat.
Syarat dari segi hubungan dengan hukum.
Syarat yang merealisasikan hukum taklifi, misalnya, terpenuhinya haul merupakan syarat wajibnya zakat.
Syarat yang merealisasikan hukum wadh’i. misalnya, muhsan merupakan syarat dirajamnya orang yang berzina.
Syarat dari segi sumbernya.
Syarat Syar’i yaitu syarat yang datang sendiri dari syari’at, seperti, dewasa merupakan syarat wajib untuk menyerahkan harta kepada anak yatim dan ini telah diatur oleh syari’at dalam surat an-nisa’ ayat 6.
Syarat Ja’li yaitu syarat yang datang dari kemauan mukallaf sendiri, seperti, syarat yang dibuat oleh pihak tertentu dalam akad tertentu.
3. Mani’.
Pengertian Mani’.Mani’ menurut bahasa adalah penghalang dari sesuatu. Dan menurut istilah mani’ adalah sesuatu yang ditetapkan oleh syari’at sebagai penghalang bagi adanya hukum atau penghalang bagi berfungsinya suatu sebab.
Pembagian Mani’
Mani’ terhadap hukum. Yaitu sesuatu yang ditetapkan oleh syari’at yang menjadi penghalang bagi hukum. Seperti, haid bagi wanita yang menjadi mani’ untuk melaksanakan shalat.
Mani’ terhadap sebab. Yaitu suatu penghalang yang ditetapkan oleh syari’at yang menjadi penghalang berfungsinya sebab. Seperti, berhutang menjadi penghalang wajibnya zakat pada harta yang dimiliki.
4. Sah, Rusak dan Batal.
Pengertian sah menurut syara’ adalah perbuatan yang dilakukan mempunyai akibat hukum. Dan perbuatan dianggap sah jika memenuhi syarat dan rukun. Adapun batal adalah perbuatan yang dilakukan oleh mukallaf tidak mempunyai akibat hukum. Jumhur ulama tidak membedakan antara batal dan rusak (fasid). Misalnya, shalat dikatakan batal adalah sama dengan dikataka fasid, yaitu tidak bisa menggugurkan kewajiban. Jumhur ulama hanya membagi amal perbuatan kepada dua hal saja yaitu sah dan batal.
Aliran Hanafiyah membagi perbuatan mukallaf kedalam dua bagian:
Amal perbuatan yang berhubungan dengan ibadat, adakalanya sah dan adakalanya batal. Tujuan yang hendak dicapai disini semata-mata ta’abud.
Amal perbuatan yang berhubungan dengan muamalah mereka membaginya kedalam tiga bagian yaitu sah, rusak dan batal. Dan tujuan yang hendak dicapai disini adalah menciptakan kemaslahatan.
5. Rukhsah dan Azimah.
Pengertian rukhsah dan azimah. Rukhsah adalah suatu hukum yang dikerjakan lantaran ada suatu sebab yang memperbolehkan untuk meinggalkan hukum yang asli. Sedangkan ‘Azimah adalah hukum yang mula-mula harus dikerjakan lantaran tidak ada sesuatu yang menghalang-halanginya. Abu Zahrah memasukkan rukhsah dan ‘azimah dalam rangkaian hukum taklifi, dengan alasan bahwasanya salah satu dari konsekuensi hukum taklifi adalah berpindah dari hukum yang haram kepada hukum mubah, atau dari hukum wajib kepada jaiz pada waktu-waktu tertentu. Dan masalah yang dibahas dalam rukhsah dan ‘azimah ini adalah perpindahan dari satu hukum taklifi ke yang lain.
Macam-macam Rukhsah.
Rukhsah itu ada beberapa macam antara lain:
Membolehkan hal-hal yang diharamkan disebabkan karena darurat. Misalnya, diperbolehkan makan bangkai bagi orang yang terpaksa.
Membolehkan meninggalkan sesuatu yang wajib karena ada uzur. Misalnya, boleh tidak berpuasa di bulan ramadhan karena sakit atau berpergian.
Memberikan pengecualian-pengecualian dalam transaksi dagang karena dibutuhkan dalam lalu lintas perdagangan. Misalnya, Transaksi salam.





BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Pengertian Hukum  bisa ditinjau dari tiga aspek, yaitu: [3]
.Hukum menurut bahasa yang berarti: mencegah dan memutuskan.
Hukum menurut istilah Ushuliyun, yaitu: Firman Allah swt (nash) yang berhubungan dengan perbuatan manusia baik yang bersifat tuntutan, pilihan ataupun kondisional.
Hukum menurut Fuqaha, yaitu: efek dari penerapan firman Allah (nash) yang menghasilkan mubah, wajib, sunat, haram dan makruh.
Pembagian Hukum Syara’.
Hukum syar’i terbagi kepada dua: Hukum Taklifi dan Hukum Wadhi.
Pembagian Hukum Taklifi.
Pembagian hukum taklifi menurut Jumhur:
1. Ijab              2. Tahrim               3. Nadb           4. Karahah       5. Ibahah.
Pembagian hukum taklifi menurut Hanafiyah:[4]
1. Fardhu                     2. Wajib                3. Mandub                   4.Haram         
5. Makruh Tahrim       6. Makruh Tanzih              7. Mubah.        8. Sunnah Hadiyah
Pembagian Hukum Wadh’i.
Berdasarkan pengertian hukum wadh’i yang telah dijelaskan diatas maka hukum wadh’i itu pada dasarnya adalah sebab, syarat dan mani’. Akan tetapi Al-Amidi, al-Ghazali, asy-Syatibi dan Khudhari Baik  menambahkan shahih, fasid, ‘azimah dan rukhsah.



Pembagian Hukum WADH’I
SEBAB. Secara bahasa berarti sesuatu yg bisa menyampaikan seseorang kepada sesuatu yg lain. Secara istilah, sebab yaitu sesuatu yg dijadikan oleh syariat sebagai tanda bagi adanya hukum, dan tidak adanya sebab sebagai tanda bagi tidak adanya hukum.
SYARAT. Secara bahasa berarti sesuatu yang menghendaki adanya sesuatu yg lain, atau sebagai tanda. Secara istilah, syarat yaitu sesuatu yg tergantung kepadanya ada sesuatu yg lain, dan berada di luar hakikat sesuatu itu.
M Ā NI’. Secara bahasa berarti penghalang dari sesuatu. Secara istilah, maksudnya adalah sesuatu yg ditetapkan syariat sebagai penghalang bagi adanya hukum, atau penghalang bagi berfungsinya suatu sebab
















DAFTAR PUSTAKA

Abu Zahra, Muhammad, Ushul Fiqih, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008.
A. Hanafie, Ushul Fiqh, Jakarta: Widjaya, 1998.
Arifin, Miftakhul, Kholaf,  H. A. Wahab, Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia, 1997.
Ash Shiddeqy, Pengantar Hukum Islam2, Jakarta: Bulan Bintang, 1981.
Rosyda, Dede, Hukum Islam dan Pranata Sosial, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994.
















           
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................. 1
DAFTAR ISI  ......................................................................................................................2
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG ................................................................................... 3
BAB II
PMBAHASAN...........................................................................................................
Apa Pengertian Hukum Menurut Syara’?...............................................................4
Ada berapa pembagian hukum syara’?....................................................................5
Apa perbedaan hukum taklifi dan hukum wadhi ?..................................................6
Bagaiman Pembagian Hukum taklifi?.....................................................................6
Bagaiman pembagian Hukum wadhi? ..................................................................15
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN ....................................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA




[1] Abu Zahr Muhammad, Ushul Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008) hlm.26-27
[2] Ash Shiddiqiy Hasbi, Pengantar Hukum Islam 2, cet.6 (Jakarta: Bulan Bintang, 1981) hlm.125
[3] Abu Zahr Muhammad, Ushul Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008) hlm.26-27
[4] Ash Shiddiqiy Hasbi, Pengantar Hukum Islam 2, cet.6 (Jakarta: Bulan Bintang, 1981) hlm.125


Tidak ada komentar:

Posting Komentar