Menikah dengan Ahlu Kitab
oleh : Syaikh Hasan Khalid
oleh : Syaikh Hasan Khalid
Islam telah membolehkan laki-laki Muslim menikah dengan wanita Ahli Kitab yang menjaga kesucian dan kehormatan bukan dengan cara berzina namun dengan seizing orang tua atau walinya atau dalam arti lain dengan cara yang syar’i.
Islam tetap memberikan kebebasan wanita Ahli Kitab, baik Yahudi atau Nashrani dalam beraqidah dan beribadah, dalam hak-hak rumah tangga serta harkat dan martabat sebagai m manusia tetap terpelihara dengan baik, maka ia mendapat hak-hak sebagai istri seperti yang didapat oleh wanita Muslimah.
Demikian itu tidak berlebihan karena orang Islam beriman bahwa wanita Yahudi memiliki agama dan kitab samawi yaitu Taurat yang diturunkan kepada nabi Musa a.s, meskipun telah terdapat penyimpangan dan penyelewengan yang dilakukan oleh Bani Israil. Begitu juga wanita Nashrani memiliki agama dan kitab samawi yaitu Injil yang diturunkan kepada nabi Isa s.a meskipun telah terdapat penyimpangan dan penyelewengan yang jauh dari kemurnian dan tidak sesuai dengan petunjuk dan cahaya yang dibawa oleh para rasul dan para nabi.
Wanita Ahli Kitab baik Yahudi dan Nashrani bila menikah dengan orang Islam maka ia hidup dalam rumah tangga yang terhormat dan mulia serta berhak untuk meraih kebahagiaan dan ketenangan serta terlindungi hak-haknya secara utuh. Sehingga ia mampu berinteraksi dengan penuh kejujuran dan ketulusan dengan sekitarnya. Dan itulah yang menjadi faktor dan hikmah dibolehkannya seorang Muslim menikah dengan wanita Ahli Kitab, agar sang wanita dapat meraih kebahagian apalagi ia telah beriman kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala, para malaikat, kitab samawi, hari akhir, hisab, siksaan, surga dan neraka. Bila keyakinan tersebut sudah ada pada seseorang maka sangat mudah untuk diarahkan kepada aqidah yang lebih sempurna dan lebih mudah untuk menutup kekurangan sehingga pada akhirnya memudahkan untuk membawanya kepada agama dan jalan yang lurus.
Jadi seorang Muslim yang ingin menikah dengan Ahli Kitab selayaknya harus berangkat dari keyakinan bahwa ia mampu mengendalikan sang istri dan memiliki latar belakang aqidah yang kuat. Begitu pula sang istri memiliki tabi’at yang hanif dan tingkah laku yang bagus serta tidak dikhawatirkan menyimpang, berkhianat dan menipu. Bahkan ada harapan untuk bisa diarahkan untuk bisa diarahkan kepada jalan yang benar, meraih hidayah dan kembali kepada kebaikan sehingga ia mau menerima kebenaran Islam dengan penuh kesadaran tanpa paksaan dan tekanan karena faham akan kebaikan Islam. Sebab agama islam pada dasarnya melestarikan inti ajaran murni Yahudi dan Nashrani yang telah Allah Subhaanahu wa Ta’ala turunkan kepada mereka bahkan bisa dikatakan bahwa Islam merupakan kelanjutan dari misi agama samawi dan agama pembaharu serta pelurus bagi agama-agama sebelumnya.
Berbeda dengan wanita Muslimah yang hidup bersama dengan orang kafir baik Ahli Kitab atau musyrik. Keduanya tidak mengakui Islam sebagai agama dan aqidah serta syari’at, tidak mengakui Muhammad sebagai nabi dan rasul, tidak mengakui al-Qur’an sebagai kitab samawi yang memuat undang-undang dan mereka juga tidak memandang dengan hormat kepada Islam walaupun banyak di antara mereka tertarik dan masuk Islam dengan penuh kedengkian dan pengingkaran dan terkadang dibarengi hujatan dan penghinaan, sehingga bila sang suami kafir timbul kebencian kepada istrinya yang Muslim maka sang istri hidup sangat tersikasa dan terhina serta terpukul perasaannya sehingga lambat laun kerikil tersebut akan membuahkan ledakan dahsyat yang merusak hubungan rumah tangga dan kehidupan keluarga menjadi berantakan dan amburadul serta tidak terkendali.
Padahal asas pernikahan dibangun di atas prinsip langgeng dan abadi yang selalu berada dalam kasih saying, saling menyintai, saling tolong-menolong, dan saling memahami serta penuh kesetiaan yang itu semua merupakan asas utama utuhnya rumah tangga dan kelangsungan sebuah pernikahan. Karena tidaklah mungkin rumah tangga akan bertahan bila di dalamnya ada benih permusuhan, kebencian, dan perselisihan dalam agama dan hal-hal yang prinsipil dalam pengendalian rumah tangga dan hubungan. Maka mustahil mereka bisa hidup satu atap dan saling memahami keadaan dan tabiat masing-masing kecuali bila si wabita telah melepas semua dasar-dasar agamanya dan symbol-simbol ajarannya.
Demi tujuan di atas dan untuk memelihara keutuhan masyarakat islami agar tetap tegak di atas pondasi yang kokoh dan pilar agama yang kuat maka Islam mengharamkan wanita Muslimah menikah dengan laki-laki non Muslim sementara Islam juga melarang laki-laki Muslim menikah dengan wanita musyrik atau wanita kafir selain Ahli Kitab.
Islam tetap memberikan kebebasan wanita Ahli Kitab, baik Yahudi atau Nashrani dalam beraqidah dan beribadah, dalam hak-hak rumah tangga serta harkat dan martabat sebagai m manusia tetap terpelihara dengan baik, maka ia mendapat hak-hak sebagai istri seperti yang didapat oleh wanita Muslimah.
Demikian itu tidak berlebihan karena orang Islam beriman bahwa wanita Yahudi memiliki agama dan kitab samawi yaitu Taurat yang diturunkan kepada nabi Musa a.s, meskipun telah terdapat penyimpangan dan penyelewengan yang dilakukan oleh Bani Israil. Begitu juga wanita Nashrani memiliki agama dan kitab samawi yaitu Injil yang diturunkan kepada nabi Isa s.a meskipun telah terdapat penyimpangan dan penyelewengan yang jauh dari kemurnian dan tidak sesuai dengan petunjuk dan cahaya yang dibawa oleh para rasul dan para nabi.
Wanita Ahli Kitab baik Yahudi dan Nashrani bila menikah dengan orang Islam maka ia hidup dalam rumah tangga yang terhormat dan mulia serta berhak untuk meraih kebahagiaan dan ketenangan serta terlindungi hak-haknya secara utuh. Sehingga ia mampu berinteraksi dengan penuh kejujuran dan ketulusan dengan sekitarnya. Dan itulah yang menjadi faktor dan hikmah dibolehkannya seorang Muslim menikah dengan wanita Ahli Kitab, agar sang wanita dapat meraih kebahagian apalagi ia telah beriman kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala, para malaikat, kitab samawi, hari akhir, hisab, siksaan, surga dan neraka. Bila keyakinan tersebut sudah ada pada seseorang maka sangat mudah untuk diarahkan kepada aqidah yang lebih sempurna dan lebih mudah untuk menutup kekurangan sehingga pada akhirnya memudahkan untuk membawanya kepada agama dan jalan yang lurus.
Jadi seorang Muslim yang ingin menikah dengan Ahli Kitab selayaknya harus berangkat dari keyakinan bahwa ia mampu mengendalikan sang istri dan memiliki latar belakang aqidah yang kuat. Begitu pula sang istri memiliki tabi’at yang hanif dan tingkah laku yang bagus serta tidak dikhawatirkan menyimpang, berkhianat dan menipu. Bahkan ada harapan untuk bisa diarahkan untuk bisa diarahkan kepada jalan yang benar, meraih hidayah dan kembali kepada kebaikan sehingga ia mau menerima kebenaran Islam dengan penuh kesadaran tanpa paksaan dan tekanan karena faham akan kebaikan Islam. Sebab agama islam pada dasarnya melestarikan inti ajaran murni Yahudi dan Nashrani yang telah Allah Subhaanahu wa Ta’ala turunkan kepada mereka bahkan bisa dikatakan bahwa Islam merupakan kelanjutan dari misi agama samawi dan agama pembaharu serta pelurus bagi agama-agama sebelumnya.
Berbeda dengan wanita Muslimah yang hidup bersama dengan orang kafir baik Ahli Kitab atau musyrik. Keduanya tidak mengakui Islam sebagai agama dan aqidah serta syari’at, tidak mengakui Muhammad sebagai nabi dan rasul, tidak mengakui al-Qur’an sebagai kitab samawi yang memuat undang-undang dan mereka juga tidak memandang dengan hormat kepada Islam walaupun banyak di antara mereka tertarik dan masuk Islam dengan penuh kedengkian dan pengingkaran dan terkadang dibarengi hujatan dan penghinaan, sehingga bila sang suami kafir timbul kebencian kepada istrinya yang Muslim maka sang istri hidup sangat tersikasa dan terhina serta terpukul perasaannya sehingga lambat laun kerikil tersebut akan membuahkan ledakan dahsyat yang merusak hubungan rumah tangga dan kehidupan keluarga menjadi berantakan dan amburadul serta tidak terkendali.
Padahal asas pernikahan dibangun di atas prinsip langgeng dan abadi yang selalu berada dalam kasih saying, saling menyintai, saling tolong-menolong, dan saling memahami serta penuh kesetiaan yang itu semua merupakan asas utama utuhnya rumah tangga dan kelangsungan sebuah pernikahan. Karena tidaklah mungkin rumah tangga akan bertahan bila di dalamnya ada benih permusuhan, kebencian, dan perselisihan dalam agama dan hal-hal yang prinsipil dalam pengendalian rumah tangga dan hubungan. Maka mustahil mereka bisa hidup satu atap dan saling memahami keadaan dan tabiat masing-masing kecuali bila si wabita telah melepas semua dasar-dasar agamanya dan symbol-simbol ajarannya.
Demi tujuan di atas dan untuk memelihara keutuhan masyarakat islami agar tetap tegak di atas pondasi yang kokoh dan pilar agama yang kuat maka Islam mengharamkan wanita Muslimah menikah dengan laki-laki non Muslim sementara Islam juga melarang laki-laki Muslim menikah dengan wanita musyrik atau wanita kafir selain Ahli Kitab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar