Rabu, 27 April 2011

Seorang Manager harus bermuka Manis

Seorang manajer harus bermuka manis

Diajukan untuk memenuhi tugas Mata kuliah

“ Tafsir 2 ”
 

Oleh :



Ifa Ratnasari                           B04209039




Dosen Pengampu:

Drs. H. Sja’roni, M. Ag





JURUSAN MANAJEMEN DAKWAH

FAKULTAS DAKWAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

2010




KATA PENGANTAR



Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Karena atas segala rahmat dan hidayahNya kami telah dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.

Makalah ini kami susun dalam rangka untuk memenuhi tugas mata kuliyah ”  Tafsir 2” dapat menambah pengetahuan pembaca mengenai salah satu ayat al – qur’an mengenai seorang manajer harus bermuka manis.

Tersusunnya makalah ini tidak lepas dari jasa beberapa pihak. Oleh karena itu, kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu daalm pembuatan makalah ini. Khususnya kepada Bapak Drs. H. Sja’roni, M. Ag  . Selaku dosen mata kuliyah Hadits 2. Semoga Allah SWT membalas kebaikannya dengan balasan yang lebih banyak. Amiin.

Selanjutnya, kami juga menyadari makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca. Guna untuk perbaikan makalah di masa mendatang.

Terlepas dari kekurangan – kekurangan makalah ini, kami berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca dan menjadikan amal shaleh bagi kami. Amiin, Yaa Robbal’aalamiin.







Surabaya,18 Maret  2011



Penulis.


DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR........................................................................... i

DAFTAR ISI......................................................................................... ii



BAB I       PENDAHULUAN................................................................ 1

A.    Latar Belakang Masalah.................................................................. 1

B.     Rumusan Masalah........................................................................... 1

C.     Tujuan............................................................................................ 1



BAB II      PEMBAHASAN................................................................... 2

1.     Analisis  Q.S Al- Hijr ayat 88……………………………………...2

BAB III PENUTUP................................................................................................. 8

Kesimpulan................................................................................................................ 8



DAFTAR PUSTAKA


BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Berawal dari berbagai permasalahan yang ada pada mata kuliyah tafsir 2 yang membahas mengenai ruang lingkup dari manajemen mka pada bab yang akan kami kaji dari Q.S. Al – Hijjr ayat 88  yakni membahas  mengenai  seorang manajer harus bermuka manis. Maka dari itulah di sini akan kami jelaskan apa maksud dari seorang manajer harus bermuka manis. diterangkan bahwa Allah SWT telah menganugerahkan sesuatu yang besar nilainya kepada orang-orang yang beriman, yaitu surah Al Fatihah. Pemberian itu adalah pemberian yang berupa petunjuk ke jalan yang benar dan tidak dapat dinilai dengan harta bagaimanapun banyaknya. Karena itu Allah SWT memperingatkan orang-orang yang beriman agar jangan merasa bimbang dan bersedih hati atas kesenangan duniawi yang telah diberikan Allah kepada orang-orang kafir. Tidak pantas seseorang memalingkan perhatiannya dari sesuatu yang mulia dan tinggi nilainya kepada sesuatu yang kurang bernilai, apalagi jika kesenangan dunia itu diperoleh dengan cara yang tidak dibenarkan Allah. Semuanya itu adalah kesenangan sementara, kemudian mereka akan dimasukkan ke dalam api neraka yang menyala-nyala. Dalam hal ini akan di jelaskan lebih lanjut lagi mengenai “ menunjukkan  pandanganmu kepada kenikmatan hidup”

B.     Rumusan Masalah

1.      Bagaimana analisis dari Q.S. al- hijr ayat 88?

C.     Tujuan

1.      Untuk mengetahui hasil analisis dari Q.S al- hijr ayat 88?



BAB II

PEMBAHASAN

لا تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلَى مَا مَتَّعْنَا بِهِ أَزْوَاجًا مِنْهُمْ وَلا تَحْزَنْ عَلَيْهِمْ وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِلْمُؤْمِنِينَ

Artinya:
 “ Janganlah sekali-kali kamu menunjukkan pandangan matamu kepada berbagai macam kenikmatan hidup yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan) maksudnya terhadap berbagai macam kemewahan hidup (di antara mereka, dan janganlah kamu bersedih hati terhadap mereka) jika mereka tidak beriman (dan berendah dirilah kamu) bersikap lembutlah kamu (terhadap orang-orang yang beriman.) ”(Q.S Al – Hijr : 88)

Semakin maju zaman, semakin manusia menjauh dari akhlaq yang mulia. Perangai jahiliyah dan kekasaran masih meliputi sebagian kaum muslimin. Padahal Islam mencontohkan agar umatnya berakhlaq mulia, di antaranya adalah dengan bertutur kata yang baik. Akhlaq ini semakin membuat orang tertarik pada Islam dan dapat dengan mudah menerima ajakan. Semoga Allah menganugerahkan kepada kita perangai yang mulia ini.

Perintah Allah untuk Berlaku Lemah Lembut

Allah Ta'ala berfirman,

وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِلْمُؤْمِنِينَ

“Dan berendah dirilah kamu terhadap orang-orang yang beriman. ” (QS. Al Hijr: 88)

Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithi mengatakan, “'Berendah dirilah' yang dimaksud dalam ayat ini hanya untuk mengungkapkan agar seseorang berlaku lemah lembut dan tawadhu' (rendah diri).”[1]  Jadi sebenarnya ayat ini berlaku umum untuk setiap perkataan dan perbuatan, yaitu kita diperintahkan untuk berlaku lemah lembut. Ayat ini sama maknanya dengan firmanAllah Ta'ala,

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ الله لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظّاً غَلِيظَ القلب لاَنْفَضُّواْ مِنْ حَوْلِكَ

“ Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (QS. Ali Imron: 159).

Yang dimaksud dengan bersikap keras di sini adalah bertutur kata kasar.[2] Dengan sikap seperti ini malah membuat orang lain lari dari kita.

Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Berlaku lemah lembut inilah akhlaq Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam yang di mana beliau diutus dengan membawa akhlaq yang mulia ini.”[3]

 Keutamaan Bertutur Kata yang Baik

Pertama: Sebab Mendapatkan Ampunan dan Sebab Masuk Surga

Dari Abu Syuraih, ia berkata pada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,

يَا رَسُولَ اللَّهِ، دُلَّنِي عَلَى عَمِلٍ يُدْخِلُنِي الْجَنَّةَ

“Wahai Rasulullah, tunjukkanlah padaku suatu amalan yang dapat memasukkanku ke dalam surga.” Beliau bersabda,

إِنَّ مِنْ مُوجِبَاتِ الْمَغْفِرَةِ بَذْلُ السَّلامِ، وَحُسْنُ الْكَلامِ

“Di antara sebab mendapatkan ampunan Allah adalah menyebarkan salam dan bertutur kata yang baik.”[4]

Kedua: Mendapatkan Kamar yang Istimewa di Surga Kelak

Dari 'Ali, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Di surga terdapat kamar-kamar yang bagian luarnya dapat dilihat dari dalam dan bagian dalamnya dapat dilihat dari luar.” Kemudian seorang Arab Badui bertanya, “Kamar-kamar tersebut diperuntukkan untuk siapa, wahai Rasulullah?” Beliau pun bersabda,

لِمَنْ أَطَابَ الْكَلاَمَ وَأَطْعَمَ الطَّعَامَ وَأَدَامَ الصِّيَامَ وَصَلَّى لِلَّهِ بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ

“Kamar tersebut diperuntukkan untuk siapa saja yang tutur katanya baik, gemar memberikan makan (pada orang yang butuh), rajin berpuasa dan rajin shalat malam karena Allah ketika manusia sedang terlelap tidur.”[5]

Ketiga: Bisa menggantikan Sedekah

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

الْكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ صَدَقَةٌ

 “Tutur kata yang baik adalah sedekah.”[6]

Dari 'Adi bin Hatim, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

اتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فَبِكَلِمَةٍ طَيِّبَةٍ

“Selamatkanlah diri kalian dari siksa neraka, walaupun dengan separuh kurma. Jika kalian tidak mendapatkannya, maka cukup dengan bertutur kata yang baik.”[7]

Ibnul Qayyim mengatakan, “Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menjadikan tutur kata yang baik sebagai pengganti dari sedekah bagi yang tidak mampu untuk bersedekah.”[8]

Ibnu Baththol mengatakan, “Tutur kata yang baik adalah sesuatu yang dianjurkan dan termasuk amalan kebaikan yang utama. Karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam (dalam hadits ini) menjadikannya sebagaimana sedekah dengan harta. Antara tutur kata yang baik dan sedekah dengan harta memiliki keserupaan. Sedekah dengan harta dapat menyenangkan orang yang diberi sedekah. Sedangkan tutur kata yang baik juga akan menyenangkan mukmin lainnya dan menyenangkan hatinya. Dari sisi ini, keduanya memiliki kesamaan (yaitu sama-sama menyenangkan orang lain).”[9]

Keempat: Menyelematkan Seseorang dari Siksa Neraka

Dalilnya adalah hadits Adi bin Hatim di atas. Ibnu Baththol mengatakan, “Jika tutur kata yang baik dapat menyelamatkan dari siksa neraka, berarti sebaliknya, tutur kata yang kotor (jelek) dapat diancam dengan siksa neraka.”[10]

Kelima: Dapat Menghilangkan Permusuhan

Ibnu Baththol mengatakan, “Ketahuilah bahwa tutur kata yang baik dapat menghilangkan permusuhan dan dendam kesumat. Lihatlah firman Allah Ta'ala,

ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ

“Tolaklah (kejelekan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (QS. Fushilat: 34-35). Menolak kejelekan di sini bisa dengan perkataan dan tingkah laku yang baik.”[11]

Sahabat yg mulia, Ibnu 'Abbas -radhiyallahu 'anhuma- mengatakan, "Allah memerintahkan pada orang beriman untuk bersabar ketika ada yang membuat marah, membalas dengan kebaikan jika ada yang buat jahil, dan memaafkan ketika ada yang buat jelek. Jika setiap hamba melakukan semacam ini, Allah akan melindunginya dari gangguan setan dan akan menundukkan musuh-musuhnya. Malah yang semula bermusuhan bisa menjadi teman dekatnya karena tingkah laku baik semacam ini."

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, "Namun yang mampu melakukan seperti ini adalah orang yang memiliki kesabaran. Karena membalas orang yg menyakiti kita dengan kebaikan adalah suatu yang berat bagi setiap jiwa."[12]

Berlaku Lemah Lembut Bukan Berarti Menjilat

Perlu dibedakan antara berlaku lemah lembut dengan tujuan membuat orang tertarik dan berlaku lembah lembut dengan maksud menjilat. Yang pertama ini dikenal dengan mudaroh yaitu berlaku lemah lembut agar membuat orang lain tertarik dan tidak menjauh dari kita. Yang kedua dikenal dengan mudahanah yaitu berlaku lemah lembut dalam rangka menjilat dengan mengorbankan agama. Sikap yang kedua ini adalah sikap tercela sebagaimana yang Allah firmankan,

وَدُّوا لَوْ تُدْهِنُ فَيُدْهِنُونَ

“Maka mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu).” (QS. Al Qalam: 9)

Ibnu Jarir Ath Thobari menafsirkan ayat di atas, “Wahai Muhammad, orang-orang musyrik tersebut ingin kalian berlaku lembut pada mereka (dengan mengorbankan agama kalian) dengan memenuhi seruan untuk beribadah kepada sesembahan mereka. Jika kalian demikian, maka mereka akan berlaku lembut pada kalian dalam ibadah yang kalian lakukan pada sesembahan kalian.” [13]

Oleh karenanya, orang yang bersikap mudaroh akan berlemah lembut dalam pergaulan tanpa meninggalkan sedikitpun prinsip agamanya. Sedangkan orang yang bersikap mudahin, ia akan berusaha menarik simpati orang lain dengan cara meninggalkan sebagian dari prinsip agamanya.

Hendaknya kita bisa memperhatikan perbedaan antara mudaroh dan mudahanah. Lemah lembut yang dituntunkan adalah dalam rangka membuat orang tertarik dengan akhlaq kita yang baik. Sikap pertama inilah yang akan membuat orang menerima dakwah, namun tetap dengan mempertahankan prinsip-prinsip beragama. Sedangkan lemah lembut yang tercela adalah jika sampai mengorbankan sebagian prinsip beragama dan mendiamkan kemungkaran tanpa adanya pengingkaran minimalnya dengan hati.

Semoga Allah senantiasa menganugerahkan kepada kita tutur kata yang baik dan akhlaq yang mulia. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

Pada ayat di atas diterangkan bahwa Allah SWT  telah menganugerahkan sesuatu yang besar  nilainya kepada orang-orang yang beriman, yaitu surah Al Fatihah. Pemberian itu adalah pemberian yang berupa petunjuk ke jalan yang benar dan tidak dapat dinilai dengan harta bagaimanapun banyaknya. Karena itu Allah SWT memperingatkan orang-orang yang beriman agar jangan merasa bimbang dan bersedih hati atas kesenangan duniawi yang telah diberikan Allah kepada orang-orang kafir. Tidak pantas seseorang memalingkan perhatiannya dari sesuatu yang mulia dan tinggi nilainya kepada sesuatu yang kurang bernilai, apalagi jika kesenangan dunia itu diperoleh dengan cara yang tidak dibenarkan Allah. Semuanya itu adalah kesenangan sementara, kemudian mereka akan dimasukkan ke dalam api neraka yang menyala-nyala. Ayat ini senada dengan firman Allah SWT:



وَلَا تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلَى مَا مَتَّعْنَا بِهِ أَزْوَاجًا مِنْهُمْ زَهْرَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا لِنَفْتِنَهُمْ فِيهِ وَرِزْقُ رَبِّكَ خَيْرٌ وَأَبْقَى (131)


Artinya:
            "Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia, untuk Kami cobai mereka dengannya. Dan karunia Tuhan kamu adalah lebih baik dan lebih kekal".
(Q.S Taha: 131)

Allah SWT melarang Nabi Muhammad saw bersedih hati terhadap setiap orang kafir yang tidak mengindahkan seruannya. Larangan Allah ini adalah karena Nabi saw sangat mengharapkan agar seluruh manusia beriman dan mengharapkan agar orang-orang kafir itu tidak ditimpa siksa Allah di akhirat nanti karena keluasan rahmat Nya. Larangan Allah juga mengingatkan Nabi saw, bahwa tugasnya hanya menyampaikan Agama Allah, bukan untuk menjadikan manusia beriman. Kemudian Allah memutuskan agar Nabi saw berlaku lemah lembut. Katakanlah kepada orang-orang kafir bahwa mereka akan ditimpa azab Allah, jika mereka terus-menerus dalam kekafiran dan kesesatan. Sebagaimana yang telah ditimpakan-Nya kepada umat-umat dahulu
BAB III

PENUTUP

 .

A. Kesimpulan

Dari hasil analisis Q.S Al- Hijr :88 adalah sebagaimana seorang manajer harus bermuka manis adalah bisa di lihat dari kata kunci    وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِلْمُؤْمِنِينَ

“Dan berendah dirilah kamu terhadap orang-orang yang beriman. ” (QS. Al Hijr: 88)

Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithi mengatakan, “'Berendah dirilah' yang dimaksud dalam ayat ini hanya untuk mengungkapkan agar seseorang berlaku lemah lembut dan tawadhu' (rendah diri).”[14]  Jadi sebenarnya ayat ini berlaku umum untuk setiap perkataan dan perbuatan, yaitu kita diperintahkan untuk berlaku lemah lembut. Karena dari situ jika peranan kita sebagai seorang manajer akan bisa kita lihat dengan tampak ramah tamahnya, begitu juga dari tutur kata yang tampak dan dalam hal ini begitu banyak di jelaskan mengenai keutamaan bertutur kata yang baik, di antaranya:

Pertama: Sebab Mendapatkan Ampunan dan Sebab Masuk Surga

Kedua: Mendapatkan Kamar yang Istimewa di Surga Kelak

Ketiga: Bisa menggantikan Sedekah

Keempat: Menyelematkan Seseorang dari Siksa Neraka

Kelima: Dapat Menghilangkan Permusuhan

Di atas pun telah di jelaskan berlemah lembut bukan berarti menjilat dan dapat di bedakan . Yang pertama ini dikenal dengan mudaroh yaitu berlaku lemah lembut agar membuat orang lain tertarik dan tidak menjauh dari kita. Yang kedua dikenal dengan mudahanah yaitu berlaku lemah lembut dalam rangka menjilat dengan mengorbankan agama. Sikap yang kedua ini adalah sikap tercela sebagaimana yang Allah firmankan,

وَدُّوا لَوْ تُدْهِنُ فَيُدْهِنُونَ

“Maka mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu).” (QS. Al Qalam: 9)
DAFTAR PUSTAKA

Tafsir Ath Thobari, Ibnu Jarir Ath Thobari, 23/157, Tahqiq: Dr. Abdullah bin Abdil Muhsin At Turki, Dar Hijr.

Adhwaul Bayan, Muhammad Al Amin Asy Syinqithi, 3/238, Dar Ilmi Al Fawaid.

Tafsir Al Qur'an Al 'Azhim, Ibnu Katsir, 3/233, Muassasah Qurthubah.

http://remajaislam.com/islam-dasar/akhlaq-mulia/65-lemah-lembutlah-dalam-bertutur-kata.html

http://khalidah84.multiply.com/journal/item/43

http://www.mail-archive.com/daarut-tauhiid@yahoogroups.com/msg02666.html

 http://www.asysyariah.com/sakinah/mutiara-kata/253-bertutur-kata-yang-baik-dan-berkata-manis-mutiara-kata-edisi-40.html







[1] Adhwaul Bayan, Muhammad Al Amin Asy Syinqithi, 3/238, Dar Ilmi Al Fawaid.

[2] Tafsir Al Qur'an Al 'Azhim, Ibnu Katsir, 3/233, Muassasah Qurthubah.

[3] Tafsir Al Qur'an Al 'Azhim, 3/232

[4] HR. Thobroni dalam Mu'jam Al Kabir no. 469 (Maktabah Al 'Ulum wal Hikam, cetakan kedua, 1404 H). Al 'Iroqi dalam Takhrij Al Ihya' (2/246) mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid (bagus). Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shohihah (1035) mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih dan perowinya terpercaya.

[5] HR. Tirmidzi no. 1984 dan Ahmad (1/155). Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.

[6]  HR. Ahmad (2/316) dan disebutkan oleh Al Bukhari dalam kitab shahihnya secara mu'allaq (tanpa sanad). Syaikh Syu'aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim.

[7] HR. Bukhari no. 6023 dan Muslim no. 1016.

[8] 'Iddatush Shobirin wa Dzakhirotusy Syakirin, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, hal. 109, Mawqi' Al Waroq

[9] Syarh al Bukhari, Ibnu Baththol, 17/273, Asy Syamilah.

[10] Syarh al Bukhari, 4/460.

[11] Syarh al Bukhari, 17/273.

[12]  Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 12/243.

[13] Tafsir Ath Thobari, Ibnu Jarir Ath Thobari, 23/157, Tahqiq: Dr. Abdullah bin Abdil Muhsin At Turki, Dar Hijr.



[14] Adhwaul Bayan, Muhammad Al Amin Asy Syinqithi, 3/238, Dar Ilmi Al Fawaid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar