Selasa, 17 Desember 2013

MEMULIAKAN (MENGHORMATI) TETANGGA



BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Dalam kehidupan sosial kita tidak akan lepas dari dari ketiga unsur ini, yaitu tentang tamu, tetangga dan mengasihi para dhuafa. Maka dengan tiga masalah ini, kami sedikit menguraikan bagaimana cara kita untuk mengabdikan diri kepada sang Khalik dengan cara, menghormati, mengasihi, menyayangi, mengutamakan mereka, agar supaya pengabdian ini benar-benar diterima di sisiNya. Karena dalam suatu hadist di sebutkan “Barang siapa yang tidak memenuhi undangan maka ia telah bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Bukhari), “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya tidak menyakiti tetangganya” Dalam hadist lagi diterangkan, Seorang bertanya kepada Nabi Saw, “Islam yang bagaimana yang baik?” Nabi Saw menjawab, “Membagi makanan (kepada fakir-miskin) dan memberi salam kepada yang dia kenal dan yang tidak dikenalnya.” (HR. Bukhari), dan lagi Perumpamaan orang-orang yang beriman di dalam saling cinta kasih dan belas kasih seperti satu tubuh. Apabila kepala mengeluh (pusing) maka seluruh tubuh tidak bisa tidur dan demam. (HR. Muslim). Dengan latar belakang tersebut kami disini menyuguhkan tentang bagaimana cara menggapai ketiga masalah tersebut, sehingga atas dorongan Dosen terwujudlah apa yang ada di tangan anda ini, semoga ada manfaat dan gunanya.
A.    RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana matan dan terjemahan dari hadis yang terdapat pada kitab dalillul falikhin?
2.      Sebutkan 3-5 mufrodat dan jelaskan?
3.      Jelaskan secara singkat
a.       Bil riwayah (Naqli)?
b.      Bil ru’yah (Akal)?



Matan dan terjemah:
a.       "Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah berbuat baik kepada tetangganya. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah memuliakan tamunya dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah berkata yang baik atau hendaklah berdiam saja."
b.      Dari Abu Syuraih al-Khuza'i r.a. bahwasanya Nabi s.a.w. bersabda: "Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah berbuat baik kepada tetangganya. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah memuliakan tamunya dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah berkata yang baik atau hendaklah berdiam saja."
Diriwayatkan oleh Imam Muslim dengan lafaz seperti di atas ini dan Imam Bukhari meriwayatkan sebagiannya.

1.      3-5 Mufrodat dari hadist diatas adalah:
a.      Yukminu (Mukmin)
Mukmin/Mu'min (bahasa Arab: مؤمن) adalah istilah Islam dalam bahasa Arab yang sering disebut dalam Al-Qur'an, berarti "orang beriman", dan merupakan seorang Muslim yang dapat memenuhi seluruh kehendak Allah, dan memiliki iman kuat dalam hatinya. Selain itu, ada pendapat lain yang menyatakan bahwa mu'min tidak serta-merta berarti "orang beriman" namun orang yang menyerahkan dirinya agar diatur dengan Din Islam. Selain itu, mu'min juga dapat dikatakan orang yang memberikan keamanan atas Muslim.
Dalam Al-Qur'an dijelaskan:
Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman". Katakanlah: "Kamu belum beriman, tapi katakanlah kami telah tunduk, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Surah Al-Hujurat [49]:14)       
Ayat ini memnjelaskan perbedaan antara seorang Muslim dan orang beriman.
Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya. (Surah An-Nisa' [4]:136) ”
Ayat ini mengacu pada orang yang beriman, yang diperintah untuk tetap beriman, dan menjelaskan banyaknya syarat-syarat beriman.
Perbedaan antara orang beriman dan orang yang tunduk adalah salah satu poin penting dalam munculnya ajaran tasawuf yang menitik beratkan pada keimanan yang bersifat bathin (qalbu). Tasawuf sendiri adalah ilmu dan tatacara (practice) untuk mencapai maqam yakin tersebut, selain maqam para pecinta ALLAH. Mereka mengetahui rahasia-rahasia hati dan paham mengenai teori dasar psikoanalis yakni alam sadar dan alam bawah sadar (hati). "Sesungguhnya hati hanya bisa ditundukkan dengan keyakinan" (Al-Ghazali/Ihya Ulumuddin)
Pemahaman akan perbedaan antara orang yang tunduk dan orang yang beriman dalam qalbu (hati) dapat semakin dimengerti dengan mempelajari teori psikoanalisis, bahwa manusia itu memiliki dua komponen penting dalam dirinya, yakni alam sadar dan alam bawah sadar. Alam bawah sadar (subconsciousness)adalah tempat munculnya hasrat (hawa nafsu) dan emosi. Dalam psikoanalisis, keyakinan terdalam itu terletak pada alam bawah sadar dan keyakinan inilah yang akan menggerakkan hasrat kita. Sebagai contoh jika keyakinan dalam alam bawah sadar mengatakan bahwa "harta adalah parameter kemuliaan" maka hasrat kita akan berusaha mencari harta, namun keyakinan pada alam bawah sadar mengatakan bahwa "ALLAH adalah parameter kemuliaan", maka otomatis hasrat akan mencari ALLAH. Dalilnya, Nabi SAW bersabda : "tidak sempurna iman kalian sebelum hawa nafsunya mengikuti apa yang kubawa" (HR Ahmad dan Al-Thabrari).
b.      Al yaumil akhir
Yawm al-Qiyāmah (Arab: يوم القيامة) adalah "Hari Kebangkitan" seluruh umat manusia dari Adam hingga manusia terakhir. Ajaran ini diyakini oleh umat Islam, Kristen dan Yahudi. Al-Qiyāmah juga nama dari salah satu ayat ke 75 di dalam kitab suci Al-Qur'an.
Kalimat kiamat di dalam bahasa Indonesia adalah hari kehancuran dunia, kata ini diserap dari bahasa Arab "Yaum al Qiyamah" , yang arti sebenarnya adalah hari kebangkitan umat. Sedangkan hari kiamat (kehancuran alam semesta beserta isinya) dalam bahasa Arab adalah "As-Saa’ah".
Yaum al-Qiyamah secara bahasa berarti "Hari Kebangkitan Umat", terdiri dari 3 suku kata, yaitu:
1)      Yaum (يوم) = Hari, masa atau periode
2)       Qiyam (قيام) = Tegak, bangkit, berdiri
3)      `Ummah (أمة) = Umat, bangsa

Secara istilah Yaumul Qiyamah sering diartikan hari kiamat (kehancuran alam semesta beserta isinya). Yaumul Qiyamah sama halnya dengan Yawm ad-Din yang artinya suatu periode (masa) dimana akan terjadi kebangkitan sebuah komunitas umat manusia yang hidup berdasarkan agama Allah (dinullah). Umat ini bangkit 700 thn sekali dengan diutusnya seorang rasul dari umat tersebut.[1]
c.       Fal yuhksin (Berbuat baik)
Menurut bahasa, ihsan berarti berbuat kebaikan, yakni segala sesuatu yang menyenangkan dan terpuji. Dan kata-kata ihsan mempunyai dua sisi:
Pertama, Memberikan kebaikan kepada orang lain.Dalam bahasa Arab dikatakan أحسن إلي فلان ia telah berbuat baik kepada si fulan.

Kedua, Memperbaiki perbuatannya dengan menyempurnakan dan membaikkannya. Dikatakan أحسن عمله jika ia telah menyempurnakan perbuatannya. Sedangkan ihsan menurut syara’ adalah sebagaimana yang di-jelaskan oleh baginda Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam dalam sabdanya:
أن تعبد الله كانك تراه فان لم تكن تراه فانه يراك

Engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihatNya. Jika engkau tidak bisa melihatNya maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari hadits Umar).
Syaikh Ibnu Taimiyah berkata: “Ihsan itu mengandung kesempurnaan ikhlas kepada Allah dan perbuatan baik yang dicintai oleh Allah. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman:

بَلَىٰ مَنۡ أَسۡلَمَ وَجۡهَهُ ۥ لِلَّهِ وَهُوَ مُحۡسِنٌ۬ فَلَهُ ۥۤ أَجۡرُهُ ۥ عِندَ رَبِّهِۦ وَلَا خَوۡفٌ عَلَيۡهِمۡ وَلَا هُمۡ يَحۡزَنُونَ

(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Al-Baqarah: 112)
Agama Islam mencakup ketiga istilah ini, yaitu: Islam, iman dan ihsan. Sebagaimana yang terdapat dalam hadits Jibril ketika datang kepada Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam di hadapan para sahabatnya dan bertanya tentang Islam, kemudian tentang iman dan ihsan. Lalu Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam menjelaskan setiap dari pertanyaan tersebut. Kemudian beliau bersabda: “Inilah Jibril datang kepada kalian untuk mengajarkan dien kalian.” Jadi Rasulullah menjadikan dien itu adalah Islam, iman dan ihsan. Maka jelaslah agama kita ini mencakup ketiga-tiganya.[2]
Dengan demikian Islam mempunyai tiga tingkatan: Pertama adalah Islam, kedua iman dan ketiga adalah ihsan.* (Lihat Majmu’ Fatawa, 8/10 dan 622 )
d.      Jarrihi (Tetangga)
Kata Al Jaar (tetangga) dalam bahasa Arab berarti orang yang bersebelahan denganmu. Ibnu Mandzur berkata: “الجِوَار , الْمُجَاوَرَة dan الْجَارُ bermakna orang yang bersebelahan denganmu. Bentuk pluralnya أَجْوَارٌ , جِيْرَةٌ dan جِيْرَانٌ .” Sedang secara istilah syar’i bermakna orang yang bersebelahan secara syar’i baik dia seorang muslim atau kafir, baik atau jahat, teman atau musuh, berbuat baik atau jelek, bermanfaat atau merugikan dan kerabat atau bukan.
Ibnu hajar Al Asqalaaniy menyatakan: “Nama tetangga meliputi semua orang islam dan kafir, ahli ibadah dan fasiq, teman dan lawan, warga asing dan pribumi, orang yang bermanfaat dan merugikan, kerabat dan bukan kerabat dan dekat rumahnya atau jauh. Tetangga memiliki tingkatan, sebagiannya lebih tinggi dari sebagian yang lainnya." [1. Lihat fathul bari 10/442].
Tetangga memiliki tingkatan, sebagiannya lebih tinggi dari sebagian yang lainnya, bertambah dan berkurang sesuai dengan kedekatan dan kejauhannya, kekerabatan, agama dan ketakwaannya serta yang sejenisnya. Sehingga diberikan hak tetangga tersebut sesuai dengan keadaan dan hak mereka. Adapun batasannya masih diperselisihkan para ulama, diantara pendapat mereka adalah:
Batasan tetangga yang mu’tabar adalah empat puluh rumah dari semua arah. Hal ini disampaikan oleh Aisyah , Azzuhriy dan Al Auzaa’iy.[3]Sepuluh rumah dari semua arah. Orang yang mendengar adzan adalah tetangga. Hal ini disampaikan oleh Ali bin Abi Tholib .Tetangga adalah yang menempel dan bersebelahan saja. Batasannya adalah mereka yang disatukan oleh satu masjid. Tetangga adalah orang yang sekota, ini pendapat sebagian ulama berdalil dengan firman Allah taala:

لَّئِن لَّمْ يَنْتَهِ الْمُنَافِقُونَ وَالَّذِينَ فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٌ وَالْمُرْجِفُونَ فِي الْمَدِينَةِ لَنُغْرِيَنَّكَ بِهِمْ ثُمَّ لاَيُجَاوِرُونَكَ فِيهَآ إِلاَّ قَلِيلاً

Sesungguhnya jika tidak berhenti orang-orang munafik, orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya dan orang-orang yang menyebarkan kabar bohong di Madinah (dari menyakitimu), niscaya Kami perintahkan kamu (untuk memerangi) mereka, kemudian mereka tidak menjadi tetanggamu (di Madinah) melainkan dalam waktu yang sebentar, (QS. 33:60).

e.       Falyukrim Dhoifahu (Memuliakan Tamu)



 
 
f.       مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ اْلأخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ

“Barang siapa yang beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya.” (HR. Bukhari)
Berikut ini adalah adab-adab yang berkaitan dengan tamu dan bertamu. Kami membagi pembahasan ini dalam dua bagian, yaitu adab bagi tuan rumah dan adab bagi tamu.
Adab Bagi Tuan Rumah
1)      Ketika mengundang seseorang, hendaknya mengundang orang-orang yang bertakwa, bukan orang yang fajir (bermudah-mudahan dalam dosa), sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لاَ تُصَاحِبْ إِلاَّ مُؤْمِنًا,وَلاَ يَأْكُلُ طَعَامَك َإِلاَّ تَقِيٌّ

Janganlah engkau berteman melainkan dengan seorang mukmin, dan janganlah memakan makananmu melainkan orang yang bertakwa!” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).
2)      Tidak mengkhususkan mengundang orang-orang kaya saja, tanpa mengundang orang miskin, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الْوَلِيمَةِ يُدْعَى لَهَا الأَغْنِيَاءُ ، وَيُتْرَكُ الْفُقَرَاءُ

“Sejelek-jelek makanan adalah makanan walimah di mana orang-orang kayanya diundang dan orang-orang miskinnya ditinggalkan.” (HR. Bukhari Muslim)

3)      Tidak mengundang seorang yang diketahui akan memberatkannya kalau diundang.
4)      Disunahkan mengucapkan selamat datang kepada para tamu sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya tatkala utusan Abi Qais datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda,

مَرْحَبًا بِالْوَفْدِ الَّذِينَ جَاءُوا غَيْرَ خَزَايَا وَلاَ نَدَامَى

Selamat datang kepada para utusan yang datang tanpa merasa terhina dan menyesal.” (HR. Bukhari).
5)       Menghormati tamu dan menyediakan hidangan untuk tamu makanan semampunya saja. Akan tetapi, tetap berusaha sebaik mungkin untuk menyediakan makanan yang terbaik. Allah ta’ala telah berfirman yang mengisahkan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam bersama tamu-tamunya:

فَرَاغَ إِلىَ أَهْلِهِ فَجَاءَ بِعِجْلٍ سَمِيْنٍ . فَقَرَّبَهُ إِلَيْهِمْ قَالَ آلاَ تَأْكُلُوْنَ

Dan Ibrahim datang pada keluarganya dengan membawa daging anak sapi gemuk kemudian ia mendekatkan makanan tersebut pada mereka (tamu-tamu Ibrahim-ed) sambil berkata: ‘Tidakkah kalian makan?’” (Qs. Adz-Dzariyat: 26-27)
6)       Dalam penyajiannya tidak bermaksud untuk bermegah-megah dan berbangga-bangga, tetapi bermaksud untuk mencontoh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Nabi sebelum beliau, seperti Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Beliau diberi gelar “Abu Dhifan” (Bapak para tamu) karena betapa mulianya beliau dalam menjamu tamu.
7)       Hendaknya juga, dalam pelayanannya diniatkan untuk memberikan kegembiraan kepada sesama muslim.
8)       Mendahulukan tamu yang sebelah kanan daripada yang sebelah kiri. Hal ini dilakukan apabila para tamu duduk dengan tertib.
9)       Mendahulukan tamu yang lebih tua daripada tamu yang lebih muda, sebagaimana sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيْرَنَا وَيُجِلَّ كَبِيْرَنَا فَلَيْسَ مِنَّا

Barang siapa yang tidak mengasihi yang lebih kecil dari kami serta tidak menghormati yang lebih tua dari kami bukanlah golongan kami.” (HR Bukhari dalam kitab Adabul Mufrad). Hadits ini menunjukkan perintah untuk menghormati orang yang lebih tua.

2.      Penjelasan singkat dari hadist diatas:
a.      Bil riwayah:
Islam telah berwasiat untuk memuliakan tetangga dan menjaga hak-haknya, bahkan Allah menyambung hak tetangga dengan ibadah dan tauhidNya serta berbuat bakti kepada kedua orang tua, anak yatim dan kerabat, sebagaimana firmanNya:

وَاعْبُدُوا اللهَ وَلاَتُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَامَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللهَ لاَيُحِبُّ مَن كَانَ مُخْتَالاً فَخُورًا

Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri. (Annisaa’:36)

Imam Al Qurthubiy menyampaikan tafsir ayat ini dalam pernyataan beliau: “Sungguh Allah telah memerintahkan kita menjaga tetangga dan menunaikan haknya. Mewasiatkan untuk menjaganya dalam Al Quran dan melalui lisan Rasulullah صلى ا لله عليه وسلم. bukankah kamu lihat Allah menegaskannya setelah hak kedua orang tua dan kerabat dalam firmanNya: وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى yaitu kerabat, dan وَالْجَارِ الْجُنُبِ yaitu orang asing (bukan kerabat). Ini adalah pendapat Ibnu Abbas” [4]

Demikian pula hadits-hadits Nabi  telah menjelaskan kewajiban menjaga hak tetangga dan menjaga kehormatan dan kemuliannya dan perintah menutupi aib mereka, menundukkan r mengatakan: “sehingga aku menyangka tetangga tersebut akan mewarisinya.
Hal ini menunjukkan wasiat dengan tetangga tersebut meliputi penjagaan, berbuat baik kepadanya, tidak berbuat jahat dan mengganggunya, selalu bertanya tentang keadaannya dan memberikan kemakrufan kepadanya. Ini semua adlah bentuk perhatian dan motivasi syariat dalam menjaga dan menunaikan hak-hak mereka. Bahkan Rasulullah صلى ا لله عليه وسلم menetapkan pelanggaran kehormatan tetangga sebagai salah satu dosa terbesar dalam sabdanya ketika ditanya:
أَيُّ الذَّنْبِ عِنْدَ اللَّهِ أَكْبَرُ قَالَ أَنْ تَجْعَلَ لِلَّهِ نِدًّا وَهُوَ خَلَقَكَ قُلْتُ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ ثُمَّ أَنْ تَقْتُلَ وَلَدَكَ خَشْيَةَ أَنْ يَطْعَمَ مَعَكَ قُلْتُ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ أَنْ تُزَانِيَ بِحَلِيلَةِ جَارِكَ
Dosa apa yang terbesar disisi Allah, Rasulullah صلى ا لله عليه وسلم menjawab:”Menjadikan sekutu tandaningan Allah, padahal Allah yang menciptakanmu”. Saya (Ibnu Mas’ud) bertanya: “Kemudian apa?” beliau menjawab: “kemudian membunuh anakmu karena khawatir dia makan bersamamu” lalu saya bertanya lagi: “kemudian apa?” beliau menjawab: “Berzina dengan istri tetanggamu”.[5]
Tidak cukup hanya disitu, Rasulullah صلى ا لله عليه وسلم pun memerintahkan Abu Dzar untuk memperbanyak kuah masakannya agar dapat dibagi dan dirasakan tetangga, seperti dalam hadits :
عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ إِنَّ خَلِيلِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْصَانِي إِذَا طَبَخْتَ مَرَقًا فَأَكْثِرْ مَاءَهُ ثُمَّ انْظُرْ أَهْلَ بَيْتٍ مِنْ جِيرَانِكَ فَأَصِبْهُمْ مِنْهَا بِمَعْرُوفٍ

Dari Abu Dzar beliau berkata: “kekasihku  telah berwasiat kepadaku, jika kamu memasak kuah daging maka perbanyak kuahnya kemudian lihat keluarga teatnggamu dan berikanlah sebagian kepada mereka dengan baik”.[6]

Demikian besarnya hak dan kedudukan tetangga dalam islam. Selainnya dari peraturan akhlak dan undang-undang manusia tidak mengenal hal tersebut. Bahkan undang-undang dan peraturan manusai sangat meremehkan kesucian dan harakat tetangga. Sedangkan Islam telah memupuk akhlak kemanusian ini kepada kita, ketika membeberkan sekian banyak nash-nash yang suci dalam penjagaan hak-hak tetangga. Demikian juga para ulama umat ini tidak pernah melupakan prihal tersebut, sehingga AlHasan bin Isa An Naisabuuriy bertanya kepada Abdullah bin Mubaarak : “Seseorang mendatangiku untuk mengadukan budakku yang melakukaan perbuatan jelek kepadanya, lalu budakku tersebut mengingkari laporan tersebut. Sehinggasaya tidak ingin memukulnya, karena mungkin dia tidak bersalah dan tidak juga membiarkannya, lalu tetanggaku itu membenciku. Maka apa yang harus aku perbuat?.
Beliau menjawab: “Budakmu mungkin melakukan perbuatan yang perlu diberi pelajaran. Maka jagalah dia. Jika tetanggamu mengadukannya kepadamu maka berilah pelajaran kepadanya atas perbuatan tersebut. Dengan demikian kamu telah membuat ridho tetanggamu dan mendidiknya atas perbuatan tersebut”[7]
Demikian besarnya perhatian mereka terhadap tetangga ini, tentunya kitapun perlu mencontoh mereka dalam hal ini dengan mengenal hak-hak mereka dan mencoba semampunya untuk menerapkan dan menunaikannya.
b.      Penjelasan bil ruk’yah
Alangkah sepinya jika kita hidup sendiri, tiada kawan tiada saudara maka beruntunglah kita sebagai manusia, di anugerahi semua itu. Di dalam rumah kita memiliki keluarga, ada ayah-ibu, adik-kakak, bahkan juga anak. Tak hanya itu saja, kita juga hidup bersama-sama orang-orang yang hidup disekeliling kita, dengan mereka kita saling ulur tangan, saling menjaga, memberikan rasa aman, dan juga saling melindungi dari bahaya orang-orang jahat yang tidak bisa diprediksikan. Mereka yang hidup disekeliling kita yang bernama tetangga.
Tetangga adalah saudara kita yang paling dekat entah saudara seiman ataupun tidak, oleh karena itu dalam islam ditegaskan dan disoroti begitu pentingnya tetangga itu, dan dianjurkan bahwa, hormatilah tetanggamu, karena tetangga itu adalah benteng kita, pagar kita, yang tak kenal menyerah, baik dalam segi social maupun sepiritual, itulah tetangga. Pada suatu masa ketika Abdullah bin Mubarak berhaji, tertidur di Masjidil Haram. Dia telah bermimpi melihat dua malaikat turun dari langit lalu yang satu berkata kepada yang lain, "Berapa banyak orang-orang yang berhaji pada tahun ini?" Jawab yang lain, "Enam ratus ribu."Lalu ia bertanya lagi, "Berapa banyak yang diterima ?" Jawabnya, "Tidak seorang pun yang diterima, hanya ada seorang tukang sepatu dari Damsyik bernama Muwaffaq, dia tidak dapat berhaji, tetapi diterima hajinya sehingga semua yang haji pada tahun itu diterima dengan berkat hajinya Muwaffaq." Ketika Abdullah bin Mubarak mendengar percakapannya itu, maka terbangunlah ia dari tidurnya, dan langsung berangkat ke Damsyik mencari orang yang bernama Muwaffaq itu sehingga ia sampailah ke rumahnya.
Dan ketika diketuknya pintunya, keluarlah seorang lelaki dan segera ia bertanya namanya. Jawab orang itu, "Muwaffaq." Lalu abdullah bin Mubarak bertanya padanya, "Kebaikan apakah yang telah engkau lakukan sehingga mencapai darjat yang sedemikian itu?" Jawab Muwaffaq, "Tadinya aku ingin berhaji tetapi tidak dapat kerana keadaanku, tetapi mendadak aku mendapat wang tiga ratus diirham dari pekerjaanku membuat dan menampal sepatu, lalau aku berniat haji pada tahun ini sedang isteriku pula hamil, maka suatu hari dia tercium bau makanan dari rumah jiranku dan ingin makanan itu, maka aku pergi ke rumah jiranku dan menyampaikan tujuan sebenarku kepada wanita jiranku itu. Jawab jiranku, "Aku terpaksa membuka rahsiaku, sebenarnya anak-anak yatimku sudah tiga hari tanpa makanan, kerana itu aku keluar mencari makanan untuk mereka. Tiba-tiba bertemulah aku dengan bangkai himar di suatu tempat, lalu aku potong sebahagiannya dan bawa pulang untuk masak, maka makanan ini halal bagi kami dan haram untuk makanan kamu." Ketika aku mendegar jawaban itu, aku segera kembali ke rumah dan mengambil wang tiga ratus dirham dan keserahkan kepada jiranku tadi seraya menyuruhnya membelanjakan uang itu untuk keperluan anak-anak yatim yang ada dalam jagaannya itu.
"Sebenarnya hajiku adalah di depan pintu rumahku." Kata Muwaffaq lagi. Demikianlah cerita yang sangat berkesan bahawa membantu jiran tetangga yang dalam kelaparan amat besar pahalanya apalagi di dalamnya terdapat anak-anak yatim. Rasulullah ada ditanya, "Ya Rasullah tunjukkan padaku amal perbuatan yang bila kuamalkan akan masuk syurga." Jawab Rasulullah, "Jadilah kamu orang yang baik." Orang itu bertanya lagi, "Ya Rasulullah, bagaimanakah akan aku ketahui bahawa aku telah berbuat baik?" Jawab Rasulullah, "Tanyakan pada tetanggamu, maka bila mereka berkata engkau baik maka engkau benar-benar baik dan bila mereka berkata engkau jahat, maka engkau sebenarnya jahat."
Hak-hak bertetangga
a. Saling menengok jika ada yang sakit
b. Melayat jika ada yang meniggal
c. Saling menyimpan rahasia
d. Ikut bergembira jika tetangga kita gembira
e. Jika kena musibah maka harus saling membantu
f. Tidak meninggikan bangunan, jika mengganggu
g. Ketika memasak hendaklah diperbanyak kuahnya
Dalam kata lain bahwa betetangga itu itu wajib hukumnya, saling mengasihi, menyayangi, dan saling ulur tangan.[8]
Pendapat Para Ulama
1)      Menurut Imam Syafi’i, yang dimaksud dengan tetangga adalah 40 rumah di samping kiri, kanan, depan dan belakang. Mau tidak mau, setiap hari kita bertemu dengan mereka, baik hanya sekedar melempar semyuman, lambaian tangan, salam atau ngobrol di antara pagar rumah dan sebagaimya.
2)      Dr Yusuf Qafdhawi menyebutkan, “seorang tetangga memiliki peran sentral dalam memetihara harta dan kehormatan warga sekitarnya” Dengan demikian seorang mukmin pada hakikatnya merupakan penjaga yang harus bertanggung jawab terhadap keselamatan seluruh milik tetangganya Bahkan, seorang tidak dikatakan beriman jika dia tidak bisa memberi rasa aman pada tetangganya.
3)      Kalimat “hendaklah ia memuliakan tetangganya…….., maka hendaklah ia memuliakan tamunya” , menyatakan adanya hak tetangga dan tamu, keharusan berlaku baik kepada mereka dan menjauhi perilaku yang tidak baik terhadap mereka. Allah telah menetapkan di dalam Al Qur’an keharusan berbuat baik kepada tetangga.







DAFTAR PUSTAKA

Al Jami’ Liahkaamil Qur’an.
Al Bukhori
          Al Muntaqa Min Makaril Akhlak Al Khorathiy oleh As Silaafiy No. 101. dinukil dari dari Huququl Jaar Fi Shohihis Sunnah wal Atsar, karya Syeikh Ali Hasan Abdul Hamid.
Isaac Hasson, Last Judgment, Encyclopedia of the Qur'an.
Muslim.
http://ciptoabiyahya.wordpress.com/2012/04/12/tingkatan-dien-agama/
fathul bari



[1] Isaac Hasson, Last Judgment, Encyclopedia of the Qur'an
[2] Di unduh pada 20 november 2013 di: http://ciptoabiyahya.wordpress.com/2012/04/12/tingkatan-dien-agama/
[3] Lihat fathul bari 10/442
[4] Al Jami’ Liahkaamil Qur’an 5/183.
[5] Diriwayatkan oleh Al Bukhori No4389, 6354 dan 6978, Muslim No. 125,
[6] Diriwayatkan oleh Muslim No. 6632.
[7] Al Muntaqa Min Makaril Akhlak Al Khorathiy oleh As Silaafiy No. 101. dinukil dari dari Huququl Jaar Fi Shohihis Sunnah wal Atsar, karya Syeikh Ali Hasan Abdul Hamid hal 19
[8] Di unduh pada 20 Nonember 2013 pada: http://elbaruqy.blogspot.com/2011/01/hadits-ibadah.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar