Selasa, 17 Desember 2013

PUASA ASYURA


A.    LATAR BELAKANG
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendorong kita untuk banyak melakukan puasa pada bulan tersebut sebagaimana sabdanya:

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ

Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah – Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.” (HR. Muslim no. 1163)
Dari hadits di atas, Ibnu Rojab rahimahullah mengatakan, “Hadits ini dengan tegas mengatakan bahwa seutama-utamanya puasa sunnah setelah puasa di bulan Ramadhan adalah puasa di bulan Allah, Muharram.” Beliau rahimahullah juga mengatakan bahwa puasa di bulan Muharram adalah seutama-utamanya puasa sunnah muthlaq. (Latho’if Ma’arif, hal. 36)[1].
An Nawawi menjelaskan, “Para ulama bersepakat bahwa hukum berpuasa pada hari ‘Asyura adalah sunnah dan bukan wajib. Namun mereka berselisih mengenai hukum puasa ‘Asyura di awal-awal Islam yaitu ketika disyariatkannya puasa Asyura sebelum puasa Ramadhan. Menurut Imam Abu Hanifah, hukum puasa Asyura di awal-awal Islam adalah wajib. Sedangkan dalam Syafi’iyah ada dua pendapat yang masyhur. Yang paling masyhur, yang menyatakan bahwa hukum puasa Asyura semenjak disyariatkan adalah sunnah dan puasa tersebut sama sekali tidak wajib. Namun dulu, puasa Asyura sangat-sangat dianjurkan untuk dilaksanakan. Ketika puasa Ramadhan disyariatkan, hukum puasa Asyura masih dianjurkan namun tidak seperti pertama kalinya. Pendapat kedua dari Syafi’iyah adalah yang menyatakan hukum puasa Asyura di awal Islam itu wajib dan pendapat kedua ini sama dengan pendapat Abu Hanifah.” (Syarh Shohih Muslim, 4/114)
Yang jelas, hukum puasa ‘Asyura saat ini adalah sunnah dan bukanlah wajib. Namun, hendaklah kaum muslimin tidak meninggalkan amalan yang sangat utama ini, apalagi melihat ganjaran yang begitu melimpah. Juga ada ganjaran lain yang dapat kita lihat yang ditujukan bagi orang yang gemar melakukan amalan sunnah, sebagaimana disebutkan dalam hadits qudsi berikut ini.
وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِى يَسْمَعُ بِهِ ، وَبَصَرَهُ الَّذِى يُبْصِرُ بِهِ ، وَيَدَهُ الَّتِى يَبْطُشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِى يَمْشِى بِهَا ، وَإِنْ سَأَلَنِى لأُعْطِيَنَّهُ ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِى لأُعِيذَنَّهُ
“Dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka Aku akan memberi petunjuk pada pendengaran yang ia gunakan untuk mendengar, memberi petunjuk pada penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, memberi petunjuk pada tangannya yang ia gunakan untuk memegang, memberi petunjuk pada kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia memohon sesuatu kepada-Ku, pasti Aku mengabulkannya dan jika ia memohon perlindungan, pasti Aku akan melindunginya.” (HR. Bukhari no. 2506).
     B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana matan dan terjemahan dari hadis yang terdapat pada kitab siyamu bab puasa asyura?
2.      Sebutkan 3 mufrodat dan jelaskan?
3.      Jelaskan secara singkat
a.       Bil riwayah (Naqli)?
b.      Bil ru’yah (Akal)?




Matan dan terjemahan dari hadist diatas adalah:
a.       Bangsa Quraisy biasa di zaman Jahiliah berpuasa pada hari Asyura, dan Nabi saw. menyuruh juga supaya puasa hari Asyura sehingga ada kewajiban bulan Ramadhan, lalu Nabi saw. bersabda: Siapa yang akan berpuasa maka puasalah dan yang tidak maka boleh berbuka (tidak puasa).
b.      688. ‘Aisyah r.a. berkata: Bangsa Quraisy biasa di zaman Jahiliah berpuasa pada hari Asyura, dan Nabi saw. menyuruh juga supaya puasa hari Asyura sehingga ada kewajiban bulan Ramadhan, lalu Nabi saw. bersabda: Siapa yang akan berpuasa maka puasalah dan yang tidak maka boleh berbuka (tidak puasa). (Bukhari, Muslim).
1.        Mufrodat:
a.      Qurais
 Suku Quraisy (bahasa Arab: قريشالأمة​) adalah suku bangsa Arab keturunan Ibrahim, mereka tinggal dan hidup di Mekkah dan daerah sekitarnya. Quraisy yang hidup di Mekkah disebut Quraisy Lembah, sementara yang lain tinggal lebih jauh mengelilingi Mekkah dikenal dengan Quraisy Pinggiran.[1]
Secara etimologi adalah Penamaan Quraisy berasal dari nama lain Fihr yang merupakan leluhur Nabi Muhammad, nabi dan rasul utama agama Islam. Di mana Fihr kemudian menurunkan sampai Qushay bin Kilab. Silsilah lengkapnya adalah sebagai berikut, Muhammad bin Abdullah bin 'Abd al-Muththalib bin Hâsyim bin 'Abd al-Manâf bin Qushay bin Kilab bin Murra bin Kaa'b bin Lu'ay bin Ghalib bin Quraisy (Fihr) bin Malik bin Nazar bin Kinanah bin Khuzaymah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mazar bin Nazar bin Ma'ad bin Adnan bin Ismail bin Ibrahim.
b.      Tashumu.
Al-shiyam berasal dari kata shama-yashumu-shawman wa shiyaman. Al-shiyam menurut bahasa pada mulanya berarti meninggalkan diri dari sesuatu. Kalau kendaraan atau binatang tunggangan tidak mau jalan, orang Arab menyebutnya, Shamat al-khayl idza amsakat an al-sayr (Kuda itu berpuasa, mogok, dan tidak mau jalan). Kalau angin yang bergerak kemudian tiba-tiba berhenti, orang Arab menyebutnya, Shamat al-rih, (angin berpuasa) artinya, berhenti bergerak. Dalam Al-Raghib, yang disebut shaum adalah tidak melakukan sesuatu baik berkaitan dengan makanan, pembicaraan, maupun perjalanan.     
Karena itu, kuda yang tidak mau berjalan disebut “Kuda itu berpuasa”. Kata Abu Ubaidah, setiap orang yang meninggalkan makan, tidak mau bergerak, dan tidak mau berbicara (di dalam bahasa Arab) disebut shaim. Sedangkan menurut istilah syara‘, yang disebut dengan shiyam adalah menahan diri dari makan, minum, dan bercampur (dengan istri) dengan niat dari terbit fajar sampai tenggelamnya matahari. Pengertian di atas menunjukkan beberapa hal. Pertama, itulah syarat minimal puasa. Kedua, puasa itu harus disertai niat. Waktunya dari terbit fajar sampai tenggelamnya matahari. Dan sempurnanya puasa yaitu meninggalkan hal-hal yang tercela dan tidak melakukan hal-hal yang dilarang oleh agama.
c.       Yauma Asyura
Hari Asyura (عاشوراء ) adalah hari ke-10 pada bulan Muharram dalam kalender Islam. Sedangkan asyura sendiri berarti kesepuluh. Hari ini menjadi terkenal karena bagi kalangan Syi'ah dan sebagian Sufi merupakan hari berkabungnya atas kesyahidan Husain bin Ali, cucu dari Nabi Islam Muhammad pada Pertempuran Karbala tahun 61 H (680). Akan tetapi, Sunni meyakini bahwa Nabi Musa berpuasa pada hari tersebut untuk mengekspresikan kegembiraan kepada Tuhan karena kaum Yahudi sudah terbebas dari Fira'un (Exodus). Menurut tradisi Sunni, Muhammad berpuasa pada hari tersebut dan meminta orang-orang pula untuk berpuasa.[2]
Sejarahnya adalah Pada masa pra-Islam, 'Asyura diperingati sebagai hari raya resmi bangsa Arab. Pada masa itu orang-orang berpuasa dan bersyukur menyambut 'Asyura. Mereka merayakan hari itu dengan penuh suka cita sebagaimana hari Nawruz yang dijadikan hari raya di negeri Iran.[3]
Dalam sejarah Arab, hari 'Asyura (10 Muharram) adalah hari raya bersejarah. Pada hari itu setiap suku mengadakan perayaan dengan mengenakan pakaian baru dan menghias kota-kota mereka. Sekelompok bangsa Arab, yang dikenal sebagai kelompok Yazidi, merayakan hari raya tersebut sebagai hari suka cita.
d.      Jahiliyah
Jahiliyah (bahasa Arab: جاهلية, Jāhilīyyah) adalah konsep dalam agama Islam yang menunjukkan masa dimana penduduk Mekkah berada dalam ketidaktahuan (kebodohan). Akar istilah jahiliyyah adalah bentuk kata kerja I pada kata jahala, yang memiliki arti menjadi bodoh, bodoh, bersikap dengan bodoh atau tidak peduli.[4]
Kemudian dalam syariat Islam memiliki arti "ketidaktahuan akan petunjuk Ilahi" atau "kondisi ketidaktahuan akan petunjuk dari Tuhan”. Keadaan tersebut merujuk pada situasi bangsa Arab kuno, yaitu pada masa masyarakat Arab pra-Islam sebelum diutusnya seorang rasul yang bernama Muhammad. Pengertian khusus kata jahiliyah ialah keadaan seseorang yang tidak memperoleh bimbingan dari Islam dan al-Qur'an.[5]

2             Penjelasan singkat berdasarkan:
a.       Bil Ri’wayaah (Naqli)
Aisyah r.a. berkata, “Pada hari Asyura orang-orang Quraisy biasa berpuasa pada masa jahiliah, dan Rasulullah berpuasa juga. Ketika itu tiba di Madinah, beliau berpuasa pada hari itu dan memerintahkan untuk berpuasa pada hari Asyura itu (sebelum difardhukannya puasa Ramadhan, dan pada hari itu Ka’bah diberi kelambu 2/159). Ketika (puasa) Ramadhan difardhukan (dalam satu riwayat: turun ayat yang mewajibkan puasa Ramadhan 5/155), maka puasa Ramadhan itulah yang wajib, dan beliau meninggalkan hari Asyura. Barangsiapa yang mau, maka berpuasalah; dan barangsiapa yang mau, maka ia boleh meninggalkannya.” (Dan dalam satu riwayat: “Sehingga diwajibkan puasa Ramadhan, dan Rasulullah bersabda, ‘Barangsiapa yang mau, maka berpuasalah; dan barangsiapa yang mau, maka ia boleh berbuka.’” 2/226).
981. Humaid bin Abdurrahman mengatakan bahwa ia mendengar Mu’awiyah bin Abu Sufyan r.a pada hari Asyura, pada tahun haji, berkata di atas mimbar, “Wahai penduduk Madinah, manakah ulama kalian? Aku mendengar Rasulullah bersabda, ‘Ini adalah hari Asyura dan tidak diwajibkan mengerjakan puasa atasmu. Tetapi, aku berpuasa. Barangsiapa yang menghendaki puasa, bolehlah berpuasa. Barangsiapa yang tidak menghendaki berpuasa, maka boleh tidak berpuasa.’”
982. Ibnu Abbas r.a. berkata, “Nabi tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura. Maka, beliau bertanya, ‘Apakah ini?’ Mereka menjawab, ‘Hari yang baik (dalam satu riwayat hari besar 4/126). Ini adalah hari yang Allah pada hari itu menyelamatkan bani Israel dari musuh mereka. (Dalam satu riwayat: Hari yang pada saat itu Allah menyelamatkan Nabi Musa dan Bani Israel atas musuh mereka). Maka, Musa berpuasa pada hari itu sebagai pernyataan syukur kepada Allah, (dan kita berpuasa pada hari itu untuk menghormatinya’ 4/269). Beliau bersabda, ‘Aku lebih berhak (dalam satu riwayat: ‘Kita lebih lebih layak) terhadap Musa daripada kamu sekalian (kaum Yahudi).’ Lalu, beliau berpuasa pada hari itu dan memerintahkan berpuasa pada hari itu.” (Dalam riwayat lain: “Kalian lebih berhak terhadap Musa daripada mereka (kaum Yahudi), maka berpuasalah kalian.” 5/212)
983. Abu Musa r.a. berkata, “Hari Asyura itu dianggap oleh kaum Yahudi sebagai hari raya.” (Dalam satu riwayat: Abu Musa berkata, “Nabi memasuki Madinah, tahu-tahu orang-orang Yahudi mengagungkan hari Asyura dan berpuasa padanya. Lalu, Nabi bersabda, ‘Kita lebih berhak untuk berpuasa pada hari itu. 4/269). Maka, berpuasalah kamu semua pada hari Asyura itu.’”
984. Ibnu Abbas r.a. berkata, “Saya tidak pernah melihat Nabi mengerjakan puasa pada suatu hari yang oleh beliau lebih diutamakan atas hari-hari yang lain, kecuali hari ini, yaitu hari Asyura, dan bulan ini, yakni bulan Ramadhan.”
'Asyura-' ditilik dari sejarah
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ فَرَأَى الْيَهُودَ تَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَقَالَ مَا هَذَا قَالُوا هَذَا يَوْمٌ صَالِحٌ هَذَا يَوْمٌ نَجَّى اللَّهُ بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ فَصَامَهُ مُوسَى قَالَ فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْكُمْ فَصَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ. (رواه البخاري:1865)
Artinya: "Dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, beliau berkata: "Ketika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam telah sampai di kota Madinah, beliaupun melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari 'Asyura-', maka beliau bertanya: "Ada apa dengan hari ini?", mereka menjawab: "Ini adalah hari yang baik, hari dimana Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuh mereka maka Nabi Musapun berpuasa pada hari itu", Nabipun bersabda: "Kalau begitu aku lebih berhak (mengikuti) Musa daripada kalian, beliaupun berpuasa dan memerintahkan ( kaum muslimin ) untuk berpuasa". Hadits riwayat Imam Bukhari, no.1865.
Maksud sabda beliau: " "هَذَا يَوْمٌ صَالِح, didalam riwayat Imam Muslim terdapat penjelasan:
 هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ أَنْجَى اللَّهُ فِيهِ مُوسَى وَقَوْمَهُ وَغَرَّقَ فِرْعَوْنَ وَقَوْمَهُ فَصَامَهُ مُوسَى شُكْرًا فَنَحْنُ نَصُومُهُ. (رواه مسلم)
Artinya: "Ini adalah hari yang  telah menyelamatkan pada hari ini Nabi MusaUagung, Allah  ‘alaihissalam dan kaumnya dan menenggelamkan Fir'aun dan kaumnya, maka Nabi Musapun ‘alaihissalam berpuasa karenanya sebagai tanda syukur maka kamipun berpuasa pada hari ini." HR. Muslim
Dan di riwayatkan oleh Imam Ahmad dengan tambahan lafadz:
وَهَذَا يَوْمُ اسْتَوَتْ فِيهِ السَّفِينَةُ عَلَى الْجُودِيِّ فَصَامَهُ نُوحٌ وَمُوسَى شُكْرًا.
Artinya: "Ini adalah hari dimana berlabuhnya kapal (Nabi Nuh ‘alaihissslam) diatas bukit Judi (Bukit Judi terletak di Armenia sebelah selatan, berbatasan dengan Mesopotamia-pent), lalu Nabi Nuh ‘alaihissalam dan Musa ‘alaihissalam berpuasa karenanya sebagai tanda syukur."
Hadits : "وَأَمَرَ  memerintahkan untuk berpuasa karenanya),rبِصِيَامِهِ" (dan beliaupun  di dalam riwayat al Bukhari rahimahuallah juga terdapat lafadz:
فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأَصْحَابِهِ أَنْتُمْ أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْهُمْ فَصُومُوا. (رواه البخاري)
Artinya: "Maka Nabi Muhammad  : "Kalian lebih berhak untuk mengikutiyberkata kepada para shahabatnya  Nabi Musa 'alaihissalam daripada mereka". HR. Bukhari.
Dan berpuasa pada hari 'Asyura-' telah dikenal dari mulai zaman jahiliyah sebelum zaman kenabian (Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam), telah benar riwayat dari 'Aisyah radhiyallahu 'anhu, beliau berkata:
«إن أهل الجاهلية كانوا يصومونه»
"Sesungguhnya orang-orang jahiliyah senantiasa berpuasa pada hari itu…",
Al Qurthuby rahimahullah berkata:

"لعل قريشاً كانوا يستندون في صومه إلى شرع من مضى كإبراهيم عليه السّلام. وقد ثبت أيضا أنّ النبي صلى الله عليه وسلم كان يصومه بمكة قبل أن يهاجر إلى المدينة، فلما هاجر إلى المدينة وجد اليهود يحتفلون به فسألهم عن السبب فأجابوه كما تقدّم في الحديث، وأمر بمخالفتهم في اتّخاذه عيدا كما جاء في حديث أبي موسى قال: «كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَعُدُّهُ الْيَهُودُ عِيدًا» وفي رواية مسلم: «كان يوم عاشوراء تعظمه اليهود تتخذه عيدا» وفي رواية له أيضا: «كان أهل خيبر (اليهود) يتخذونه عيدا، ويلبسون نساءهم فيه حليهم وشارتهم». ققال النبي صلى الله عليه وسلم: «فَصُومُوهُ أَنْتُمْ» [رواه البخاري].
وظاهر هذا أن الباعث على الأمر بصومه محبة مخالفة اليهود حتى يصام ما يفطرون فيه، لأن يوم العيد لا يصام".
"Kemungkinan orang-orang Quraisy menyandarkan dalam puasanya kepada ajaran orang-orang terdahulu seperti Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Dan telah shahih juga riwayat yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad shallalalhu ‘alaihi wasallam berpuasa karenanya di kota Makkah sebelum hijrah ke Madinah, ketika beliau hijrah ke kota Madinah beliau mendapatkan orang-orang Yahudi memperingatinya lalu beliau bertanya kepada mereka tentang sebab dan merekapun menjawabnya sebagaimana yang sudah disebutkan di dalam hadits diatas. Dan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan  untuk menyelesihi mereka di dalam peringatan mereka sebagai hari raya sebagaimana telah diriwayatkan dalam hadits Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, beliau bersabda:
كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَعُدُّهُ الْيَهُودُ عِيدًا فَصُومُوهُ أَنْتُمْ. رواه البخاري
Artinya: "Hari 'Asyura-' dulunya dianggap oleh orang yahudi sebagai hari raya maka hendaklah kalian berpuasa pada hari itu".
Di dalam riwayat Imam Muslim rahimahullah:
كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ يَوْمًا تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَتَتَّخِذُهُ عِيدًا. رواه مسلم
Artinya: "Hari 'Asyura-' adalah hari yang diagungkan orang yahudi dan mereka menjadikannya hari raya".
Di dalam riwayat yang lain milik beliau juga:
كَانَ أَهْلُ خَيْبَرَ يَصُومُونَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ يَتَّخِذُونَهُ عِيدًا وَيُلْبِسُونَ نِسَاءَهُمْ فِيهِ حُلِيَّهُمْ وَشَارَتَهُمْ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصُومُوهُ أَنْتُمْ. رواه مسلم
Artinya: "Penduduk Khaibar (dan mereka pada waktu itu orang-orang Yahudi-pent) berpuasa pada hari 'asyura-' dan  selalu menjadikannya sebagai hari raya, mereka menghiasi wanita-wanita mereka dengan emas dan perhiasan mereka, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: "Maka berpuasalah kalian pada hari itu". Hadits riwayat Muslim Dan yang terlihat jelas dari perintah untuk berpuasa adalah keinginan untuk menyelisihi orang-orang Yahudi sehingga berpuasa ketika mereka berbuka, karena hari raya tidak boleh berpuasa (di dalamnya-pent). (diringkas dari perkataan Ibnu Hajar rahimahullah di dalam kitab Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari).
b.    Penjelasan singkat Bil ru’yah
SALAH seorang sahabat Nabi Muhammad saw, Abdullah Ibn Abbas menceritakan bahwa ketika Nabi Muhammad saw datang ke Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi melakukan puasa di hari Asyura. Rasulullah saw bertanya, “Hari apa ini?”
Orang-orang Yahudi menjawab, “Ini adalah hari baik, pada hari ini Allah selamatkan Bani Israil dari musuhnya, maka Musa ‘alaihissalam berpuasa pada hari ini.” Setelah mendengar penjelasan itu Nabi Muhammad saw berkata, “Saya lebih berhak mengikuti Musa daripada kalian (kaum Yahudi).” Maka saat itu beliau berpuasa pada hari Asyura itu dan memerintahkan umatnya untuk melakukannya. (Shahih Bukhari No.1900)
Hadis mengenai puasa Asyura ini diterima juga oleh Aisyah binti Abu Bakar, yang menyampaikan, “Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam memerintahkan untuk puasa di hari Asyura. Dan ketika puasa Ramadhan diwajibkan, (bersabda) barangsiapa yang ingin (berpuasa di hari ‘Asyura) ia boleh berpuasa dan barangsiapa yang ingin (tidak berpuasa) ia boleh berbuka.” (HR.Bukhari No.1897)
Menurut Ustadz Abdullah Beik, ketua Departemen Pendidikan Islamic Center Jakarta, puasa sunnah yang dianjurkan Nabi Muhammad saw biasanya berkaitan dengan hari-hari bahagia atau berkaitan dengan ritual Islam seperti Senin yang merupakan hari kelahiran Nabi, puasa tanggal 9 Dzulhijjah berkaitan dengan wukuf arafah, puasa ayyamul bidh tanggal 13,14,15 bulan komariah, dan lainnya. Asyura bukanlah hari bahagia, tapi hari kesedihan atas wafatnya cucu Rasulullah saw yang dibantai pasukan musuh Islam. Karena itu, dalam mazhab Ahlulbait dilarang berpuasa pada hari Asyura, yang ada hanya dianjurkan untuk imsak (baca: tidak makan dan tidak minum) sampai waktu zuhur dalam rangka meresapi dan merasakan kehausan yang dialami oleh Imam Husain bin Ali bin Abu Thalib, keluarga dan sahabatnya saat menjalani perang melawan pasukan Yazid bin Muawiyah di Karbala.
Memang sering disebutkan alasan-alasan dianjurkannya berpuasa pada 10 Muharram. Namun banyak ulama, Ahlulbait khususnya, yang menyatakan bahwa hadis-hadis tentang keutamaan puasa Asyura tersebut tidak benar karena para perawinya tidak terpercaya (tsiqah) dan terkesan dibuat-buat.
“Contohnya tentang bumi yang diciptakan pada 10 Muharram. Ini betul-betul sangat aneh, bukankah tanggalan dan hari itu menunjukkan akan perputaran bumi di sekeliling matahari atau bulan? Jika bumi, bulan dan mataharinya belum diciptakan bagaimana muncul tanggal 10 Muharram itu? Itu yang pertama. Yang kedua, andaikan semua yang disebutkan di dalam hadis itu benar adanya, namun pasca kesyahidan Imam Husain tentu hukumnya harus berubah, karena malapetaka yang menimpa keluarga Rasulullah tidak ada bandingannya. Sehingga kesedihan yang seharusnya dirasakan seluruh umat Rasulullah yang diharuskan mencintai Rasulullah dan keluarganya akan menutup semua kejadian menggembirakan dan menyenangkan di atas,” tegasnya.
Di Indonesia, memperingati Asyura dengan menjalankan puasa seringkali dianggap sunnah Nabi saw. Mungkin karena tidak memahami ilmu-ilmu hadis, sehingga sumber yang tak jelas pun dianggap benar. Padahal, bila ditelusuri secara akal sehat, isi hadis keutamaan 10 Muharram itu tidak rasional dan tampak dibuat-buat.
Ada tiga alasan mengapa hadis tentang puasa Asyura yang dimuat di awal tulisan harus diragukan kebenarannya.
Pertama, Rasulullah saw datang pertama kali ke Madinah bulan Rabiul Awal, bukan bulan Muaharram. Jadi, tak masuk akal bila orang berpuasa Asyura pada bulan Rabiul Awwal. Kedua, mungkin orang berkata yang dimaksudkan datangya Nabi Muhammad saw ke Madinah itu sudah lama, tetapi baru tahu tahun terakhir (masa hidup Rasulullah) saat mengetahui kebiasaan kaum Yahudi. Itu pun tak mungkin baru mengetahui kalau sudah menetap di Madinah cukup lama. Bukankah hadis tentang puasa Asyura ini hadirnya beberapa hari menjelang wafat Rasulullah saw. Ketiga, tidak mungkin Rasulullah saw mengikuti kebiasaan Yahudi. Bukankah sudah ada aturan ibadah yang penentuannya jelas dari Allah. Karena itu, tak mungkin Rasulullah saw mengikuti syariat terdahulu yang tidak jelas perintahnya.
Lalu, mengapa ada hadis-hadis tersebut? Mengapa hari Asyura dianjurkan puasa? Adakah sisi politis dari perawi saat proses tadwin (pengumpulan) hadis?
Dalam sejarah Islam pasca-Rasulullah saw dan khulafarrasyidun, 10 Muharram 61 H. merupakan hari terjadinya sebuah peristiwa yang memilukan. Cucu Nabi Muhammad saw, Imam Husain Ibn Abu Thalib dipenggal kepalanya, termasuk keluarga dan pengikutnya pun dihabisi secara keji di Karbala oleh pasukan Yazid ibn Muawiyah ibn Abu Sufyan, penguasa Bani Umayyah.
Mungkin dari peristiwa Karbala ini, penguasa Bani Umayyah menciptakan hadis-hadis palsu untuk menutupi keburukan dan kekejaman yang dilakukan terhadap keturunan Rasulullah saw dan para pengikutnya. Sehingga umat Islam melupakan tragedi karbala dan khusyuk dengan menjalankan ritual yang diciptakan mereka. Bahkan, menurut Joel L.Kraemer, pada abad pertengahan kaum Sunni mencoba membuat tandingan perayaan asyura—yang dilakukan kaum Syiah—dengan menyelenggarakan ziarah secara massal ke makam Mushab Ibn Al-Zubair di Maskin delapan hari setelah hari asyura dan melaksanakan Yaum Al-Ghar (Hari Gua) guna memperingati ketika Abu Bakar dan Nabi Muhammad saw bersembunyi dalam gua Hira saat hijrah ke Madinah (Joel L.Kraemer, Renaisans Islam: Kebangkitan Intelektual dan Budaya Pada Abad Pertengahan [Bandung: Mizan, 2003] hal. 76-77).
Namun, sekarang ini yang lebih mengental di masyarakat Indonesia adalah perayaan asyura dalam bentuk shaum dan pengajian yang dalilnya merujuk pada hadits-hadits yang kebenarannya diragukan. Hanya tradisi yang berdasarkan fakta sejarah dan doktrin kenabian yang hingga kini bertahan. Yakni tradisi ta`ziyah (berkabung) atas wafatnya cucu Rasulullah saw pada 10 Muharram (asyura) dengan menggelar majelis ilmu, ziarah (spiritual), dan doa bersama.
Tentu saja asyura kesyahidan Imam Husain yang dilakukan kaum Muslim bukan dalam rangka memuja, tapi justru mengambil dari perjuangannya dalam menegakkan Islam di muka bumi. Karena semangat membela kebenaran dan memuliakan ajaran Islam tidak boleh lepas lekang dari waktu. Dari waktu ke waktu semangat itu harus muncul dalam diri kaum Muslim. Semangat untuk menentang segala bentuk kezaliman dan membela kaum mustadhafin. Bentuknya tidak harus berperang fisik, tapi bisa dengan membuat program-program pemberdayaan ekonomi khusus kaum dhuafa—seperti yang dilakukan Muhammad Yunus di Bangladesh.[6]

DAFTAR PUSTAKA

Ayyatullahi, Sayyid Mehdi (2005). Sayyidina Husain bin Ali bin Abi Thalib. Jakarta: Penerbit Al-Huda. ISBN 979-3515-42-2.
Amros, Arne A. and Stephan Pocházka 2004: A Concise Dictionary of Koranic Arabic, Reichert Verlag, Wiesbaden
 Martin. Muhammad: Kisah Hidup Nabi berdasarkan Sumber Klasik. Jakarta: Serambi, 2002. ISBN 979-3335-16-5
Qutb, Sayyid (1981). Milestones. The Mother Mosque Foundation. p.11, 19
http://sejarah.kompasiana.com/2011/12/01/persoalan-puasa-asyura-417911.html




[1]  Martin. Muhammad: Kisah Hidup Nabi berdasarkan Sumber Klasik. Jakarta: Serambi, 2002. ISBN 979-3335-16-5
[3] Ayyatullahi, Sayyid Mehdi (2005). Sayyidina Husain bin Ali bin Abi Thalib. Jakarta: Penerbit Al-Huda. ISBN 979-3515-42-2.
[4] Amros, Arne A. and Stephan Pocházka 2004: A Concise Dictionary of Koranic Arabic, Reichert Verlag, Wiesbaden
[5] Qutb, Sayyid (1981). Milestones. The Mother Mosque Foundation. p.11, 19
[6] Di unduh pada 20 November 2013 di: http://sejarah.kompasiana.com/2011/12/01/persoalan-puasa-asyura-417911.html
 





[1] Di unduh pada 20 November 2013 di: http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/puasa-asyura-2.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar