A. LATAR BELAKANG
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendorong kita untuk
banyak melakukan puasa pada bulan tersebut sebagaimana sabdanya:
أَفْضَلُ الصِّيَامِ
بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ
صَلاَةُ اللَّيْلِ
“Puasa
yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah –
Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat
malam.” (HR. Muslim no. 1163)
Dari hadits di atas, Ibnu Rojab rahimahullah mengatakan, “Hadits
ini dengan tegas mengatakan bahwa seutama-utamanya puasa sunnah setelah puasa
di bulan Ramadhan adalah puasa di bulan Allah, Muharram.” Beliau rahimahullah
juga mengatakan bahwa puasa di bulan Muharram adalah seutama-utamanya puasa
sunnah muthlaq. (Latho’if Ma’arif, hal. 36)[1].
An Nawawi
menjelaskan, “Para ulama bersepakat bahwa hukum berpuasa pada hari ‘Asyura
adalah sunnah dan bukan wajib. Namun mereka berselisih mengenai hukum puasa
‘Asyura di awal-awal Islam yaitu ketika disyariatkannya puasa Asyura sebelum
puasa Ramadhan. Menurut Imam Abu Hanifah, hukum puasa Asyura di awal-awal Islam
adalah wajib. Sedangkan dalam Syafi’iyah ada dua pendapat yang masyhur. Yang
paling masyhur, yang menyatakan bahwa hukum puasa Asyura semenjak disyariatkan
adalah sunnah dan puasa tersebut sama sekali tidak wajib. Namun dulu, puasa
Asyura sangat-sangat dianjurkan untuk dilaksanakan. Ketika puasa Ramadhan
disyariatkan, hukum puasa Asyura masih dianjurkan namun tidak seperti pertama
kalinya. Pendapat kedua dari Syafi’iyah adalah yang menyatakan hukum puasa
Asyura di awal Islam itu wajib dan pendapat kedua ini sama dengan pendapat Abu
Hanifah.” (Syarh Shohih Muslim, 4/114)
Yang jelas,
hukum puasa ‘Asyura saat ini adalah sunnah dan bukanlah wajib. Namun, hendaklah
kaum muslimin tidak meninggalkan amalan yang sangat utama ini, apalagi melihat
ganjaran yang begitu melimpah. Juga ada ganjaran lain yang dapat kita lihat
yang ditujukan bagi orang yang gemar melakukan amalan sunnah, sebagaimana
disebutkan dalam hadits qudsi berikut ini.
وَمَا
يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ ، فَإِذَا
أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِى يَسْمَعُ بِهِ ، وَبَصَرَهُ الَّذِى
يُبْصِرُ بِهِ ، وَيَدَهُ الَّتِى يَبْطُشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِى يَمْشِى
بِهَا ، وَإِنْ سَأَلَنِى لأُعْطِيَنَّهُ ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِى لأُعِيذَنَّهُ
“Dan senantiasa hamba-Ku
mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku
mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka Aku akan memberi petunjuk pada
pendengaran yang ia gunakan untuk mendengar, memberi petunjuk pada
penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, memberi petunjuk pada tangannya
yang ia gunakan untuk memegang, memberi petunjuk pada kakinya yang ia gunakan
untuk berjalan. Jika ia memohon sesuatu kepada-Ku, pasti Aku mengabulkannya dan
jika ia memohon perlindungan, pasti Aku akan melindunginya.” (HR. Bukhari
no. 2506).
B.
RUMUSAN
MASALAH
1.
Bagaimana
matan dan terjemahan dari hadis yang terdapat pada kitab siyamu bab puasa
asyura?
2.
Sebutkan
3 mufrodat dan jelaskan?
3.
Jelaskan
secara singkat
a.
Bil
riwayah (Naqli)?
b.
Bil
ru’yah (Akal)?
Matan dan terjemahan dari hadist diatas adalah:
a.
Bangsa
Quraisy biasa di zaman Jahiliah berpuasa pada hari Asyura, dan Nabi saw.
menyuruh juga supaya puasa hari Asyura sehingga ada kewajiban bulan Ramadhan,
lalu Nabi saw. bersabda: Siapa yang akan berpuasa maka puasalah dan yang tidak
maka boleh berbuka (tidak puasa).
b.
688. ‘Aisyah
r.a. berkata: Bangsa Quraisy biasa di zaman Jahiliah berpuasa pada hari Asyura,
dan Nabi saw. menyuruh juga supaya puasa hari Asyura sehingga ada kewajiban
bulan Ramadhan, lalu Nabi saw. bersabda: Siapa yang akan berpuasa maka puasalah
dan yang tidak maka boleh berbuka (tidak puasa). (Bukhari, Muslim).
1.
Mufrodat:
a.
Qurais
Suku Quraisy (bahasa Arab: قريش الأمة) adalah suku bangsa
Arab keturunan Ibrahim, mereka tinggal dan hidup di Mekkah dan daerah sekitarnya. Quraisy yang hidup di Mekkah disebut Quraisy Lembah, sementara yang lain tinggal lebih
jauh mengelilingi Mekkah dikenal dengan Quraisy Pinggiran.[1]
Secara etimologi adalah Penamaan
Quraisy berasal dari nama lain Fihr yang merupakan leluhur Nabi Muhammad, nabi
dan rasul utama agama Islam. Di mana Fihr kemudian menurunkan sampai Qushay bin
Kilab. Silsilah lengkapnya adalah sebagai berikut, Muhammad bin Abdullah bin
'Abd al-Muththalib bin Hâsyim bin 'Abd al-Manâf bin Qushay bin Kilab bin Murra
bin Kaa'b bin Lu'ay bin Ghalib bin Quraisy (Fihr) bin Malik bin Nazar bin
Kinanah bin Khuzaymah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mazar bin Nazar bin Ma'ad bin
Adnan bin Ismail bin Ibrahim.
b.
Tashumu.
Al-shiyam berasal dari kata shama-yashumu-shawman
wa shiyaman. Al-shiyam menurut bahasa pada mulanya berarti meninggalkan
diri dari sesuatu. Kalau kendaraan atau binatang tunggangan tidak mau jalan,
orang Arab menyebutnya, Shamat al-khayl idza amsakat an al-sayr (Kuda
itu berpuasa, mogok, dan tidak mau jalan). Kalau angin yang bergerak kemudian
tiba-tiba berhenti, orang Arab menyebutnya, Shamat al-rih, (angin
berpuasa) artinya, berhenti bergerak. Dalam Al-Raghib, yang disebut shaum
adalah tidak melakukan sesuatu baik berkaitan dengan makanan, pembicaraan,
maupun perjalanan.
Karena itu, kuda yang tidak mau berjalan disebut “Kuda
itu berpuasa”. Kata Abu Ubaidah, setiap orang yang meninggalkan makan, tidak
mau bergerak, dan tidak mau berbicara (di dalam bahasa Arab) disebut shaim.
Sedangkan menurut istilah syara‘, yang disebut dengan shiyam adalah
menahan diri dari makan, minum, dan bercampur (dengan istri) dengan niat
dari terbit fajar sampai tenggelamnya matahari. Pengertian di atas
menunjukkan beberapa hal. Pertama, itulah syarat minimal puasa. Kedua,
puasa itu harus disertai niat. Waktunya dari terbit fajar sampai tenggelamnya
matahari. Dan sempurnanya puasa yaitu meninggalkan hal-hal yang tercela dan
tidak melakukan hal-hal yang dilarang oleh agama.
c.
Yauma Asyura
Hari Asyura (عاشوراء ) adalah hari ke-10
pada bulan Muharram dalam kalender Islam. Sedangkan asyura sendiri berarti kesepuluh. Hari
ini menjadi terkenal karena bagi kalangan Syi'ah dan sebagian Sufi merupakan hari berkabungnya atas kesyahidan Husain bin Ali, cucu dari Nabi
Islam Muhammad pada Pertempuran Karbala tahun 61 H (680). Akan tetapi, Sunni meyakini bahwa Nabi Musa berpuasa pada hari tersebut untuk mengekspresikan kegembiraan
kepada Tuhan karena kaum Yahudi sudah terbebas dari Fira'un (Exodus). Menurut tradisi Sunni, Muhammad berpuasa pada hari tersebut dan
meminta orang-orang pula untuk berpuasa.[2]
Sejarahnya adalah Pada masa pra-Islam,
'Asyura diperingati sebagai hari raya resmi bangsa Arab.
Pada masa itu orang-orang berpuasa dan bersyukur menyambut 'Asyura. Mereka
merayakan hari itu dengan penuh suka cita sebagaimana hari Nawruz yang
dijadikan hari raya di negeri Iran.[3]
Dalam sejarah Arab, hari 'Asyura (10 Muharram) adalah hari
raya bersejarah. Pada hari itu setiap suku mengadakan perayaan dengan
mengenakan pakaian baru dan menghias kota-kota mereka. Sekelompok bangsa Arab,
yang dikenal sebagai kelompok Yazidi, merayakan hari raya
tersebut sebagai hari suka cita.
d.
Jahiliyah
Jahiliyah (bahasa Arab: جاهلية, Jāhilīyyah) adalah konsep dalam agama Islam
yang menunjukkan masa dimana penduduk Mekkah berada dalam ketidaktahuan
(kebodohan). Akar istilah jahiliyyah adalah bentuk kata kerja I pada kata
jahala, yang memiliki arti menjadi bodoh, bodoh, bersikap dengan bodoh atau
tidak peduli.[4]
Kemudian dalam syariat Islam
memiliki arti "ketidaktahuan akan petunjuk Ilahi" atau "kondisi
ketidaktahuan akan petunjuk dari Tuhan”. Keadaan tersebut merujuk pada situasi
bangsa Arab kuno, yaitu pada masa masyarakat Arab pra-Islam sebelum diutusnya
seorang rasul yang bernama Muhammad. Pengertian khusus kata jahiliyah ialah
keadaan seseorang yang tidak memperoleh bimbingan dari Islam dan al-Qur'an.[5]
2
Penjelasan singkat berdasarkan:
a.
Bil
Ri’wayaah (Naqli)
Aisyah r.a. berkata, “Pada hari
Asyura orang-orang Quraisy biasa berpuasa pada masa jahiliah, dan Rasulullah
berpuasa juga. Ketika itu tiba di Madinah, beliau berpuasa pada hari itu dan memerintahkan
untuk berpuasa pada hari Asyura itu (sebelum difardhukannya puasa Ramadhan, dan
pada hari itu Ka’bah diberi kelambu 2/159). Ketika (puasa) Ramadhan difardhukan
(dalam satu riwayat: turun ayat yang mewajibkan puasa Ramadhan 5/155), maka
puasa Ramadhan itulah yang wajib, dan beliau meninggalkan hari Asyura.
Barangsiapa yang mau, maka berpuasalah; dan barangsiapa yang mau, maka ia boleh
meninggalkannya.” (Dan dalam satu riwayat: “Sehingga diwajibkan puasa Ramadhan,
dan Rasulullah bersabda, ‘Barangsiapa yang mau, maka berpuasalah; dan
barangsiapa yang mau, maka ia boleh berbuka.’” 2/226).
981. Humaid bin Abdurrahman
mengatakan bahwa ia mendengar Mu’awiyah bin Abu Sufyan r.a pada hari Asyura,
pada tahun haji, berkata di atas mimbar, “Wahai penduduk Madinah, manakah ulama
kalian? Aku mendengar Rasulullah bersabda, ‘Ini adalah hari Asyura dan tidak
diwajibkan mengerjakan puasa atasmu. Tetapi, aku berpuasa. Barangsiapa yang
menghendaki puasa, bolehlah berpuasa. Barangsiapa yang tidak menghendaki berpuasa,
maka boleh tidak berpuasa.’”
982. Ibnu Abbas r.a. berkata, “Nabi
tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura.
Maka, beliau bertanya, ‘Apakah ini?’ Mereka menjawab, ‘Hari yang baik (dalam
satu riwayat hari besar 4/126). Ini adalah hari yang Allah pada hari itu
menyelamatkan bani Israel dari musuh mereka. (Dalam satu riwayat: Hari yang
pada saat itu Allah menyelamatkan Nabi Musa dan Bani Israel atas musuh mereka).
Maka, Musa berpuasa pada hari itu sebagai pernyataan syukur kepada Allah, (dan
kita berpuasa pada hari itu untuk menghormatinya’ 4/269). Beliau bersabda, ‘Aku
lebih berhak (dalam satu riwayat: ‘Kita lebih lebih layak) terhadap Musa
daripada kamu sekalian (kaum Yahudi).’ Lalu, beliau berpuasa pada hari itu dan
memerintahkan berpuasa pada hari itu.” (Dalam riwayat lain: “Kalian lebih
berhak terhadap Musa daripada mereka (kaum Yahudi), maka berpuasalah kalian.”
5/212)
983. Abu Musa r.a. berkata, “Hari
Asyura itu dianggap oleh kaum Yahudi sebagai hari raya.” (Dalam satu riwayat:
Abu Musa berkata, “Nabi memasuki Madinah, tahu-tahu orang-orang Yahudi
mengagungkan hari Asyura dan berpuasa padanya. Lalu, Nabi bersabda, ‘Kita lebih
berhak untuk berpuasa pada hari itu. 4/269). Maka, berpuasalah kamu semua pada
hari Asyura itu.’”
984. Ibnu Abbas r.a. berkata, “Saya
tidak pernah melihat Nabi mengerjakan puasa pada suatu hari yang oleh beliau
lebih diutamakan atas hari-hari yang lain, kecuali hari ini, yaitu hari Asyura,
dan bulan ini, yakni bulan Ramadhan.”
'Asyura-' ditilik dari
sejarah
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ:
قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ فَرَأَى
الْيَهُودَ تَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَقَالَ مَا هَذَا قَالُوا هَذَا يَوْمٌ
صَالِحٌ هَذَا يَوْمٌ نَجَّى اللَّهُ بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ
فَصَامَهُ مُوسَى قَالَ فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْكُمْ فَصَامَهُ وَأَمَرَ
بِصِيَامِهِ. (رواه البخاري:1865)
Artinya:
"Dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, beliau berkata: "Ketika Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam telah sampai di kota Madinah, beliaupun
melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari 'Asyura-', maka beliau bertanya:
"Ada apa dengan hari ini?", mereka menjawab: "Ini adalah hari
yang baik, hari dimana Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuh mereka maka
Nabi Musapun berpuasa pada hari itu", Nabipun bersabda: "Kalau begitu
aku lebih berhak (mengikuti) Musa daripada kalian, beliaupun berpuasa dan
memerintahkan ( kaum muslimin ) untuk berpuasa". Hadits riwayat Imam
Bukhari, no.1865.
Maksud sabda beliau: " "هَذَا يَوْمٌ صَالِح, didalam riwayat Imam Muslim terdapat penjelasan:
Maksud sabda beliau: " "هَذَا يَوْمٌ صَالِح, didalam riwayat Imam Muslim terdapat penjelasan:
هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ أَنْجَى اللَّهُ فِيهِ مُوسَى
وَقَوْمَهُ وَغَرَّقَ فِرْعَوْنَ وَقَوْمَهُ فَصَامَهُ مُوسَى شُكْرًا فَنَحْنُ
نَصُومُهُ. (رواه مسلم)
Artinya:
"Ini adalah hari yang telah menyelamatkan
pada hari ini Nabi MusaUagung, Allah
‘alaihissalam dan kaumnya dan menenggelamkan Fir'aun dan kaumnya, maka
Nabi Musapun ‘alaihissalam berpuasa karenanya sebagai tanda syukur maka kamipun
berpuasa pada hari ini." HR. Muslim
Dan di riwayatkan oleh Imam Ahmad dengan tambahan lafadz:
Dan di riwayatkan oleh Imam Ahmad dengan tambahan lafadz:
وَهَذَا يَوْمُ اسْتَوَتْ فِيهِ السَّفِينَةُ عَلَى
الْجُودِيِّ فَصَامَهُ نُوحٌ وَمُوسَى شُكْرًا.
Artinya:
"Ini adalah hari dimana berlabuhnya kapal (Nabi Nuh ‘alaihissslam) diatas
bukit Judi (Bukit Judi terletak di Armenia sebelah selatan, berbatasan dengan
Mesopotamia-pent), lalu Nabi Nuh ‘alaihissalam dan Musa ‘alaihissalam berpuasa
karenanya sebagai tanda syukur."
Hadits : "وَأَمَرَ memerintahkan untuk berpuasa karenanya),rبِصِيَامِهِ"
(dan beliaupun di dalam riwayat al
Bukhari rahimahuallah juga terdapat lafadz:
فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لِأَصْحَابِهِ أَنْتُمْ أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْهُمْ فَصُومُوا. (رواه البخاري)
Artinya:
"Maka Nabi Muhammad : "Kalian
lebih berhak untuk mengikutiyberkata kepada para shahabatnya Nabi Musa 'alaihissalam daripada
mereka". HR. Bukhari.
Dan berpuasa
pada hari 'Asyura-' telah dikenal dari mulai zaman jahiliyah sebelum zaman
kenabian (Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam), telah benar riwayat dari
'Aisyah radhiyallahu 'anhu, beliau berkata:
«إن أهل الجاهلية كانوا يصومونه»
"Sesungguhnya orang-orang jahiliyah
senantiasa berpuasa pada hari itu…",
Al Qurthuby rahimahullah berkata:
Al Qurthuby rahimahullah berkata:
"لعل قريشاً كانوا يستندون في صومه إلى شرع من مضى كإبراهيم عليه السّلام. وقد ثبت أيضا أنّ النبي صلى الله عليه وسلم كان يصومه بمكة قبل أن يهاجر إلى المدينة، فلما هاجر إلى المدينة وجد اليهود يحتفلون به فسألهم عن السبب فأجابوه كما تقدّم في الحديث، وأمر بمخالفتهم في اتّخاذه عيدا كما جاء في حديث أبي موسى قال: «كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَعُدُّهُ الْيَهُودُ عِيدًا» وفي رواية مسلم: «كان يوم عاشوراء تعظمه اليهود تتخذه عيدا» وفي رواية له أيضا: «كان أهل خيبر (اليهود) يتخذونه عيدا، ويلبسون نساءهم فيه حليهم وشارتهم». ققال النبي صلى الله عليه وسلم: «فَصُومُوهُ أَنْتُمْ» [رواه البخاري].
وظاهر هذا أن الباعث على الأمر بصومه محبة مخالفة اليهود حتى يصام ما يفطرون فيه، لأن يوم العيد لا يصام".
"Kemungkinan orang-orang
Quraisy menyandarkan dalam puasanya kepada ajaran orang-orang terdahulu seperti
Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Dan telah shahih juga riwayat yang mengatakan bahwa
Nabi Muhammad shallalalhu ‘alaihi wasallam berpuasa karenanya di kota Makkah
sebelum hijrah ke Madinah, ketika beliau hijrah ke kota Madinah beliau
mendapatkan orang-orang Yahudi memperingatinya lalu beliau bertanya kepada
mereka tentang sebab dan merekapun menjawabnya sebagaimana yang sudah
disebutkan di dalam hadits diatas. Dan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam
memerintahkan untuk menyelesihi mereka di dalam peringatan mereka sebagai
hari raya sebagaimana telah diriwayatkan dalam hadits Abu Musa radhiyallahu
‘anhu, beliau bersabda:
كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَعُدُّهُ الْيَهُودُ عِيدًا
فَصُومُوهُ أَنْتُمْ. رواه البخاري
Artinya: "Hari 'Asyura-'
dulunya dianggap oleh orang yahudi sebagai hari raya maka hendaklah kalian
berpuasa pada hari itu".
Di dalam riwayat Imam Muslim
rahimahullah:
كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ يَوْمًا تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ
وَتَتَّخِذُهُ عِيدًا. رواه مسلم
Artinya: "Hari 'Asyura-'
adalah hari yang diagungkan orang yahudi dan mereka menjadikannya hari
raya".
Di dalam riwayat yang lain milik
beliau juga:
كَانَ أَهْلُ خَيْبَرَ يَصُومُونَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ
يَتَّخِذُونَهُ عِيدًا وَيُلْبِسُونَ نِسَاءَهُمْ فِيهِ حُلِيَّهُمْ وَشَارَتَهُمْ
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصُومُوهُ أَنْتُمْ.
رواه مسلم
Artinya:
"Penduduk Khaibar (dan mereka pada waktu itu orang-orang Yahudi-pent)
berpuasa pada hari 'asyura-' dan selalu menjadikannya sebagai hari raya,
mereka menghiasi wanita-wanita mereka dengan emas dan perhiasan mereka, lalu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: "Maka berpuasalah kalian
pada hari itu". Hadits riwayat Muslim Dan yang terlihat jelas dari perintah
untuk berpuasa adalah keinginan untuk menyelisihi orang-orang Yahudi sehingga
berpuasa ketika mereka berbuka, karena hari raya tidak boleh berpuasa (di
dalamnya-pent). (diringkas dari perkataan Ibnu Hajar rahimahullah di dalam
kitab Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari).
b.
Penjelasan
singkat Bil ru’yah
SALAH
seorang sahabat Nabi Muhammad saw, Abdullah Ibn Abbas menceritakan bahwa ketika
Nabi Muhammad saw datang ke Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi
melakukan puasa di hari Asyura. Rasulullah saw bertanya, “Hari apa ini?”
Orang-orang
Yahudi menjawab, “Ini adalah hari baik, pada hari ini Allah selamatkan Bani
Israil dari musuhnya, maka Musa ‘alaihissalam berpuasa pada hari ini.” Setelah
mendengar penjelasan itu Nabi Muhammad saw berkata, “Saya lebih berhak mengikuti
Musa daripada kalian (kaum Yahudi).” Maka saat itu beliau berpuasa pada hari
Asyura itu dan memerintahkan umatnya untuk melakukannya. (Shahih Bukhari
No.1900)
Hadis
mengenai puasa Asyura ini diterima juga oleh Aisyah binti Abu Bakar, yang
menyampaikan, “Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam memerintahkan
untuk puasa di hari Asyura. Dan ketika puasa Ramadhan diwajibkan, (bersabda)
barangsiapa yang ingin (berpuasa di hari ‘Asyura) ia boleh berpuasa dan
barangsiapa yang ingin (tidak berpuasa) ia boleh berbuka.” (HR.Bukhari No.1897)
Menurut
Ustadz Abdullah Beik, ketua Departemen Pendidikan Islamic Center Jakarta, puasa
sunnah yang dianjurkan Nabi Muhammad saw biasanya berkaitan dengan hari-hari
bahagia atau berkaitan dengan ritual Islam seperti Senin yang merupakan hari
kelahiran Nabi, puasa tanggal 9 Dzulhijjah berkaitan dengan wukuf arafah, puasa
ayyamul bidh tanggal 13,14,15 bulan komariah, dan lainnya. Asyura bukanlah hari
bahagia, tapi hari kesedihan atas wafatnya cucu Rasulullah saw yang dibantai
pasukan musuh Islam. Karena itu, dalam mazhab Ahlulbait dilarang berpuasa pada
hari Asyura, yang ada hanya dianjurkan untuk imsak (baca: tidak makan dan tidak
minum) sampai waktu zuhur dalam rangka meresapi dan merasakan kehausan yang
dialami oleh Imam Husain bin Ali bin Abu Thalib, keluarga dan sahabatnya saat
menjalani perang melawan pasukan Yazid bin Muawiyah di Karbala.
Memang
sering disebutkan alasan-alasan dianjurkannya berpuasa pada 10 Muharram. Namun
banyak ulama, Ahlulbait khususnya, yang menyatakan bahwa hadis-hadis tentang
keutamaan puasa Asyura tersebut tidak benar karena para perawinya tidak
terpercaya (tsiqah) dan terkesan dibuat-buat.
“Contohnya
tentang bumi yang diciptakan pada 10 Muharram. Ini betul-betul sangat aneh,
bukankah tanggalan dan hari itu menunjukkan akan perputaran bumi di sekeliling
matahari atau bulan? Jika bumi, bulan dan mataharinya belum diciptakan
bagaimana muncul tanggal 10 Muharram itu? Itu yang pertama. Yang kedua,
andaikan semua yang disebutkan di dalam hadis itu benar adanya, namun pasca
kesyahidan Imam Husain tentu hukumnya harus berubah, karena malapetaka yang
menimpa keluarga Rasulullah tidak ada bandingannya. Sehingga kesedihan yang
seharusnya dirasakan seluruh umat Rasulullah yang diharuskan mencintai
Rasulullah dan keluarganya akan menutup semua kejadian menggembirakan dan
menyenangkan di atas,” tegasnya.
Di
Indonesia, memperingati Asyura dengan menjalankan puasa seringkali dianggap
sunnah Nabi saw. Mungkin karena tidak memahami ilmu-ilmu hadis, sehingga sumber
yang tak jelas pun dianggap benar. Padahal, bila ditelusuri secara akal sehat,
isi hadis keutamaan 10 Muharram itu tidak rasional dan tampak dibuat-buat.
Ada
tiga alasan mengapa hadis tentang puasa Asyura yang dimuat di awal tulisan
harus diragukan kebenarannya.
Pertama,
Rasulullah saw datang pertama kali ke Madinah bulan Rabiul Awal, bukan bulan
Muaharram. Jadi, tak masuk akal bila orang berpuasa Asyura pada bulan Rabiul
Awwal. Kedua, mungkin orang berkata yang dimaksudkan datangya Nabi Muhammad saw
ke Madinah itu sudah lama, tetapi baru tahu tahun terakhir (masa hidup
Rasulullah) saat mengetahui kebiasaan kaum Yahudi. Itu pun tak mungkin baru
mengetahui kalau sudah menetap di Madinah cukup lama. Bukankah hadis tentang
puasa Asyura ini hadirnya beberapa hari menjelang wafat Rasulullah saw. Ketiga,
tidak mungkin Rasulullah saw mengikuti kebiasaan Yahudi. Bukankah sudah ada
aturan ibadah yang penentuannya jelas dari Allah. Karena itu, tak mungkin
Rasulullah saw mengikuti syariat terdahulu yang tidak jelas perintahnya.
Lalu,
mengapa ada hadis-hadis tersebut? Mengapa hari Asyura dianjurkan puasa? Adakah
sisi politis dari perawi saat proses tadwin (pengumpulan) hadis?
Dalam
sejarah Islam pasca-Rasulullah saw dan khulafarrasyidun, 10 Muharram 61 H.
merupakan hari terjadinya sebuah peristiwa yang memilukan. Cucu Nabi Muhammad
saw, Imam Husain Ibn Abu Thalib dipenggal kepalanya, termasuk keluarga dan
pengikutnya pun dihabisi secara keji di Karbala oleh pasukan Yazid ibn Muawiyah
ibn Abu Sufyan, penguasa Bani Umayyah.
Mungkin
dari peristiwa Karbala ini, penguasa Bani Umayyah menciptakan hadis-hadis palsu
untuk menutupi keburukan dan kekejaman yang dilakukan terhadap keturunan
Rasulullah saw dan para pengikutnya. Sehingga umat Islam melupakan tragedi
karbala dan khusyuk dengan menjalankan ritual yang diciptakan mereka. Bahkan,
menurut Joel L.Kraemer, pada abad pertengahan kaum Sunni mencoba membuat
tandingan perayaan asyura—yang dilakukan kaum Syiah—dengan menyelenggarakan
ziarah secara massal ke makam Mushab Ibn Al-Zubair di Maskin delapan hari
setelah hari asyura dan melaksanakan Yaum Al-Ghar (Hari Gua) guna memperingati
ketika Abu Bakar dan Nabi Muhammad saw bersembunyi dalam gua Hira saat hijrah
ke Madinah (Joel L.Kraemer, Renaisans Islam: Kebangkitan Intelektual dan Budaya
Pada Abad Pertengahan [Bandung: Mizan, 2003] hal. 76-77).
Namun,
sekarang ini yang lebih mengental di masyarakat Indonesia adalah perayaan
asyura dalam bentuk shaum dan pengajian yang dalilnya merujuk pada
hadits-hadits yang kebenarannya diragukan. Hanya tradisi yang berdasarkan fakta
sejarah dan doktrin kenabian yang hingga kini bertahan. Yakni tradisi ta`ziyah
(berkabung) atas wafatnya cucu Rasulullah saw pada 10 Muharram (asyura) dengan
menggelar majelis ilmu, ziarah (spiritual), dan doa bersama.
Tentu
saja asyura kesyahidan Imam Husain yang dilakukan kaum Muslim bukan dalam
rangka memuja, tapi justru mengambil dari perjuangannya dalam menegakkan Islam
di muka bumi. Karena semangat membela kebenaran dan memuliakan ajaran Islam
tidak boleh lepas lekang dari waktu. Dari waktu ke waktu semangat itu harus
muncul dalam diri kaum Muslim. Semangat untuk menentang segala bentuk kezaliman
dan membela kaum mustadhafin. Bentuknya tidak harus berperang fisik, tapi bisa
dengan membuat program-program pemberdayaan ekonomi khusus kaum dhuafa—seperti
yang dilakukan Muhammad Yunus di Bangladesh.[6]
DAFTAR
PUSTAKA
Ayyatullahi, Sayyid Mehdi (2005). Sayyidina Husain bin Ali bin
Abi Thalib. Jakarta: Penerbit Al-Huda. ISBN
979-3515-42-2.
Amros, Arne A. and Stephan Pocházka
2004: A Concise Dictionary of Koranic Arabic, Reichert Verlag, Wiesbaden
Martin. Muhammad: Kisah Hidup
Nabi berdasarkan Sumber Klasik. Jakarta: Serambi, 2002. ISBN
979-3335-16-5
Qutb, Sayyid (1981). Milestones. The Mother Mosque Foundation.
p.11, 19
http://sejarah.kompasiana.com/2011/12/01/persoalan-puasa-asyura-417911.html
[3]
Ayyatullahi, Sayyid Mehdi (2005). Sayyidina Husain bin
Ali bin Abi Thalib. Jakarta: Penerbit Al-Huda. ISBN
979-3515-42-2.
[4]
Amros, Arne A. and Stephan Pocházka 2004: A
Concise Dictionary of Koranic Arabic, Reichert Verlag, Wiesbaden
[5]
Qutb, Sayyid (1981). Milestones. The Mother Mosque
Foundation. p.11, 19
[6]
Di unduh pada 20 November 2013 di: http://sejarah.kompasiana.com/2011/12/01/persoalan-puasa-asyura-417911.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar