BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Sejarah adalah suatu rujukan saat kita akan membangun masa depan.
Namun, kadang orang malas untuk melihat sejarah. Sehingga orang cenderung
berjalan tanpa tujuan dan mungkin mengulangi kesalahan yang pernah ada dimasa
lalu. Disnilah sejarah berfungsi sebagai cerminan bahwa dimasa silam telah
terjadi sebuah kisah yang patut kita pelajari untuk merancang masa depan.
Khulafah ar-Rasyidin merupakan para pemimpin ummat Islam setelah
Nabi Muhammad SAW wafat, yaitu pada masa pemerintahan Abu Bakar, Umar bin
Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, Radhiallahu Ta’ala anhu
ajma’in dimana sistem pemerintahan yang diterapkan adalah pemerintahan yang
islami karena berundang-undangkan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Khulafa al-Rasyidin sebagai sahabat-sahabat yang meneruskan
perjuangan Nabi Muhammad kiranya pantas untuk dijadikan sebagai rujukan saat
kita akan melaksanakan sesuatu dimasa depan. Karena peristiwa yang terjadi
sungguh beragam. Dari mulai cara pengaangkatan sebagai khalifah, sistem
pemerintahan, pengelolaan administrasi, hubungan sosial kemasyaratan dan lain
sebagainya.
Dalam memahami sejarah kita dituntut untuk dapat berpikir kritis.
Sebab, sejarah bukanlah sebuah barang mati yang tidak dapat dirubah. Akan
tetapi sejarah bisa saja dirubah kisahnya oleh sang penulis sejarah. Nalar
kritis kita dituntut untuk mampu membaca sejarah dan membandingkan dengan
pendapat lain. Saat kita sudah mampu untuk menyibak tabir sejarah dari berbagai
sumber, barulah kita dapat melakukan rekonstruksi sejarah.
Rekonstruksi sejarah perlu dilakukan agar kita dapat memisahkan
antara peradaban Arab dan peradaban islam. Sebab, kita sering memakan
mentah-mentah peradaban yang datang dari Arab sebab semuanya dianggap sebagai
peradaban islam. Kita perlu memandang peradaban dari berbagai aspeknya. Langkah
ini agar kita tidak hanya sekedar ”bangga” dan larut dalam historisisme yang
seringkali ”menjebak” pemikiran progressif kita.
. B. Rumusan Masalah
1.
Pengertian
Khulafa’ al-Rayidin?
2.
Bagaimana
Perkembangan Politik dan Pemerintahan pada masa Khulafa Usman bin affan dan ali
bin abi tholib?
3.
Bagaimana
Perkembangan Kebudayaan dan Peradaban pada masa Khulafa Usman bin affan dan Ali bin abi tholib ?
C.Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi Khulafa’ al- Rasidin
2. Untuk mengetahui perkembangan politik dan pemerintahan pada masa
khulafa usman bin affan dan ali bin abi tholib
3. untuk mengetahui perkembangan kebudayaan dan peradaban pada masa
khulafa usman bin affan dan ali bin abi tholib
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Khulafa’ al-Rayidin
Kata خليفة,
menurut Luis Ma’luf Yasu’I dalam kamus Al-Munjid biasa diterjemahkan dengan
pengganti. Dalam al-Qur’an terdapat dua kata
خليفة
, empat kata خلائف, dan tiga kata خلفاء: tapi tidak satu pun tertuju pada
Muhammad. Saw. atau khalifahnya.[1]
Kholifah dalam surat al baqarah : 30, nabi adam, Surat shod : 26, nabi adam
Al-khulafa
ar-rosyidin bermakna pengganti-pengganti
rasul yang cendekiawan. Adapun pencetus nama al-khulafa ar-rosyidin adalah dari
orang-orang muslim yang paling dekat dari Nabi setelah meninggalnya beliau.
Mengapa demikian, karena mereka menganggap bahwa 4 tokoh sepeninggal Rasul itu
orang yang selalu mendampingi Rasul ketika beliau menjadi pemimpin dan dalam menjalankan
tugas.[2]
Diantaranya yaitu Abu Bakar as-Shiddiq, Umar ibn Khattab, Usman ibn Affan, dan
Ali ibn Abi Thalib.
Istilah khulafa
ar-rasyidin berasal dari sebuah riwayat yang disandarkan kepada Nabi Muhammad
saw. dalam riwayat tersebut dikatakan bahwa Nabi bersabda :
“umatku akan terpecah-pecah menjadi 73 golongan, semuanya akan
ditempatkan di neraka kecuali satu golongan saja. Apa yang satu golongan itu? Tanya seorang
sahabat. Nabi saw. Menjawab: “kelompok Ahlussunnah wal jama’ah.” Mereka yang
taat pada sunnahku dan sunnah al-khulafa ar-rosyidin.”[3]
2.
Perkembangan
Kebudayaan dan Peradaban pada masa Khulafa’ Usman bin Affan dan Ali bin Abi Tholib.
Ustman Ibn Affan (23-35 H/644-656 M)
* Biografi singkat
Ustman Ibn Affan
Nama lengkapnya Ustman Ibn Affan bin Abi Ash
bin Umayyah bin Abd Syams bin Abd Manaf, biasa dipanggil Abu Abdillah dan di
gelari Dzu An-Nur’ain (pemilik dua cahaya).[4]
Ayahnya bernama Affan dan ibunya bernama Arwa.
Usman ibn Affan
dilahirkan pada tahun 573 M pada sebuah keluarga dari suku Qurays Bani Umayah.
Nenek moyangnya bersatu dengan nasab Nabi Muhamad Saw pada generasi ke-5.
Sebelum masuk Islam ia dipanggil dengan sebutan Abu Amr. Usman ibn Affan
merupakan kerabat dekat Abu Sufyan, la adalah sahabat Nabi Saw yang pandai
membaca dan menulis, karena sejak kecil ia dikenal sebagai anak yang cerdas dan
jujur, sehingga ketika dewasa ia merupakan salah satu orang yang berpengaruh di
jaziarah Arabia.
Usman ibn Affan masuk
Islam atas ajakan Abu Bakar, salah seorang sahabat dekatnya. Ada satu riwayat
yang menceritakan tentang keislamannya. Suatu malam ia bermimpi dibangunkan
oleh seseorang yang memanggilnya, “Bangunlah, engkau tiduran saja, sementara
Ahmad sedang, sibuk berdakwah di Mekah. Setelah terbangun, ia termenung dan
kemudian menemui Nabi Muhammad dan menyatakan keislamannya. Setelah pamannya
bernama Hakam mendengar ia masuk Islam, ia dicambuk berkali-kali agar kembali
kepada agama nenek moyangnya. Namun karena dia telah memiliki tekad yang kuat untuk
tetap bertahan pada agama Islam, kekerasan yang di-terimanya tidak dirasakan
bahkan keimananya semakin kuat.
* Proses pengangkatan
Ustman Ibn Affan Sebagai Khalifah
Dalam keadaan sakit,
khalifah Umar ibn al Khattab membentuk sebuah dewan untuk mengatasi persoalan
yang akan dihadapi, terutama soal penggantian kepemimpinan setelahnya. Dewan
tersebut terdiri dari Usman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib, Thalhah ibn
Ubaidillah, Zubair ibn Awwam, Abdurrahman ibn Auf, dan Sa'ad ibn Abi Waqqash. Dewan
ini bertugas memilih salah seorang di antara mereka yang akan menggantikannya
sebagai khalifah. Abdurrahman ibn Auf dipercayakan menjadi ketua pantia
pemilihan tersebut. Berkat ketekunan dan kebijaksanaan Abdurrahman ibn Auf,
akhirnya proses pemilihan berjalan lancar dan menghasilkan sebuah keputusan
yang memenangkan Usman ibn Affan terpilih sebagai khlifah. Kemudian Abdurrahman
ibn Auf mengangkat tangan Usman ibn Afffan sebagai tanda penga¬kuannya sebagai
khalifah baru, pengganti khalifah terdahulu, yaitu Umar lbn al-Khattab. Ketika
terpilih sebagai khalifah, Usman ibn Affan telah berusia 70 tahun, usia yang
telah matang dan penuh bijaksana.[5]
* Perkembangan politik
dan pemerintahan pada masa Ustman Ibn Affan
Di masa pemerintahan
Utsman Radhiallahu‘anhu, Armenia,
Tunisia, Cyprus, Rhodes, dan bagian yang tersisa dari Persia, Transoxania, dan
Tabaristan berhasil direbut. Dan ia juga membangun pangkalan angkatan laut,
menyuruh membentuk kepolisian Negara, dan mendirikan gedung peradilan.[6]
Dalam pemerintahannya juga dilakukan usaha
pengumpulan al-Qur'an menjadi satu mushaf yang merupakan kelanjutan dari usaha
sebelumnya, terutama pada masa khalifah pertama dan kedua. Pada tahun 26 H
khalifah Usman ibn Affan mengkonsentrasikan pada upaya penulisan al-Qur'an
dengan membentuk panitia penulisan dan pembukuan al-Qur'an yang diketuai oleh
Zaid ibn Tsabit. Seperti diketahui bahwa Zaid ibn Tsabit adalah salah seorang
sahabat Nabi Saw yang dipercaya sebagai sekretaris Nabi saw untuk mencatat semua
wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah saw, Selain itu, ia juga termasuk dalam
seorang sahabat yang hafal al-Qur'an. Sementara Abdulah ibn Zubair, Sa'ad ibn
Abi Waqqash dan Abdur¬rahman ibn Haris ibn Hisyani adalah sebagai anggota.
Mereka diminta untuk menvylin al-Qur'an yang terdapat di beberapa tempat,
seperti di lembar pelapah kurma, bebatuan, kulit dan tulang untuk dibukukan
menjadi sebuah mushaf. Al- Qur'an yang ditulis dan dibukukan ini kemudian
dikenal dengan sebutan mushaf. Mushaf yang ditulis sebanyak 5 buah. 4 buah di
antaranya dikirim ke masing-masing wilayah Islam sebagai pedoman bacaan yang
benar. Sedangkan sebuah lagi disimpan di Madinah untuk khalifah Usman sendiri.
Mushaf itu kemudian dikenal dengan istilah Mushaf al- imam atau Mushaf Usmani.
Pemerintahan Usman
Radhiallahu ‘anhu berlangsung selama 12 tahun, pada paruh terakhir masa
kekhalifahannya muncul perasaan tidak puas dan kecewa di kalangan umat Islam
terhadapnya. Kepemimpinan Utsman Radhiallahu‘anhu memang sangat berbeda dengan
kepemimpinan Umar Radhiallahu ‘anhu. Ini karena fitnah dan hasutan dari
Abdullah bin Saba’ Al-Yamani salah seorang yahudi yang berpura-pura masuk
islam. Ibnu Saba’ ini gemar berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat
lainnya untuk menyebarkan fitnah kepada kaum muslimin yang baru masa
keislamannya. Akhirnya pada tahun 35 H/1655 M, Utsman Radhiallahu ‘anhu dibunuh
oleh kaum pemberontak yang terdiri dari orang-orang yang berhasil dihasut oleh
Abdullah bin Saba’ itu.
Salah satu faktor
yang menyebabkan banyak rakyat berburuk sangka terhadap kepemimpinan Utsman
Radhiallahu ‘anhu adalah kebijaksanaannya mengangkat keluarga dalam kedudukan
tinggi. Yang terpenting di antaranya adalah Marwan ibn Hakam Rahimahullah.
Dialah pada dasarnya yang dianggap oleh orang-orang tersebut yang menjalankan
pemerintahan, sedangkan Utsman Radhiallahu ‘anhu hanya menyandang gelar
Khalifah. Setelah banyak anggota keluarganya yang duduk dalam jabatan-jabatan
penting, Usman Radhiallahu ‘anhu laksana
boneka di hadapan kerabatnya itu. Dia tidak dapat berbuat banyak dan terlalu
lemah terhadap keluarganya. Dia juga tidak tegas terhadap kesalahan bawahan.
Harta kekayaan negara, oleh kerabatnya dibagi-bagikan tanpa terkontrol oleh
Usman Radhiallahu ‘anhu sendiri. Itu semua akibat fitnah yang ditebarkan oleh
Abdullah bin Saba’.[7]
d) Ali Ibn Abi Thalib
(35-40 H/656-661 M)
* Biografi singkat Ali
Ibn Abi Thalib
Ali ibn Abi Thalib adalah khalifah keempat
setelah Usman ibn Affan. Nama lengkapnya adalah Ali ibn Abi Thalib ibn Abdul
Muthalib ibn Hasyim ibn Abdi Manaf. la dilahirkan 32 tahun setelah kelahiran
RasuluIIah Saw. Sejak Usia kecil Ali ibn Abi Thalib diasuh oleh Nabi Muhamad
Saw. la diasuh sebagaimana anak kandung Nabi sendiri. Hal itu dilakukan
Rasulullah Saw untuk meringan¬kan beban berat yang diderita keluarga pamannya
setelah bencana besar yang melanda kota Makah. Setelah bencana terjadi, Nabi
Muhamad Saw memohon kepada pa¬mannya yang lain, yaitu Abbas ibn Abdul Muthalib
agar membantu saudaranya yang sedang terkena musibah. Akhirnya Abbas setuju dan
meng¬ambil Ja'far ibn Abi Thalib untuk diasuh, sementara Nabi Saw mengambil Ali
ibn Abi Thalib un¬tuk diasuhnya pula.
Dengan demikian, Ali
ibn Abi Thalib tumbuh menjadi anak baik dan cer-das di bawah asuhan Rasulullah
Saw. Rasulullah saw selalu memberikan kasih saying yang besar kepadanya,
sebagaimana yang ia berikan kepada anak-anaknya. Ketika Muhamad Saw diangkat
menjadi Nabi dan Rasul, Ali ibn Abi Thalib adalah orang pertama dari kalangan
anak-anak yang menyatakan keislamannya serta terus berada di sisi Rasulul¬lah
Saw. Karena sejak kecil berada di bawah asuhan Rasul, maka tak heran kalau
kemu¬dian ia memiliki sifat-sifat terpuji, shaleh, sabar, adil dan bijaksana.
Kesetiannya kepada Nabi Saw tidak diragukan lagi. Keberaniannya telah teruji
ketika ia tidur di tempat tidur Rasul pada saat para pemuda Qurays akan
membunuh rasulullah saw.
* Proses
pengangkatan Ali Ibn Abi Thalib Sebagai
Khalifah
Setelah Utsman Radhiallahu ‘anhu wafat,
masyarakat beramai-ramai membaiat Ali ibn Abi Thalib Radhiallahu ‘anhu sebagai
khalifah. Ali Ibn Abi Thalib tampil memegang pucuk kepemimpinan negara di
tengah-tengah kericuhan dan huru-hara perpecahan akibat terbunuhnya Usman oleh
kaum pemberontak. Ali Ibn Abi Thalib dipilih dan diangkat oleh jamaah kaum
muslimin di madinah dalam suasana sangat kacau, dengan pertimbangan jika
khalifah tidak segera dipilih dan di angkat, maka ditakutkan keadaan semakin
kacau. Ali Ibn Abi Thalib di angkat dengan dibaiat oleh masyarakat.
* Perkembangan politik
dan pemerintahan pada masa Ali Ibn Abi Thalib
Ali Radhiallahu ‘anhu memerintah hanya enam
tahun. Selama masa pemerintahannya, ia menghadapi berbagai pergolakan. Tidak
ada masa sedikit pun dalam pemerintahannya yang dapat dikatakan stabil. Setelah
menduduki jabatan khalifah, Ali Radhiallahu ‘anhu menon-aktifkan para gubernur
yang diangkat oleh Utsman Radhiallahu ‘anhu. Dia yakin bahwa
pemberontakan-pemberontakan terjadi karena keteledoran mereka. Dia juga menarik
kembali tanah yang dihadiahkan Utsman Radhiallahu ‘anhu kepada penduduk dengan
menyerahkan hasil pendapatannya kepada negara, dan memakai kembali sistem
distribusi pajak tahunan di antara orang-orang Islam sebagaimana pernah
diterapkan Umar Radhiallahu ‘anhu.
Dalam masa pemerintahannya, Ali Ibn Abi
Thalib mengahadapi pemberontakan Thalhah,
Zubair, dan Aisyah. Alasan mereka, Ali Ibn Abi Thalib tidak mau
menghukum para pembunuh Usman dan mereka menuntut bela terhadap daerah Usman
yang telah ditumpahkan secara dhalim. Perang ini dikenal dengan nama perang
jamal.
Bersamaan dengan itu,
kebijaksanaan-kebijaksanaan Ali Radhiallahu ‘anhu juga mengakibatkan timbulnya
perlawanan dari para gubernur di Damaskus, Mu'awiyah Radhiallahu ‘anhu, yang
didukung oleh sejumlah bekas pejabat tinggi yang merasa kehilangan kedudukan
dan kejayaan. Setelah berhasil memadamkan pemberontakan Zubair, Thalhah dan
Aisyah, Ali Radhiallahu ‘anhu bergerak dari Kufah menuju Damaskus dengan
sejumlah besar tentara. Pasukannya bertemu dengan pasukan Mu'awiyah Radhiallahu
‘anhu di Shiffin. Pertempuran terjadi di sini yang dikenal dengan nama perang
shiffin. Perang ini diakhiri dengan tahkim (arbitrase), tapi tahkim ternyata
tidak menyelesaikan masalah, bahkan menyebabkan timbulnya golongan ketiga,
al-Khawarij, orang-orang yang keluar dari barisan Ali Radhiallahu ‘anhu.
Akibatnya, di ujung masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘anhu umat
Islam terpecah menjadi tiga kekuatan politik, yaitu Mu'awiyah, Syi'ah (pengikut
Abdullah bin Saba’ al-yahudi) yang menyusup pada barisan tentara Ali
Radhiallahu ‘anhu, dan al-Khawarij (orang-orang yang keluar dari barisan Ali).
Keadaan ini tidak menguntungkan Ali Radhiallahu ‘anhu. Munculnya kelompok
al-khawarij menyebabkan tentaranya semakin lemah, sementara posisi Mu'awiyah
Radhiallahu ‘anhu semakin kuat. Pada tanggal 20 ramadhan 40 H (660 M), Ali
Radhiallahu ‘anhu terbunuh oleh salah seorang anggota Khawarij yaitu Abdullah
bin Muljam.[8]
3. Perkembangan Kebudayaan
dan Peradaban pada masa Khulafa’ al-Rayidin
Ekonomi
System perekonomian pada masa pemerintahan khulafaurrasyidin adalah
bertani dan berdagang setiap hari mereka disibukkan dengan pesoalan air dan
rumput-rumput 24. Hasil pertanian yang mereka ekspor antara lain, kurma, kayu
gaharu, buah kismis anggur dan lainnya selain bertani, unsur terpenting dalam
perekonomian mereka adalah berdagang. Masyarakat arab waktu itu sudah mengenal
ekspor impor. Komoditas ekspor arab selatan dan yaman adalah dupa, kemenyan,
kayu gaharu, minyak wangi dan kulit binatang. Buah kismis anggur dan lainnya .
Komoditas yang mereka impor dari afrika timur antara lain kayu untuk bangunan,
bulu burung unta, lantakan logam mulia dan badat. Dari asia selatan dan china
adalah daging, batu mulia, sutra, pakaian, pedang, rempah-rempah. Sedangkan dari
negara teluk persia mereka mengimpor intan. Mereka memperoleh pedang dan
pakaian dari asia selatan dan china, ekspor-impor sudah dikenal sejak masa
khulafaurrasyidin, mereka membuka hubungan dengan negara-negara disekitar
mereka.
Sosial
Secara giografis Arab bertanah tandus dan didominasi oleh gurun
pasir, kendaraan yang mereka gunakan adalah unta. masyarakat menggunakan cadar
(penutup hidung) agar tidak menghirup pasir, wilayah arab yang kering berbatu
dan sebagian besar adalah gurun pasir mempengaruhi eatak orang Arab. Orang Arab
memiliki solidaritas internal yang sangat kuat dan sebaliknya ganas terhadap
suku dan kabilah lain. Pada masa Nabi, sifat kesukuan ini berhasil dirubah
menjadi sifat nasionalisme kenegaraan, yang awalnya mereka bangga menyebut-nyebut
semboyan kesukuannya menjadi berubah menjadi semboyan islam. Pada masa Abu
bakar, Umar, sifat ini timbul kembali sehingga menimbulkan perpecahan dalam
golongan islam terutama pada masa Ustman dan Ali. Sifat kesukuan ini yang
menghancurkan umat islam.
Pada masa Ustman, dia merangkul dan mengangkat mereka menjadi
pejabat pemerintahan, Rosulullah juga tidak pernah mengangkat salah seorang
dari Bani hasyim untuk menduduki jabatan. Demikian pula masa Abu Bakar dan
Umar, Hal ini untuk menghindari kecemburuan politik.
Agama
Agama yang dianut masyarakat Arab pada masa Khulafaur Rasydin
selain Islam adalah Paganisme, yakni penyembahan terhadap berhala yakni agama
yang di anut secara turun temurun sejak jamannya nabi musa. mereka tidak mudah
melepaskan agama dari bapak dan ibu mereka, selain itu sebagian ada yang
menganut gabungan antara agama nenek moyang mereka yakni vetersme (menyembah batu atau kayu ) mereka menyembah
batu-batu besar atau pohon-pohon besar yang di anggap kramat dan bisa
memberikan perlindungan bagi mereka. serta ttetoisme ( yakni pengkultusan
terhadap hewan dan tumbuhan yang di anggap suci ) seperti halnya mereka
menyembah sapi betina , karena mereka anggap suci. Dan Anemisme yakni:
kepercayaan terhadap roh . Namun tidak sedikit yang menganut ajaran hanif nabi
Ibrahim seperti paman nabi , yaitu Abu Thalib. Banyaknya agama yang di anut
pada massa khulafaur Rasyidin ini di karenakan sifat orang arab yang keras
sehingga mereka tidak mudah menerima sesuatu yang baru.
Sastra
Sejarah sastra arab, mencatat banyak penyair-penyair Mu’allaqat,
diantaranya adalah tujuh orang yaitu yang terkenal dengan sebutan (seven
suspendeds poems) mereka adalah : Ibnu al-qais bin Haris al-kindi (500-540),
Zuhair bin Abu Sulma Al-Muzani (530-627), Al Nabiqah al Zubiani (sekitar 604),
Labid bin Rabiah al-amiri (560-661), Tarafah bin Abdul Bakri (543-569), Antarah
bin Syaddad Al-Bakri ( sekitar 580).
Banyaknya sastrawan-sastrawan Arab ini menunjukkan bahwa sastra
pada saat itu sudah sangat terkenal dan menjadi budaya orang Arab, orang Arab
sangat menghormati sastrawan. Sehingga Allah menurunkan Al-Qur’an dengan segala
keindahan syair yang terkandung dan tak ada yang dapat menandingi syair
Al-Qur’an dan kepadatan makna yang terkandung di dalamnya. Al-Qur’an adalah
kitab Allah yang memiliki nilai sastra yang sangat tinggi dimana didalamnya
terdapat makna yang sangat padat dan mudah dipahami sehingga Al-Qur’an mudah
dihafal. Hal ini menjadi salah satu keistimewaan Al-Qur’an. Al-Qur’an
diturunkan kepada umat islam dengan syair dan bahasa yang khas yang dapat
melemahkan hasil karya sastra pada masa itu.[9]
BAB III
KESIMPULAN
KESIMPULAN
Khalifah keempat Ali bin Abi Tholib adalah sepupu Nabi Muhammad SAW
yang diangkat sebagai khalifah dalam situasi politik yang kurang mendukung. Peristiwa
pembunuhan Utsman bin Affan mengakibatkan kegentingan di seluruh dunia islam.
Pemberontak yang waktu itu menguasai Madinah tidak mempunyai pilihan lain
selain mengangkat Ali sebagai khalifah.
Sebagai khalifah ke-4 yang memerintah selama sekitar 6 tahun. Masa
pemerintahannya mewarisi kekacauan yang terjadi saat masa pemerintahan khalifah
sebelumnya, Utsman bin Affan. Untuk pertama kalinya perang saudara antara umat
muslim terjadi saat pemerintahannya, yaitu perang jamal pada tahun 36 H.
Kemudian dengan dikuasainya Syiria oleh Muawiyyah, yang secara
terbuka menentang Ali, dan penolakannya atas perintah meletakkan jabatan
gubernur, memaksa khalifah Ali untuk bertindak. Pertempuran sesama muslim
terjadi lagi, yaitu antara Ali dan Muawiyah di kota Shiffin dekat sungai
Eufrat, pada tahun 37 H.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Jabiri, Mohamed Abed, Problem peradaban: penelusuran atas jejak
Kebudayaan Arab, Islam dan Timur, Yogyakarta: Belukar, 2004.
Al-Usairy, Ahmad, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam hingga Abad
XX, Jakarta : Media Grafika, 2003.
Al-Qattan, Manna Khalil, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, Jakarta : PT.
Pustaka Litera Antarnusa, 2007.
Engineer
, Asghar Ali, Devolusi Negara Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Ibrahim,
Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam, Yogyakarta : Penerbit Kota Kembang, 1989.
Karim, Abdul, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta :
Pustaka Book Publisher, 2007.
Mursi, Syaikh Muhammad Sa’id, Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang
Sejarah, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2007.
Syukur
, Fatah, Sejarah Peradaban Islam, Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 2009.
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, Jakarta
: PT Raja Grafindo Persada,2008.
[1] Abdul
Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta : Pustaka Book
Publisher, 2007, hal 77
[2] Fatah
Syukur, Sejarah Peradaban Islam, Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 2009, hal.
50
[3] Dalam
riwayat lain dikatakan bahwa Nabi bersabda : fa’alaikum bi as-sunnati wa sunnat
al khulafairrosyidin. Lihat Muhammad Yusuf al-Qandhawi, Hayat ash-Sahabat, Musthafa
Ahmad al Baz, Makkah, 1992, juz I, hal.
20
[4] Syaikh
Muhammad Sa’id Mursi,op. cit. hal 16.
[5]
http://akademika-odiemha.blogspot.com/2009/09/perkembangan-islam-pada-masa-al-khulafa.html
[6] Ibid.
hal 18.
[7] Badri
Yatim, op. cit. hal. 38-39
[8] Badri
Yatim, Ibid. hal 39-40.
[9]
http://hadirukiyah.blogspot.com/2009/06/sejarah-peradaban-islam-pada-masa_27.html