Rabu, 29 Agustus 2012

Konsep Birokrasi


KONSEP BIROKRASI
MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah :
“TEORI ADMINISTRASI”

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
alam makalah konsep birokrasi akan menguraikan secara mendalam semua aspek yang berhubungan dengan birokrasi baik yang menyangkut teori maupun prakteknya. Diantaranya juga termasuk masalah-masalah birokrasi yang dihadapi masyarakat Indonesia. Fenomena birokrasi selalu ada bersama kita dalam kehidupan kita sehari-hari dan setiap orang. Seringkali mengeluhkan cara berfungsinya birokrasi sehingga pada akhirnya orang akan mengambil kesimpulan bahwa birokrasi tidak ada manfaatnya karena banyak disalahgunakan oleh pejabat pemerintah (birokratisme) yang merugikan masyarakat. apakah hak tersebut benar?
Birokrasi bukanlah suatu fenomena yang baru bagi kita karena sebenarnya telah ada dalam bentuknya yang sederhana sejak beribu-ribu tahun yang lalu. Namun demikian kecenderungan mengenai konsep dan praktek birokrasi telah mengalami perubahan yang berarti sejak seratus tahun terakhir ini. Dalam Masyarakat yang modern, birokrasi telah menjadi suatu organisasi atau institusi yang penting. Pada masa sebelumnya ukuran negara pada umumnya sangat kecil, namun pada masa kini negara-negara modern memiliki luas wilayah, ruang lingkup organisasi, dan administrasi yang cukup besar dengan berjuta-juta penduduk.
Kajian birokrasi sangat penting bagi mereka yang terlibat dalam bidang pemerintahan, karena secara umum dipahami bahwa salah satu institusi atau lembaga, yang paling penting sebagai personifikasi negara adalah pemerintah, sedangkan personifikasi pemerintah itu sendiri adalah perangkat birokrasinya (birokrat).
Di tengah-tengah “debirokratisasi” untuk mengurangi peranan negara yang sangat berlebihan banyak disebut orang di negara kita pembahasan tentang birokrasi dipandang sangat tepat momentumnya untuk dibahas. Betapa tidak kendati pun kata borokrasi nyaris menjadi hiasan bibir, tidak semua orang memahami liku-liku denotasi maupun konotasi yang dicakupnya. Kita mencoba menggali hakikat birokrasi itu mulai dari kelahirannya termasuk asal usul kosa kata tersebut terutama dari bahas Jerman dan Inggris sampai pada pemikiran Weber yang amat mencengangkan tentang birokrasi, beitu juga kritik-kritik tajam terhadap pandangan bapak sosiologi itu, yang mengabaikan aspek “inefisiensi birokrasi”. Dimana dalam hal ini Weber dikecam habis-habisan oleh banyak ahli disamping tidak pula sedikit untuk memujianya, atas prestasinya yang dengan begitu tegar mengajukan tujuh konsep modern tentang borokrasi.
Bagi masyarakat dunia berkembang, birokrasi merupakan gejala universal yang sekaligus bagai tatanan hidup bermasyarakat dan bernegara yang tidak dapat dihindari di satu pihak, disamping sangat gemas menghadapi patologi yang pasti menyertainya. Namun, demikian sudah seyogyanya jika para akademisi lebih-lebih mahasiswa ilmu-ilmu social dan para politisi serta para pemerhati politik memehami birokrasi dari tangan pertama dan dari literature yang teruji kehandalannya. Dan dengan pemahaman yang tepat terhadap gejala birokrasi kita dapat menapaki apa yang dimaksud dengan “debirokratisasi”.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah reformasi birokrasi?
2.      Bagaimanakah konsep birokrasi dalam prespektif klasik dan modern?
3.      Bagaimanakah fenomena konsep birokrasi di Indonesia?
C.   Tujuan
1.      Untuk mengetahui jejak kelahiran konsep birokrasi serta pengertiannya.
2.      Untuk mengetahui konsep birokrasi dalam prespektif klasik.
3.      Untuk mengetahui fenomena konsep birokrasi di Indonesia.

BAB II
PEMBAHASAN

A.  Kelahiran Konsep Birokrasi
Pembahasan secara serius mengenai konsep birokrasi baru dimulai tahun 1798. Saat itu orang mulai barfikir mengenai adanya satu konsep pelayanan publik yang umum (Albrow, 1970:18-32). Kamus Perancis tahun 1798 mendefinisikan birokrasi sebagai “kekuasaan, pengaruh dari pemimpin dan para staf biro pemerintahan. Kamus Jerman tahun 1813 mendefinisikan birokrasi sebagai “kewenangan atau kekuasaan dimana aneka departemen pemerintahan dan cabang-cabannya merebutnya dari negara bagi diri mereka sendiri”. Stuart Mills dalam “Principil of Political Economy (1848)” menggambarkan bahwa esensi dari birokrasi adalah pemerintahan yang dikendalikan oleh kaum profesional. Pemerintah semacan ini menurut Mills, mengumpulka orang-orang yang terdidik, faham akan keterkaitan aktifitas diantara mereka, sehingga birokrasi terlilit oleh aktifitas. Meskipun dalam perjalanan hidupnya konsep birokrasi lebih banyak mengenyam cercaan dari pada pujian, namun tidak ada yang menyangkal bahwa birokrasi dibentuk untuk mengabdi atau melayani kebutuhan publik. Kebutuhan itu selalu berubah-ubah atau berkembang, sehingga fungsi-fungsi pelayanan publik pun harus disesuaikan dengan perkembangan yang terjadi dengan tetap menjaga sifat netralitas pelayanannya. Persoalan yang sangat klasik dalam studi-studi tentang birokrasi adalah apakah bisa birokrasi menjaga netralitasnya? Guy Peters melalui karyanya The Politics of Bureucracy (1984) mengingatkan kita bahwa birokrasi tidak akan pernah terlepas dari pengaruh politik, sebab birokrasi itu sendiri merupakan produk dari proses politik. Artinya sulit untuk memandang birokrasi sebagai satu lembaga netral yang tidak memiliki tujuan-tujuan sendiri, yang bisa saja berbeda dengan kehendak rakyat yang dilayaninya.[1]
Konsep Birokrasi dalam Prespektif Klasik dan Modern
Pada materi ini, kita akan kembali kepada tema awal maksud dari gagasan birokrasi. Konsep birokrasi yang dikaji pada materi ini mengikut pada dua teoretisi yang cukup berpengaruh di bidang ini. Pertama adalah konsep birokrasi yang disodorkan Max Weber. Kedua adalah konsep birokrasi yang disodorkan oleh Martin Albrow.
Konsep Birokrasi dalam Prespektif Klasik
Max Weber on Bureaucracy
Sebelum masuk pada pandangan Weber soal Birokrasi ada baiknya ditinjau etimologi (asal-usul) konsep ini yang berasal dari kata “bureau”. Kata “bureau” berasal dari Perancis yang kemudian diasimilasi oleh Jerman. Artinya adalah meja atau kadang diperluas jadi kantor. Sebab itu, terminologi birokrasi adalah aturan yang dikendalikan lewat meja atau kantor. Di masa kontemporer, birokrasi adalah "mesin" yang mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang ada di organisasi baik pemerintah maupun swasta. Pada pucuk kekuasaan organisasi terdapat sekumpulan orang yang menjalankan kekuasaan secara kurang birokratis, dan dalam konteks negara, mereka misalnya parlemen atau lembaga kepresidenan.
Hal yang perlu disampaikan, Max Weber sendiri tidak pernah secara definitif menyebutkan makna Birokrasi. Weber menyebut begitu saja konsep ini lalu menganalisis ciri-ciri apa yang seharusnya melekat pada birokrasi. Gejala birokrasi yang dikaji Weber sesungguhnya birokrasi-patrimonial. Birokrasi-Patrimonial ini berlangsung di waktu hidup Weber, yaitu birokrasi yang dikembangkan pada Dinasti Hohenzollern di Prussia.
Birokrasi tersebut dianggap oleh Weber sebagai tidak rasional. Banyak pengangkatan pejabat yang mengacu pada political-will pimpinan Dinasti. Akibatnya banyak pekerjaan negara yang “salah-urus” atau tidak mencapai hasil secara maksimal. Atas dasar “ketidakrasional” itu, Weber kemudian mengembangkan apa yang seharusnya (ideal typhus) melekat di sebuah birokrasi.
Weber terkenal dengan konsepsinya mengenai tipe ideal (ideal typhus) bagi sebuah otoritas legal dapat diselenggarakan, yaitu :
   1. tugas-tugas pejabat diorganisir atas dasar aturan yang berkesinambungan;
   2. tugas-tugas tersebut dibagi atas bidang-bidang yang berbeda sesuai dengan fungsi-fungsinya, yang masing-masing dilengkapi dengan syarat otoritas dan sanksi-sanksi;
   3. jabatan-jabatan tersusun secara hirarkis, yang disertai dengan rincian hak-hak kontrol dan pengaduan (complaint);
   4. aturan-aturan yang sesuai dengan pekerjaan diarahkan baik secara teknis maupun secara legal. Dalam kedua kasus tersebut, manusia yang terlatih menjadi diperlukan;
   5. anggota sebagai sumber daya organisasi berbeda dengan anggota sebagai individu pribadi;
   6. pemegang jabatan tidaklah sama dengan jabatannya;
   7. administrasi didasarkan pada dokumen-dokumen tertulis dan hal ini cenderung menjadikan kantor (biro) sebagai pusat organisasi modern; dan
   8. sistem-sistem otoritas legal dapat mengambil banyak bentuk, tetapi dilihat pada bentuk aslinya, sistem tersebut tetap berada dalam suatu staf administrasi birokratik.
Bagi Weber, jika ke-8 sifat di atas dilekatkan ke sebuah birokrasi, maka birokrasi tersebut dapat dikatakan bercorak legal-rasional.
Selanjutnya, Weber melanjutkan ke sisi pekerja (staf) di organisasi yang legal-rasional. Bagi Weber, kedudukan staf di sebuah organisasi legal-rasional adalah sebagai berikut :Staf administrasi brokratis, birokrasi dalam bentuknya yang paling rasional, terlebih dahulu mempersyaratkan proposisi-proposisi menurut legitimasi dan otoritas, serta memiliki ciri tertentu sebagai berikut:
1.      Para anggota staf bersifat bebas secara pribadi, dalam arti hanya menjalankan tugas-tugas impersonal sesuai dengan jabatan mereka;
2.      Terdapat hirarki jabatan yang jelas;
3.      Fungsi-fungsi jabatan ditentukan secara tegas;
4.       Para pejabat diangkat berdasarkan suatu kontrak;
5.       Para pejabat dipilih berdasarkan kualifikasi profesional, idealnya didasarkan pada suatu diploma (ijazah) yang diperoleh melalui ujian;
6.       Para pejabat memiliki gaji dan biasanya juga dilengkapi hak-hak pensiun. Gaji bersifat berjenjang menurut kedudukan dalam hirarki. Pejabat dapat selalu menempati posnya, dan dalam keadaan-keadaan tertentu, pejabat juga dapat diberhentikan;
7.       Pos jabatan adalah lapangan kerja yang pokok bagi para pejabat;
8.       Suatu struktur karir dn promosi dimungkinkan atas dasar senioritas dan keahlian (merit) serta menurut pertimbangan keunggulan (superior);
9.       Pejabat sangat mungkin tidak sesuai dengan pos jabatannya maupun dengan sumber-sumber yang tersedia di pos terbut, dan;
10.   Pejabat tunduk pada sisstem disiplin dan kontrol yang seragam.[2]
Upaya perbaikan birokrasi, tidak hanya mengembalikan ke ide awal Weber. Birokrasi sudah bergeser dari konsep awal Weber dan jauh dari seharusnya, sehingga tidak meninggalkan kritik, tetapi juga stereotip. Perlu kita sadari, kalaupun praktik birokrasi persis seperti konsep awal Weber, kita tetap perlu  melakukan perubahan atau perbaikan, sesuai dengan tuntutan dan tantangan yang akan selalu muncul. Stereotip terhadap birokrasi sudah demikian  hebatnya akibat kinerja aktualnya. Oleh karena itu, muncul usulan perbaikan dari para praktisi dan toritis. Pada akhirnya teori harus dapat di praktekkan di beberapa tempat yang berbeda tapi memilki latar belakang yang sama. Dengan kata lain, teori yang berangkatdari praktik suatu negara tidak selalu tepat untuk negara lain. Sebab, bukan saja pelakunya yang tidak sama, tetapi juga lingkungannya. Meskipun demikian, harus ada ketegasan bahwa ketidak keamaan itu harus etap berorientasi ke depan dan tidak dijadikan alasan untuk membenarkan penyimpangan.[3]
Konsep birokrasi menjadi relevan diantara kategori-kategori analisis organisasi. Konsep birokrasi di introdusir kedalam seuatu bidang konseptual yang telah didefinisakan secara tajam. Dalam tinjauan skimatis tentang bidang konseptual itu, kita dapat membedakan tiga kelompok konsep. Pertama, ada konsep yang membedakan antara status-status yang berbeda dalam organisasi, seperti kepemimpinan, staf administrasi dan keanggotaan umum. Kedua, ada konsep-konsep yang membantu merinci hubungan antara status-status itu, seperti tatanan administrasi, otoritas dan legitimasi. Ketiga, gagasan tentang khasrisma tradisi dan legalitas yang diajukan sebagai cara pengklasifikasian struktur-struktur otoritas yang berbeda.[4]
Bagi Weber, perlu dilakukan pembatasan atas setiap kekuasaan yang ada di dalam birokrasi, yang meliputi point-point berikut :
   1. Kolegialitas. Kolegialitas adalah suatu prinsip pelibatan orang lain dalam pengambilan suatu keputusan. Weber mengakui bahwa dalam birokrasi, satu atasan mengambil satu keputusan sendiri. Namun, prinsip kolegialitas dapat saja diterapkan guna mencegah korupsi kekuasaan.
   2. Pemisahan Kekuasaan. Pemisahan kekuasaan berarti pembagian tanggung jawab terhadap fungsi yang sama antara dua badan atau lebih. Misalnya, untuk menyepakati anggaran negara, perlu keputusan bersama antara badan DPR dan Presiden. Pemisahan kekuasaan, menurut Weber, tidaklah stabil tetapi dapat membatasi akumulasi kekuasaan.
   3. Administrasi Amatir. Administrasi amatir dibutuhkan tatkala pemerintah tidak mampu membayar orang-orang untuk mengerjakan tugas birokrasi, dapat saja direkrut warganegara yang dapat melaksanakan tugas tersebut. Misalnya, tatkala KPU (birokrasi negara Indonesia) “kerepotan” menghitung surat suara bagi tiap TPS, ibu-ibu rumah tangga diberi kesempatan menghitung dan diberi honor. Tentu saja, pejabat KPU ada yang mendampingi selama pelaksanaan tugas tersebut.
   4. Demokrasi Langsung. Demokrasi langsung berguna dalam membuat orang bertanggung jawab kepada suatu majelis. Misalnya, Gubernur Bank Indonesia, meski merupakan prerogatif Presiden guna mengangkatnya, terlebih dahulu harus di-fit and proper-test oleh DPR. Ini berguna agar Gubernur BI yang diangkat merasa bertanggung jawab kepada rakyat secara keseluruhan.
   5. Representasi. Representasi didasarkan pengertian seorang pejabat yang diangkat mewakili para pemilihnya. Dalam kinerja birokrasi, partai-partai politik dapat diandalkan dalam mengawasi kinerja pejabat dan staf birokrasi. Ini akibat pengertian tak langsung bahwa anggota DPR dari partai politik mewakili rakyat pemilih mereka.
Kritik atas Pandangan Weber mengenai Birokrasi
Secanggih apapun analisis manusia, ia akan menuai kritik. Demikian pula pandangan Weber akan birokrasi ini. Berikut akan disampaikan sejumlah kritik para ahli akan pandangan Weber :
Robert K. Merton. Dalam artikelnya “Bureaucratic Structure and Personality”, Merton mempersoalkan gagasan birokrasi rasional Weber. Bagi Merton, penekanan Weber pada reliabilitas (kehandalan) dan ketepatan akan menimbulkan kegagalan dalam suatu administrasi. Mengapa? Peraturan yang dirancang sebagai alat untuk mencapai tujuan, dapat menjadi tujuan itu sendiri.
Selain itu, birokrat yang berkuasa akan membentuk solidaritas kelompok dan kerap menolak perubahan. Jika para pejabat ini dimaksudkan untuk melayani publik, maka norma-norma impersonal yang menuntun tingak laku mereka dapat menyebabkan konflik dengan individu-individu warganegara.
Apa yang ditekankan Merton adalah, bahwa suatu struktur yang rasional dalam pengetian Weber dapat dengan mudah menimbulkan akibat-akibat yang tidak diharapkan dan mengganggu bagi pencapaian tujuan-tujuan organisasi.
Philip Selznick. Selznick mengutarakan kritiknya atas Weber tentang Disfungsionalisasi Birokrasi. Ia fokus pada pembagian fungsi-fungsi did alam suatu organisasi. Selznick menunjukkan bagaimana sub-sub unit mewujudkan tujuan organisasi secara keseluruhan. Pembentukan departemen-departemen baru untuk meniadakan kecenderungan lama, hanya akan memperburuk situasi karena akan muncul lebih banyak sub-sub unit tujuan.
Talcott Parsons. Parsons fokus pada kenyataan bahwa staf administrasi yang dimaksud Weber, telah didefinisikan sebagai yang memiliki keahlian profesional dan juga hak untuk memerintah. Atribut-atribut seperti itu, kilah Parsons, dapat memunculkan konflik di dalam birokrasi, karena tidak mungkin untuk memastikan bahwa posisi dalam hirarki otoritas akan diiringi oleh keterampilan profesional yang sepadan. Akibatnya, timbul persoalan bagi angggota organisasi: Siapa yang harus dipatuhi? Orang yang memiliki hak untuk memerintah atau orang yang memiliki keahlian yang hebat?
Alvin Gouldner. Gouldner melanjutkan kritik Parsons atas Weber. Gouldner memuatnya dalam Pattern of Industrial Bureaucracy. Dalam analisisnya tentang dasar kepatuhan dalam suatu organisasi, Gouldner menyimpulkan argumennya pada konflik antara otoritas birokrati dan otoritas profesional. Ia membedakan 2 tipe birokrasi yang uta: “Pemusatan-Hukuman (punishment centered) dan Perwakilan (representative).
Pada tipe punishment centered, para anggota birokrasi pura-pura setuju dengan peraturan yang mereka anggap dipaksakan kepada mereka oleh suatu kelompok yang asing. Sedang pada tipe Representative, para anggota organisasi memandang peraturan sebagai kebutuhan menurut pertimbangan teknis dan diperlukan sesuai dengan kepentingan meerka sendiri. Dua sikap yang berbeda terhadap peraturan ini memiliki pengaruh yang mencolok pada pelaksanaan organisasi yang efisien.
R.G. Francis dan R.C. Stone. Francis dan Stone melanjutkan kritik Gouldner dalam buku mereka Service and Procedure in Bureaucracy. Francis dan Stone menunjukkan bahwa walaupun literatur resmi tentang organisasi dapat melarang impersonalitas dan kesetiaan yang kuat pada prosedur yang sudah ditentukan, tetapi dalam prakteknya para staf birokrasi dapat menyesuaikan tindakan mereka dengan keadaan-keadaan yang cocok dnegan kebutuhan-kebutuhan individu.
Rudolf Smend. Smend sama seperti Weber, berasal dari Jerman. Ia mengeluhkan bahwa Weber bertanggung jawab terhadap kesalahpahaman pemahaman tentang administrasi sebagai mesin rasional. Sementara pada pejabatnya hanyalah mengemban fungsi-fungsi teknis.
Hakim dan pejabat administrasi bukan merupakan etres inanimes. Mereka adalah makhluk berbudaya (gestig) dan makhluk sosial yang secra aktif mengemban fungsi-fungsi tertentu di dalam keseluruhan budaya. Apa yang dilakuka oleh manusia-manusia seperti itu ditentukan oleh keseluruhan budaya, yang diorientasikan melalui fungsi-fugnsinya, dan pada gilirannya membantu menentukan hakikat dari seseluruhan budaya tersebut. Dalam menerangkan hal ini, Smend menambahkan, masuk akal jika orang-oorang sosialis mengeluhkan “keadilan yang borjuistis.”
Reinhard Bendix. Bendix berpendapat bahwa efisiensi organisasi tidak dapat dinilai tanpa mempertimbangkan aturan-aturan formal dan sikap-sikap manusia terhadapnya. Dalam bukunya Higher Civil Servants in American Society, Bendix membantah adanya kemauan mematuhi undang-undang tanpa campur tangan dari nilai-nilai sosial dan politik yang umum.
Semua peraturan diterapkan pada kasus-ksus tertentu, dan dalam menentukan apakah suatu kasus berada di bawah peraturan, seorang pejabat arus mengemukakan alasan-alasan yang dapat dijadikan pertimbangan. Dalam membuat pertimbangannya, pejabat menemukan suatu dilema.
Di satu sisi, jika terlalu tunduk dengan undang-undang ia secara populer disebut bersikap birokratis. Tetapi, di sisi lain, jika ia terlalu percaya pada inisiatif semangat kemanusiaan, sepanjang hal itu tidak tertulis di dalam kitab perundang-undangan, maka tindakannya secara populer disebut sebagai suatu penyalahgunaan kekuasaan, karena mencampuri hak prerogatif badan legislatif.
Carl Friedrich. Seorang lainnya, Carl Friedrich, mengkritisi pendapat Weber bahwa seorang birokrat selalu harus bertindak sesuai aturan yang tertulis. Kenyataannya, peraturan-peraturan merupakan petunjuk yang tidak lengkap untuk bertindak. Ini artinya, faktor-faktor di luar peraturan harus dipertimbangkan oleh ilmuwan sosial dalam menginterpretasikan tindakan pejabat.
Kemungkinan interpretasi ini menggambarkan perlunya pilihan untuk digunakan sebagai pertimbangan setiap administrator. Ini berlawanan dengan pendapat Weber, yang membenarkan birokrati untuk menghindari semua tanggung jawab atas tindakannya. Bagi Friedrich, seorang birokrat bisa bertindak di luar ketentuan teknis, ataupun menurut instruksi.
Friedrich, sebab itu, mengkritik Weber karena mengabaikan tanggung jawab tersebut. Ia menganggap penekanan Weber terhadap otoritas membuat organisasi sosial jadi menyerupai organisasi militer. Ia menghalangi setiap jenis konsultasi, dan hanya mengandalkan pola kooperatisme.
Peter Blau. Bagi Blau, dalam bukunya The Dynamic of Bureaucracy, pandangan yang fleksibel tetap harus berlangsung di organisasi rasional sekalipun (birokrasi). Di dalam lingkungan yang berubah, pencapaian atas tujuan organisasi bergantung pada perubahan secara terus-menerus di dalam struktur birokrasi. Karena itu, efisiensi tidak dapat dijamin dengan membelenggu pejabat melalui seperangkat undang-undang yang kaku.
Hanya dengan membolehkan pejabat mengidentifikasi tujuan-tujuan organisasi sebagai suatu keseluruhan, dan menyesuaikan tingkah lakunya sesuai dengan persepsinya tentangng keadaan yang berubah, maka akan dihasilkan suatu administrasi yang efisien.
R. V. Presthus, W. Delaney, Joseph Lapalombara. Presthus mengamati kecenderungan birokrasi di negara-negara non Barat. Ia menganggap konsep birokrasi Weber belum tentu cocok bagi lingkungan non Barat. Ia menemukan bahwa pada industri batubara di Turki, dorongan-dorongan ekonomis dan material untuk melakukan usaha tidaklah seefektif dengan mereka yang mengusahakan hal yang sama di Barat.
Kesimpulan kontra Weber juga dikemukakan W. Delaney. Bagi Delaney, administrasi bercorak patrimonial justru mungkin saja cocok bagi masyarakat dengan pembagian kerja yang sederhana dan tradisional. Juga, Joseph Lapalombara menemukan fakta bahwa birokrasi ala Cina dan Rusia lebih efektif ketimbang birokrasi Weber.
Konsep Birokrasi dalam Prespektif Modern
Martin Albrow adalah sosiolog dari Inggris. Ia banyak menulis seputar pandangan para ahli seputar konsep birokrasi Weber. Akhirnya, ia sendiri mengajukan beberapa konsepsinya seputar birokrasi. Albrow membagi 7 cara pandang mengenai birokrasi. Ketujuh cara pandang ini dipergunakan sebagai pisau analisa guna menganalisis fenomena birokrasi yang banyak dipraktekkan di era modern. Ketujuh konsepsi birokrasi Albrow adalah :[5]

Birokrasi sebagai organisasi rasional
Birokrasi sebagai organisasi rasional sebagian besar mengikut pada pemahaman Weber. Namun, rasional di sini patut dipahami bukan sebagai segalanya terukur secara pasti dan jelas. Kajian sosial tidap pernah menghasilkan sesuatu yang pasti menurut hipotesis yang diangkat.
Birokrasi dapat dikatakan sebagai organisasi yang memaksimumkan efisiensi dalam administrasi. Secara teknis, birokrasi juga mengacu pada mode pengorganisasian dengan tujuan utamanya menjaga stabilitas dan efisiensi dalam organisasi-organisasi yang besar dan kompleks. Birokrasi juga mengacu pada susunan kegiatan yang rasional yang diarahkan untuk pencapaian tujuan-tujuan organisasi.
Perbedaan dengan Weber adalah, jika Weber memaklumkan birokrasi sebagai “organisasi rasional”, Albrow memaksudkan birokrasi sebagai “organisasi yang di dalamnya manusia menerapkan kriteria rasionalitas terhadap tindakan mereka.”
Birokrasi sebagai Inefesiensi Organisasi
Birokrasi merupakan antitesis (perlawanan) dari dari vitalitas administratif dan kretivitas manajerianl. Birokrasi juga dinyatakan sebagai susunan manifestasi kelembagaan yang cenderung ke arah infleksibilitas dan depersonalisasi. Selain itu, birokrasi juga mengacu pada ketidaksempurnaan dalam struktur dan fungsi dalam organisasi-organisasi besar.
Birokrasi terlalu percaya kepada preseden (aturan yang dibuat sebelumnya), kurang inisiatif, penundaan (lamban dalam berbagai urusan), berkembangbiaknya formulir (terlalu banyak formalitas), duplikasi usaha, dan departementalisme. Birokrasi juga merupakan organisasi yang tidak dapat memperbaiki perilakunya dengan cara belajar dari kesalahannya. Aturan-aturan di dalam birokrasi cenderung dipakai para anggotanya untuk kepentingan diri sendiri.
Birokrasi sebagai kekuasaan yang dijalankan oleh pejabat.
Birokrasi merupakan pelaksanaan kekuasaan oleh para administrator yang profesional. Atau, birokrasi merupakan pemerintahan oleh para pejabat. Dalam pengertian ini, pejabat memiliki kekuasaan untuk mengatur dan melakukan sesuatu. Juga, seringkali dikatakan birokrasi adalah kekuasaan para elit pejabat.
Birokrasi sebagai administrasi negara (publik)
Birokrasi merupakan komponen sistem politik, baik administrasi pemerintahan sipil ataupun publik. Ia mencakup semua pegawai pemerintah. Birokrasi merupakan sistem administrasi, yaitu struktur yang mengalokasikan barang dan jasa dalam suatu pemerintahan. Lewat birokrasi, kebijakan-kebijakan negara diimplementasikan.
Birokrasi sebagai administrasi yang dijalankan pejabat.
Birokrasi dianggap sebagai sebuah struktur (badan). Di struktur itu, staf-staf administrasi yang menjalankan otoritas keseharian menjadi bagian penting. Staf-staf itu terdiri dari orang-orang yang diangkat. Mereka inilah yang disebut birokrasai-birokrasi. Fungsi dari orang-orang itu disebut sebagai administrasi.
Birokrasi sebagai suatu organisasi
Birokrasi merupakan suatu bentuk organisasi berskala besar, formal, dan modern. Suatu organisasi dapat disebut birokrasi atau bukan mengikut pada ciri-ciri yang sudah disebut.
Birokrasi sebagai masyarakat modern
Birokrasi sebagai masyarakat modern, mengacu pada suatu kondisi di mana masyarakat tunduk kepada aturan-aturan yang diselenggarakan oleh birokrasi. Untuk itu, tidak dibedakan antara birokrasi perusahaan swasta besar ataupun birokrasi negara. Selama masyarakat tunduk kepada aturan-aturan yang ada di dua tipe birokrasi tersebut, maka dikatakan bahwa masyarakat tersebut dikatakan modern.[6]
            Perkembangan abad ke-21 memang menuntut perubahan dalam administrasi publik atau birokrasi pemerintahan. Tuntutan itu tetap muncul meskipun, seandainya di Indonesia tidak terjadi reformasi pada 1998. Tuntutan itu adalah meninggalkan konsep birokrasi ala weber yang berpangkal pada otoritas (kekuasaan) untuk beralih dan berorientasi pada publik  sehingga disebut sebagai administrasi publik. Ciri utamanya adalah menjadikan warga Negara sebagai costumer (costumer-oriented). Di sini, birokrasi sudah mulai dikaji dengan pendekatan marketing dalam bisnis pada umumnya.[7]

Fenomena Konsep Birokrasi di Indonesia.
            Birokrasi rumit menghadang investasi industri sepatu. Enam perusahan Asing tunda produksi di Jawa Timur. Surabaya rumitnya birokrasi masih menjadi kendala masuknya investasi dari luar di Jawa Timur. Salah satu sektor yang masih merasakan ‘penyakit lama’ adalah industri sepatu dan alas kaki. Bahkan, rencana enam perusahaan asing memproduksi ratusan ribu pasang sepatu di Jawa Timur untuk pasar ekspor menjadi tertunda. Ketua Asosiasi Persepatuan Indonesia (Asprisindo) Jawa Timur Sutan R.P. Siregar mengatakan, jumlah investor asing yang semula menyatakan niat berinvestasi di provensi ini makin lama berkurang. Jka semula sekitar 20 perusahaan, sekarang tinggal enam perusahaan.” Mereka terhalang masalah peraturan investasi di daerah. Misalnya, izin HO mendirikan pabrik dikebakan biaya yang tidak wajar, pasokan listrik itu juga menjadi masalah.” Tuturnya. Sutan mengatakan baha sebenarnya gubernur Jawa Timur, para kepala daerah kabupaten atau kota, dan pimpinan PLN sudah mendorong masuknya investasi asing di Jawa Timur, yang menjadi masalah adalahdi lapangan atau level pelaksanaan investasi daerah. Kesulitan mendirikan perusahaan sepatu dan alas kaki bias mengakibatkan rencana Asprisindo Jatim menaikkan volume ekspor sepatu tidak terpenuhi. Sebab nulai awal hingga kini, enam perusahan asing itu belum memulai proses produksi, mendirikan pabrik saja belum, padahal lahan sudah ada, Sutan memaparkan, tahun ini target ekspor sepatu nasional adalah 500 juta pasang dengan nilai lebih dari USD 2milyar. Separo jumlah tersebut rencanannya disumbang Jatim, masuknya investor ke Jatim juga diharapkan bias menciptakan lapangan kerja bagi 6 ribu orang disekitar lokasi pabrik, itu merupakan estimasi awal. Sebab, secara bertahap, jumlahnya akan  naik ungkapnya. Namun, apabila kondisi saat ini terus berlangsung Sutan khawatir investor tersebut akan memindahkan dananya ke Vietnam dan Sri Langka.[8]
            Hingga saat ini, setelah sewindu Bangsa Indonesia meninggalkan periode pemerintahan Orde Baru dan menjalankan reformasi politik maupun pemerintahan, rasanya belum ada perubahan yang signifikan terhadap birokrasi di Indonesia. Praktek-praktek kerja dan perilaku birokrasi di Indonesia masih menunjukkan birokrasi peninggalan periode kepemimpinan Orde Baru. Ini masih sangat dirasakan oleh masyarakat dengan adanya fakta-fakta lapangan ketika berinteraksi langsung dengan birokrasi pemerintahan. Masih saja birokrasi kita bekerja berdasarkan struktur hirarkhis dan bersifat sentralistik. Ini menyebabkan dampak yang negatif terhadap birokrasi pemerintahan, karena tidak sensitive terhadap aspirasi masyarakat. Budaya “ABS” Asal Bapak Senang berkembang menjadi hal yang lumrah, karena keselamatan dan prospek jabatan ada di tangan atasan. Inilah yang memunculkan budaya materialisme serta hedonisme yang berujung pada tersingkirnya standard moral birokrasi itu sendiri. Budaya tersebut membuat birokrasi tidak populer terutama di mata masyarakat yang selalu membutuhkan bahkan tidak bisa lepas dari bantuan dan pelayanan publik yang diselenggarakan oleh pemerintah, karena pemerintah dengan aparat birokrasinya ada untuk melayani kebutuhan masyarakat yang semakin beragam. Inilah yang telah membangun citra negatif birokrasi di mata masyarakat, yang berujung pada traumatis dan ketidak percayaan terhadap birokrasi di Indonesia. Situasi seperti ini akan berimbas pada terhambatnya pelaksanaan program-program kerja pembangunan, penyejahteraan dan efektifitas hubungan masyarakat-birokrasi dalam persaingannya dengan birokrasi swasta. Inilah yang menjadi kerikil tajam dalam upaya konsolidasi demokrasi di Indonesia, di mana budaya demokrasi telah menjadi budaya politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena sudah jelas, budaya birokrasi Indonesia sama sekali tidak mencerminkan budaya demokrasi, maka demokratisasi di Indonesia akan mengalami kemandekan. Toleran terhadap pilihan individual karyawan adalah sikap politik para pejabat negara yang dibutuhkan dalam mewujudkan pemilu yang jujur, adil, dan fair.Birokrasi seperti itulah yang kita harapkan. Birokrasi yang menjalankan tugas sebagaimana mestinya. Birokrasi yang mampu bersaing dan tanggap terhadap tuntutan atas perkembangan zaman. Sehingga demokratisasi tidak lagi tersumbat dan hanya menjadi angan-angan utopis, melainkan domokratisasi menjadi harapan dan angin segar bagi tercapainya masyarakat adil sejahtera.[9]

BAB III
PENUTUP

Simpulan
Pertama. Weber tidak pernah secara spesifik membangun sebuah teori birokrasi. Weber hanya mengamati organisasi negara yang dijalankan sebuah dinasti di masa hidupnya. Birokrasi tersebut bercorak patrimonial sehingga tidak efektif di dalam menjalankan kebijakan negara. Sebab itu, Weber membangun pengertian birokrasi sebagai sebuah organisasi yang legal rasional.
Kedua. Weber telah menyebutkan 8 karakteristik yang menjadi ideal typhus dari suatu organisasi yang legal rasional. Karakteristik-karakteristik ini kemudian diterjemahkan sebagai penciriannya atas birokrasi sebagai sebuah organisasi yang lega-rasional.
Ketiga. Weber juga telah membangun 10 ciri staf yang bekerja di dalam birokrasi sebagai sebuah organisasi yang bersifat legal-rasional. Ke-10 ciri tersebut kini melekat pada sifat pejabat yang kita sebut sebagai birokrat.
Keempat. Weber juga telah memahami dampak negatif dari akumulasi kekuasaan orang di dalam birokrasi. Sebab itu, Weber menyodorkan 5 mekanisme yang mudah-mudahan dapat mencegah efek negatif kekuasaan orang-orang yang ada di dalam sebuah birokrasi.
Kelima. Konsepsi Weber tentang birokrasi menghadapi kritik tajam dari sejumlah ahli. Para ahli tersebut berkisar pada sosiolog, teoretisi manajemen, hingga praktisi administrasi negara. Secara garis besar, keberatan pada tipikal birokrasi Weber berkisar pada masalah rasionalitas kerja orang-orang yang ada di dalam birokrasi. Peraturan mungkin saja rasional, tetapi oknum yang menjalankan aturan tersebut sangat manusiawi dan sukar untuk dinyatakan selalu rasional.
Keenam. Martin Albrow, setelah mengkritisi pendapat Weber, membangun 7 konsepsinya mengenai birokrasi. Konsepsi-konsepsinya tersebut adalah : (1) Birokrasi sebagai organisasi rasional; (2) Birokrasi sebagai inefesiensi organisasi; (3) Birokrasi sebagai kekuasaan yang dijalankan para pejabat; (4) Birokrasi sebagai administrasi negara (publik); (5) Birokrasi sebagai administrasi yang dijalankan pejabat; (6) Birokrasi sebagai suatu organisasi; dan (7) Birokrasi sebagai masyrakat modern.[10]




[1] Dikutip pada Selasa, 08 Maret 2011. http://yudhiblackgank.blogspot.com/2009/03/fenomena-birokrasi-indonesia.html
[2] Martin Albrow (penj. M. Rusli Karim dan Totok Daryanto). 1996. Birokrasi. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, hal. 33.
[3] A. Qodri Azizy. 2007. Change Management dalam reformasi Birokrasi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, hal. 23.
[4] Birokrasi. Hal: 29
[5] http://setabasri01.blogspot.com/2009/05/pengantar.html
[6] Birokrasi, hal. 79 – 103.
[7] Change management dalam reformasi birokrasi. Ahmad Qodri Abdillah Azizy. Hal. 23-24.
[8] Dikutip pada 09 maret 2011. (aan/c4/fat). Jawa Pos. Birokrasi Rumit Hadang Investor Industri Sepatu. Hal.
[9] Dikutip pada Selasa, 08 Maret 2011. http://yudhiblackgank.blogspot.com/2009/03/fenomena-birokrasi-indonesia.html
[10] http://setabasri01.blogspot.com/2009/05/pengantar.html

1 komentar: