KONSEP
BIROKRASI
MAKALAH
Diajukan
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah :
“TEORI
ADMINISTRASI”
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
alam makalah konsep
birokrasi akan menguraikan secara mendalam semua aspek yang berhubungan dengan
birokrasi baik yang menyangkut teori maupun prakteknya. Diantaranya juga
termasuk masalah-masalah birokrasi yang dihadapi masyarakat Indonesia. Fenomena
birokrasi selalu ada bersama kita dalam kehidupan kita sehari-hari dan setiap
orang. Seringkali mengeluhkan cara berfungsinya birokrasi sehingga pada
akhirnya orang akan mengambil kesimpulan bahwa birokrasi tidak ada manfaatnya
karena banyak disalahgunakan oleh pejabat pemerintah (birokratisme) yang
merugikan masyarakat. apakah hak tersebut benar?
Birokrasi bukanlah
suatu fenomena yang baru bagi kita karena sebenarnya telah ada dalam bentuknya
yang sederhana sejak beribu-ribu tahun yang lalu. Namun demikian kecenderungan
mengenai konsep dan praktek birokrasi telah mengalami perubahan yang berarti
sejak seratus tahun terakhir ini. Dalam Masyarakat yang modern, birokrasi telah
menjadi suatu organisasi atau institusi yang penting. Pada masa sebelumnya
ukuran negara pada umumnya sangat kecil, namun pada masa kini negara-negara
modern memiliki luas wilayah, ruang lingkup organisasi, dan administrasi yang
cukup besar dengan berjuta-juta penduduk.
Kajian
birokrasi sangat penting bagi mereka yang terlibat dalam bidang pemerintahan,
karena secara umum dipahami bahwa salah satu institusi atau lembaga, yang
paling penting sebagai personifikasi negara adalah pemerintah, sedangkan
personifikasi pemerintah itu sendiri adalah perangkat birokrasinya (birokrat).
Di tengah-tengah “debirokratisasi” untuk
mengurangi peranan negara yang sangat berlebihan banyak disebut orang di negara
kita pembahasan tentang birokrasi dipandang sangat tepat momentumnya untuk
dibahas. Betapa tidak kendati pun kata borokrasi nyaris menjadi hiasan bibir,
tidak semua orang memahami liku-liku denotasi maupun konotasi yang dicakupnya.
Kita mencoba menggali hakikat birokrasi itu mulai dari kelahirannya termasuk
asal usul kosa kata tersebut terutama dari bahas Jerman dan Inggris sampai pada
pemikiran Weber yang amat mencengangkan tentang birokrasi, beitu juga
kritik-kritik tajam terhadap pandangan bapak sosiologi itu, yang mengabaikan
aspek “inefisiensi birokrasi”. Dimana dalam hal ini Weber dikecam habis-habisan
oleh banyak ahli disamping tidak pula sedikit untuk memujianya, atas
prestasinya yang dengan begitu tegar mengajukan tujuh konsep modern tentang borokrasi.
Bagi masyarakat dunia berkembang, birokrasi
merupakan gejala universal yang sekaligus bagai tatanan hidup bermasyarakat dan
bernegara yang tidak dapat dihindari di satu pihak, disamping sangat gemas
menghadapi patologi yang pasti menyertainya. Namun, demikian sudah seyogyanya
jika para akademisi lebih-lebih mahasiswa ilmu-ilmu social dan para politisi
serta para pemerhati politik memehami birokrasi dari tangan pertama dan dari
literature yang teruji kehandalannya. Dan dengan pemahaman yang tepat terhadap
gejala birokrasi kita dapat menapaki apa yang dimaksud dengan
“debirokratisasi”.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimanakah
reformasi birokrasi?
2.
Bagaimanakah
konsep birokrasi dalam prespektif klasik dan modern?
3.
Bagaimanakah
fenomena konsep birokrasi di Indonesia?
C.
Tujuan
1.
Untuk
mengetahui jejak kelahiran konsep birokrasi serta pengertiannya.
2.
Untuk
mengetahui konsep birokrasi dalam prespektif klasik.
3.
Untuk
mengetahui fenomena konsep birokrasi di Indonesia.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Kelahiran Konsep Birokrasi
Pembahasan
secara serius mengenai konsep birokrasi baru dimulai tahun 1798. Saat itu orang
mulai barfikir mengenai adanya satu konsep pelayanan publik yang umum (Albrow,
1970:18-32). Kamus Perancis tahun 1798 mendefinisikan birokrasi sebagai
“kekuasaan, pengaruh dari pemimpin dan para staf biro pemerintahan. Kamus
Jerman tahun 1813 mendefinisikan birokrasi sebagai “kewenangan atau kekuasaan
dimana aneka departemen pemerintahan dan cabang-cabannya merebutnya dari negara
bagi diri mereka sendiri”. Stuart Mills dalam “Principil of Political Economy
(1848)” menggambarkan bahwa esensi dari birokrasi adalah pemerintahan yang
dikendalikan oleh kaum profesional. Pemerintah semacan ini menurut Mills,
mengumpulka orang-orang yang terdidik, faham akan keterkaitan aktifitas
diantara mereka, sehingga birokrasi terlilit oleh aktifitas. Meskipun dalam
perjalanan hidupnya konsep birokrasi lebih banyak mengenyam cercaan dari pada
pujian, namun tidak ada yang menyangkal bahwa birokrasi dibentuk untuk mengabdi
atau melayani kebutuhan publik. Kebutuhan itu selalu berubah-ubah atau
berkembang, sehingga fungsi-fungsi pelayanan publik pun harus disesuaikan
dengan perkembangan yang terjadi dengan tetap menjaga sifat netralitas
pelayanannya. Persoalan yang sangat klasik dalam studi-studi tentang birokrasi
adalah apakah bisa birokrasi menjaga netralitasnya? Guy Peters melalui karyanya
The Politics of Bureucracy (1984) mengingatkan kita bahwa birokrasi tidak akan
pernah terlepas dari pengaruh politik, sebab birokrasi itu sendiri merupakan
produk dari proses politik. Artinya sulit untuk memandang birokrasi sebagai
satu lembaga netral yang tidak memiliki tujuan-tujuan sendiri, yang bisa saja
berbeda dengan kehendak rakyat yang dilayaninya.[1]
Konsep
Birokrasi dalam Prespektif Klasik dan Modern
Pada materi ini, kita akan kembali kepada tema awal
maksud dari gagasan birokrasi. Konsep birokrasi yang dikaji pada materi ini
mengikut pada dua teoretisi yang cukup berpengaruh di bidang ini. Pertama adalah
konsep birokrasi yang disodorkan Max Weber. Kedua adalah konsep birokrasi yang
disodorkan oleh Martin Albrow.
Konsep
Birokrasi dalam Prespektif Klasik
Max
Weber on Bureaucracy
Sebelum
masuk pada pandangan Weber soal Birokrasi ada baiknya ditinjau etimologi
(asal-usul) konsep ini yang berasal dari kata “bureau”. Kata “bureau” berasal
dari Perancis yang kemudian diasimilasi oleh Jerman. Artinya adalah meja atau
kadang diperluas jadi kantor. Sebab itu, terminologi birokrasi adalah aturan
yang dikendalikan lewat meja atau kantor. Di masa kontemporer, birokrasi adalah
"mesin" yang mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang ada di organisasi
baik pemerintah maupun swasta. Pada pucuk kekuasaan organisasi terdapat
sekumpulan orang yang menjalankan kekuasaan secara kurang birokratis, dan dalam
konteks negara, mereka misalnya parlemen atau lembaga kepresidenan.
Hal
yang perlu disampaikan, Max Weber sendiri tidak pernah secara definitif
menyebutkan makna Birokrasi. Weber menyebut begitu saja konsep ini lalu
menganalisis ciri-ciri apa yang seharusnya melekat pada birokrasi. Gejala
birokrasi yang dikaji Weber sesungguhnya birokrasi-patrimonial.
Birokrasi-Patrimonial ini berlangsung di waktu hidup Weber, yaitu birokrasi
yang dikembangkan pada Dinasti Hohenzollern di Prussia.
Birokrasi
tersebut dianggap oleh Weber sebagai tidak rasional. Banyak pengangkatan
pejabat yang mengacu pada political-will pimpinan Dinasti. Akibatnya banyak
pekerjaan negara yang “salah-urus” atau tidak mencapai hasil secara maksimal.
Atas dasar “ketidakrasional” itu, Weber kemudian mengembangkan apa yang
seharusnya (ideal typhus) melekat di sebuah birokrasi.
Weber
terkenal dengan konsepsinya mengenai tipe ideal (ideal typhus) bagi sebuah
otoritas legal dapat diselenggarakan, yaitu :
1. tugas-tugas pejabat diorganisir atas
dasar aturan yang berkesinambungan;
2. tugas-tugas tersebut dibagi atas
bidang-bidang yang berbeda sesuai dengan fungsi-fungsinya, yang masing-masing
dilengkapi dengan syarat otoritas dan sanksi-sanksi;
3. jabatan-jabatan tersusun secara hirarkis,
yang disertai dengan rincian hak-hak kontrol dan pengaduan (complaint);
4. aturan-aturan yang sesuai dengan
pekerjaan diarahkan baik secara teknis maupun secara legal. Dalam kedua kasus
tersebut, manusia yang terlatih menjadi diperlukan;
5. anggota sebagai sumber daya organisasi
berbeda dengan anggota sebagai individu pribadi;
6. pemegang jabatan tidaklah sama dengan
jabatannya;
7. administrasi didasarkan pada
dokumen-dokumen tertulis dan hal ini cenderung menjadikan kantor (biro) sebagai
pusat organisasi modern; dan
8. sistem-sistem otoritas legal dapat
mengambil banyak bentuk, tetapi dilihat pada bentuk aslinya, sistem tersebut
tetap berada dalam suatu staf administrasi birokratik.
Bagi
Weber, jika ke-8 sifat di atas dilekatkan ke sebuah birokrasi, maka birokrasi
tersebut dapat dikatakan bercorak legal-rasional.
Selanjutnya, Weber melanjutkan ke sisi pekerja
(staf) di organisasi yang legal-rasional. Bagi Weber, kedudukan staf di sebuah
organisasi legal-rasional adalah sebagai berikut :Staf administrasi brokratis,
birokrasi dalam bentuknya yang paling rasional, terlebih dahulu mempersyaratkan
proposisi-proposisi menurut legitimasi dan otoritas, serta memiliki ciri
tertentu sebagai berikut:
1.
Para
anggota staf bersifat bebas secara pribadi, dalam arti hanya menjalankan
tugas-tugas impersonal sesuai dengan jabatan mereka;
2.
Terdapat
hirarki jabatan yang jelas;
3.
Fungsi-fungsi
jabatan ditentukan secara tegas;
4.
Para pejabat diangkat berdasarkan suatu
kontrak;
5.
Para pejabat dipilih berdasarkan kualifikasi
profesional, idealnya didasarkan pada suatu diploma (ijazah) yang diperoleh
melalui ujian;
6.
Para pejabat memiliki gaji dan biasanya juga
dilengkapi hak-hak pensiun. Gaji bersifat berjenjang menurut kedudukan dalam
hirarki. Pejabat dapat selalu menempati posnya, dan dalam keadaan-keadaan
tertentu, pejabat juga dapat diberhentikan;
7.
Pos jabatan adalah lapangan kerja yang pokok
bagi para pejabat;
8.
Suatu struktur karir dn promosi dimungkinkan
atas dasar senioritas dan keahlian (merit) serta menurut pertimbangan
keunggulan (superior);
9.
Pejabat sangat mungkin tidak sesuai dengan pos
jabatannya maupun dengan sumber-sumber yang tersedia di pos terbut, dan;
10. Pejabat tunduk pada sisstem disiplin dan
kontrol yang seragam.[2]
Upaya perbaikan birokrasi, tidak hanya mengembalikan
ke ide awal Weber. Birokrasi sudah bergeser dari konsep awal Weber dan jauh
dari seharusnya, sehingga tidak meninggalkan kritik, tetapi juga stereotip.
Perlu kita sadari, kalaupun praktik birokrasi persis seperti konsep awal Weber,
kita tetap perlu melakukan perubahan
atau perbaikan, sesuai dengan tuntutan dan tantangan yang akan selalu muncul.
Stereotip terhadap birokrasi sudah demikian
hebatnya akibat kinerja aktualnya. Oleh karena itu, muncul usulan perbaikan
dari para praktisi dan toritis. Pada akhirnya teori harus dapat di praktekkan
di beberapa tempat yang berbeda tapi memilki latar belakang yang sama. Dengan
kata lain, teori yang berangkatdari praktik suatu negara tidak selalu tepat
untuk negara lain. Sebab, bukan saja pelakunya yang tidak sama, tetapi juga
lingkungannya. Meskipun demikian, harus ada ketegasan bahwa ketidak keamaan itu
harus etap berorientasi ke depan dan tidak dijadikan alasan untuk membenarkan
penyimpangan.[3]
Konsep birokrasi menjadi relevan diantara
kategori-kategori analisis organisasi. Konsep birokrasi di introdusir kedalam
seuatu bidang konseptual yang telah didefinisakan secara tajam. Dalam tinjauan
skimatis tentang bidang konseptual itu, kita dapat membedakan tiga kelompok
konsep. Pertama, ada konsep yang membedakan antara status-status yang berbeda
dalam organisasi, seperti kepemimpinan, staf administrasi dan keanggotaan umum.
Kedua, ada konsep-konsep yang membantu merinci hubungan antara status-status
itu, seperti tatanan administrasi, otoritas dan legitimasi. Ketiga, gagasan
tentang khasrisma tradisi dan legalitas yang diajukan sebagai cara
pengklasifikasian struktur-struktur otoritas yang berbeda.[4]
Bagi
Weber, perlu dilakukan pembatasan atas setiap kekuasaan yang ada di dalam
birokrasi, yang meliputi point-point berikut :
1. Kolegialitas. Kolegialitas adalah suatu
prinsip pelibatan orang lain dalam pengambilan suatu keputusan. Weber mengakui
bahwa dalam birokrasi, satu atasan mengambil satu keputusan sendiri. Namun,
prinsip kolegialitas dapat saja diterapkan guna mencegah korupsi kekuasaan.
2. Pemisahan Kekuasaan. Pemisahan kekuasaan
berarti pembagian tanggung jawab terhadap fungsi yang sama antara dua badan
atau lebih. Misalnya, untuk menyepakati anggaran negara, perlu keputusan
bersama antara badan DPR dan Presiden. Pemisahan kekuasaan, menurut Weber,
tidaklah stabil tetapi dapat membatasi akumulasi kekuasaan.
3. Administrasi Amatir. Administrasi amatir
dibutuhkan tatkala pemerintah tidak mampu membayar orang-orang untuk
mengerjakan tugas birokrasi, dapat saja direkrut warganegara yang dapat
melaksanakan tugas tersebut. Misalnya, tatkala KPU (birokrasi negara Indonesia)
“kerepotan” menghitung surat suara bagi tiap TPS, ibu-ibu rumah tangga diberi
kesempatan menghitung dan diberi honor. Tentu saja, pejabat KPU ada yang
mendampingi selama pelaksanaan tugas tersebut.
4. Demokrasi Langsung. Demokrasi langsung
berguna dalam membuat orang bertanggung jawab kepada suatu majelis. Misalnya,
Gubernur Bank Indonesia, meski merupakan prerogatif Presiden guna
mengangkatnya, terlebih dahulu harus di-fit and proper-test oleh DPR. Ini
berguna agar Gubernur BI yang diangkat merasa bertanggung jawab kepada rakyat
secara keseluruhan.
5. Representasi. Representasi didasarkan
pengertian seorang pejabat yang diangkat mewakili para pemilihnya. Dalam kinerja
birokrasi, partai-partai politik dapat diandalkan dalam mengawasi kinerja
pejabat dan staf birokrasi. Ini akibat pengertian tak langsung bahwa anggota
DPR dari partai politik mewakili rakyat pemilih mereka.
Kritik
atas Pandangan Weber mengenai Birokrasi
Secanggih
apapun analisis manusia, ia akan menuai kritik. Demikian pula pandangan Weber
akan birokrasi ini. Berikut akan disampaikan sejumlah kritik para ahli akan
pandangan Weber :
Robert
K. Merton. Dalam artikelnya “Bureaucratic Structure and Personality”, Merton
mempersoalkan gagasan birokrasi rasional Weber. Bagi Merton, penekanan Weber
pada reliabilitas (kehandalan) dan ketepatan akan menimbulkan kegagalan dalam
suatu administrasi. Mengapa? Peraturan yang dirancang sebagai alat untuk
mencapai tujuan, dapat menjadi tujuan itu sendiri.
Selain
itu, birokrat yang berkuasa akan membentuk solidaritas kelompok dan kerap
menolak perubahan. Jika para pejabat ini dimaksudkan untuk melayani publik,
maka norma-norma impersonal yang menuntun tingak laku mereka dapat menyebabkan
konflik dengan individu-individu warganegara.
Apa
yang ditekankan Merton adalah, bahwa suatu struktur yang rasional dalam
pengetian Weber dapat dengan mudah menimbulkan akibat-akibat yang tidak
diharapkan dan mengganggu bagi pencapaian tujuan-tujuan organisasi.
Philip
Selznick. Selznick mengutarakan kritiknya atas Weber tentang Disfungsionalisasi
Birokrasi. Ia fokus pada pembagian fungsi-fungsi did alam suatu organisasi.
Selznick menunjukkan bagaimana sub-sub unit mewujudkan tujuan organisasi secara
keseluruhan. Pembentukan departemen-departemen baru untuk meniadakan
kecenderungan lama, hanya akan memperburuk situasi karena akan muncul lebih
banyak sub-sub unit tujuan.
Talcott
Parsons. Parsons fokus pada kenyataan bahwa staf administrasi yang dimaksud
Weber, telah didefinisikan sebagai yang memiliki keahlian profesional dan juga
hak untuk memerintah. Atribut-atribut seperti itu, kilah Parsons, dapat
memunculkan konflik di dalam birokrasi, karena tidak mungkin untuk memastikan
bahwa posisi dalam hirarki otoritas akan diiringi oleh keterampilan profesional
yang sepadan. Akibatnya, timbul persoalan bagi angggota organisasi: Siapa yang
harus dipatuhi? Orang yang memiliki hak untuk memerintah atau orang yang
memiliki keahlian yang hebat?
Alvin
Gouldner. Gouldner melanjutkan kritik Parsons atas Weber. Gouldner memuatnya
dalam Pattern of Industrial Bureaucracy. Dalam analisisnya tentang dasar
kepatuhan dalam suatu organisasi, Gouldner menyimpulkan argumennya pada konflik
antara otoritas birokrati dan otoritas profesional. Ia membedakan 2 tipe
birokrasi yang uta: “Pemusatan-Hukuman (punishment centered) dan Perwakilan
(representative).
Pada
tipe punishment centered, para anggota birokrasi pura-pura setuju dengan
peraturan yang mereka anggap dipaksakan kepada mereka oleh suatu kelompok yang
asing. Sedang pada tipe Representative, para anggota organisasi memandang
peraturan sebagai kebutuhan menurut pertimbangan teknis dan diperlukan sesuai
dengan kepentingan meerka sendiri. Dua sikap yang berbeda terhadap peraturan
ini memiliki pengaruh yang mencolok pada pelaksanaan organisasi yang efisien.
R.G.
Francis dan R.C. Stone. Francis dan Stone melanjutkan kritik Gouldner dalam
buku mereka Service and Procedure in Bureaucracy. Francis dan Stone menunjukkan
bahwa walaupun literatur resmi tentang organisasi dapat melarang impersonalitas
dan kesetiaan yang kuat pada prosedur yang sudah ditentukan, tetapi dalam
prakteknya para staf birokrasi dapat menyesuaikan tindakan mereka dengan
keadaan-keadaan yang cocok dnegan kebutuhan-kebutuhan individu.
Rudolf
Smend. Smend sama seperti Weber, berasal dari Jerman. Ia mengeluhkan bahwa
Weber bertanggung jawab terhadap kesalahpahaman pemahaman tentang administrasi
sebagai mesin rasional. Sementara pada pejabatnya hanyalah mengemban fungsi-fungsi
teknis.
Hakim
dan pejabat administrasi bukan merupakan etres inanimes. Mereka adalah makhluk
berbudaya (gestig) dan makhluk sosial yang secra aktif mengemban fungsi-fungsi
tertentu di dalam keseluruhan budaya. Apa yang dilakuka oleh manusia-manusia
seperti itu ditentukan oleh keseluruhan budaya, yang diorientasikan melalui
fungsi-fugnsinya, dan pada gilirannya membantu menentukan hakikat dari
seseluruhan budaya tersebut. Dalam menerangkan hal ini, Smend menambahkan,
masuk akal jika orang-oorang sosialis mengeluhkan “keadilan yang borjuistis.”
Reinhard
Bendix. Bendix berpendapat bahwa efisiensi organisasi tidak dapat dinilai tanpa
mempertimbangkan aturan-aturan formal dan sikap-sikap manusia terhadapnya.
Dalam bukunya Higher Civil Servants in American Society, Bendix membantah
adanya kemauan mematuhi undang-undang tanpa campur tangan dari nilai-nilai
sosial dan politik yang umum.
Semua
peraturan diterapkan pada kasus-ksus tertentu, dan dalam menentukan apakah
suatu kasus berada di bawah peraturan, seorang pejabat arus mengemukakan
alasan-alasan yang dapat dijadikan pertimbangan. Dalam membuat pertimbangannya,
pejabat menemukan suatu dilema.
Di
satu sisi, jika terlalu tunduk dengan undang-undang ia secara populer disebut
bersikap birokratis. Tetapi, di sisi lain, jika ia terlalu percaya pada
inisiatif semangat kemanusiaan, sepanjang hal itu tidak tertulis di dalam kitab
perundang-undangan, maka tindakannya secara populer disebut sebagai suatu
penyalahgunaan kekuasaan, karena mencampuri hak prerogatif badan legislatif.
Carl
Friedrich. Seorang lainnya, Carl Friedrich, mengkritisi pendapat Weber bahwa
seorang birokrat selalu harus bertindak sesuai aturan yang tertulis.
Kenyataannya, peraturan-peraturan merupakan petunjuk yang tidak lengkap untuk
bertindak. Ini artinya, faktor-faktor di luar peraturan harus dipertimbangkan
oleh ilmuwan sosial dalam menginterpretasikan tindakan pejabat.
Kemungkinan
interpretasi ini menggambarkan perlunya pilihan untuk digunakan sebagai
pertimbangan setiap administrator. Ini berlawanan dengan pendapat Weber, yang
membenarkan birokrati untuk menghindari semua tanggung jawab atas tindakannya.
Bagi Friedrich, seorang birokrat bisa bertindak di luar ketentuan teknis,
ataupun menurut instruksi.
Friedrich,
sebab itu, mengkritik Weber karena mengabaikan tanggung jawab tersebut. Ia
menganggap penekanan Weber terhadap otoritas membuat organisasi sosial jadi
menyerupai organisasi militer. Ia menghalangi setiap jenis konsultasi, dan
hanya mengandalkan pola kooperatisme.
Peter
Blau. Bagi Blau, dalam bukunya The Dynamic of Bureaucracy, pandangan yang
fleksibel tetap harus berlangsung di organisasi rasional sekalipun (birokrasi).
Di dalam lingkungan yang berubah, pencapaian atas tujuan organisasi bergantung
pada perubahan secara terus-menerus di dalam struktur birokrasi. Karena itu,
efisiensi tidak dapat dijamin dengan membelenggu pejabat melalui seperangkat
undang-undang yang kaku.
Hanya
dengan membolehkan pejabat mengidentifikasi tujuan-tujuan organisasi sebagai
suatu keseluruhan, dan menyesuaikan tingkah lakunya sesuai dengan persepsinya
tentangng keadaan yang berubah, maka akan dihasilkan suatu administrasi yang
efisien.
R.
V. Presthus, W. Delaney, Joseph Lapalombara. Presthus mengamati kecenderungan
birokrasi di negara-negara non Barat. Ia menganggap konsep birokrasi Weber
belum tentu cocok bagi lingkungan non Barat. Ia menemukan bahwa pada industri
batubara di Turki, dorongan-dorongan ekonomis dan material untuk melakukan
usaha tidaklah seefektif dengan mereka yang mengusahakan hal yang sama di
Barat.
Kesimpulan
kontra Weber juga dikemukakan W. Delaney. Bagi Delaney, administrasi bercorak
patrimonial justru mungkin saja cocok bagi masyarakat dengan pembagian kerja
yang sederhana dan tradisional. Juga, Joseph Lapalombara menemukan fakta bahwa
birokrasi ala Cina dan Rusia lebih efektif ketimbang birokrasi Weber.
Konsep
Birokrasi dalam Prespektif Modern
Martin
Albrow adalah sosiolog dari Inggris. Ia banyak menulis seputar pandangan para
ahli seputar konsep birokrasi Weber. Akhirnya, ia sendiri mengajukan beberapa
konsepsinya seputar birokrasi. Albrow membagi 7 cara pandang mengenai
birokrasi. Ketujuh cara pandang ini dipergunakan sebagai pisau analisa guna
menganalisis fenomena birokrasi yang banyak dipraktekkan di era modern. Ketujuh
konsepsi birokrasi Albrow adalah :[5]
Birokrasi
sebagai organisasi rasional
Birokrasi
sebagai organisasi rasional sebagian besar mengikut pada pemahaman Weber.
Namun, rasional di sini patut dipahami bukan sebagai segalanya terukur secara
pasti dan jelas. Kajian sosial tidap pernah menghasilkan sesuatu yang pasti
menurut hipotesis yang diangkat.
Birokrasi
dapat dikatakan sebagai organisasi yang memaksimumkan efisiensi dalam
administrasi. Secara teknis, birokrasi juga mengacu pada mode pengorganisasian
dengan tujuan utamanya menjaga stabilitas dan efisiensi dalam
organisasi-organisasi yang besar dan kompleks. Birokrasi juga mengacu pada
susunan kegiatan yang rasional yang diarahkan untuk pencapaian tujuan-tujuan
organisasi.
Perbedaan
dengan Weber adalah, jika Weber memaklumkan birokrasi sebagai “organisasi
rasional”, Albrow memaksudkan birokrasi sebagai “organisasi yang di dalamnya
manusia menerapkan kriteria rasionalitas terhadap tindakan mereka.”
Birokrasi
sebagai Inefesiensi Organisasi
Birokrasi
merupakan antitesis (perlawanan) dari dari vitalitas administratif dan
kretivitas manajerianl. Birokrasi juga dinyatakan sebagai susunan manifestasi
kelembagaan yang cenderung ke arah infleksibilitas dan depersonalisasi. Selain
itu, birokrasi juga mengacu pada ketidaksempurnaan dalam struktur dan fungsi
dalam organisasi-organisasi besar.
Birokrasi
terlalu percaya kepada preseden (aturan yang dibuat sebelumnya), kurang
inisiatif, penundaan (lamban dalam berbagai urusan), berkembangbiaknya formulir
(terlalu banyak formalitas), duplikasi usaha, dan departementalisme. Birokrasi
juga merupakan organisasi yang tidak dapat memperbaiki perilakunya dengan cara
belajar dari kesalahannya. Aturan-aturan di dalam birokrasi cenderung dipakai
para anggotanya untuk kepentingan diri sendiri.
Birokrasi
sebagai kekuasaan yang dijalankan oleh pejabat.
Birokrasi
merupakan pelaksanaan kekuasaan oleh para administrator yang profesional. Atau,
birokrasi merupakan pemerintahan oleh para pejabat. Dalam pengertian ini,
pejabat memiliki kekuasaan untuk mengatur dan melakukan sesuatu. Juga,
seringkali dikatakan birokrasi adalah kekuasaan para elit pejabat.
Birokrasi
sebagai administrasi negara (publik)
Birokrasi
merupakan komponen sistem politik, baik administrasi pemerintahan sipil ataupun
publik. Ia mencakup semua pegawai pemerintah. Birokrasi merupakan sistem
administrasi, yaitu struktur yang mengalokasikan barang dan jasa dalam suatu
pemerintahan. Lewat birokrasi, kebijakan-kebijakan negara diimplementasikan.
Birokrasi
sebagai administrasi yang dijalankan pejabat.
Birokrasi
dianggap sebagai sebuah struktur (badan). Di struktur itu, staf-staf
administrasi yang menjalankan otoritas keseharian menjadi bagian penting.
Staf-staf itu terdiri dari orang-orang yang diangkat. Mereka inilah yang
disebut birokrasai-birokrasi. Fungsi dari orang-orang itu disebut sebagai
administrasi.
Birokrasi
sebagai suatu organisasi
Birokrasi
merupakan suatu bentuk organisasi berskala besar, formal, dan modern. Suatu
organisasi dapat disebut birokrasi atau bukan mengikut pada ciri-ciri yang
sudah disebut.
Birokrasi
sebagai masyarakat modern
Birokrasi
sebagai masyarakat modern, mengacu pada suatu kondisi di mana masyarakat tunduk
kepada aturan-aturan yang diselenggarakan oleh birokrasi. Untuk itu, tidak
dibedakan antara birokrasi perusahaan swasta besar ataupun birokrasi negara.
Selama masyarakat tunduk kepada aturan-aturan yang ada di dua tipe birokrasi
tersebut, maka dikatakan bahwa masyarakat tersebut dikatakan modern.[6]
Perkembangan abad ke-21 memang
menuntut perubahan dalam administrasi publik atau birokrasi pemerintahan.
Tuntutan itu tetap muncul meskipun, seandainya di Indonesia tidak terjadi
reformasi pada 1998. Tuntutan itu adalah meninggalkan konsep birokrasi ala
weber yang berpangkal pada otoritas (kekuasaan) untuk beralih dan berorientasi
pada publik sehingga disebut sebagai
administrasi publik. Ciri utamanya adalah menjadikan warga Negara sebagai costumer
(costumer-oriented). Di sini, birokrasi sudah mulai dikaji dengan
pendekatan marketing dalam bisnis pada umumnya.[7]
Fenomena
Konsep Birokrasi di Indonesia.
Birokrasi rumit menghadang investasi
industri sepatu. Enam perusahan Asing tunda produksi di Jawa Timur. Surabaya
rumitnya birokrasi masih menjadi kendala masuknya investasi dari luar di Jawa
Timur. Salah satu sektor yang masih merasakan ‘penyakit lama’ adalah industri
sepatu dan alas kaki. Bahkan, rencana enam perusahaan asing memproduksi ratusan
ribu pasang sepatu di Jawa Timur untuk pasar ekspor menjadi tertunda. Ketua
Asosiasi Persepatuan Indonesia (Asprisindo) Jawa Timur Sutan R.P. Siregar
mengatakan, jumlah investor asing yang semula menyatakan niat berinvestasi di
provensi ini makin lama berkurang. Jka semula sekitar 20 perusahaan, sekarang
tinggal enam perusahaan.” Mereka terhalang masalah peraturan investasi di
daerah. Misalnya, izin HO mendirikan pabrik dikebakan biaya yang tidak wajar,
pasokan listrik itu juga menjadi masalah.” Tuturnya. Sutan mengatakan baha
sebenarnya gubernur Jawa Timur, para kepala daerah kabupaten atau kota, dan
pimpinan PLN sudah mendorong masuknya investasi asing di Jawa Timur, yang
menjadi masalah adalahdi lapangan atau level pelaksanaan investasi daerah.
Kesulitan mendirikan perusahaan sepatu dan alas kaki bias mengakibatkan rencana
Asprisindo Jatim menaikkan volume ekspor sepatu tidak terpenuhi. Sebab nulai
awal hingga kini, enam perusahan asing itu belum memulai proses produksi,
mendirikan pabrik saja belum, padahal lahan sudah ada, Sutan memaparkan, tahun
ini target ekspor sepatu nasional adalah 500 juta pasang dengan nilai lebih
dari USD 2milyar. Separo jumlah tersebut rencanannya disumbang Jatim, masuknya
investor ke Jatim juga diharapkan bias menciptakan lapangan kerja bagi 6 ribu
orang disekitar lokasi pabrik, itu merupakan estimasi awal. Sebab, secara
bertahap, jumlahnya akan naik ungkapnya.
Namun, apabila kondisi saat ini terus berlangsung Sutan khawatir investor
tersebut akan memindahkan dananya ke Vietnam dan Sri Langka.[8]
Hingga saat ini, setelah sewindu
Bangsa Indonesia meninggalkan periode pemerintahan Orde Baru dan menjalankan
reformasi politik maupun pemerintahan, rasanya belum ada perubahan yang
signifikan terhadap birokrasi di Indonesia. Praktek-praktek kerja dan perilaku
birokrasi di Indonesia masih menunjukkan birokrasi peninggalan periode
kepemimpinan Orde Baru. Ini masih sangat dirasakan oleh masyarakat dengan
adanya fakta-fakta lapangan ketika berinteraksi langsung dengan birokrasi
pemerintahan. Masih saja birokrasi kita bekerja berdasarkan struktur hirarkhis
dan bersifat sentralistik. Ini menyebabkan dampak yang negatif terhadap
birokrasi pemerintahan, karena tidak sensitive terhadap aspirasi masyarakat.
Budaya “ABS” Asal Bapak Senang berkembang menjadi hal yang lumrah, karena
keselamatan dan prospek jabatan ada di tangan atasan. Inilah yang memunculkan
budaya materialisme serta hedonisme yang berujung pada tersingkirnya standard
moral birokrasi itu sendiri. Budaya tersebut membuat birokrasi tidak populer
terutama di mata masyarakat yang selalu membutuhkan bahkan tidak bisa lepas
dari bantuan dan pelayanan publik yang diselenggarakan oleh pemerintah, karena
pemerintah dengan aparat birokrasinya ada untuk melayani kebutuhan masyarakat
yang semakin beragam. Inilah yang telah membangun citra negatif birokrasi di
mata masyarakat, yang berujung pada traumatis dan ketidak percayaan terhadap
birokrasi di Indonesia. Situasi seperti ini akan berimbas pada terhambatnya
pelaksanaan program-program kerja pembangunan, penyejahteraan dan efektifitas
hubungan masyarakat-birokrasi dalam persaingannya dengan birokrasi swasta.
Inilah yang menjadi kerikil tajam dalam upaya konsolidasi demokrasi di
Indonesia, di mana budaya demokrasi telah menjadi budaya politik dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena sudah jelas, budaya birokrasi
Indonesia sama sekali tidak mencerminkan budaya demokrasi, maka demokratisasi
di Indonesia akan mengalami kemandekan. Toleran terhadap pilihan individual
karyawan adalah sikap politik para pejabat negara yang dibutuhkan dalam
mewujudkan pemilu yang jujur, adil, dan fair.Birokrasi seperti itulah yang kita
harapkan. Birokrasi yang menjalankan tugas sebagaimana mestinya. Birokrasi yang
mampu bersaing dan tanggap terhadap tuntutan atas perkembangan zaman. Sehingga
demokratisasi tidak lagi tersumbat dan hanya menjadi angan-angan utopis,
melainkan domokratisasi menjadi harapan dan angin segar bagi tercapainya
masyarakat adil sejahtera.[9]
BAB
III
PENUTUP
Simpulan
Pertama.
Weber tidak pernah secara spesifik membangun sebuah teori birokrasi. Weber
hanya mengamati organisasi negara yang dijalankan sebuah dinasti di masa
hidupnya. Birokrasi tersebut bercorak patrimonial sehingga tidak efektif di
dalam menjalankan kebijakan negara. Sebab itu, Weber membangun pengertian
birokrasi sebagai sebuah organisasi yang legal rasional.
Kedua.
Weber telah menyebutkan 8 karakteristik yang menjadi ideal typhus dari suatu
organisasi yang legal rasional. Karakteristik-karakteristik ini kemudian
diterjemahkan sebagai penciriannya atas birokrasi sebagai sebuah organisasi
yang lega-rasional.
Ketiga.
Weber juga telah membangun 10 ciri staf yang bekerja di dalam birokrasi sebagai
sebuah organisasi yang bersifat legal-rasional. Ke-10 ciri tersebut kini
melekat pada sifat pejabat yang kita sebut sebagai birokrat.
Keempat.
Weber juga telah memahami dampak negatif dari akumulasi kekuasaan orang di
dalam birokrasi. Sebab itu, Weber menyodorkan 5 mekanisme yang mudah-mudahan
dapat mencegah efek negatif kekuasaan orang-orang yang ada di dalam sebuah
birokrasi.
Kelima.
Konsepsi Weber tentang birokrasi menghadapi kritik tajam dari sejumlah ahli.
Para ahli tersebut berkisar pada sosiolog, teoretisi manajemen, hingga praktisi
administrasi negara. Secara garis besar, keberatan pada tipikal birokrasi Weber
berkisar pada masalah rasionalitas kerja orang-orang yang ada di dalam
birokrasi. Peraturan mungkin saja rasional, tetapi oknum yang menjalankan
aturan tersebut sangat manusiawi dan sukar untuk dinyatakan selalu rasional.
Keenam.
Martin Albrow, setelah mengkritisi pendapat Weber, membangun 7 konsepsinya
mengenai birokrasi. Konsepsi-konsepsinya tersebut adalah : (1) Birokrasi
sebagai organisasi rasional; (2) Birokrasi sebagai inefesiensi organisasi; (3)
Birokrasi sebagai kekuasaan yang dijalankan para pejabat; (4) Birokrasi sebagai
administrasi negara (publik); (5) Birokrasi sebagai administrasi yang
dijalankan pejabat; (6) Birokrasi sebagai suatu organisasi; dan (7) Birokrasi
sebagai masyrakat modern.[10]
[1]
Dikutip pada Selasa, 08 Maret 2011.
http://yudhiblackgank.blogspot.com/2009/03/fenomena-birokrasi-indonesia.html
[2] Martin Albrow (penj.
M. Rusli Karim dan Totok Daryanto). 1996. Birokrasi. Yogyakarta: PT. Tiara
Wacana Yogya, hal. 33.
[3] A. Qodri Azizy. 2007.
Change Management dalam reformasi Birokrasi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama, hal. 23.
[4] Birokrasi. Hal: 29
[5]
http://setabasri01.blogspot.com/2009/05/pengantar.html
[6] Birokrasi, hal. 79 –
103.
[7] Change management dalam reformasi birokrasi. Ahmad Qodri Abdillah
Azizy. Hal. 23-24.
[8] Dikutip pada 09 maret
2011. (aan/c4/fat). Jawa Pos. Birokrasi Rumit Hadang Investor Industri Sepatu.
Hal.
[9] Dikutip pada Selasa, 08 Maret 2011. http://yudhiblackgank.blogspot.com/2009/03/fenomena-birokrasi-indonesia.html
[10]
http://setabasri01.blogspot.com/2009/05/pengantar.html
mantap makalahnya, sangat bermanfaat.
BalasHapuswww.kiostiket.com