Rabu, 29 Agustus 2012

SEJARAH PERADABAN ISLAM PADA MASA USMAN BIN AFFAN DAN ALI BIN ABI THOLIB


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Sejarah adalah suatu rujukan saat kita akan membangun masa depan. Namun, kadang orang malas untuk melihat sejarah. Sehingga orang cenderung berjalan tanpa tujuan dan mungkin mengulangi kesalahan yang pernah ada dimasa lalu. Disnilah sejarah berfungsi sebagai cerminan bahwa dimasa silam telah terjadi sebuah kisah yang patut kita pelajari untuk merancang masa depan.
Khulafah ar-Rasyidin merupakan para pemimpin ummat Islam setelah Nabi Muhammad SAW wafat, yaitu pada masa pemerintahan Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, Radhiallahu Ta’ala anhu ajma’in dimana sistem pemerintahan yang diterapkan adalah pemerintahan yang islami karena berundang-undangkan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Khulafa al-Rasyidin sebagai sahabat-sahabat yang meneruskan perjuangan Nabi Muhammad kiranya pantas untuk dijadikan sebagai rujukan saat kita akan melaksanakan sesuatu dimasa depan. Karena peristiwa yang terjadi sungguh beragam. Dari mulai cara pengaangkatan sebagai khalifah, sistem pemerintahan, pengelolaan administrasi, hubungan sosial kemasyaratan dan lain sebagainya.
Dalam memahami sejarah kita dituntut untuk dapat berpikir kritis. Sebab, sejarah bukanlah sebuah barang mati yang tidak dapat dirubah. Akan tetapi sejarah bisa saja dirubah kisahnya oleh sang penulis sejarah. Nalar kritis kita dituntut untuk mampu membaca sejarah dan membandingkan dengan pendapat lain. Saat kita sudah mampu untuk menyibak tabir sejarah dari berbagai sumber, barulah kita dapat melakukan rekonstruksi sejarah.
Rekonstruksi sejarah perlu dilakukan agar kita dapat memisahkan antara peradaban Arab dan peradaban islam. Sebab, kita sering memakan mentah-mentah peradaban yang datang dari Arab sebab semuanya dianggap sebagai peradaban islam. Kita perlu memandang peradaban dari berbagai aspeknya. Langkah ini agar kita tidak hanya sekedar ”bangga” dan larut dalam historisisme yang seringkali ”menjebak” pemikiran progressif kita.

.      B. Rumusan Masalah
1.      Pengertian Khulafa’ al-Rayidin?
2.      Bagaimana Perkembangan Politik dan Pemerintahan pada masa Khulafa Usman bin affan dan ali bin abi tholib?
3.      Bagaimana Perkembangan Kebudayaan dan Peradaban pada masa Khulafa Usman bin affan  dan Ali bin abi tholib ?


C.Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi Khulafa’ al- Rasidin
2. Untuk mengetahui perkembangan politik dan pemerintahan pada masa khulafa usman bin affan dan ali bin abi tholib
3. untuk mengetahui perkembangan kebudayaan dan peradaban pada masa khulafa usman bin affan dan ali bin abi tholib
BAB II
PEMBAHASAN

1.      Pengertian Khulafa’ al-Rayidin
            Kata خليفة, menurut Luis Ma’luf Yasu’I dalam kamus Al-Munjid biasa diterjemahkan dengan pengganti. Dalam al-Qur’an terdapat dua kata  خليفة , empat kata خلائف, dan tiga kata خلفاء: tapi tidak satu pun tertuju pada Muhammad. Saw. atau khalifahnya.[1] Kholifah dalam surat al baqarah : 30, nabi adam, Surat shod : 26, nabi adam
            Al-khulafa ar-rosyidin bermakna  pengganti-pengganti rasul yang cendekiawan. Adapun pencetus nama al-khulafa ar-rosyidin adalah dari orang-orang muslim yang paling dekat dari Nabi setelah meninggalnya beliau. Mengapa demikian, karena mereka menganggap bahwa 4 tokoh sepeninggal Rasul itu orang yang selalu mendampingi Rasul ketika beliau menjadi pemimpin dan dalam menjalankan tugas.[2] Diantaranya yaitu Abu Bakar as-Shiddiq, Umar ibn Khattab, Usman ibn Affan, dan Ali ibn Abi Thalib.
            Istilah khulafa ar-rasyidin berasal dari sebuah riwayat yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. dalam riwayat tersebut dikatakan bahwa Nabi bersabda :
“umatku akan terpecah-pecah menjadi 73 golongan, semuanya akan ditempatkan di neraka kecuali satu golongan saja.  Apa yang satu golongan itu? Tanya seorang sahabat. Nabi saw. Menjawab: “kelompok Ahlussunnah wal jama’ah.” Mereka yang taat pada sunnahku dan sunnah al-khulafa ar-rosyidin.”[3]



2.      Perkembangan Kebudayaan dan Peradaban pada masa Khulafa’ Usman bin Affan  dan Ali bin Abi Tholib.
Ustman Ibn Affan (23-35 H/644-656 M)
*      Biografi singkat Ustman Ibn Affan
        Nama lengkapnya Ustman Ibn Affan bin Abi Ash bin Umayyah bin Abd Syams bin Abd Manaf, biasa dipanggil Abu Abdillah dan di gelari Dzu An-Nur’ain (pemilik dua cahaya).[4] Ayahnya bernama Affan dan ibunya bernama Arwa.
       Usman ibn Affan dilahirkan pada tahun 573 M pada sebuah keluarga dari suku Qurays Bani Umayah. Nenek moyangnya bersatu dengan nasab Nabi Muhamad Saw pada generasi ke-5. Sebelum masuk Islam ia dipanggil dengan sebutan Abu Amr. Usman ibn Affan merupakan kerabat dekat Abu Sufyan, la adalah sahabat Nabi Saw yang pandai membaca dan menulis, karena sejak kecil ia dikenal sebagai anak yang cerdas dan jujur, sehingga ketika dewasa ia merupakan salah satu orang yang berpengaruh di jaziarah Arabia.
       Usman ibn Affan masuk Islam atas ajakan Abu Bakar, salah seorang sahabat dekatnya. Ada satu riwayat yang menceritakan tentang keislamannya. Suatu malam ia bermimpi dibangunkan oleh seseorang yang memanggilnya, “Bangunlah, engkau tiduran saja, sementara Ahmad sedang, sibuk berdakwah di Mekah. Setelah terbangun, ia termenung dan kemudian menemui Nabi Muhammad dan menyatakan keislamannya. Setelah pamannya bernama Hakam mendengar ia masuk Islam, ia dicambuk berkali-kali agar kembali kepada agama nenek moyangnya. Namun karena dia telah memiliki tekad yang kuat untuk tetap bertahan pada agama Islam, kekerasan yang di-terimanya tidak dirasakan bahkan keimananya semakin kuat.
*      Proses pengangkatan Ustman Ibn Affan  Sebagai Khalifah
        Dalam keadaan sakit, khalifah Umar ibn al Khattab membentuk sebuah dewan untuk mengatasi persoalan yang akan dihadapi, terutama soal penggantian kepemimpinan setelahnya. Dewan tersebut terdiri dari Usman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib, Thalhah ibn Ubaidillah, Zubair ibn Awwam, Abdurrahman ibn Auf, dan Sa'ad ibn Abi Waqqash. Dewan ini bertugas memilih salah seorang di antara mereka yang akan menggantikannya sebagai khalifah. Abdurrahman ibn Auf dipercayakan menjadi ketua pantia pemilihan tersebut. Berkat ketekunan dan kebijaksanaan Abdurrahman ibn Auf, akhirnya proses pemilihan berjalan lancar dan menghasilkan sebuah keputusan yang memenangkan Usman ibn Affan terpilih sebagai khlifah. Kemudian Abdurrahman ibn Auf mengangkat tangan Usman ibn Afffan sebagai tanda penga¬kuannya sebagai khalifah baru, pengganti khalifah terdahulu, yaitu Umar lbn al-Khattab. Ketika terpilih sebagai khalifah, Usman ibn Affan telah berusia 70 tahun, usia yang telah matang dan penuh bijaksana.[5]
*      Perkembangan politik dan pemerintahan pada masa Ustman Ibn Affan
         Di masa pemerintahan Utsman Radhiallahu‘anhu,  Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes, dan bagian yang tersisa dari Persia, Transoxania, dan Tabaristan berhasil direbut. Dan ia juga membangun pangkalan angkatan laut, menyuruh membentuk kepolisian Negara, dan mendirikan gedung peradilan.[6]
          Dalam pemerintahannya juga dilakukan usaha pengumpulan al-Qur'an menjadi satu mushaf yang merupakan kelanjutan dari usaha sebelumnya, terutama pada masa khalifah pertama dan kedua. Pada tahun 26 H khalifah Usman ibn Affan mengkonsentrasikan pada upaya penulisan al-Qur'an dengan membentuk panitia penulisan dan pembukuan al-Qur'an yang diketuai oleh Zaid ibn Tsabit. Seperti diketahui bahwa Zaid ibn Tsabit adalah salah seorang sahabat Nabi Saw yang dipercaya sebagai sekretaris Nabi saw untuk mencatat semua wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah saw, Selain itu, ia juga termasuk dalam seorang sahabat yang hafal al-Qur'an. Sementara Abdulah ibn Zubair, Sa'ad ibn Abi Waqqash dan Abdur¬rahman ibn Haris ibn Hisyani adalah sebagai anggota. Mereka diminta untuk menvylin al-Qur'an yang terdapat di beberapa tempat, seperti di lembar pelapah kurma, bebatuan, kulit dan tulang untuk dibukukan menjadi sebuah mushaf. Al- Qur'an yang ditulis dan dibukukan ini kemudian dikenal dengan sebutan mushaf. Mushaf yang ditulis sebanyak 5 buah. 4 buah di antaranya dikirim ke masing-masing wilayah Islam sebagai pedoman bacaan yang benar. Sedangkan sebuah lagi disimpan di Madinah untuk khalifah Usman sendiri. Mushaf itu kemudian dikenal dengan istilah Mushaf al- imam atau Mushaf Usmani.
          Pemerintahan Usman Radhiallahu ‘anhu berlangsung selama 12 tahun, pada paruh terakhir masa kekhalifahannya muncul perasaan tidak puas dan kecewa di kalangan umat Islam terhadapnya. Kepemimpinan Utsman Radhiallahu‘anhu memang sangat berbeda dengan kepemimpinan Umar Radhiallahu ‘anhu. Ini karena fitnah dan hasutan dari Abdullah bin Saba’ Al-Yamani salah seorang yahudi yang berpura-pura masuk islam. Ibnu Saba’ ini gemar berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lainnya untuk menyebarkan fitnah kepada kaum muslimin yang baru masa keislamannya. Akhirnya pada tahun 35 H/1655 M, Utsman Radhiallahu ‘anhu dibunuh oleh kaum pemberontak yang terdiri dari orang-orang yang berhasil dihasut oleh Abdullah bin Saba’ itu.
          Salah satu faktor yang menyebabkan banyak rakyat berburuk sangka terhadap kepemimpinan Utsman Radhiallahu ‘anhu adalah kebijaksanaannya mengangkat keluarga dalam kedudukan tinggi. Yang terpenting di antaranya adalah Marwan ibn Hakam Rahimahullah. Dialah pada dasarnya yang dianggap oleh orang-orang tersebut yang menjalankan pemerintahan, sedangkan Utsman Radhiallahu ‘anhu hanya menyandang gelar Khalifah. Setelah banyak anggota keluarganya yang duduk dalam jabatan-jabatan penting, Usman Radhiallahu ‘anhu  laksana boneka di hadapan kerabatnya itu. Dia tidak dapat berbuat banyak dan terlalu lemah terhadap keluarganya. Dia juga tidak tegas terhadap kesalahan bawahan. Harta kekayaan negara, oleh kerabatnya dibagi-bagikan tanpa terkontrol oleh Usman Radhiallahu ‘anhu sendiri. Itu semua akibat fitnah yang ditebarkan oleh Abdullah bin Saba’.[7]
d)     Ali Ibn Abi Thalib (35-40 H/656-661 M)
*      Biografi singkat Ali Ibn Abi Thalib
       Ali ibn Abi Thalib adalah khalifah keempat setelah Usman ibn Affan. Nama lengkapnya adalah Ali ibn Abi Thalib ibn Abdul Muthalib ibn Hasyim ibn Abdi Manaf. la dilahirkan 32 tahun setelah kelahiran RasuluIIah Saw. Sejak Usia kecil Ali ibn Abi Thalib diasuh oleh Nabi Muhamad Saw. la diasuh sebagaimana anak kandung Nabi sendiri. Hal itu dilakukan Rasulullah Saw untuk meringan¬kan beban berat yang diderita keluarga pamannya setelah bencana besar yang melanda kota Makah. Setelah bencana terjadi, Nabi Muhamad Saw memohon kepada pa¬mannya yang lain, yaitu Abbas ibn Abdul Muthalib agar membantu saudaranya yang sedang terkena musibah. Akhirnya Abbas setuju dan meng¬ambil Ja'far ibn Abi Thalib untuk diasuh, sementara Nabi Saw mengambil Ali ibn Abi Thalib un¬tuk diasuhnya pula.
       Dengan demikian, Ali ibn Abi Thalib tumbuh menjadi anak baik dan cer-das di bawah asuhan Rasulullah Saw. Rasulullah saw selalu memberikan kasih saying yang besar kepadanya, sebagaimana yang ia berikan kepada anak-anaknya. Ketika Muhamad Saw diangkat menjadi Nabi dan Rasul, Ali ibn Abi Thalib adalah orang pertama dari kalangan anak-anak yang menyatakan keislamannya serta terus berada di sisi Rasulul¬lah Saw. Karena sejak kecil berada di bawah asuhan Rasul, maka tak heran kalau kemu¬dian ia memiliki sifat-sifat terpuji, shaleh, sabar, adil dan bijaksana. Kesetiannya kepada Nabi Saw tidak diragukan lagi. Keberaniannya telah teruji ketika ia tidur di tempat tidur Rasul pada saat para pemuda Qurays akan membunuh rasulullah saw.
*      Proses pengangkatan  Ali Ibn Abi Thalib Sebagai Khalifah
        Setelah Utsman Radhiallahu ‘anhu wafat, masyarakat beramai-ramai membaiat Ali ibn Abi Thalib Radhiallahu ‘anhu sebagai khalifah. Ali Ibn Abi Thalib tampil memegang pucuk kepemimpinan negara di tengah-tengah kericuhan dan huru-hara perpecahan akibat terbunuhnya Usman oleh kaum pemberontak. Ali Ibn Abi Thalib dipilih dan diangkat oleh jamaah kaum muslimin di madinah dalam suasana sangat kacau, dengan pertimbangan jika khalifah tidak segera dipilih dan di angkat, maka ditakutkan keadaan semakin kacau. Ali Ibn Abi Thalib di angkat dengan dibaiat oleh masyarakat.
*      Perkembangan politik dan pemerintahan pada masa Ali Ibn Abi Thalib
        Ali Radhiallahu ‘anhu memerintah hanya enam tahun. Selama masa pemerintahannya, ia menghadapi berbagai pergolakan. Tidak ada masa sedikit pun dalam pemerintahannya yang dapat dikatakan stabil. Setelah menduduki jabatan khalifah, Ali Radhiallahu ‘anhu menon-aktifkan para gubernur yang diangkat oleh Utsman Radhiallahu ‘anhu. Dia yakin bahwa pemberontakan-pemberontakan terjadi karena keteledoran mereka. Dia juga menarik kembali tanah yang dihadiahkan Utsman Radhiallahu ‘anhu kepada penduduk dengan menyerahkan hasil pendapatannya kepada negara, dan memakai kembali sistem distribusi pajak tahunan di antara orang-orang Islam sebagaimana pernah diterapkan Umar Radhiallahu ‘anhu.
        Dalam masa pemerintahannya, Ali Ibn Abi Thalib mengahadapi pemberontakan Thalhah,  Zubair, dan Aisyah. Alasan mereka, Ali Ibn Abi Thalib tidak mau menghukum para pembunuh Usman dan mereka menuntut bela terhadap daerah Usman yang telah ditumpahkan secara dhalim. Perang ini dikenal dengan nama perang jamal.
        Bersamaan dengan itu, kebijaksanaan-kebijaksanaan Ali Radhiallahu ‘anhu juga mengakibatkan timbulnya perlawanan dari para gubernur di Damaskus, Mu'awiyah Radhiallahu ‘anhu, yang didukung oleh sejumlah bekas pejabat tinggi yang merasa kehilangan kedudukan dan kejayaan. Setelah berhasil memadamkan pemberontakan Zubair, Thalhah dan Aisyah, Ali Radhiallahu ‘anhu bergerak dari Kufah menuju Damaskus dengan sejumlah besar tentara. Pasukannya bertemu dengan pasukan Mu'awiyah Radhiallahu ‘anhu di Shiffin. Pertempuran terjadi di sini yang dikenal dengan nama perang shiffin. Perang ini diakhiri dengan tahkim (arbitrase), tapi tahkim ternyata tidak menyelesaikan masalah, bahkan menyebabkan timbulnya golongan ketiga, al-Khawarij, orang-orang yang keluar dari barisan Ali Radhiallahu ‘anhu. Akibatnya, di ujung masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘anhu umat Islam terpecah menjadi tiga kekuatan politik, yaitu Mu'awiyah, Syi'ah (pengikut Abdullah bin Saba’ al-yahudi) yang menyusup pada barisan tentara Ali Radhiallahu ‘anhu, dan al-Khawarij (orang-orang yang keluar dari barisan Ali). Keadaan ini tidak menguntungkan Ali Radhiallahu ‘anhu. Munculnya kelompok al-khawarij menyebabkan tentaranya semakin lemah, sementara posisi Mu'awiyah Radhiallahu ‘anhu semakin kuat. Pada tanggal 20 ramadhan 40 H (660 M), Ali Radhiallahu ‘anhu terbunuh oleh salah seorang anggota Khawarij yaitu Abdullah bin Muljam.[8]
3.  Perkembangan Kebudayaan dan Peradaban pada masa Khulafa’ al-Rayidin
Ekonomi
System perekonomian pada masa pemerintahan khulafaurrasyidin adalah bertani dan berdagang setiap hari mereka disibukkan dengan pesoalan air dan rumput-rumput 24. Hasil pertanian yang mereka ekspor antara lain, kurma, kayu gaharu, buah kismis anggur dan lainnya selain bertani, unsur terpenting dalam perekonomian mereka adalah berdagang. Masyarakat arab waktu itu sudah mengenal ekspor impor. Komoditas ekspor arab selatan dan yaman adalah dupa, kemenyan, kayu gaharu, minyak wangi dan kulit binatang. Buah kismis anggur dan lainnya . Komoditas yang mereka impor dari afrika timur antara lain kayu untuk bangunan, bulu burung unta, lantakan logam mulia dan badat. Dari asia selatan dan china adalah daging, batu mulia, sutra, pakaian, pedang, rempah-rempah. Sedangkan dari negara teluk persia mereka mengimpor intan. Mereka memperoleh pedang dan pakaian dari asia selatan dan china, ekspor-impor sudah dikenal sejak masa khulafaurrasyidin, mereka membuka hubungan dengan negara-negara disekitar mereka.
Sosial
Secara giografis Arab bertanah tandus dan didominasi oleh gurun pasir, kendaraan yang mereka gunakan adalah unta. masyarakat menggunakan cadar (penutup hidung) agar tidak menghirup pasir, wilayah arab yang kering berbatu dan sebagian besar adalah gurun pasir mempengaruhi eatak orang Arab. Orang Arab memiliki solidaritas internal yang sangat kuat dan sebaliknya ganas terhadap suku dan kabilah lain. Pada masa Nabi, sifat kesukuan ini berhasil dirubah menjadi sifat nasionalisme kenegaraan, yang awalnya mereka bangga menyebut-nyebut semboyan kesukuannya menjadi berubah menjadi semboyan islam. Pada masa Abu bakar, Umar, sifat ini timbul kembali sehingga menimbulkan perpecahan dalam golongan islam terutama pada masa Ustman dan Ali. Sifat kesukuan ini yang menghancurkan umat islam.
Pada masa Ustman, dia merangkul dan mengangkat mereka menjadi pejabat pemerintahan, Rosulullah juga tidak pernah mengangkat salah seorang dari Bani hasyim untuk menduduki jabatan. Demikian pula masa Abu Bakar dan Umar, Hal ini untuk menghindari kecemburuan politik.
Agama
Agama yang dianut masyarakat Arab pada masa Khulafaur Rasydin selain Islam adalah Paganisme, yakni penyembahan terhadap berhala yakni agama yang di anut secara turun temurun sejak jamannya nabi musa. mereka tidak mudah melepaskan agama dari bapak dan ibu mereka, selain itu sebagian ada yang menganut gabungan antara agama nenek moyang mereka yakni vetersme   (menyembah batu atau kayu ) mereka menyembah batu-batu besar atau pohon-pohon besar yang di anggap kramat dan bisa memberikan perlindungan bagi mereka. serta ttetoisme ( yakni pengkultusan terhadap hewan dan tumbuhan yang di anggap suci ) seperti halnya mereka menyembah sapi betina , karena mereka anggap suci. Dan Anemisme yakni: kepercayaan terhadap roh . Namun tidak sedikit yang menganut ajaran hanif nabi Ibrahim seperti paman nabi , yaitu Abu Thalib. Banyaknya agama yang di anut pada massa khulafaur Rasyidin ini di karenakan sifat orang arab yang keras sehingga mereka tidak mudah menerima sesuatu yang baru.

Sastra
Sejarah sastra arab, mencatat banyak penyair-penyair Mu’allaqat, diantaranya adalah tujuh orang yaitu yang terkenal dengan sebutan (seven suspendeds poems) mereka adalah : Ibnu al-qais bin Haris al-kindi (500-540), Zuhair bin Abu Sulma Al-Muzani (530-627), Al Nabiqah al Zubiani (sekitar 604), Labid bin Rabiah al-amiri (560-661), Tarafah bin Abdul Bakri (543-569), Antarah bin Syaddad Al-Bakri ( sekitar 580).
Banyaknya sastrawan-sastrawan Arab ini menunjukkan bahwa sastra pada saat itu sudah sangat terkenal dan menjadi budaya orang Arab, orang Arab sangat menghormati sastrawan. Sehingga Allah menurunkan Al-Qur’an dengan segala keindahan syair yang terkandung dan tak ada yang dapat menandingi syair Al-Qur’an dan kepadatan makna yang terkandung di dalamnya. Al-Qur’an adalah kitab Allah yang memiliki nilai sastra yang sangat tinggi dimana didalamnya terdapat makna yang sangat padat dan mudah dipahami sehingga Al-Qur’an mudah dihafal. Hal ini menjadi salah satu keistimewaan Al-Qur’an. Al-Qur’an diturunkan kepada umat islam dengan syair dan bahasa yang khas yang dapat melemahkan hasil karya sastra pada masa itu.[9]










BAB III
KESIMPULAN
Khalifah keempat Ali bin Abi Tholib adalah sepupu Nabi Muhammad SAW yang diangkat sebagai khalifah dalam situasi politik yang kurang mendukung. Peristiwa pembunuhan Utsman bin Affan mengakibatkan kegentingan di seluruh dunia islam. Pemberontak yang waktu itu menguasai Madinah tidak mempunyai pilihan lain selain mengangkat Ali sebagai khalifah.
Sebagai khalifah ke-4 yang memerintah selama sekitar 6 tahun. Masa pemerintahannya mewarisi kekacauan yang terjadi saat masa pemerintahan khalifah sebelumnya, Utsman bin Affan. Untuk pertama kalinya perang saudara antara umat muslim terjadi saat pemerintahannya, yaitu perang jamal pada tahun 36 H.
Kemudian dengan dikuasainya Syiria oleh Muawiyyah, yang secara terbuka menentang Ali, dan penolakannya atas perintah meletakkan jabatan gubernur, memaksa khalifah Ali untuk bertindak. Pertempuran sesama muslim terjadi lagi, yaitu antara Ali dan Muawiyah di kota Shiffin dekat sungai Eufrat, pada tahun 37 H.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Jabiri, Mohamed Abed, Problem peradaban: penelusuran atas jejak Kebudayaan Arab, Islam dan Timur, Yogyakarta: Belukar, 2004.
Al-Usairy, Ahmad, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam hingga Abad XX, Jakarta : Media Grafika, 2003.
Al-Qattan, Manna Khalil, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, Jakarta : PT. Pustaka Litera Antarnusa, 2007.
Engineer , Asghar Ali, Devolusi Negara Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Ibrahim, Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam, Yogyakarta : Penerbit Kota Kembang, 1989.
Karim, Abdul, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta : Pustaka Book Publisher, 2007.
Mursi, Syaikh Muhammad Sa’id, Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2007.
Syukur , Fatah, Sejarah Peradaban Islam, Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 2009.
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,2008.











[1] Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta : Pustaka Book Publisher, 2007, hal 77
[2] Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam, Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 2009, hal. 50
[3] Dalam riwayat lain dikatakan bahwa Nabi bersabda : fa’alaikum bi as-sunnati wa sunnat al khulafairrosyidin. Lihat Muhammad Yusuf al-Qandhawi, Hayat ash-Sahabat, Musthafa Ahmad  al Baz, Makkah, 1992, juz I, hal. 20
[4] Syaikh Muhammad Sa’id Mursi,op. cit. hal 16.
[5] http://akademika-odiemha.blogspot.com/2009/09/perkembangan-islam-pada-masa-al-khulafa.html
[6] Ibid. hal 18.
[7] Badri Yatim, op. cit. hal. 38-39
[8] Badri Yatim, Ibid.  hal 39-40.
[9] http://hadirukiyah.blogspot.com/2009/06/sejarah-peradaban-islam-pada-masa_27.html


Tidak ada komentar:

Posting Komentar