Kamis, 23 Oktober 2025

Kegiatan Seru dan Bermakna Bersama Siaga Hebat di SDI Pancasila Krian Sidoarjo: Belajar Melipat Baju dan Selimut Bersama Bunda Ifa Ratnasari, L.T.



    H
ari ini, suasana di SDI Pancasila Krian Sidoarjo terasa begitu ceria dan penuh semangat. Para Pramuka Siaga Hebat berkumpul dengan wajah antusias untuk mengikuti kegiatan yang sederhana namun sarat makna — belajar melipat baju dan selimut bersama Bunda Ifa Ratnasari, L.T. Kegiatan ini bukan sekadar latihan keterampilan tangan, melainkan pembelajaran karakter dan kemandirian yang akan menjadi bekal penting dalam kehidupan mereka kelak.

    Bunda Ifa, selaku pembina kegiatan pramuka, dengan penuh kesabaran dan kasih sayang memandu anak-anak dalam setiap langkah. Dengan nada lembut namun tegas, beliau menjelaskan bahwa melipat baju dan selimut bukan hanya sekadar pekerjaan rumah tangga, tetapi juga wujud tanggung jawab, kerapian, dan kedisiplinan. “Anak yang bisa melipat bajunya sendiri adalah anak yang belajar menghargai usaha orang tuanya dan belajar mandiri,” tutur beliau di tengah kegiatan.

    Melipat baju dan selimut memang tampak sederhana, namun di balik aktivitas ini tersimpan nilai-nilai akhlak Islami. Dalam Islam, kerapian dan kebersihan adalah bagian dari keimanan. Rasulullah ﷺ bersabda:


"Inna Allāha jamīlun yuḥibbul jamāl"
(Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan) — HR. Muslim.

    Dari hadits ini, kita diajarkan untuk mencintai kerapian dan keindahan dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam hal-hal kecil seperti menata dan melipat pakaian. Anak-anak yang terbiasa hidup rapi akan tumbuh menjadi pribadi yang teratur, disiplin, dan bertanggung jawab terhadap lingkungan sekitarnya.

    Kegiatan hari ini juga mengajarkan anak-anak untuk menghargai waktu dan kerja sama. Mereka belajar untuk tidak bergantung pada orang lain, melainkan mampu mengurus dirinya sendiri. Bunda Ifa menekankan pentingnya kemandirian sejak dini, sebab karakter ini akan menumbuhkan rasa percaya diri dan tanggung jawab sosial. Dalam hal ini, maqolah Arab yang relevan menyatakan:

"Man jadda wajada"
(Barang siapa bersungguh-sungguh, maka ia akan berhasil).

    Dengan kesungguhan dan latihan yang terus-menerus, anak-anak SDI Pancasila belajar bahwa setiap keterampilan kecil yang dipelajari hari ini adalah investasi untuk masa depan. Mereka tertawa, saling membantu, dan bangga ketika hasil lipatan mereka tampak rapi dan tertata.

    Kegiatan sederhana ini menjadi contoh nyata bahwa pendidikan karakter tidak harus selalu melalui teori, tetapi bisa melalui praktik kehidupan sehari-hari yang dekat dengan keseharian anak. Melipat baju dan selimut melatih motorik halus, membentuk kebiasaan positif, dan memperkuat nilai-nilai Islami yang aplikatif.

    Di akhir kegiatan, Bunda Ifa Ratnasari menutup dengan pesan menyentuh:
“Anak hebat bukan yang selalu dibantu orang lain, tapi yang mau belajar mandiri, membantu, dan menjaga kerapian sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah.”

    Kegiatan hari ini bukan hanya meninggalkan kesan menyenangkan, tetapi juga menanamkan nilai-nilai kehidupan yang akan tumbuh bersama anak-anak SDI Pancasila. Dari selembar kain yang dilipat, mereka belajar arti tanggung jawab, kedisiplinan, dan rasa syukur — bekal penting untuk menjadi generasi Islam yang tangguh dan berkarakter.

"Al-‘Adatu thāniyah thabī‘ah"Kebiasaan itu menjadi tabiat.
Semoga kegiatan seperti ini terus berlanjut, menumbuhkan pribadi-pribadi unggul yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berakhlak mulia dan mandiri.

Writer: 🌸 Ifa Ratnasari,S..Sos.I,S,E,M.Pd     


Rabu, 22 Oktober 2025

“Hari Santri dalam Bingkai Cinta: Ketulusan Bu Ifa Ratnasari, S.Sos.I., S.E., M.Pd. Menyemai Nilai Keislaman dan Kebangsaan di Yayasan Nurul Hidayah”

 


        Dalam suasana penuh semangat dan kekhidmatan, Yayasan Nurul Hidayah Krian Sidoarjo memperingati Hari Santri Nasional (HSN) 2025 pada Selasa, 22 Oktober 2025. Kegiatan ini diikuti oleh seluruh lembaga di bawah naungan yayasan, yakni RA, MI, dan MTs Nurul Hidayah, dengan rangkaian acara berupa upacara bendera dan istighosah bersama
Momen ini tidak hanya menjadi simbol penghormatan terhadap perjuangan para santri dan ulama, tetapi juga menjadi cermin kasih dan dedikasi seorang pendidik, 
yaitu Bu Ifa Ratnasari, S.Sos.I., S.E., M.Pd., yang menanamkan nilai keislaman dan kebangsaan kepada para siswanya melalui keteladanan dan cinta.


    Sebagai wali kelas dan pendidik yang inspiratif, Bu Ifa Ratnasari memandang Hari Santri bukan hanya sekadar peringatan sejarah, tetapi juga momentum untuk menanamkan karakter ta’dzim, disiplin, dan cinta tanah air kepada para santri. Ia menegaskan bahwa menjadi santri di era modern haruslah berlandaskan pada keseimbangan antara ilmu dunia dan ilmu akhirat. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT dalam Surat Al-Mujadilah ayat 11:

“Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”

Ayat ini menjadi inspirasi bagi Bu Ifa dalam mendidik siswanya agar semangat menuntut ilmu tidak hanya untuk kecerdasan intelektual, tetapi juga untuk kemuliaan akhlak dan ketinggian derajat di sisi Allah SWT.


Dalam amanat upacara yang dipimpin langsung oleh Bapak Hasan Abdullah, Kepala MTs Nurul Hidayah, semangat santri tampak membara. Para siswa berdiri tegak mengenakan seragam putih-putih dengan sorot mata penuh kebanggaan. Di sela kegiatan, Bu Ifa menyampaikan pesan lembut namun bermakna kepada anak-anak didiknya:

“Santri sejati bukan hanya yang fasih mengaji, tetapi juga yang berakhlak mulia dan bermanfaat bagi sesama. Seperti pesan Imam Al-Ghazali, ‘Ilmu tanpa adab seperti api tanpa cahaya.’

    Kutipan maqolah itu menjadi dasar pendidikan karakter yang senantiasa ia tanamkan dalam keseharian di kelas. Ia percaya bahwa pendidikan sejati bukan hanya tentang menghafal teori, tetapi menanamkan adab dan akhlak sebagai pondasi utama pembentukan insan berilmu.



    Setelah upacara, seluruh peserta mengikuti istighosah dan doa bersama, memohon keberkahan bagi bangsa dan para santri di seluruh Indonesia. Dalam suasana haru dan penuh spiritualitas, Bu Ifa terlihat menundukkan kepala dengan khusyuk, memimpin murid-muridnya melantunkan doa dengan suara lembut. “Doa adalah senjata santri,” ujarnya, mengutip sabda Rasulullah SAW:

“Doa adalah senjatanya orang beriman dan tiangnya agama.” (HR. Al-Hakim)

Momen kebersamaan itu menjadi refleksi mendalam tentang bagaimana cinta seorang guru dapat menumbuhkan kekuatan spiritual dan moral pada peserta didik. Cinta yang ditunjukkan Bu Ifa Ratnasari bukan sekadar kasih sayang biasa, tetapi cinta yang mendidik, membimbing, dan mengarahkan santri menuju kemandirian dan ketaatan kepada Allah.

    Peringatan Hari Santri 2025 di Yayasan Nurul Hidayah bukan hanya perayaan tahunan, melainkan perwujudan nyata dari nilai-nilai pendidikan Islam yang penuh kasih. Melalui ketulusan dan keteladanan Bu Ifa Ratnasari, semangat santri di Nurul Hidayah terus tumbuh dalam bingkai cinta dan keimanan, menjadikan lembaga ini bukan sekadar tempat belajar, tetapi juga taman ilmu dan akhlak. Sebagaimana pepatah Arab mengatakan:

“Man lam yadzuq marra at-ta’allum sa’atan, baqiya fi dhulli al-jahli abadan.”
(Barang siapa enggan merasakan pahitnya belajar sejenak, ia akan menanggung pahitnya kebodohan selamanya.)

    Melalui dedikasi sosok seperti Bu Ifa, makna Hari Santri 2025 di Yayasan Nurul Hidayah hidup dalam hati setiap siswa — sebagai santri yang berilmu, berakhlak, dan berjiwa cinta tanah air dalam bingkai cinta seorang guru sejati.

Writer:  Ifa Ratnasari,S.Sos.I,S,E,M.Pd 

Senin, 20 Oktober 2025

Hari Santri: Refleksi Dinamika, Spirit, dan Pengabdian Santri untuk Negeri

   


 Setiap tanggal 22 Oktober, bangsa Indonesia memperingati Hari Santri Nasional, sebuah momentum untuk mengenang perjuangan para santri dan ulama dalam mempertahankan kemerdekaan serta menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hari Santri bukan hanya seremonial tahunan, melainkan wujud penghargaan atas kontribusi besar kaum santri dalam membangun moral, spiritual, dan intelektual bangsa.


                                                        Landasan Historis: Resolusi Jihad 1945
    Penetapan Hari Santri tidak terlepas dari peristiwa bersejarah yang terjadi pada 22 Oktober 1945, ketika Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama, mengeluarkan Resolusi Jihad. Seruan ini mewajibkan umat Islam, khususnya para santri, untuk berjuang melawan penjajahan demi mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Peristiwa tersebut menjadi landasan kuat bagi pemerintah menetapkan Hari Santri melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2015.

    Dari sinilah semangat jihad santri dimaknai bukan sebagai peperangan fisik semata, tetapi juga jihad dalam bentuk pengabdian, pendidikan, dan pembentukan karakter bangsa. Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Al-Hajj ayat 78:
“Dan berjihadlah kamu di jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya...”
Ayat ini menjadi pedoman bahwa jihad santri di masa kini adalah berjuang menegakkan nilai-nilai keislaman dan kebangsaan dalam kehidupan modern.

                                                    Landasan Sosial: Dinamika Peran Santri di Era Global
       Santri masa kini menghadapi tantangan yang berbeda dengan masa perjuangan kemerdekaan. Dinamika sosial dan perkembangan teknologi menuntut santri untuk adaptif terhadap perubahan zaman. Santri tidak lagi hanya mengaji kitab kuning di pesantren, tetapi juga aktif di bidang sains, teknologi, kewirausahaan, dan sosial kemasyarakatan.

    Peran santri sebagai agen perubahan sosial sangatlah penting. Mereka diharapkan menjadi generasi yang mampu menjawab tantangan era digital dengan tetap berpegang pada nilai-nilai akhlakul karimah. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW:
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (HR. Ahmad)

Hadis ini menegaskan bahwa santri bukan hanya penerima ilmu, tetapi juga penyebar manfaat di tengah masyarakat.

Landasan Spiritual: Keteguhan Iman dan Pengabdian
Di tengah modernisasi, santri tetap menjaga ruh spiritualitasnya. Keteguhan iman dan ketaatan menjadi pondasi utama dalam setiap langkah. Santri dibentuk bukan hanya untuk menjadi cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara moral dan spiritual.

    Dalam konteks ini, pesantren menjadi pusat pembinaan karakter bangsa. Para santri diajarkan untuk ikhlas, tawadhu’, sabar, dan berkhidmat kepada masyarakat. Nilai-nilai inilah yang membuat santri memiliki daya tahan luar biasa dalam menghadapi berbagai dinamika kehidupan.

    Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Mujadilah ayat 11:
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”

Ayat ini menjadi motivasi bagi santri untuk terus belajar dan berkontribusi, menjadikan ilmu sebagai jalan ibadah dan kemaslahatan umat.

Penutup
    Hari Santri adalah simbol keutuhan antara ilmu, iman, dan perjuangan. Santri Indonesia telah membuktikan perannya dari masa ke masa—mulai dari perjuangan fisik melawan penjajah, membangun pendidikan Islam, hingga menghadapi tantangan era digital dengan semangat moderasi beragama.

    Dengan menjadikan Hari Santri sebagai momentum refleksi, diharapkan seluruh santri di Indonesia terus meneladani semangat ulama terdahulu: berilmu tinggi, berakhlak mulia, dan berjiwa nasionalis. Karena dari pesantrenlah lahir generasi penerang negeri—mereka yang menjaga iman sekaligus mencintai tanah air dengan sepenuh hati.


Cahaya dari Buduran: Kisah Pilu dan Keteguhan Pondok Pesantren Al Khoziny Sidoarjo

    Pondok Pesantren Al Khoziny Buduran Sidoarjo bukan sekadar lembaga pendidikan Islam biasa. Di balik berdirinya pesantren ini, tersimpan kisah perjuangan, keikhlasan, dan kepedihan yang menjadi saksi perjalanan panjang dakwah Islam di bumi Sidoarjo. Didirikan oleh KH. Moh. Khozin, seorang ulama karismatik yang dikenal tegas namun penuh kasih, pesantren ini berdiri di atas fondasi keimanan dan pengabdian tanpa pamrih.

Warisan Perjuangan Tiga Generasi
    Setelah wafatnya KH. Moh. Khozin, tongkat estafet kepemimpinan dilanjutkan oleh KH. Abdul Mujib Abbas, putra beliau yang dikenal sebagai ulama bijak dan pekerja keras. Beliau menghadapi masa-masa sulit ketika perubahan zaman mulai menggerus minat generasi muda terhadap pendidikan pesantren. Namun, dengan kesabaran dan keteladanan, beliau berhasil menjaga eksistensi Al Khoziny sebagai mercusuar ilmu agama di tengah arus modernisasi.

       Kini, kepemimpinan diteruskan oleh KH. R. Abdus Salam Mujib, cucu pendiri pesantren. Beliau adalah sosok yang tumbuh dalam kultur pesantren sejak kecil, lalu melanjutkan pendidikannya ke Pondok Pesantren Sarang sebelum menempuh studi di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Sepulang dari negeri para ulama itu, beliau tidak mencari kemegahan duniawi, melainkan memilih pulang untuk mengabdi dan mengembangkan pesantren peninggalan leluhurnya.

Kisah Pilu di Balik Kejayaan


       Perjalanan Al Khoziny tidak selalu diliputi cahaya. Ada masa-masa penuh pilu, terutama ketika generasi muda mulai enggan menempuh pendidikan di pesantren, dan kondisi ekonomi umat melemah. Beberapa kali, pesantren mengalami kesulitan dalam membiayai operasional, bahkan bangunan fisik mengalami kerusakan berat akibat usia dan keterbatasan dana.

        Namun, di saat itu pula tampak jelas janji Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Insyirah ayat 5-6:
“Fa inna ma’al ‘usri yusrā. Inna ma’al ‘usri yusrā.”
(Karena sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan.)

    Dengan semangat gotong royong dan doa para santri serta masyarakat, sedikit demi sedikit pesantren bangkit kembali. KH. R. Abdus Salam Mujib memperkuat sistem pendidikan dengan membuka program formal hingga jenjang perguruan tinggi, berdirilah Institut Agama Islam (IAI) Al Khoziny.

Dakwah yang Tak Pernah Padam


    Di bawah kepemimpinan KH. Abdus Salam Mujib, Al Khoziny bukan hanya menjadi tempat menuntut ilmu, tetapi juga pusat pembinaan akhlak dan dakwah umat. Beliau sering mengingatkan bahwa keberkahan ilmu tidak diukur dari gelar, tetapi dari niat ikhlas dan pengabdian kepada Allah SWT.

        Dalam setiap pengajian, beliau kerap mengutip hadits Rasulullah SAW:
“Barang siapa menempuh suatu jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim)

Hadits ini menjadi pedoman bagi para santri untuk terus menuntut ilmu dengan kesungguhan, meski di tengah keterbatasan dan ujian hidup.

Cahaya yang Tak Pernah Padam


Kini, Pondok Pesantren Al Khoziny berdiri kokoh dengan ratusan santri dari berbagai daerah. Kisah pilu perjuangan tiga generasi pengasuhnya menjadi teladan bahwa keikhlasan dan kesabaran adalah kunci utama dalam menjaga keberlangsungan dakwah Islam.

Seperti firman Allah dalam QS. An-Nur ayat 35:
“Allahu nūrus-samāwāti wal-ardh...”
(Allah adalah cahaya langit dan bumi.)

    Cahaya itu kini terus bersinar dari Buduran, membawa harapan bagi umat dan mengingatkan bahwa dari kesederhanaan, lahir kekuatan yang luar biasa.

writer    :  Ifa Ratnasari,S.Sos.I,S,E,M.Pd 

Selasa, 07 Oktober 2025

Kedekatan Emosional Guru dan Siswa: Kunci Sukses Pendidikan Berkualitas

 


    Dalam dunia pendidikan modern, keberhasilan belajar siswa tidak hanya ditentukan oleh kecerdasan akademik semata, tetapi juga oleh hubungan emosional yang terjalin antara guru dan siswa. Kedekatan emosional ini berperan penting dalam menciptakan suasana belajar yang nyaman, harmonis, dan bermakna. Di MTs Nurul Hidayah Krian Sidoarjo, sosok Bu Ifa Ratnasari, S.Sos.I., S.E., M.Pd. menjadi contoh nyata bagaimana hubungan yang hangat antara wali kelas dan peserta didik mampu melahirkan iklim pendidikan yang berkualitas.

    Sebagai wali kelas 7, Bu Ifa Ratnasari tidak hanya berperan sebagai pendidik, tetapi juga sebagai figur orang tua kedua di lingkungan sekolah. Ia memahami bahwa setiap siswa memiliki karakter, latar belakang, dan kebutuhan yang berbeda. Oleh karena itu, pendekatannya dalam membina siswa didasarkan pada empati, komunikasi terbuka, dan perhatian personal. Setiap pagi, ia menyambut peserta didiknya dengan senyum dan sapaan hangat, menciptakan suasana yang penuh keakraban dan semangat sejak awal pembelajaran dimulai.

    Kedekatan emosional ini tidak hanya membangun rasa nyaman, tetapi juga memperkuat motivasi intrinsik siswa. Menurut teori Humanistik Abraham Maslow, kebutuhan akan rasa aman dan kasih sayang merupakan dasar penting dalam mencapai aktualisasi diri (Maslow, 1943). Bu Ifa mengimplementasikan teori ini dengan memastikan bahwa setiap siswa merasa diterima dan dihargai, sehingga mereka lebih berani mengungkapkan pendapat, bertanya, dan aktif dalam kegiatan belajar. Hasilnya, dinamika kelas menjadi lebih hidup, interaktif, dan produktif.

    Selain itu, Bu Ifa juga menerapkan pendekatan komunikasi edukatif dengan melibatkan nilai-nilai Islami seperti ukhuwah, akhlakul karimah, dan tanggung jawab. Ia kerap memberikan bimbingan personal kepada siswa yang mengalami kesulitan belajar atau masalah pribadi. Pendekatan ini sejalan dengan konsep educare dalam pendidikan Islam, yaitu menumbuhkan dan mengembangkan potensi peserta didik melalui kasih sayang dan keteladanan (Al-Attas, 1999). Dalam setiap interaksi, Bu Ifa menekankan pentingnya adab sebelum ilmu, membentuk karakter siswa agar menjadi pribadi yang berakhlak, disiplin, dan berempati.

    Peran wali kelas yang dilaksanakan dengan penuh dedikasi oleh Bu Ifa juga berdampak signifikan terhadap peningkatan kedisiplinan dan prestasi siswa. Berdasarkan pengamatan sekolah, kelas yang ia bina menunjukkan peningkatan dalam kehadiran, kerjasama kelompok, serta partisipasi dalam kegiatan ekstrakurikuler. Hal ini membuktikan bahwa suasana emosional yang positif mendorong siswa untuk berkembang secara menyeluruh — baik dalam aspek akademik, sosial, maupun spiritual.

    Lebih jauh, kedekatan emosional yang terjalin menciptakan rasa saling percaya antara guru, siswa, dan orang tua. Bu Ifa sering berkomunikasi secara terbuka dengan wali murid melalui pertemuan kelas maupun media digital untuk memantau perkembangan anak-anak mereka. Kolaborasi ini menjadi wujud nyata dari pendidikan yang humanis dan partisipatif, sebagaimana ditekankan oleh Ki Hadjar Dewantara bahwa “pendidikan harus menuntun segala kekuatan kodrat anak agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.”

    Dengan demikian, peran Bu Ifa Ratnasari sebagai wali kelas bukan hanya sebatas tanggung jawab administratif, tetapi merupakan panggilan hati untuk membimbing dan menginspirasi. Melalui kedekatan emosional, ia berhasil menumbuhkan lingkungan belajar yang penuh kasih, meneguhkan nilai-nilai moral, serta menanamkan semangat belajar sepanjang hayat. Kedekatan guru dan siswa bukan sekadar hubungan di ruang kelas, melainkan fondasi utama dalam mewujudkan pendidikan yang berkualitas dan berkarakter di MTs Nurul Hidayah Krian Sidoarjo.

Writer:  Ifa Ratnasari,S.Sos.I,S,E,M.Pd 

Senin, 06 Oktober 2025

Dari Keraton ke Dunia: Sejarah dan Esensi Peringatan Hari Batik dalam Menjaga Jati Diri Bangsa

     

oleh : Ifa Ratnasari,S.Sos.I,S.E,M.Pd

    Batik merupakan salah satu karya agung budaya Indonesia yang tidak hanya memancarkan keindahan estetika, tetapi juga menyimpan nilai-nilai filosofis, spiritual, dan identitas bangsa. Warisan budaya ini telah diakui dunia melalui penetapan oleh UNESCO pada 2 Oktober 2009 sebagai Intangible Cultural Heritage of Humanity atau Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi (UNESCO, 2009). Sejak saat itu, tanggal 2 Oktober diperingati sebagai Hari Batik Nasional, sebagai bentuk penghormatan dan pengakuan terhadap warisan luhur bangsa yang telah berkembang sejak masa kerajaan-kerajaan Nusantara.

Sejarah dan Asal-usul Batik

    Sejarah batik di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari tradisi keraton di Jawa, khususnya Keraton Yogyakarta dan Surakarta, yang menjadi pusat perkembangan seni membatik pada abad ke-18 hingga ke-19 (Soedarso, 2013). Awalnya, batik hanya dipakai oleh kalangan bangsawan sebagai simbol status sosial dan kebangsawanan. Motif-motif tertentu seperti parang rusak, sidomukti, dan kawung memiliki makna filosofis mendalam yang menggambarkan nilai kepemimpinan, keseimbangan, dan kemuliaan (Susanto, 2011).

    Namun, seiring dengan berkembangnya zaman, seni batik mulai keluar dari lingkungan keraton dan menyebar ke masyarakat luas melalui interaksi sosial dan perdagangan. Proses ini melahirkan beragam corak batik daerah, seperti Batik Pekalongan yang kaya warna karena pengaruh budaya pesisir, Batik Cirebon yang memadukan unsur Tionghoa dan Islam, serta Batik Madura dengan warna-warna tegas yang mencerminkan karakter masyarakatnya (Hanafi, 2016). Keragaman ini menunjukkan bahwa batik bukan sekadar kain hias, tetapi media ekspresi kultural yang menggambarkan pluralitas Indonesia.

Esensi Peringatan Hari Batik Nasional

    Peringatan Hari Batik Nasional memiliki makna strategis dalam menjaga keberlanjutan budaya bangsa di tengah arus globalisasi. Menurut Koentjaraningrat (2009), kebudayaan merupakan sistem nilai yang diwariskan dan menjadi pedoman bagi perilaku masyarakat. Dalam konteks ini, batik menjadi simbol kontinuitas identitas bangsa yang menegaskan pentingnya menjaga warisan leluhur sebagai bagian dari pembangunan karakter nasional.

    Peringatan ini juga menjadi momentum untuk menumbuhkan rasa bangga terhadap produk budaya dalam negeri serta memperkuat ekonomi kreatif masyarakat. Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud, 2019) mendorong pelestarian batik melalui pendidikan, pelatihan, dan festival budaya agar generasi muda tidak hanya mengenal, tetapi juga mampu mengembangkan batik dalam bentuk inovasi yang relevan dengan zaman.

    Selain itu, nilai-nilai filosofis yang terkandung dalam motif batik mencerminkan ajaran luhur bangsa: ketekunan, kesabaran, dan keharmonisan dengan alam. Nilai-nilai ini sejalan dengan prinsip spiritual dalam pandangan Islam dan budaya Timur, yaitu tata titi tentreming ati—ketenangan hati yang diperoleh melalui kerja keras dan kesungguhan. Dengan demikian, membatik bukan hanya proses estetika, tetapi juga bentuk ibadah dan refleksi diri dalam konteks budaya (Rohidi, 2012).

Penutup

    Batik bukan sekadar kain, melainkan representasi perjalanan panjang bangsa Indonesia dari masa kerajaan hingga era global. Peringatan Hari Batik Nasional setiap 2 Oktober bukan hanya seremonial, tetapi juga pengingat pentingnya menjaga jati diri bangsa di tengah modernitas. Dengan melestarikan batik, bangsa Indonesia sesungguhnya sedang meneguhkan kembali nilai-nilai kearifan lokal, nasionalisme, dan kebanggaan sebagai bangsa yang berbudaya tinggi.

Daftar Pustaka

  • Hanafi, I. (2016). Seni Batik Nusantara: Kajian Estetika dan Filosofi Motif Tradisional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
  • Koentjaraningrat. (2009). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
  • Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. (2019). Pedoman Peringatan Hari Batik Nasional. Jakarta: Kemendikbud.
  • Rohidi, T. R. (2012). Kesenian dalam Pendekatan Kebudayaan. Bandung: Alfabeta.
  • Soedarso, S. (2013). Sejarah Batik Keraton dan Perkembangannya di Indonesia. Yogyakarta: Kanisius.
  • Susanto, S. (2011). Batik: Filosofi, Motif, dan Makna. Jakarta: Balai Pustaka.
  • UNESCO. (2009). Batik Indonesia: Intangible Cultural Heritage of Humanity. Paris: UNESCO.

Kesaktian Pancasila sebagai Cermin Ketauhidan dan Ukhuwah Islamiyah di Nusantara Landasan: QS. Ali Imran [3]:103


      oleh: Ifa Ratnasari, S.Sos.I,S.E,M.Pd

Pendahuluan

        Pancasila merupakan dasar negara Indonesia yang menjadi pedoman moral, etika, dan spiritual dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya tidak hanya bersifat filosofis, tetapi juga memiliki dimensi religius yang sejalan dengan ajaran Islam. Kesaktian Pancasila, yang diperingati setiap tanggal 1 Oktober, bukanlah semata simbol kekuatan politik atau ideologis, melainkan juga perwujudan nilai ketauhidan dan ukhuwah Islamiyah di tengah masyarakat yang majemuk. Dalam konteks Islam, hal ini sesuai dengan firman Allah Swt. dalam QS. Ali Imran [3]:103, “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai…” ayat ini menegaskan pentingnya persatuan dan kesetiaan terhadap nilai-nilai kebenaran sebagai fondasi kehidupan bersama.

Metode

    Artikel ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan metode studi pustaka (library research). Data diperoleh melalui penelusuran literatur dari Al-Qur’an, hadis, tafsir, serta karya ilmiah yang membahas hubungan antara nilai-nilai Pancasila dan ajaran Islam. Analisis dilakukan secara interpretatif untuk menemukan kesesuaian antara prinsip ketauhidan dan ukhuwah Islamiyah dengan nilai-nilai Pancasila, terutama dalam konteks kebangsaan dan kemanusiaan di Indonesia.

Hasil dan Pembahasan

        Hasil kajian menunjukkan bahwa setiap sila dalam Pancasila memiliki keterkaitan erat dengan nilai-nilai Islam, khususnya prinsip tauhid dan ukhuwah. Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, merupakan manifestasi dari konsep tauhid dalam Islam, yaitu keyakinan bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan yang patut disembah. Sila ini mengandung makna spiritual mendalam yang menegaskan bahwa seluruh aktivitas kehidupan bangsa harus berlandaskan nilai keesaan Tuhan.

    Sementara itu, sila kedua hingga kelima mencerminkan nilai ukhuwah Islamiyah, yaitu persaudaraan antarumat manusia yang didasarkan pada keadilan, kemanusiaan, dan persatuan. Misalnya, sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab berhubungan dengan ajaran Islam tentang penghormatan terhadap hak asasi manusia sebagaimana ditegaskan dalam QS. Al-Hujurat [49]:13. Sila Persatuan Indonesia mencerminkan semangat ukhuwah yang mengikat seluruh warga bangsa tanpa memandang suku, ras, dan agama.

    Kesaktian Pancasila, jika dilihat dari perspektif Islam, merupakan bukti bahwa bangsa Indonesia telah berhasil mempertahankan nilai-nilai tauhid dan ukhuwah dari berbagai ancaman ideologis dan disintegrasi sosial. Nilai-nilai tersebut menjadi kekuatan spiritual yang menyatukan bangsa dalam bingkai keislaman dan kebangsaan. Dengan demikian, Pancasila bukan sekadar produk politik, tetapi juga cermin keimanan dan persaudaraan sejati sebagaimana diajarkan dalam Islam.

Kesimpulan

    Kesaktian Pancasila tidak hanya dimaknai sebagai keteguhan ideologi negara terhadap ancaman komunisme atau radikalisme, tetapi juga sebagai representasi nilai ketauhidan dan ukhuwah Islamiyah di Nusantara. Melalui prinsip-prinsip yang selaras dengan ajaran Islam, Pancasila mampu menjadi dasar moral dan spiritual yang memperkuat persatuan bangsa. Dengan berpegang pada nilai tauhid dan ukhuwah sebagaimana diperintahkan dalam QS. Ali Imran [3]:103, umat Islam di Indonesia dapat terus menjaga harmoni dan keutuhan bangsa sebagai wujud ibadah kepada Allah Swt.

Daftar Pustaka

1. Al-Qur’an, Surat Ali Imran [3]:103.

2. Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2019.

3. Hidayat, Komaruddin. Agama dan Pancasila: Perspektif Ketuhanan dan Kemanusiaan. Jakarta: Gramedia, 2021.

4. Nata, Abuddin. Integrasi Nilai Islam dalam Kehidupan Berbangsa. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2018.

5. Qardhawi, Yusuf. Fiqh al-Ukhuwwah fi al-Islam. Kairo: Maktabah Wahbah, 1997. 

Kesaktian Pancasila dalam Cahaya Islam: Implementasi Nilai Tauhid dan Keadilan Sosial



Abstrak

        Artikel ini bertujuan untuk mengkaji keselarasan nilai-nilai Pancasila dengan ajaran Islam, khususnya dalam aspek tauhid dan keadilan sosial. Pancasila sebagai dasar negara Indonesia memiliki relevansi teologis dan moral yang kuat terhadap prinsip-prinsip Islam yang menekankan keesaan Tuhan, persaudaraan, dan keadilan. Penelitian ini menggunakan metode studi pustaka dengan pendekatan kualitatif-deskriptif. Hasil kajian menunjukkan bahwa nilai-nilai Pancasila, terutama sila pertama dan kelima, sejalan dengan ajaran Islam sebagaimana tercermin dalam QS. Al-Hujurat [49]:13 dan hadis Nabi SAW tentang keadilan. Implementasi nilai tauhid dan keadilan sosial dalam kehidupan berbangsa menjadi kunci untuk menjaga “kesaktian” Pancasila secara spiritual dan moral.

Kata Kunci: Pancasila, Islam, Tauhid, Keadilan Sosial, Nilai Kebangsaan

Pendahuluan

    Pancasila merupakan dasar dan pandangan hidup bangsa Indonesia yang menggambarkan cita-cita luhur dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara. Sejak dirumuskan, Pancasila telah menjadi pedoman ideologis yang menyatukan keragaman suku, agama, dan budaya di Indonesia. Dalam konteks keagamaan, nilai-nilai Pancasila tidak bertentangan dengan ajaran Islam, bahkan memiliki keterkaitan erat dengan prinsip tauhid dan keadilan sosial yang menjadi landasan moral dalam Islam. Hari Kesaktian Pancasila yang diperingati setiap 1 Oktober menjadi momentum penting untuk merefleksikan kembali makna ideologis dan spiritual dari dasar negara ini.

Metode

    Penelitian ini menggunakan metode studi pustaka (library research) dengan pendekatan kualitatif deskriptif. Data diperoleh melalui analisis terhadap sumber-sumber primer dan sekunder, seperti Al-Qur’an, hadis, buku tafsir, serta literatur akademik terkait hubungan antara Pancasila dan ajaran Islam. Data dianalisis secara tematik untuk menemukan kesesuaian nilai-nilai Pancasila dengan prinsip tauhid dan keadilan sosial dalam Islam.

Hasil dan Pembahasan

1. Pancasila dan Prinsip Tauhid
    Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, merupakan refleksi langsung dari ajaran tauhid dalam Islam. Tauhid menegaskan bahwa hanya Allah SWT yang berhak disembah, dan segala bentuk penghambaan selain kepada-Nya merupakan penyimpangan dari keimanan. Prinsip ini menjadi dasar moral bagi seluruh sila lainnya.

    Firman Allah SWT dalam QS. Al-Hujurat [49]:13 menegaskan bahwa kemuliaan manusia tidak diukur dari suku atau bangsa, melainkan dari ketakwaan kepada Allah SWT. Ayat ini menggambarkan nilai persaudaraan universal yang selaras dengan sila kedua Pancasila, Kemanusiaan yang adil dan beradab.

2. Keadilan Sosial sebagai Manifestasi Iman
    Keadilan sosial merupakan prinsip fundamental dalam Islam. Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya orang-orang yang adil akan ditempatkan di mimbar-mimbar dari cahaya di sisi Allah… mereka yang berlaku adil dalam keputusan, terhadap keluarga, dan terhadap orang yang mereka pimpin.” (HR. Muslim). Hadis ini menunjukkan bahwa keadilan adalah perintah langsung dari Allah SWT, dan pelaksanaannya merupakan bentuk ibadah. Dalam konteks kebangsaan, sila kelima Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia memiliki makna yang identik dengan ajaran Islam tentang keseimbangan hak dan kewajiban sosial.

3. Kesaktian Pancasila dalam Perspektif Spiritualitas Islam
    Kesaktian Pancasila tidak dapat dilepaskan dari kekuatan moral dan spiritual yang dimilikinya. Ketika nilai-nilai Pancasila dihayati berdasarkan semangat tauhid dan keadilan, maka bangsa Indonesia memiliki fondasi kokoh dalam menghadapi berbagai tantangan zaman, baik ideologis maupun sosial.

Kesimpulan

    Kesaktian Pancasila dalam perspektif Islam terletak pada kesesuaian nilai-nilainya dengan prinsip tauhid dan keadilan sosial. Pancasila bukan hanya dasar negara, tetapi juga panduan moral yang sejalan dengan ajaran Islam. Implementasi nilai tauhid mengarahkan manusia untuk beriman dan berakhlak, sedangkan nilai keadilan sosial menumbuhkan kepedulian terhadap sesama. Oleh karena itu, penghayatan dan pengamalan nilai-nilai Pancasila dalam cahaya Islam menjadi kunci untuk memperkuat persatuan dan menjaga kedamaian bangsa.

Daftar Pustaka

      Kementerian Agama Republik Indonesia. (2020). Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an.

Muslim bin al-Hajjaj. (2007). Sahih Muslim. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

         Hidayat, Komaruddin. (2018). Agama Pancasila: Spirit Ketuhanan dan Kemanusiaan. Jakarta: Pustaka Compass.

    Shihab, M. Quraish. (2019). Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan.

Nata, Abuddin. (2015). Integrasi Nilai-Nilai Keislaman dan Kebangsaan. Jakarta: Rajawali Pers.

Selasa, 30 September 2025

Guru 5.0: Membangun Generasi Cerdas Emosional dan Digital di Era Artificial Intelligenc

      


       Era Society 5.0 menghadirkan tantangan sekaligus peluang besar bagi dunia pendidikan. Kehadiran Artificial Intelligence (AI), big data, dan teknologi digital bukan sekadar mengubah cara manusia bekerja, tetapi juga menuntut lahirnya generasi yang cerdas emosional dan digital. Di sinilah peran guru 5.0 sebagai pendidik transformatif sangat diperlukan. Guru tidak lagi sekadar menyampaikan ilmu, tetapi menjadi fasilitator, motivator, sekaligus teladan yang mampu menyeimbangkan antara kecerdasan intelektual, emosional, spiritual, dan digital.

Landasan Spiritual dalam Peran Guru



Islam menempatkan guru pada posisi mulia. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Mujadilah [58]:11:

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat...”

Ayat ini menegaskan bahwa ilmu pengetahuan adalah kunci kemuliaan, dan guru sebagai penyampai ilmu memiliki peran penting dalam meninggikan derajat generasi. Nabi Muhammad SAW juga bersabda:

“Sesungguhnya Allah, malaikat-Nya, penghuni langit dan bumi, bahkan semut di dalam lubangnya dan ikan di lautan, semuanya bershalawat kepada orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia.” (HR. Tirmidzi).

Dalil tersebut mengisyaratkan bahwa guru adalah agen perubahan yang keberkahannya dirasakan luas.

Teori Sosial: Pendidikan sebagai Transformasi

        Menurut Paulo Freire dalam teorinya Pedagogy of the Oppressed, pendidikan bukan hanya transfer pengetahuan, tetapi proses dialogis yang membebaskan manusia dari keterkungkungan. Guru 5.0 menerjemahkan gagasan ini dengan menghadirkan pembelajaran yang mendalam, interaktif, dan adaptif terhadap teknologi. Bukan sekadar mengajarkan keterampilan digital, guru juga membimbing siswa agar mampu memaknai informasi, memilah data, serta menjaga etika digital.

        Selain itu, teori Daniel Goleman tentang Emotional Intelligence relevan untuk era ini. Ia menegaskan bahwa keberhasilan seseorang tidak hanya ditentukan oleh IQ, melainkan juga oleh kemampuan mengelola emosi, empati, dan keterampilan sosial. Guru 5.0 harus mengintegrasikan penguatan emotional intelligence dalam proses pembelajaran sehingga generasi muda tidak hanya cerdas digital, tetapi juga berkarakter dan berakhlak.

Peran Guru 5.0

  1. Fasilitator Pembelajaran Mendalam
    Guru tidak hanya menyajikan materi, tetapi memandu siswa agar berpikir kritis, kreatif, dan kolaboratif. Teknologi AI digunakan bukan untuk menggantikan guru, melainkan memperkaya metode belajar.

  2. Pembangun Kecerdasan Emosional
    Di tengah derasnya arus digitalisasi, guru menjadi teladan dalam menjaga akhlak, komunikasi empatik, dan pengendalian diri. Dengan demikian, siswa mampu menyeimbangkan kehidupan nyata dan dunia maya.

  3. Penggerak Literasi Digital dan Etika
    Guru 5.0 membekali siswa dengan kemampuan literasi digital, yaitu memahami, menggunakan, dan menciptakan konten digital dengan bijak. Hal ini sejalan dengan tujuan pendidikan nasional untuk mencetak generasi beriman, berilmu, dan berdaya saing global.

Penutup

        Era Artificial Intelligence menuntut hadirnya sosok guru transformatif yang mampu melahirkan generasi cerdas emosional dan digital. Landasan spiritual dari Al-Qur’an dan hadis, dipadukan dengan teori sosial seperti Freire dan Goleman, menunjukkan bahwa pendidikan bukan sekadar mencetak generasi pintar teknologi, tetapi juga generasi yang beretika, berempati, dan berakhlak mulia. Dengan demikian, guru 5.0 adalah lentera yang membimbing generasi menuju masa depan yang manusiawi di tengah derasnya arus digitalisasi.

Minggu, 28 September 2025

Solidaritas yang Berbuah Prestasi: Perjalanan MPI-C 2023–2025 dari Awal Pendaftaran hingga Lulus Bersama

        


 Perjalanan panjang menempuh pendidikan tinggi tidak pernah mudah. Namun, kisah angkatan MPI-C 2023–2025 membuktikan bahwa solidaritas, kebersamaan, dan tekad yang kuat mampu mengubah setiap tantangan menjadi prestasi. Dimulai dari semangat “daftar bareng”, perjalanan ini berlanjut hingga puncak kebahagiaan “lulus bareng”, bahkan dengan hasil terbaik yang membanggakan. Kisah ini menjadi bukti bahwa pendidikan bukan hanya soal individu, melainkan juga tentang kekuatan kolektif dan kebersamaan.

    


    Sejak awal pendaftaran, para mahasiswa MPI-C telah menunjukkan komitmen untuk saling mendukung. Mereka melewati proses seleksi dengan semangat kebersamaan, saling mengingatkan persyaratan, hingga berbagi informasi tentang beasiswa. Sikap ini mencerminkan makna solidaritas sejati, sebagaimana ditegaskan dalam sebuah hadis Rasulullah SAW:

“Perumpamaan orang-orang beriman dalam hal saling mencintai, menyayangi, dan berkasih sayang, bagaikan satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuh sakit, maka seluruh tubuh merasakan sakit dan tidak bisa tidur.” (HR. Muslim).

      


         Hadis ini sejalan dengan nilai yang dihidupi oleh angkatan MPI-C, yaitu saling menguatkan agar tidak ada yang tertinggal dalam perjalanan akademik. Ketika satu mahasiswa menghadapi kesulitan, yang lain hadir untuk membantu. Inilah bukti nyata bahwa persaudaraan bukan hanya teori, melainkan praktik hidup yang menumbuhkan semangat juang bersama.Dalam teori pendidikan, solidaritas kelompok juga dijelaskan oleh Émile Durkheim, seorang sosiolog Prancis. Menurutnya, solidaritas adalah perekat sosial yang membuat kelompok tetap utuh dan bergerak menuju tujuan yang sama. Solidaritas mekanik muncul karena kesamaan pengalaman dan tujuan, sedangkan solidaritas organik hadir karena peran yang saling melengkapi. Hal ini sangat relevan dengan pengalaman MPI-C: ada yang unggul di akademik, ada yang cekatan di organisasi, ada pula yang ahli dalam membangun relasi. Semua keunggulan itu disatukan, sehingga melahirkan harmoni yang mendorong pencapaian terbaik.

        


    Perjalanan selama dua tahun penuh tantangan: tugas perkuliahan yang menumpuk, penelitian yang memerlukan ketekunan, hingga ujian yang menuntut konsentrasi tinggi. Namun, berkat kesepakatan untuk belajar bersama, berdiskusi rutin, dan saling berbagi motivasi, setiap rintangan bisa dilalui. Kebersamaan ini menjadi energi kolektif yang tidak ternilai. Bahkan di saat ada yang hampir menyerah, semangat teman-teman seangkatan kembali menjadi penyemangat.

  


     Tidak hanya itu, keberhasilan MPI-C juga sejalan dengan nilai Pancasila, khususnya Sila ke-3: Persatuan Indonesia. Persatuan dalam konteks akademik ini melahirkan kekuatan moral dan spiritual yang berbuah manis dalam bentuk prestasi terbaik. Kebersamaan dalam menempuh studi bukan sekadar perjalanan intelektual, tetapi juga perjalanan emosional yang mempererat persaudaraan. Puncak kebahagiaan itu tiba ketika seluruh anggota angkatan MPI-C dinyatakan lulus bersama dengan hasil terbaik. Momen ini bukan hanya kemenangan individu, melainkan kemenangan kolektif yang layak dirayakan dengan penuh syukur. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Maidah [5]:2,


“...Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan...”

        Ayat ini menjadi pengingat bahwa kebersamaan yang dibangun atas dasar kebaikan akan selalu melahirkan keberkahan. Kisah sukses MPI-C 2023–2025 adalah cermin nyata bahwa solidaritas bukan hanya melahirkan persaudaraan, tetapi juga prestasi. Dengan semangat “daftar bareng, lulus bareng”, mereka telah menunjukkan bahwa cita-cita besar lebih mudah tercapai ketika diperjuangkan bersama. Semoga kisah ini menginspirasi generasi selanjutnya untuk menjadikan solidaritas sebagai kunci dalam meraih kesuksesan akademik maupun kehidupan.


Merelakan Weekend demi Ilmu: Kisah Ifa Ratnasari Menyelesaikan S2 dengan Beasiswa Berkat Dukungan Suami dan Dua Putri Tercinta




    Perjalanan pendidikan bukanlah sekadar mengejar gelar, melainkan sebuah perjuangan yang sarat makna. Kisah Ifa Ratnasari dalam menyelesaikan studi S2 dengan program beasiswa adalah bukti nyata bahwa keteguhan hati, dukungan keluarga, dan pengorbanan bersama mampu membawa seseorang mencapai puncak keberhasilan. Di tengah kesibukan sebagai seorang istri, ibu dari dua putri tercinta, sekaligus pendidik dan pembina Pramuka, Ifa mampu membuktikan bahwa keterbatasan waktu bukanlah penghalang untuk menuntaskan amanah akademik.

        Program studi S2 yang ditempuh Ifa membutuhkan fokus dan pengorbanan besar. Salah satunya adalah merelakan waktu berharga bersama keluarga di akhir pekan. Jika bagi sebagian orang weekend identik dengan kebersamaan keluarga, jalan-jalan, atau sekadar melepas penat, bagi Ifa weekend justru dihabiskan dengan kuliah, belajar, serta mengerjakan tugas-tugas akademik. Hal ini tentu bukan hal yang mudah, terlebih bagi seorang ibu dengan dua putri yang masih membutuhkan perhatian. Namun, dengan komitmen kuat serta dukungan penuh dari sang suami, Nur Hida Fauzil Khoir, dan kedua putrinya, Aerilyn Adeeva Afshen Mysha Fazillah dan Fawzia Nazinda Zifara Fazillah, pengorbanan ini berubah menjadi energi positif yang menguatkan.

        Di balik perjuangan Ifa, ada peran besar sang suami yang dengan sabar dan penuh pengertian menggantikan posisi istri dalam mendampingi putri-putrinya. Weekend yang biasanya menjadi momen keluarga, justru menjadi waktu di mana suami dan anak-anak berganti peran, saling melengkapi satu sama lain. Mereka merelakan banyak hal, mulai dari agenda keluarga hingga momen kebersamaan, agar Ifa dapat fokus pada studinya. Kesungguhan keluarga ini mencerminkan prinsip gotong royong dalam lingkup terkecil, yakni keluarga.

        Nilai pengorbanan dan dukungan tersebut sejalan dengan ajaran Islam yang menempatkan ilmu sebagai jalan mulia. Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu,        " maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim). Hadis ini menjadi penguat bahwa perjuangan Ifa tidak sia-sia, sebab setiap langkahnya dalam menuntut ilmu adalah ibadah. Selain itu, teori Abraham Maslow tentang hierarchy of needs juga dapat menjadi cermin bahwa aktualisasi diri melalui pendidikan adalah puncak kebutuhan manusia, yang tidak bisa dicapai tanpa dukungan kebutuhan dasar seperti kasih sayang dan rasa aman dari keluarga.

        Kisah ini bukan sekadar tentang seorang perempuan yang berhasil menyelesaikan pendidikan tinggi, melainkan tentang kekuatan cinta dan dukungan dalam keluarga. Suami yang penuh pengertian, anak-anak yang ikhlas, serta semangat saling bahu-membahu menjadi fondasi kuat bagi Ifa untuk menyelesaikan program beasiswa tepat waktu dan meraih gelar M.Pd.

          Kini, keberhasilan Ifa Ratnasari tidak hanya menjadi kebanggaan pribadi, tetapi juga inspirasi bagi banyak perempuan dan pendidik di Indonesia. Bahwa dengan keteguhan, pengorbanan, serta dukungan keluarga, segala cita-cita, betapapun beratnya, bisa diwujudkan. Perjuangan ini mengajarkan bahwa ilmu memang membutuhkan pengorbanan, namun ketika dijalani dengan niat tulus dan kebersamaan, maka hasilnya bukan hanya gelar, melainkan berkah yang abadi.

Kegiatan Seru dan Bermakna Bersama Siaga Hebat di SDI Pancasila Krian Sidoarjo: Belajar Melipat Baju dan Selimut Bersama Bunda Ifa Ratnasari, L.T.

     H ari ini, suasana di SDI Pancasila Krian Sidoarjo terasa begitu ceria dan penuh semangat. Para Pramuka Siaga Hebat berkumpul dengan ...