Kamis, 15 November 2012

BENTUK-BENTUK INTERAKSI DAN INTERAKSI SOSIAL DALAM PROSES DAKWAH


1.     Bentuk-Bentuk Interaksi
Setidaknya ada dua macam bentuk interaksi sosial sebagai wujud proses sosial dalam kehidupan masyarakat. Dua bentuk proses interaksi sosial, yaitu proses asosiatif dan proses disosiatif.
1. Proses Asosiatif
            Proses asosiatif adalah jenis interaksi soaial yang mengarah pada persatuan dan dapat meningkatkan hubungan solidaritas antar individu / kelompok. Macam-macam proses asosiatif dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.      Kerjasama (cooperation)
      Kerjasama merupakan bentuk interaksi sosial yang utama. Kerjasama dimaksudkan sebagai suatu usaha bersama antara perorangan atau kelompok manusia untuk mencapai satu atau beberapa tujuan bersama. Kerjasama merupakan bentuk proses sosial yang baik, tetapi bukan kerjasama dalam hal yang negatif, seperti kerjasama ketika para siswa sedang melakukan ulangan atau ujian. Menurut James D. Thomson dan William J. Mc Ewe, ada lima bentuk kerja sama bila ditinjau dari pelaksanaannya sebagai berikut:
1)        Kerukunan
 Kerukunan adalah hidup berdampingan secara damai dan melakukan kerjasama secara bersama-sama. Kerukunan dapat ditunjukkan dari kegiatan kerja bakti yang dilakukan warga atau secara bergiliran melakukan ronda untuk menjaga keamanan kampung. Kerukunan pada intinya mencakup gotong-royong dan tolong-menolong.
2)        Tawar-menawar (bargaining)
 Tawar-menawar adalah bentuk perjanjian mengenai pertukaran barang dan jasa antara dua organisasi atau lebih.
3)         Kooptasi
Kooptasi adalah kerjasama dalam bentuk mau menerima pendapat atau ide orang atau kelompok lain. Hal itu diperlukan agar kerjasama dapat berlanjut dengan baik. Contoh: untuk memenuhi kekurangan stok beras dalam negeri akhirnya pemerintah mengadakan perjanjian tukar menukar beras dengan peralatan persenjataanyang juga dibutuhkan Negara tetangga.


4)         Koalisi
Koalisi adalah bentuk kerjasama antara dua organisasi atau lebih yang mempunyai kesamaan tujuan. Koalisi dilakukan agar memperoleh hasil yang lebih besar.
5)        Joint venture
Joint venture adalah bentuk kerjasama yang dilakukan oleh beberapa perusahaan. Dengan joint venture diharapkan hasil atau keuntungan yang diperoleh dari sebuah usaha akan lebih besar. Contoh: Bu Mia meras kerajinannya kurang berkembang dalam beberapa tahun terakhir. Ketika bertemu dengan Bu Yanti yang memiliki galeri kerajinan, beliau menawarkan kerja sama untuk mengisi galeri Bu Yanti yang sepi produk kerajinan. Dengan demikian kedua orang tersebut memperoleh keuntungan dalam bidang ekonomi. [1]
b.   Akomodasi (accomodation)
            Akomodasi dipergunakan dalam dua arti, yaitu yang  menunjuk pada suatu keadaan dan yang menunjuk pada suatu proses. Akomodasi yang menunjuk pada suatu keadaan, berarti adanya suatu keseimbanga dalam interaksi di antara orang-orang, yang kaitan dengan norma-norma sosial dan nilai-nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat. Sedangkan sebagai suatu proses, akomodasi menunjuk pada usaha-usaha manusia untuk mencapai kestabilan.
            Akomodasi sebenarnya merupakan suatu cara untuk menyelesaikan pertentangan tanpa menghancurkan pihak lawan sehingga lawan tidak kehilangan kepribadiannya. Ada beberapa bentuk akomodasi. Bentuk-bentuk akomodasi tersebut antara lain sebagai berikut:
1)      Koersi (coercion)
Paksaan merupakan bentuk akomodasi yang prosesnya dilaksanakan karena adanya unsuur paksaan. Paksaan merupakan bentuk akomodasi dengan salah satu pihak berada dalam keadaan yang lemah dibandingkan dengan pihak lawan. Contoh: guru menyuruh siswa mengerjakan PR.
 2)    Kompromi
Kompromi adalah bentuk akomodasi di mana pihak-pihak yang terlibat saling mengurangi tuntutannya, agar tercapai suatu penyelesaian terhadap perselisihan yang ada. Contoh: buruh pabrik minta upahnya dinaikkan menjadi 50000 perhari, sedangkan pimpinan mampu membayar 45000 perhari. Dicapai kesepakatan perhari dg gaji 47500.
 3)    Penengah (arbitration)
Adanya penengah (arbitration) atau pihak ketiga merupakan suatu cara unruk mencapai kompromi apabila pihak-pihak yang berhadapan tidak sanggup mencapai penyelesaian. Pertentangan diselesaikan oleh pihak ketiga yang dipilih oleh kedua belah pihak yang bertentangan. Contoh: penyelesaian konflik buruh & majikan dengan mengundang disnaker.

4)    Mediasi
 Mediasi menyerupai penengah. Pada mediasi hadirnya pihak ketiga hanya sebagai penasihat belaka. Tugas pihak ketiga adalah memberi nasihat agar para pihak yang bertikai menemukan penyelesaian untuk selanjutnya melakukan perdamaian. Contoh: konflik kelompok islam dengan pemerintah Filipina, RI sebagai penengah.
 5)    Konsiliasi
Konsilisasi adalah suatu usaha mempertemukan keinginan-keinginan dari pihak-pihak yang berselisih demi tercapainya suatu tujuan bersama.
 6)    Toleransi
Sikap saling menghargai satu pihak dengan pihak lain. Suatu sikap menghargai perbedaan-perbedaan yang ada di masyarakat. Contoh: orang non muslim menyampaikan ucapan selamat menunaikan ibadah puasa.
7)    Stalemate
Terperangkap hingga tak dapat bergerak lagi adalah suatu bentuk akomodasi di mana dua pihak yang sedang berselisih yang mempunyai kekuatan seimbang berhenti pada suatu titik tertentu. Contoh: selesainya perang iran dan irak yang berlangsung pada tahun 1980-1988
 8)    Ajudikasi
Keputusan pengadilan adalah penyelesaian perselisihan melalui jalan pengadilan. Hal ini dilakukan karena kedua belah pihak mengalami kesulitan mencari jalan damai. Contoh: perceraian suami istri, sengketa lahan.
c.    Asimilasi
            Asimilasi adalah penyesuaian sifat-sifat asli yang dimiliki dengan sifat-sifat sekitar. Dalam hal proses sosial, asimilasi berkaitan dengan peleburan perbedaan budaya.
Beberapa faktor yang mempermudah asimilasi adalah toleransi, sikap menghargai orang asing, sikap terbuka yang dimiliki para pemimpin, persamaan unsur-unsur kebudayaan, dan kesempatan-kesempatan yang seimbang di bidang ekonomi. Missal: perkawinan antar suku yang berbeda memungkinkan terjadinya consensus untuk membentuk satu pola baru yang berbeda dengan kebudayaan lama. Dua orang dari kebudayaan yang berbeda akan membentuk consensus mengenai pola kebudayaan baru setelah terikat system perkawinan.

d. Akulturasi
Akulturasi adalah fenomena yang timbul sebagai akibat pertemuan (kontak budaya) secara langsung dan terus – menerus antar kelompok manusia yang memiliki kebudayaan berbeda namun tidak menghilangkan ciri atau sifat asli dari masing – masing kebudayaan.
Bangunan candi di Indonesia contohnya. Pada Candi Prambanan, bangunannya berbentuk punden berundak dan relief–reliefnya mengangkat kisah Ramayana. Jadi dapat disimpulakn bahwa Indonesia mendpat pengaruh dari negara lain yaitu India, Thailand dan Kamboja. Meskipun demikian suasana yang digambarkan pada relief tersebut masih menggambarkan suasana alam Indonesia yang indah nan asri, sehinnga masih mencerminkan ciri khas dari Indonesia
e. Amalgamasi
            Amalgamasi adalah meleburnya dua kelompok budaya menjadi satu dan melahirkan suatu hal baru. Proses amalgamasi mempertegas hilangnya perbedaan-perbedaan yang ada. [2]

2.    Proses Disosiatif
Proses disosiatif adalah bentuk interaksi sosial yang dapat merenggangkan hubungan solidaritas antarindividu. Proses disosiatif meliputi persaingan, kontravensi, dan konflik.
a.      Persaingan (competition)
Persaingan adalah proses sosial dimana individu atau kelompok manusia bersaing mencari keuntungan melalui suatu bidang kehidupan yang pada suatu masa tertentu menjadi pusat perhatian umum, dengar. cara menarik perhatian publik atau mem-pertajam prasangka yang ada, tanpa menggunakan ancaman atau kekerasan. Beberapa bentuk persaingan antara lain persaingan ekonomi, persaingan kebudayaan, persaingan kedudukan dan peranan, serta persaingan ras. Contoh: dua orang kakak beradik dalam pergaulan sehari-hari mereka terikat tata sopan santunyang berlaku. Tetapi ketika mengikuti perlombaan lari cepat, mereka harus mengikuti peraturan yang berlaku dalam perlombaan, dan menanggalkan segala etika yang berlaku dalam ikatan persaudaraan.
b. Kontravensi (contravention)
Kontravensi adalah usaha untuk merintangi atau meninggalkan tercapainya tujuan pihak lain. Pada hakikatnya kontravensi merupakan suatu bentuk proses sosial yang berada antara persaingan dan pertentangan atau pertikaian. Kontravensi adalah sikap mental yang tersembunyi terhadap orang-orang lain atau unsur-unsur kebudayaan golongan tertentu, yang dapat berubah menjadi bencian, tetapi tidak sampai pada pertentangan pertikaian. Secara umum, bentuk kontravensi meliputi gangguan, fitnah, penolakan, keengganan, perlawanan, perbuatan menghalang-halangi, protes, dan mengecewakan rencana pihak lain. Contoh: agus gagal menjadi ketua kelas karena ada desas-desus yang berasal dari kandidat lain. Agus dikabarkan mengambil jajan di kantin tanpa membayar. Desas-desus mengenai diri agus yang belum tentu benar merupakan bentuk kontravensi dari pihak lain untuk menggagalkan tujuan agus untuk menjadi ketua kelas.

 c.   Pertentangan/pertikaian (conflict)
 Pertentangan adalah suatu proses sosial ketika seseorang / kelompok dengan sadar atau tidak sadar menentang pihak lain disertai ancaman atau kekerasan untuk mendapatkan keinginan / tujuan. Pertentangan atau pertikaian terjadi jika masing-masing pihak yang sedang mengadakan interaksi, tidak menemukan kesepahaman mengenai sesuatu, kemudian berlanjut menjadi adu kekuatan, lalu timbul adanya pertentangan atau pertikaian. Pertentangan atau pertikaian tersebut dapat bersifat sementara atau terus-menerus. Contoh: tawuran antar pelajar. [3]

B. Interaksi Sosial Dalam Proses Dakwah
1. Makna Interaksi Sosial
            Manusia sebagai makhluk sosial (homo socius), tidak mungkin lepas dari pengaruh lingkungannya, dengan kata lain berbicara interaksi sosial, sehingga akan lebih jauh mengkaji, menganalisis “manusia sebagai makhluk sosial”. Interaksi sosial sebagai sebuah bentuk atau suatu hubungan antara dua atau lebih manusia, dimana tingkah laku manusia yang satu mempengaruhi, mengubah, atau memperbaiki kelakuan manusia yang lain atau sebaliknya.
            Bahwa di dalam proses interaksi itu terdapat tindakan saling pengaruh-mempengaruhi antara individu yang satu dengan yang lain, baik individu itu dalam keadaan perorangan (personal) ataukah dalam kelompok sosial. Kalau kita kaitkan dengan dakwah, maka dalam dakwah dikenal dengan istilah personal approach atau “dakwah face to face”, sehingga terjadi proses pengaruh-mempengaruhi antara da’I dengan mad’u atau sebaliknya.
2. Faktor Dasar Interaksi Sosial
H. Bonner, dalam karyanya social psychology, yang di kutip Dr. W.A. Gerundang Dipl. Psych (1986, 58) menyatakan bahwa ada empat factor dasar dalam interaksi sosial, yaitu: factor imitasi, factor sugesti, factor identifikasi, dan factor simpati.
a. Imitasi
            Imitasi merupakan proses belajar manusia dalam masyarakat sebagai proses mematangkan kepribadiannya. Misalnya, kita tempatkan seorang anak belajar berbicara. Mula-mula ia akan mengimitasi kata-kata “ba-ba atau la-la”, guna melatih fungsi lidah. Kalau proses ini kita kaitkan dengan proses dakwah pada anak dikeluarga, maka factor teladan dari orang tua sangat kuat pengaruhnya.
            Nabi Muhammad sendiri menjadi teladan umat manusia, baik umat islam maupun non-Islam. Baik dalam kehidupan muamalah, ibadah, ataupun kehidupan lainnya (khususnya muslim), bahkan kalau kita mau bersikap objektif umat non islam pun dapat mengambil hikmah perilaku dan teladan Rasulullah saw.
            Lewat suri tauladan (teladan sebagai metode dakwah) maka manusia belajar kebiasaan yang baik dan akhlak yang mulia. Begitu pula sebaliknya, apabila kita terbiasa dangan kebiasaan yang buruk maka kita akan mendapatkan akhlak yang tercela sebagai buahnya. Di sinilah pentingnya imitasi dalam dakwah. Sebagai seorang da’I  renungkanlah
b. Sugesti
            Arti sugesti dan imitasi dalam hubungannya dengan interaksi sosial hamper sama. Bedanya adalah dalam imitasi itu orang yang satu mengikuti sesuatu yang ada di luar dirinya, sedangkan pada sugesti seseorang memberikan pandangan atau sikap dari dirinya yang lalu diterima oleh orang lain di luarnya. Dengan harapan orang yang sugesti itu menerima pesan tanpa keritik terlebih dahulu. Sehingga sugesti bukan bersifat rasional akan tetapi mendahulukan ras. Dalam hal ini Menike menulis: “Sugesti adalah pengaruh psikis-rohaniah, yang dalam diri komunikan menghasilkan suatu sikap atau keyakinan tertentu, tanpa dirasakannya adanya keperluan untuk meminta pertanggungjawaban serta keterangan dan pembuktian lebih lanjut dari pemberi sugesti (komunikator).”
            Sugesti dalam ilmu jiwa sosial, sering diartikan sebagai suatu proses dimana individu menerima suatu cara penglihatan atau pedoman-pedoman tingkah laku dari orang lain tanpa kritik terlebih dahulu. Ada pula yang menganggap sugesti sebagai suatu rangsangan yang dapat mengendurkan atau menguatkan sikap, perhatian, atau keinginan-keinginan mad’u.
            Sugesti merupakan proses mempengaruhi orang lain, dengan tujuan tingkah laku (behavior), bersikap (attitude) pendapat (oppinion) supaya identik dengan kita. Begitu pula dakwah dengan tujuan, agar mad’u itu mengikuti jalan yang Islamis. Tidak terlalu tergesah-gesah pada hakikatnya antara keduanya memiliki hubungan yang erat sekali, bahkan dakwah merupakan sugesti pada orang lain.
c. Identifikasi
Identifikasi adalah sebuah istilah dalam psikologi-psikoanalisis-Sigmund freud, dimana Dr. W.A. Gerungan membatasi “dorongan untuk menjadi identik (sama) dengan orang lain”. Kecenderungan disini bersifat tidak sadar dan irasional.
Sebagai ilustrasi, bagi seoarang anak, sang ayah adalah refleksi sifat kejantanan, kewibawaan, dan kepemimipinan. Sedang ibu adalah idola dari perwujudan kelembutan dan kasih saying. Dengan demikian metode keteladanan dalam dakwah mutlak sifatnya, sebab orang lain akan lebih dulu melihat tindak tanduk dan perilaku kita. Sehingga ada pepatah mengatakan “lihat orangnya dan jangan lihat apa yang di ucapkannya”, walaupun Ali bin Abi Thalib ra. Mengingatkan: “lihat apa yang diucapkan dan bukan siapa yang mengucapkan”, tetapi realitasnya lain. Di sinilah peran orang tua dalam menumbuhkan religious consciousness atau rasa keagamaan pada anak-anaknya, salah satu caranya adalah menumbuhkan iklim religious dan teladan bagi anak-anaknya. Islam menggarisbawahi tentang kehidupan keluarga ini.
Di sini jelaslah kewajiban orang tua memberi contoh yang baik dan bertanggungjawab kepada anggota keluarganya, sebab ia sebagai model identifikasi. Begitu pula dalam dakwah, da’I merupakan the best example dalam lingkungan masyarakat.
d. Simpati
Simpati dapat dirumuskan sebagai perasaan tertariknya orang yang satu terhadap orang yang lain. Simpati timbul tidak atas dasar logis rasional, tetapi berdasarkan penilaian perasaan, seperti juga dalam proses identifikasi (Dr. W.A. Gerungan, 1986, 69). Sehingga factor ini memiliki peran yang cukup mendalam dalam interaksi sosial. Dengan simpati maka situasi kerja sama akan lebih mudah terjadi.
            Dalam proses interaksi dalam dakwah, factor simpati ini besar sekali perannya. Karena salah satu yang tidak dapat diabaikan dalam proses dakwah adalah terlebih dahulu membangkitkan rangsangan (stimulan) yang akan memberikan jalan pada mad’u. untuk membangkitkan itu, maka da’I harus mengadakan empati terlebih dahulu. Karenanya, factor simpati itu, kita sering melihat dakwah nonverbal (teladan dakwah bil hal) mempunyai pengaruh yang tidak kalah pentingnya dengan dakwah verbal. Pribahasa arab menulis: “Perbuatan itu lebih besar pengaruhnya dari pada kata-kata yang diucapkan”.
            Dari argument diatas dapat disimpulkan bahwa seorang da’I harus mampu menumbuhkan rasa simpati pada mad’u. Sekiranya mad’u sudah tidak simpati terlebih dahulu dengan da’I jangan diharapkan terjadi feed back dalam dakwah, apalagi tujuan dakwah akan terealisasi, mungkin hanya “counter effect” yang diterimanya, atau bahkan kita ditolak secara mentah-mentah. [4]
Kegiatan dakwah adalah sebuah proses sosial di mana di dalam setiap proses dakwah terdapat factor yang saling berhubungan dan memengaruhi antara satu factor dengan factor yang lainnya. Factor-faktor tersebut adalah:
a.       Pelaksana Dakwah (Da’i)
Da’I merupakan kunci yang menentukan keberhasilan dan kegagalan dakwah. Oleh karena itu, dalam factor ini terdapat cirri-ciri serta persyaratan-persyaratan jasmani maupun rohani yang sangat kompleks bagi pelaksana yang sekaligus menjadi penentu dan pengendali sasaran dakwah.


b.      Objek Dakwah (Mad’u)
Objek atau sasaran dakwah berupa manusia yang harus di bimbing dan dibina menjadi manusia beragama sesuai dengan tujuan dakwah. Objek dakwah dilihat dari aspek psikologis memiliki variabilitas yang luas dan rumit menyangkut pembawaan dan pengaruh lingkungan yang berbeda yang menuntut pendekatan berbeda pula.

c.       Lingkungan Dakwah
Lingkungan dakwah adalah suatu factor yang besar pengaruhnya bagi perkembangan sasaran dakwah, berupa individu maupun kelompok manusia serta kebudayaan.

d.      Media Dakwah
Media dakwah adalah factor yang dapat menentukan kelancaran proses pelaksanaan dakwah. Factor ini disebut juga defent variables, artinya dalam penggunaannya atau efektivitasnya tergantung pada factor lain terutama orang yang menggunakannya.
e.       Tujuan Dakwah
Tujuan dakwah adalah suatu factor yang menjadi pedoman arah proses yang dikendalikan secara sistematis dan konsisten.
     
Dalam kegiatan dakwah selalu terjadi proses interaksi, yaitu hubungan antara da’I di satu pihak dan mad’u (objek dakwah) di pihak lain. Interaksi dalam proses dakwah ini ditujukan untuk mempengaruhi mad’u yang akan membawa perubahan sikap sesuai dengan tujuan dakwah yaitu mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. [5]













                 DAFTAR PUSTAKA
Faizah, Muchsin Effendi Lalu. Psikologi Dakwah, Jakarta: Prenada Media, 2006
Totok Jumantoro. Psikologi Dakwah, Jakarta: Amzah, 2001
Widyabakti Hesti Kawedar, Wijayanti Diatmika. Sosiologi, Klaten: Intan Pariwara, 2011
Sunaryo, Psikologi Perawatan, Jakarta: EGC, 2001
Kusuma, Widjaja, Pengantar Psikologi, Jakarta: Interaksara, 1969


[1] Sunaryo, Psikologi Perawatan, hal 176

[2]Kusuma, Widjaja, Pengantar Psikologi, hal 86

[3]Widyabakti Hesti Kawedar, Wijayanti Diatmika. Sosiologi, hal 60
[4]Totok Jumantoro. Psikologi Dakwah, hal 83
[5]Faizah, Muchsin Effendi Lalu. Psikologi Dakwah,hal 136

Tidak ada komentar:

Posting Komentar