Kamis, 15 November 2012

INTERAKSI DALAM DAKWAH

A.    Pengertain Interaksi

Salah satu naluri manusia sebagai makhluk sosial adalah kecenderungan untuk hidup berkelompok atau bermasyarakat yang disebut instink gregarious. Dan salah satu bentuk manifestasi dari kecenderungan naluriah tersebut adalah apa yang disebut oleh para ahli psikologi dengan interaksi sosial. Hubert Bonner memberikan pembatasan sebagai berikut :

“ Social interaction is type of  relationship between two or more person in which the behavior of one is modified by the behavior of  the other. Through interpersonal stimulations and response the bioligical individual is slowly changed into a human being or personality, the process may go on back and forth, each act in the total process suggesting or bringing out still another act. Social interaction is reciprocal action, action in which each individual in the process anticipates and adjusts to the oncoming act of the other. ”

Dengan demikian maka Interaksi adalah suatu bentuk hubungan antara dua orang atau lebih dimana tingkah laku seseorang diubah oleh tingkah laku yang lain. Melalui dorongan antar pribadi tersebut seseorang yang bersifat biologis lambat laun berubah menjadi makhluk hidup atau pribadi, proses tersebut berlangsung timbal balik, masing – masing bertindak dalam keseluruhan proses yang mempengaruhi atau menyebabkan yang lain juga bertindak. Interaksi sosial dengan demikian merupakan perilaku timbal balik, suatu perilaku dimana masing – masing individu dalam proses itu mengharapkan dan menyesuaikan diri dengan tindakan yang akan dilakukan orang lain.

Jadi jelslah bahwa di dalam proses interaksi itu terdapat tindakan saling mempengaruhi antara satu individu dengan individu lainnya, sehingga timbul lah kemungkinan – kemungkinan untuk saling mengubah atau memperbaiki perilaku masing- masing secara timbal balik. Perubahan demikian bisa terjadi secara disadari atau tidak sepenuhnya disadari, atau secara perlahan – lahan. Di dalam hubungan interaksional inilah terjadi suatu proses belajar – mengajar diantara manusia.
di mana di dalam proses dakwah merupakan permulaan yang fundamental bagi sukses nya dakwah itu. Tanpa adanya suatu proses belajar – mengajar maka dakwah sulit memperoleh tempat di dalam hati manusia.
Sebenarnya dalam interaksi sosial itu tidak hanya harus terjadi dalam kelompok -kelompok sosial saja, akan tetapi juga dapat terjadi antara dua pribadi bahkan juga bisa terjadi terhadap diri sendiri yakni dalam bentuk self-reaksi atau self-response.

Hal ini dapat diberikan contoh di kalangan anak – anak yaitu misalnya, seorang anak tidak hanya bereaksi terhadap orang lain tetapi juga terhadap dirinya sendiri; isyarat-isyarat suara anak kecil mempunyai efek yang sama baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang lain. Hal ini jelas dapat kita saksikan pada anak-anak yang sedang berbicara terhadap dirinya sendiri pada waktu bermain-mai yang punya efek sama terhadap dirinya dan orang lain.[1]

Interaksi adalah sentral dari kehidupan bermasyarakat, kerja sama, demikian pula penelitian masalah interaksi sosial telah memberikan cara yang lebih efektif untuk mengatasinya yaitu dengan memahami prinsip – prinsip yang mendasari banyak masalah sosial tersebut.[2]

Yang dimaksudkan dengan interaksi sosial ialah relasi sosial yang berfungsi, pelbagai jenis relasi sosial dinamis, apakah relasi itu terbentuk antar individu, kelompok dan kelompok, ataukah individu dengan kelompok?
Interaksi mulai bila dua orang bertemu, kemudian biasanya diikuti dengan menukar ucapan selamat, saling bersalaman dan percakapan mulai timbul. Tetapi walaupun tanpa ucapan sepatah kata pun, tanpa menampakkan suatu gerak, telah dimulai juga interaksi itu, karena tiap indera sudah siap siaga, fikiran pun telah terarah dan telah bekerja secara otomatis, walaupun tertutup dan tidak overt (tampak). Didalam semua tanda – tanda ini masing – masing saling menerima impresi, dan impresi inilah merupakan dasar walaupun hanya untuk sementara (temporair), dari lanjutan relasi sosial antara dua orang itu. Jenis / bentuk impressi ikut menentukan reaksi – reaksi lanjutannya.

Demikian juga halnya bila individu menghadapi suatu kelompok. Ia telah ditelaah dalam sekejap oleh kelompok dan ia membentuk suatu impressi. Hal ini sudah lazim dialami oleh para pemimpin besar/kecil pada waktu berpidato/berceramah/bertukar fikiran/berdiskusi, suatu interaksi timbul antara dua kelompok , tidak sebagai perorangan tetapi sebagai keseluruhan kelompok. Dan dapat saling mengadakan analisa, bentuk give and take yang tumbuh agar mereka menggunakan atau merubahnya untuk kepentingan masing – masing.[3]

Manusia sebagai makhluk sosial, tidak mungkin lepas dari pengaruh lingkukannya, dengan kata lain berbicara interaksi sosial, akan menjawab; Bagaimana individu itu berhubungan dengan lingkungan?? Sehingga lebih jauh mengkaji, menganalisis “manusia sebagai makhluk sosial”. Begitu pula membahas social interaction, tentu melibatkan proses penyesuaian diri. Dr. W.A. Gerungan, Dipl. Psych. (1986, 55) menulis; “penyesuaian diri dalam artinya yang pertama disebut penyesuaian diri autoplastis (auto = sendiri, plastis = dibentuk), sedangkan penyesuaian diri yang kedua disebut penyesuaian diri alloplastis (allo = yang lain).” Jadi , penyesuaian diri ada yang bersifat “pasif”, dimana kegiatan kita ditentukan oleh lingkungan, dan ada yang sifatnya ”aktif”, dimana kita atau manusia mempengaruhi lingkungan.
Dalam hal ini, mungkin individu yang satu menyesuaikan diri secara autoplastis (mengubah diri sesuai lingkungannya) kepada individu yang lain, dimana dirinya dipengaruhi orang lain, begitu pula sebaliknya mungkin ia dipengaruhi orang lain, maka terjadi proses penyesuaian diri alloplastis (kegiatan yang dipengaruhi lingkungan sesuai keadaan / keinginan).

Jadi jelaslah bahwa di dalam proses interaksi itu terdapat tindakan saling mempengaruhi antara individu yang satu dengan yang lain, baik individu dalam perorangan ataupun kelompok sosial. Kalau kita kaitkan dengan dakwah, maka dalam dakwah dikenal istilah personal approach dakwah  face to face, sehingga terjadi proses pengaruh – mempengaruhi antara da’i dan mad’u atau sebaliknya. Begitu pula ada istilah general approach atau dakwah secara umum misalnya pengajian disini terjadi proses pengaruh – mempengaruhi antara da’i dan mad’u dalam kelompok sosial. Maka dari itu interaksi sosial erat kaitannya dengan dakwah.[4]

Jadi Interaksi sosial dapat di artikan sebagai suatu bentuk hubungan antara dua orang atau lebih, dimana tingkah laku seseorang diubah oleh tingkah laku yang lain.


B.     Faktor dasar interaksi
Berjalan atau tidaknya interaksi sosial, walaupun dalam bentuknya yakni paling sederhana, yakni dua orang atau lebih yang saling mempengaruhi dalam dakwah, tetap merupakan suatu proses yang kompleks sekali. Ada empat faktor dasar dalam interaksi sosial, yaitu; faktor  imitasi, faktor sugesti,  faktor identifikasi, faktor simpati.
a.      Faktor imitasi

Imitasi adalah faktor dasar dari interaksi sosial yang menyebabkan keseragaman dalam pandangan dan tingkah laku orang banyak. Proses imitasi adalah contoh – mencontoh atau meniru. Imitasi bukan pembawaan tetapi yang harus dipelajari dan merupakan sesuatu yang datang dari lingkungan. Sehingga dapat dikatakan kalau imitasi merupakan proses belajar manusia dalam masyarakat sebagai mematangkan kepribadiannya. Misalnya, kita tempatkan seorang anak belajar berbicara, mula – mula ia akan mengimitasi kata – kata “ba-ba atau la-la” guna melatih fungsi lidah. Imitasi juga dapat mendorong individu atau kelompok untuk melaksanakan perbuatan – perbuatan baik atau dari segi negatif yaitu apabila hal – hal yang di imitasi adalah hal yang salah.

b.      Faktor sugesti

Sugesti adalah suatu proses dimana seorang individu dapat menerima suatu cara penglihatan atau pedoman tingkah laku dari orang lain tanpa kritik terlebih dahulu. Dalam proses sugesti, seorang memberikan pandangan atau sikap dari dirinya yang diterima oleh orang lain di luar dirinya (saling mempengaruhi satu dengan yang lain). Misalnya; ketertarikan, wibawa, dan hambatan berfikir.

c.       Faktor identifikasi

Identifikasi adalah sebuah istilah dalam psikologi Sigmun Freud untuk menguraikan mengenai cara belajar anak mengenai norma – norma sosial dari orang tuanya. Identifikasi berarti kecenderungan atau keinginan dalam diri anak untuk menjadi sama seperti ayah dan ibunya.
Kecenderungan ini bersifat tidak sadar bagi seorang anak. Artinya secara tidak sadar seorang anak akan mengambil sikap – sikap orang tuanya yang dapat ia mengerti mengenai norma – norma dan pedoman tingkah laku sejauh kemampuan yang ada pada anak tersebut.

Proses identifikasi pertama – tama berlangsung secara tidak sadar, kedua secara irasional berdasarkan perasaan dan kecenderungan dirinya yang tidak diperhitungkan secara rasional, ketiga mempunyai kegunaan untuk melengkapi sistem norma, cita – cita, dan pedoman tingkah laku orang yang di identifikasikan itu. Identifikasi dalam psikologi berarti dorongan untuk menjadi identik (sama) dengan yang lain. Misalnya gaya ceramah anak Zainuddin. MZ, sama dengan ( identik ) dengan ceramah sang ayah  yaitu Zainuddin. MZ

d.      Faktor simpati

Simpati dapat di rumuskan sebagai perasaan tertarik pada seseoraqng terhadap orang lain. Seperti hal nya proses identifikasi, simpati timbul tidak atas dasar logis rasional, tapi berdasarkan penilaian perasaan.  Berbeda dengan identifikasi, timbul nya simpati merupakan proses sadar bagi diri manusia yang merasa simpati terlihat dalam hubungan persahabatan antara dua orang atau lebih.

Gejala identifikasi dan simpati sebenarnya sudah berdekatan. Dalam hal simpati, hubungan yang timbal balik akan menghasilkan suatu hubungan kerja sama, di mana individu yang satu ingin lebih mengerti individu yang lain secara lebih mendalam, sehingga individu tersebut dapat merasa berpikir dan bertingkah laku seolah – olah ia adalah individu yang lain. Sedangkan dalam hal identifikasi terdapat suatu hubungan dimana yang satu menghormati dan menjunjung tinggi yang lain, dan ingin belajar padanya karena dianggap ideal. Jadi dalam simpati, dorongan utamanya adalah ingin mengerti dan bekerja sama dengan orang lain, sedangkan dalam identifikasi, dorongan utamanya adalah ingin mengikuti jejak dan ingin belajar dari orang lain.[5]





“ Perbedaan penyesuaian diri Autoplastis dengan Alloplastis “

Sebagai makhluk sosial, dalam kesehariannya manusia tentu tidak bisa hidup tanpa berhubungan dengan yang lainnya. Ketidak berdayaannya mengharuskan manusia berinteraksi dengan sesama atau dengan lingkungan sekitarnya. Interaksi ini menuntut manusia untuk dapat menyesuaikan diri dengan alam atau lingkungan sekitar tempat ia tinggal. Karena kalau interaksi yang dilakukannya itu pasif maka ia akan terpengaruh oleh lingkungan, akan tetapi sebaliknya kalauia aktif maka ia akan bisa mempengaruhi lingkungan.

Manusia sebagai makhluk sosial, tidak mungkin lepas dari pengaruh lingkukannya, dengan kata lain berbicara interaksi sosial, akan menjawab; Bagaimana individu itu berhubungan dengan lingkungan?? Sehingga lebih jauh mengkaji, menganalisis “manusia sebagai makhluk sosial”. Begitu pula membahas social interaction, tentu melibatkan proses penyesuaian diri. Dr. W.A. Gerungan, Dipl. Psych. (1986, 55) menulis; “penyesuaian diri dalam artinya yang pertama disebut penyesuaian diri autoplastis (auto = sendiri, plastis = dibentuk), sedangkan penyesuaian diri yang kedua disebut penyesuaian diri alloplastis (allo = yang lain).” Jadi , penyesuaian diri ada yang bersifat “pasif”, dimana kegiatan kita ditentukan oleh lingkungan, dan ada yang sifatnya ”aktif”, dimana kita atau manusia mempengaruhi lingkungan.

Dalam hal ini, mungkin individu yang satu menyesuaikan diri secara autoplastis (mengubah diri sesuai lingkungannya) kepada individu yang lain, dimana dirinya dipengaruhi orang lain, misalnya pengajian atau khotbah disini terjadi proses pengaruh – mempengaruhi antara da’i dan mad’u dalam kelompok sosial. Maka dari itu interaksi sosial erat kaitannya dengan dakwah.

Sedangkan ketika dirinya dipengaruhi orang lain, atau sebaliknya mungkin ia dipengaruhi orang lain, maka terjadi proses penyesuaian diri alloplastis (kegiatan yang dipengaruhi lingkungan sesuai keadaan / keinginan). Misalnya ketika lingkungan itu mayoritas orang nya berperilaku baik, maka seseorang itu akan mengubah keadaan dengan lingkungan yang baik dan berperilaku baik, dan begitu juga sebaliknya. Oleh karena itu lingkungan yang positif akan berdampak positif juga bagi kita. Dan sebaliknya lingkungan yang jelek atau negatif akan berdampak negatif juga bagi diri kita.

“ MANFAAT INTERAKSI SOSIAL & KAITANNYA DENGAN DAKWAH “
Dari beberapa penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa dapat timbul berbagai dampak dari interaksi timbal-balik antara satu dan yang lainnya, baik dampak positif maupun negatif adapun kaitannya dengan kajian dakwah adalah konsep silaturrahim yang tercantum dalam al – Qur’an :
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan peliharalah hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.”( Qs.an – Nisa )
Dengan adanya silaturahim maka akan mempererat tali persaudaraan antara satu dan yang lainnya, karena silaturahim juga memiliki peranan yang sangat penting dalam menjalin komunikasi yang baik, serta merupakan salah satu metode dalam dakwah yang digunakan untuk menyampaikan suatu pesan kepada mad’u (yang didakwahi) agar pesan dari da’i dapat terserap dengan baik, saat ini banyak sekali cara yang dilakukan para da’i agar dapat berinteraksi langsung dengan mad’u nya, selain itu juga dengan memperluas cakupan interaksi sang da’i juga bisa melebarkan sayapnya untuk menyebarkan ajaran-ajaran islam lebih luas lagi. Selain memperluas ranah dakwah, silaturrahim juga merupakan cara yang paling efektif dibanding cara yang lainnya karena dengan berinteraksi para mad’u bisa melihat da’i itu secara langsung.

Kesimpulan
a.      Pengertian interaksi

Interaksi adalah suatu bentuk hubungan antara dua orang atau lebih dimana tingkah laku seseorang diubah oleh tingkah laku yang lain. Melalui dorongan antar pribadi tersebut seseorang yang bersifat biologis lambat laun berubah menjadi makhluk hidup atau pribadi, proses tersebut berlangsung timbal balik, masing – masing bertindak dalam keseluruhan proses yang mempengaruhi atau menyebabkan yang lain juga bertindak. Interaksi sosial dengan demikian merupakan perilaku timbal balik, suatu perilaku dimana masing – masing individu dalam proses itu mengharapkan dan menyesuaikan diri dengan tindakan yang akan dilakukan orang lain.

Jadi jelslah bahwa di dalam proses interaksi itu terdapat tindakan saling mempengaruhi antara satu individu dengan individu lainnya, sehingga timbul lah kemungkinan – kemungkinan untuk saling mengubah atau memperbaiki perilaku masing- masing secara timbal balik. Perubahan demikian bisa terjadi secara disadari atau tidak sepenuhnya disadari, atau secara perlahan – lahan. Di dalam hubungan interaksional inilah terjadi suatu proses belajar – mengajar diantara manusia.
Di mana di dalam proses dakwah merupakan permulaan yang fundamental bagi sukses nya dakwah itu. Tanpa adanya suatu proses belajar – mengajar maka dakwah sulit memperoleh tempat di dalam hati manusia.

b.      Faktor dasar interaksi
a.       Faktor imitasi
b.      Faktor sugesti
c.       Faktor identifikasi
d.      Faktor simpati


Daftar Pustaka

Arifin, H.M,  Psikologi Dakwah, 1993, Jakarta : Bumi Aksara
Faizah dan Lalu Muchsin Effendi, Psikologi Dakwah, 2006, Jakarta : Prenada Media
Jumantoro, Totok, Psikologi Dakwah dengan aspek – aspek kejiwaan yang Qur’ani, 2001,
Jakarta : Amzah
Kusuma, Widjaja, Pengantar Psikologi , 1969, Jakarta : Interaksara
Partowisastro, Koestoer,  Dinamika Psikologi Sosial, 1983, Jakarta Pusat : Erlangga


[1]. H.M. Arifin, Psikologi Dakwah, Bumi aksara, Jakarta: 1993, Hal. 68-70  
[2] .Drs. Widjaja kusuma, pengantar psikologi , Interaksara, Jakarta: 1969, Hal. 606
[3] . Drs. Koestoer Partowisastro, Dinamika Psikologi Sosial, Erlangga, Jakarta Pusat: 1983, Hal; 10 -11
[4] . Drs. Totok jumantoro, Psikologi Dakwah dengan aspek – aspek kejiwaan yang qur’ani, Amzah, Jakarta: 2001, Hal; 83-86
[5] . Faizah dan Lalu muchsin effendi, Psikologi Dakwah, Prenada media, Jakarta: 2006, Hal; 130-135

1 komentar: