A.
Pengertain
Interaksi
Salah satu naluri manusia sebagai makhluk sosial
adalah kecenderungan untuk hidup berkelompok atau bermasyarakat yang disebut instink gregarious. Dan salah satu
bentuk manifestasi dari kecenderungan naluriah tersebut adalah apa yang disebut
oleh para ahli psikologi dengan interaksi sosial. Hubert Bonner memberikan
pembatasan sebagai berikut :
“ Social interaction is type
of relationship between two or more
person in which the behavior of one is modified by the behavior of the other. Through interpersonal stimulations
and response the bioligical individual is slowly changed into a human being or
personality, the process may go on back and forth, each act in the total
process suggesting or bringing out still another act. Social interaction is reciprocal
action, action in which each individual in the process anticipates and adjusts
to the oncoming act of the other. ”
Dengan demikian maka Interaksi adalah suatu bentuk
hubungan antara dua orang atau lebih dimana tingkah laku seseorang diubah oleh
tingkah laku yang lain. Melalui dorongan antar pribadi tersebut seseorang yang
bersifat biologis lambat laun berubah menjadi makhluk hidup atau pribadi,
proses tersebut berlangsung timbal balik, masing – masing bertindak dalam
keseluruhan proses yang mempengaruhi atau menyebabkan yang lain juga bertindak.
Interaksi sosial dengan demikian merupakan perilaku timbal balik, suatu
perilaku dimana masing – masing individu dalam proses itu mengharapkan dan
menyesuaikan diri dengan tindakan yang akan dilakukan orang lain.
Jadi jelslah bahwa di dalam proses interaksi itu
terdapat tindakan saling mempengaruhi antara satu individu dengan individu
lainnya, sehingga timbul lah kemungkinan – kemungkinan untuk saling mengubah
atau memperbaiki perilaku masing- masing secara timbal balik. Perubahan
demikian bisa terjadi secara disadari atau tidak sepenuhnya disadari, atau secara
perlahan – lahan. Di dalam hubungan interaksional inilah terjadi suatu proses
belajar – mengajar diantara manusia.
di mana di dalam proses dakwah merupakan permulaan
yang fundamental bagi sukses nya dakwah itu. Tanpa adanya suatu proses belajar
– mengajar maka dakwah sulit memperoleh tempat di dalam hati manusia.
Sebenarnya
dalam interaksi sosial itu tidak hanya harus terjadi dalam kelompok -kelompok
sosial saja, akan tetapi juga dapat terjadi antara dua pribadi bahkan juga bisa
terjadi terhadap diri sendiri yakni dalam bentuk self-reaksi atau
self-response.
Hal ini dapat diberikan contoh di kalangan anak –
anak yaitu misalnya, seorang anak tidak hanya bereaksi terhadap orang lain
tetapi juga terhadap dirinya sendiri; isyarat-isyarat suara anak kecil
mempunyai efek yang sama baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang
lain. Hal ini jelas dapat kita saksikan pada anak-anak yang sedang berbicara
terhadap dirinya sendiri pada waktu bermain-mai yang punya efek sama terhadap
dirinya dan orang lain.[1]
Interaksi adalah sentral dari kehidupan
bermasyarakat, kerja sama, demikian pula penelitian masalah interaksi sosial
telah memberikan cara yang lebih efektif untuk mengatasinya yaitu dengan
memahami prinsip – prinsip yang mendasari banyak masalah sosial tersebut.[2]
Yang dimaksudkan dengan interaksi sosial ialah
relasi sosial yang berfungsi, pelbagai jenis relasi sosial dinamis, apakah
relasi itu terbentuk antar individu, kelompok dan kelompok, ataukah individu
dengan kelompok?
Interaksi mulai bila dua orang bertemu, kemudian
biasanya diikuti dengan menukar ucapan selamat, saling bersalaman dan
percakapan mulai timbul. Tetapi walaupun tanpa ucapan sepatah kata pun, tanpa
menampakkan suatu gerak, telah dimulai juga interaksi itu, karena tiap indera
sudah siap siaga, fikiran pun telah terarah dan telah bekerja secara otomatis,
walaupun tertutup dan tidak overt (tampak). Didalam semua tanda – tanda ini
masing – masing saling menerima impresi, dan impresi inilah merupakan dasar
walaupun hanya untuk sementara (temporair), dari lanjutan relasi sosial antara
dua orang itu. Jenis / bentuk impressi ikut menentukan reaksi – reaksi
lanjutannya.
Demikian juga halnya bila individu menghadapi suatu
kelompok. Ia telah ditelaah dalam sekejap oleh kelompok dan ia membentuk suatu
impressi. Hal ini sudah lazim dialami oleh para pemimpin besar/kecil pada waktu
berpidato/berceramah/bertukar fikiran/berdiskusi, suatu interaksi timbul antara
dua kelompok , tidak sebagai perorangan tetapi sebagai keseluruhan kelompok.
Dan dapat saling mengadakan analisa, bentuk give
and take yang tumbuh agar mereka
menggunakan atau merubahnya untuk kepentingan masing – masing.[3]
Manusia sebagai makhluk sosial, tidak mungkin lepas
dari pengaruh lingkukannya, dengan kata lain berbicara interaksi sosial, akan
menjawab; Bagaimana individu itu berhubungan dengan lingkungan?? Sehingga lebih
jauh mengkaji, menganalisis “manusia sebagai makhluk sosial”. Begitu pula
membahas social interaction, tentu
melibatkan proses penyesuaian diri. Dr. W.A. Gerungan, Dipl. Psych. (1986, 55)
menulis; “penyesuaian diri dalam artinya yang pertama disebut penyesuaian diri
autoplastis (auto = sendiri, plastis = dibentuk), sedangkan penyesuaian diri
yang kedua disebut penyesuaian diri alloplastis (allo = yang lain).” Jadi ,
penyesuaian diri ada yang bersifat “pasif”, dimana kegiatan kita ditentukan
oleh lingkungan, dan ada yang sifatnya ”aktif”, dimana kita atau manusia mempengaruhi lingkungan.
Dalam hal ini, mungkin individu yang satu
menyesuaikan diri secara autoplastis (mengubah diri sesuai lingkungannya)
kepada individu yang lain, dimana dirinya dipengaruhi orang lain, begitu pula
sebaliknya mungkin ia dipengaruhi orang lain, maka terjadi proses penyesuaian
diri alloplastis (kegiatan yang dipengaruhi lingkungan sesuai keadaan /
keinginan).
Jadi jelaslah bahwa di dalam proses interaksi itu
terdapat tindakan saling mempengaruhi antara individu yang satu dengan yang
lain, baik individu dalam perorangan ataupun kelompok sosial. Kalau kita
kaitkan dengan dakwah, maka dalam dakwah dikenal istilah personal approach dakwah face to face, sehingga terjadi proses
pengaruh – mempengaruhi antara da’i dan mad’u atau sebaliknya. Begitu pula ada
istilah general approach atau dakwah
secara umum misalnya pengajian disini terjadi proses pengaruh – mempengaruhi
antara da’i dan mad’u dalam kelompok sosial. Maka dari itu interaksi sosial
erat kaitannya dengan dakwah.[4]
Jadi Interaksi sosial dapat di artikan sebagai suatu
bentuk hubungan antara dua orang atau lebih, dimana tingkah laku seseorang
diubah oleh tingkah laku yang lain.
B.
Faktor
dasar interaksi
Berjalan atau tidaknya interaksi sosial, walaupun
dalam bentuknya yakni paling sederhana, yakni dua orang atau lebih yang saling
mempengaruhi dalam dakwah, tetap merupakan suatu proses yang kompleks sekali.
Ada empat faktor dasar dalam interaksi sosial, yaitu; faktor imitasi, faktor sugesti, faktor identifikasi, faktor simpati.
a.
Faktor
imitasi
Imitasi adalah faktor dasar
dari interaksi sosial yang menyebabkan keseragaman dalam pandangan dan tingkah
laku orang banyak. Proses imitasi adalah contoh – mencontoh atau meniru.
Imitasi bukan pembawaan tetapi yang harus dipelajari dan merupakan sesuatu yang
datang dari lingkungan. Sehingga dapat dikatakan kalau imitasi merupakan proses
belajar manusia dalam masyarakat sebagai mematangkan kepribadiannya. Misalnya,
kita tempatkan seorang anak belajar berbicara, mula – mula ia akan mengimitasi
kata – kata “ba-ba atau la-la” guna melatih fungsi lidah. Imitasi juga dapat
mendorong individu atau kelompok untuk melaksanakan perbuatan – perbuatan baik
atau dari segi negatif yaitu apabila hal – hal yang di imitasi adalah hal yang
salah.
b.
Faktor
sugesti
Sugesti adalah suatu proses
dimana seorang individu dapat menerima suatu cara penglihatan atau pedoman
tingkah laku dari orang lain tanpa kritik terlebih dahulu. Dalam proses
sugesti, seorang memberikan pandangan atau sikap dari dirinya yang diterima
oleh orang lain di luar dirinya (saling mempengaruhi satu dengan yang lain).
Misalnya; ketertarikan, wibawa, dan hambatan berfikir.
c.
Faktor
identifikasi
Identifikasi adalah sebuah
istilah dalam psikologi Sigmun Freud untuk menguraikan mengenai cara belajar anak
mengenai norma – norma sosial dari orang tuanya. Identifikasi berarti
kecenderungan atau keinginan dalam diri anak untuk menjadi sama seperti ayah
dan ibunya.
Kecenderungan ini bersifat tidak sadar bagi seorang
anak. Artinya secara tidak sadar seorang anak akan mengambil sikap – sikap
orang tuanya yang dapat ia mengerti mengenai norma – norma dan pedoman tingkah
laku sejauh kemampuan yang ada pada anak tersebut.
Proses identifikasi pertama –
tama berlangsung secara tidak sadar, kedua secara irasional berdasarkan
perasaan dan kecenderungan dirinya yang tidak diperhitungkan secara rasional,
ketiga mempunyai kegunaan untuk melengkapi sistem norma, cita – cita, dan
pedoman tingkah laku orang yang di identifikasikan itu. Identifikasi dalam
psikologi berarti dorongan untuk menjadi identik (sama) dengan yang lain.
Misalnya gaya ceramah anak Zainuddin. MZ, sama dengan ( identik ) dengan
ceramah sang ayah yaitu Zainuddin. MZ
d.
Faktor
simpati
Simpati dapat di rumuskan
sebagai perasaan tertarik pada seseoraqng terhadap orang lain. Seperti hal nya
proses identifikasi, simpati timbul tidak atas dasar logis rasional, tapi
berdasarkan penilaian perasaan. Berbeda
dengan identifikasi, timbul nya simpati merupakan proses sadar bagi diri
manusia yang merasa simpati terlihat dalam hubungan persahabatan antara dua
orang atau lebih.
Gejala identifikasi dan simpati
sebenarnya sudah berdekatan. Dalam hal simpati, hubungan yang timbal balik akan
menghasilkan suatu hubungan kerja sama, di mana individu yang satu ingin lebih
mengerti individu yang lain secara lebih mendalam, sehingga individu tersebut
dapat merasa berpikir dan bertingkah laku seolah – olah ia adalah individu yang
lain. Sedangkan dalam hal identifikasi terdapat suatu hubungan dimana yang satu
menghormati dan menjunjung tinggi yang lain, dan ingin belajar padanya karena
dianggap ideal. Jadi dalam simpati, dorongan utamanya adalah ingin mengerti dan
bekerja sama dengan orang lain, sedangkan dalam identifikasi, dorongan utamanya
adalah ingin mengikuti jejak dan ingin belajar dari orang lain.[5]
“ Perbedaan
penyesuaian diri Autoplastis dengan Alloplastis “
Sebagai
makhluk sosial, dalam kesehariannya manusia tentu tidak bisa hidup tanpa
berhubungan dengan yang lainnya. Ketidak berdayaannya mengharuskan manusia
berinteraksi dengan sesama atau dengan lingkungan sekitarnya. Interaksi ini
menuntut manusia untuk dapat menyesuaikan diri dengan alam atau lingkungan
sekitar tempat ia tinggal. Karena kalau interaksi yang dilakukannya itu pasif
maka ia akan terpengaruh oleh lingkungan, akan tetapi sebaliknya kalauia aktif
maka ia akan bisa mempengaruhi lingkungan.
Manusia sebagai makhluk sosial, tidak mungkin lepas
dari pengaruh lingkukannya, dengan kata lain berbicara interaksi sosial, akan
menjawab; Bagaimana individu itu berhubungan dengan lingkungan?? Sehingga lebih
jauh mengkaji, menganalisis “manusia sebagai makhluk sosial”. Begitu pula
membahas social interaction, tentu melibatkan proses penyesuaian diri. Dr. W.A.
Gerungan, Dipl. Psych. (1986, 55) menulis; “penyesuaian diri dalam artinya yang
pertama disebut penyesuaian diri autoplastis (auto = sendiri, plastis =
dibentuk), sedangkan penyesuaian diri yang kedua disebut penyesuaian diri
alloplastis (allo = yang lain).” Jadi , penyesuaian diri ada yang bersifat
“pasif”, dimana kegiatan kita ditentukan oleh lingkungan, dan ada yang sifatnya
”aktif”, dimana kita atau manusia
mempengaruhi lingkungan.
Dalam hal ini, mungkin individu yang satu
menyesuaikan diri secara autoplastis (mengubah diri sesuai lingkungannya)
kepada individu yang lain, dimana dirinya dipengaruhi orang lain, misalnya
pengajian atau khotbah disini terjadi proses pengaruh – mempengaruhi antara
da’i dan mad’u dalam kelompok sosial. Maka dari itu interaksi sosial erat
kaitannya dengan dakwah.
Sedangkan ketika dirinya dipengaruhi orang lain,
atau sebaliknya mungkin ia dipengaruhi orang lain, maka terjadi proses
penyesuaian diri alloplastis (kegiatan yang dipengaruhi lingkungan sesuai
keadaan / keinginan). Misalnya ketika lingkungan itu mayoritas orang nya
berperilaku baik, maka seseorang itu akan mengubah keadaan dengan lingkungan
yang baik dan berperilaku baik, dan begitu juga sebaliknya. Oleh karena itu lingkungan yang
positif akan berdampak positif juga bagi kita. Dan sebaliknya lingkungan yang
jelek atau negatif akan berdampak negatif juga bagi diri kita.
“ MANFAAT INTERAKSI SOSIAL & KAITANNYA
DENGAN DAKWAH “
Dari
beberapa penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa dapat timbul berbagai
dampak dari interaksi timbal-balik antara satu dan yang lainnya, baik dampak
positif maupun negatif adapun kaitannya dengan kajian dakwah adalah konsep silaturrahim
yang tercantum dalam al – Qur’an :
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu
yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah
menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan
laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan
nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan peliharalah hubungan
silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.”( Qs.an –
Nisa )
Dengan
adanya silaturahim maka akan mempererat tali persaudaraan antara satu dan yang
lainnya, karena silaturahim juga memiliki peranan yang sangat penting dalam
menjalin komunikasi yang baik, serta merupakan salah satu metode dalam dakwah
yang digunakan untuk menyampaikan suatu pesan kepada mad’u (yang didakwahi)
agar pesan dari da’i dapat terserap dengan baik, saat ini banyak sekali cara
yang dilakukan para da’i agar dapat berinteraksi langsung dengan mad’u nya,
selain itu juga dengan memperluas cakupan interaksi sang da’i juga bisa melebarkan
sayapnya untuk menyebarkan ajaran-ajaran islam lebih luas lagi. Selain
memperluas ranah dakwah, silaturrahim juga merupakan cara yang paling efektif
dibanding cara yang lainnya karena dengan berinteraksi para mad’u bisa melihat
da’i itu secara langsung.
Kesimpulan
a.
Pengertian
interaksi
Interaksi adalah suatu bentuk hubungan antara dua
orang atau lebih dimana tingkah laku seseorang diubah oleh tingkah laku yang
lain. Melalui dorongan antar pribadi tersebut seseorang yang bersifat biologis
lambat laun berubah menjadi makhluk hidup atau pribadi, proses tersebut
berlangsung timbal balik, masing – masing bertindak dalam keseluruhan proses
yang mempengaruhi atau menyebabkan yang lain juga bertindak. Interaksi sosial
dengan demikian merupakan perilaku timbal balik, suatu perilaku dimana masing –
masing individu dalam proses itu mengharapkan dan menyesuaikan diri dengan
tindakan yang akan dilakukan orang lain.
Jadi jelslah bahwa di dalam proses interaksi itu
terdapat tindakan saling mempengaruhi antara satu individu dengan individu
lainnya, sehingga timbul lah kemungkinan – kemungkinan untuk saling mengubah
atau memperbaiki perilaku masing- masing secara timbal balik. Perubahan
demikian bisa terjadi secara disadari atau tidak sepenuhnya disadari, atau secara
perlahan – lahan. Di dalam hubungan interaksional inilah terjadi suatu proses
belajar – mengajar diantara manusia.
Di mana di dalam proses dakwah merupakan permulaan
yang fundamental bagi sukses nya dakwah itu. Tanpa adanya suatu proses belajar
– mengajar maka dakwah sulit memperoleh tempat di dalam hati manusia.
b.
Faktor
dasar interaksi
a.
Faktor imitasi
b.
Faktor sugesti
c.
Faktor identifikasi
d.
Faktor simpati
Daftar Pustaka
Arifin,
H.M, Psikologi
Dakwah, 1993, Jakarta : Bumi Aksara
Faizah
dan Lalu Muchsin Effendi, Psikologi
Dakwah, 2006, Jakarta : Prenada Media
Jumantoro,
Totok, Psikologi Dakwah dengan aspek –
aspek kejiwaan yang Qur’ani, 2001,
Jakarta
: Amzah
Kusuma,
Widjaja, Pengantar Psikologi , 1969,
Jakarta : Interaksara
Partowisastro,
Koestoer, Dinamika Psikologi Sosial, 1983, Jakarta Pusat : Erlangga
[1]. H.M. Arifin, Psikologi
Dakwah, Bumi aksara, Jakarta: 1993, Hal. 68-70
[2] .Drs. Widjaja kusuma, pengantar
psikologi , Interaksara, Jakarta: 1969, Hal. 606
[3] . Drs. Koestoer Partowisastro, Dinamika
Psikologi Sosial, Erlangga, Jakarta Pusat: 1983, Hal; 10 -11
[4] . Drs. Totok jumantoro, Psikologi
Dakwah dengan aspek – aspek kejiwaan yang qur’ani, Amzah, Jakarta: 2001,
Hal; 83-86
[5] . Faizah dan Lalu muchsin effendi, Psikologi Dakwah, Prenada media, Jakarta: 2006, Hal; 130-135
keren, artikelnya ilmiyah
BalasHapus