Kamis, 15 November 2012

ESENSI PSIKOLOGI DAKWAH YANG SUGESTIF

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Dakwah merupakan salah satu tanggung jawab seorang da’i yang dilakukan dengan komunikasi atau interaksi secara langsung ataupun tidak langsung terhadap objeknya. Proses dakwah yang berinteraksi secara langsung dengan masyarakat sebagai objeknya menuntut seorang da’i untuk bisa menguasai dan memahami kondisi psikologis audiennya. Karena itulah dibutuhkan psikologi dakwah agar tujuan dari dakwah itu sendiri bisa tepat sesuai dengan sasaran dakwah.
Psikologi dakwah sendiri memiliki esensi yang terletak beberapa factor, salah satunya adalah factor sugestif. Factor sugestif menuntun pada bagaimana seorang da’i harus mampu mengingatkan dan menanamkan kebenaran pada masyarakat sebagai objek dakwahnya. Dari sini dibutuhkan psikologi dakwah yang bisa membantu juru dakwah untuk memahami kondisi objeknya dan mampu mencapai tujuan dakwah dengan tepat sasaran. Oleh karena itu, sebagai bahan rujukan  para juru dakwah, pada makalah ini penulis membahas lebih lanjut tentang bagaimana esensi psikologi dakwah yang sugestif.

B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1.      Apa yang dimaksud dengan psikologi dakwah dan bagaimana esensinya?
2.      Bagaimana esensi psikologi dakwah yang sugestif?

C.    Tujuan Masalah
Adapun tujuan masalah dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui tentang psikologi dakwah beserta esensinya.
2.      Untuk mengetahui tentang esensi psikologi dakwah yang sugestif.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Psikologi Dakwah Dan Esensinya
Psikologi dakwah merupakan alat bantu bagi juru dakwah dan para da’i untuk memperoleh pengertian yang lebih mendalam tentang faktor-faktor  psikologis yang mempengaruhi tingkah laku manusia sebagai objek dakwah, agar tujuan dakwah bisa dicapai secara efektif, intensif, atau secara lebih maksimal dan optimal. Dalam penyampaian materi memerlukan orang yang mampu menirukan kebaikan dan ajaran dakwah yang mutlak benar. Uswatun Hasanah ada pada diri Nabi Muhammad SAW, dalam hal ini juru dakwah harus memperhatikan situasi dan kondisi masyarakat sebagai objeknya, terutama situasi psikologisnya. Contohnya orang kelaparan karena kemiskinan, yang oleh nabi disinyalir  mendekati kekafiran, maka dakwah yang harus dilakukan dalam rangka menyelamatkan mereka agar tidak sampai menjual akidahnya dengan murah. Tentunya mereka lebih memerlukan makanan lahiriyah terlebih dahulu daripada makanan bathiniah atau rohaniah.
Mental, fisik, rohani, social merupakan empat dimensi pertumbuhan yang mempengaruhi manusia dan menjadi sentral tema yang kuat adalah mental manusia. Disinilah terpusat segala penggerak aktivitas manusia. Mental atau tingkah laku mempunyai pengendalian yakni pada kesadarannya yang bersumber dari hati nurani. Oleh sebab itu, sasaran dakwah lebih diarahkan agar menyentuh kalbu dan fitrahnya dalam rangka pembentukan sikap mental atau tingkah laku bermotivasi.
Jadi dapat ditarik kesimpulan tujuan psikologi dakwah adalah sebagai berikut:
1.      Memberi gambaran tentang beberapa aspek psikologis  dan aspek dakwatologis manusia untuk juru dakwah, agar mereka mau membekali dirinya dengan kemampuan-kemampuan teoritis, bagaimana mengaktualisasikan metode-metode dakwah dan mengadaptasikan serta mengintregasikannya kea rah sasaran dakwah sesuai dengan situasi kejiwaan dan kondisi psikisnya.
2.      Memberi pandangan tentang betapa pentingnya memahami materi dakwah sebagai urat nadi kehidupan manusia sehingga teknis operasionalnya dapat disajikan bukan hanya sebagai ilmu yang mati, tetapi dapat didekati secara tradisional atau substansial dan menyangkut proses pengembangan secara konseptual harus terus mengalir ke dalam seluruh pembuluh darah kehidupan kejiwaannya yang akan melahirkan tingkah laku bermotivasi.
3.      Memberi pengertian tentang manusia sebagai subjek dan sekaligus sebagai objek dakwah dengan segala ciri khas kepribadiannya.
Dakwah sebenarnya adalah suatu proses pembentukan watak manusia. Maka dalam rangka pembentukan itu dakwah menempuh pendekatan-pendekatan psikologis agar lebih memungkinkan bisa cepat sampai ke tujuan.[1]
Dengan demikian psikologi dakwah merupakan alat bantu bagi juru dakwah untuk memperoleh pengertian yang lebih untuk menyampaikan materi dakwah kepada sasaran agar mampu memberi dorongan, mengadakan perubahan, mengingatkan dan mengarahkan serta memberi keyakinan kepada tujuan dakwah. Maka esensi psikologi dakwah adalah terletak pada adanya beberapa faktor yang antara lain:
a.      Edukatif
Juru dakwah bersifat edukatif apabila bertindak sebagai pendidik (edukator) dan bersikap sebagai guru.
b.      Materi dakwah
Materi harus disajikan sesuai dengan aspek-aspek dalam kehidupan sehari-hari, perbedaan cara tiap individu menerima dan memahaminya dengan tujuan yang hendak dicapai, dan disajikan secara metodologis.


c.       Metode dakwah
Serupa dengan metode pendidikan, juru dakwah harus menguasai bermacam-macam metode dan terampil menggunakanya, komunikatif dan memperhitungkan kendala-kendalanya atau hambatan-hambatan psikologis dalam menerapkan suatu metode.
d.      Motivatif
Juru dakwah sebagai motivator harus mengerti bahwa motif ini muncul sebagai latar belakang dari seluruh tingkah laku manusia yang timbul karena adanya dorongan kebutuhan yang muncul setiap saat.
e.       Sugestif
f.       Persuasive
Persuasi dalam dakwah adalah seni dan ilmu tentang menghimbau secara ekstralogis untuk menjamin keputusan yang diinginkan dengan prinsip-prinsip argumentasi.[2]

B.     Esensi Psikologi Dakwah Yang Sugestif
Sugestif  artinya memberi sugesti, mengingatkan dan menanamkan kepada sesuatu. Dalam  hal ini sugesti dapat dirumuskan sebagai suatu proses di mana seseorang menerima begitu saja suatu cara atau pedoman tingkah lakunya dari orang lain tanpa kritik terlebih dahulu.
Sugestif akan mudah terjadi pada manusia suggestible, dalam keadaan:
1.      Karena hambatan berpikir, baik oleh faktor-faktor fisiologis maupun psikologis.
Manusia cenderung mudah untuk menerima apapun yang datang dari orang lain ketika dia merasa kesulitan untuk memikirkan terlebih dahulu, baik buruknya, atau apapun yang berkaitan dengan sesuatu yang diberikan padanya. Baik karena factor fisiologis seperti kurangnya kemampuan berpikir seseorang yang sudah menjadi suatu kekurangan atau penyakit pada dirinya, sehingga dia tidak mampu berpikir lebih banyak karena takut akan mempengaruhi kesehatannya. Ataupun karena factor psikologis seperti tekanan dari luar yang datang pada diri seseorang yang secara tidak langsung bisa mempengaruhi pola pikirnya dan membuatnya sulit untuk berpikir lebih jauh tentang apa yang dihadapkan padanya. Melakukan dakwah dan menanamkan materi dakwah pada seseorang yang sedang menghadapi sebuah masalah dan mendapatkan tekanan pada dirinya, akan lebih mudah daripada dakwah pada seseorang dalam keadaan psikis dan fisiologis yang bagus.
2.      Karena disosiasi (pikiran terpecah-pecah).
Seseorang yang sedang memikirkan banyak hal pada satu waktu akan mengalami kesulitan untuk memikirkan sesuatu secara lebih optimal. Karena dalam memikirkan satu hal akan terdesak oleh hal lain sebelum hal yang pertama selesai dipikirkan. Dia tidak akan bisa fokus pada satu hal yang bisa mengakibatkan dirinya dengan mudah menerima sugesti dari orang lain. Karena selain tidak bisa maksimal dalam mempertimbangkan sesuatu, dia juga merasa bahwa dengan menerima sugesti tersebut maka akan meringankan pikirannya akan satu hal. Dan dia bisa memikirkan hal lain yang belum terselesaikan. Hampir sama dengan penjelasan sebelumnya bahwa memberikan materi dakwah pada seseorang yang pikirannya sedang kacau oleh banyak hal akan lebih mudah untuk diterima.[3]
3.      Karena otoritas dan prestise, pakar dan reputasi, kharisma dari sugestif sendiri.
Seseorang bisa dengan mudah menerima sugesti dari orang lain bukan hanya karena kondisi fisiologis atau psikis yang ada pada dirinya, tapi juga bisa dikarenakan nilai yang terkandung dari sugesti itu sendiri. Jika sugesti itu mempunyai nilai yang tinggi di dalamnya, dan diberikan oleh seseorang yang sudah ahli, pakar di bidangnya, maka tanpa pikir panjang sugesti itu akan langsung tertanam pada diri seseorang tanpa perlu berpikir panjang lagi tentang baik buruknya sugesti tersebut. Oleh karena itu, dalam memberikan sebuah sugesti, jangan hanya melihat kondisi objek tujuan atau hanya mementingkan siapa yang harus memberikannya, tapi penting untuk diingat bahwa isi dari sugesti itu juga harus bernilai dan berbobot. Hal ini berkaitan dengan materi dakwah yang disampaikan, perlu diperhatikan karena materi dakwah yang disampaikan juga perlu dipertanggungjawabkan kebenaran dan kandungannya.
4.      Karena opini publik, mayoritas dan popularitas.
Manusia cenderung lebih suka meniru, terutama jika hal itu sudah dilakukan banyak orang. Dengan kata lain, manusia dalam hidupnya tidak mau merasa ketinggalan jaman. Ketika seseorang menyadari betapa banyaknya orang yang menganut suatu sugesti, maka dia tidak ingin ketinggalan untuk ikut menerimanya. Karena dia berpikir bahwa jika sugesti itu sudah diterima oleh banyak orang, artinya sugesti itu adalah sugesti yang baik dan pantas untuk diterima, tanpa perlu memikirkan lagi baik buruknya dari sugesti itu. Jika sebuah materi dakwah yang disampaikan sudah dipercayai dan dianut oleh banyak orang, maka tidak susah untuk membuat orang lain mau menerima apa yang sudah terbukti diikuti oleh banyak orang. [4]
5.      Karena will to be believe (ingin meyakinkan diri).
Seseorang yang sedang mengalami keraguan pada seseuatu akan mencari sumber atau pembelaan lain agar bisa meyakinkan dirinya. Ketika dia menemukan pandangan dan sugesti yang mendukung pada apa yang sebenarnya sudah dipegangnya, maka tanpa pikir panjang dia akan lebih yakin pada hal yang sudah dipikirkannya tersebut dan dengan mudah menerima sugesti yang datang pada dirinya untuk membuatnya lebih yakin. Seseorang yang masih merasa ragu tentang sesuatu yang berhubungan dengan keyakinannya (agamanya), maka dia akan mencari seseorang yang mampu memberikan pandangan yang lebih meyakinkan dengan menanamkan materi-materi dakwah agar tidak ada keraguan lagi pada dirinya.

Dengan demikian, maka juru dakwah sebagai sugestif mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk dapat memanfaatkan situasi-situasi dan menggunakan kondisi-kondisi yang tepat untuk menimbulkan sugesti massa agar pikiran, perasaan dan kehendak mereka bisa terpengaruh dengan keyakinan terhadap apa yang menjadi tujuan dakwah. Materi dakwah dipilh secara tepat dengan memanfaatkan sugesti untuk menyembuhkan gejala-gejala neurotic, memelihara suatu keyakinan, yang sesuai dengan sasaran dakwah. Metode dakwah digunakan sebagai cara bagaimana menanamkan suatu sugesti, artinya untuk mengubah minat dan kesadaran bahwa suatu masalah mengandung sangkut paut dengan dirinya.[5]
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Pada dasarnya psikologi dakwah merupakan alat bantu bagi juru dakwah dan para da’i untuk memperoleh pengertian yang lebih mendalam tentang faktor-faktor  psikologis yang mempengaruhi tingkah laku manusia sebagai objek dakwah, agar tujuan dakwah bisa dicapai secara efektif, intensif, atau secara lebih maksimal dan optimal. Setidaknya psikologi dakwah dijadikan sebuah pegangan oleh para juru dakwah agar proses dakwah bisa terjadi secara lancar. Adapun esensi dari psikologi dakwah sendiri terletak pada adanya beberapa factor, salah satunya adalah factor sugestif.
Esensi psikologi dakwah yang sugestif merujuk pada tanggung jawab yang harus dijalani para juru dakwah untuk mampu memanfaatkan situasi-situasi dan menggunakan kondisi-kondisi yang tepat untuk menimbulkan sugesti massa agar pikiran, perasaan dan kehendak mereka bisa terpengaruh dengan keyakinan terhadap apa yang menjadi tujuan dakwah. Caranya dengan mempelajari dan memahami bagaimana saja kondisi objek dakwah yang bisa menerima sugesti secara mudah.

B.     Saran
Para juru dakwah hendaknya mempunyai bekal berupa penguasaan dan pemahaman tentang psikologi dakwah agar tujuan dakwah bisa tercapai dengan baik. Selain itu, factor sugestif dalam esensi psikologi dakwah perlu diterapkan dengan tetap memperhatikan kondisi objek dakwah, materi dakwah dan metode dakwahnya.
DAFTAR PUSTAKA


Ancok, Jamaluddin dan Fuad Nasori Suroso. 1994. Psikologi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Arifin, M. 1991. Psikologi Dakwah. Jakarta: Bumi Aksara

Arifin, M. 1997. Psikologi Dakwah Suatu Pengantar. Jakarta: Bulan Bintang

Kafie, Jamaluddin. 1993. Psikologi Dakwah. Surabaya: Offset Indah

Mubarok, Achmad. 1997. Psikologi Dakwah. Jakarta: Pustaka Firdaus


[1] Jamaluddin, Ancok dan Fuad Nasori Suroso. Psikologi Islam hal: 21
[2] M. Arifin. Psikologi Dakwah. Hal: 47
[3] Ibid hal: 76
[4] Jamaluddin Kafie. Psikologi Dakwah. Hal: 31

[5] Achmad Mubarok. Psikologi Dakwah. Hal: 69


Tidak ada komentar:

Posting Komentar