Kamis, 15 November 2012

Dakwah Persuasif


Dakwah Persuasif
A.    Makna Dakwah Persuasif
Dakwah merupakan bahasa Arab, berasal dari kata da’wah yang bersumber pada kata (da’a, yad’u, da’watan) yang bermakna seruan, panggilan, undangan atau do’a. Selain itu dakwah memiliki pengertian upaya memanggil, menyeru, dan mengajak manusia menuju Allah SWT.[1] Perluasan berikutnya dari pemaknaan dakwah adalah aktivitas yang berorientasi pada pengembangan masyarakat muslim, antara lain dalam bentuk peningkatan kesejahteraan sosial.[2]
Usaha untuk mempengaruhi pendapat, pandangan, sikap ataupun tingkah laku seseorang dapat ditempuh dengan cara:
a.       Koersif, yaitu dengan cara paksaan bahkan disertai dengan terror yang dapat menekan batin. Contohnya yaitu adanya penolakan ketidaksetujuan FPI yang kerapkali kita tahu beritanya di media-media dengan cara mereka yang memberontak bahkan anarkis.
b.      Persuasif, yaitu tanpa adanya paksaan dengan mempengaruhi jiwa seseorang sehingga dapat membangkitkan kesadarannya untuk menerima dan menerima suatu tindakan.[3] Persuasif berasal dari istilah bahasa Inggris persuation. Persuation dapat diartikan sebagai membujuk, merayu, meyakinkan, dan sebagainya. Baik koersif ataupun persuasif keduanya bertujuan mengubah perilaku, kepercayaan, dan sikap. Bedanya ialah terletak pada cara penyampaiannya.[4] Contohnya yaitu dakwah yang disampaikan oleh Ust. Maulana yang dapat menggugah pikiran mad’u.
Sehingga dapat dikatakan Dakwah Persuasif adalah proses kegiatan yang mempengaruhi jiwa seseorang (mad’u) sehingga timbul kesadarannya sendiri untuk mengikuti ajakan pendakwah (da’i) dengan cara halus atau tanpa paksaan.
Tanpa kita sadari dakwah berada di kehidupan kita sehari-hari. Oleh karena itu dalam situasi dan kondisi yang tengah ada dalam masyarakat hendaknya dapat menerapkan metode dakwah manakah yang paling pas untuk digunakan. Dakwah persuasif harus dilakukan oleh orang-orang yang memang memiliki pengetahuan dan keahlian. Dakwah harus tetap dilakukan sekalipun dihadapkan dengan orang yang kemungkinannya sangat kecil untuk berubah.  
B.     Unsur-Unsur Dakwah
Kondisi psikologis mad'u yang berbeda-beda menyebabkan tingkat pendekatan persuasif dalam berdakwah juga berbeda-beda. Namun untuk mencapai dakwah yang persua­sif jelas ada unsur yang mendukungnya. Unsur-unsur yang menyebabkan suatu dakwah itu per­suasif atau tidak ialah:[5]
1.      Pribadi Da’i
Sosok Da’i yang memiliki kepribadian sangat tinggi dan tak pernah kering jika digali dari pribadi Rasulullah sendiri. Ketinggian pribadi Rasul dapat dilihat pada pernyataan Al-Qur’an. Pengakuan Rasul sendiri dan kesaksian para sahabat yang mendampinginya.
Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa Rasul adalah teladan utama,
http://tafsiralazhar.net46.net/myfile/S-Al-Ahzab/Al-Ahzab-ayat-21-25_files/image004.gif




“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari akhir, dan dia banyak menyebut Allah” (QS. Al-Ahzab/33:21)

Di mata sahabatnya, Rasul SAW adalah guru, teman, orangtua, dan pemimpin, satu gabungan peran yang sangat ideal bagi seorang Da’i. sehingga Beliau layak disebut sebagai Da’i agung.
            Sesuai dengan teori Gestalt, seseorang itu dipersepsi sebagai suatu keseluruhan. Oleh karena itu, jika kepribadian seorang Da’i sudah dipandang tinggi oleh masyarakat mad’u, maka pesan dakwahnya juga dianggap sebagai bagian dari struktur kepribadiannya. Untuk membuat suatu dakwah itu persuasive, pertama-tama seorang Da’i  harus memiliki kriteria-kriteria yang dipandang posistif oleh masyarakat. Kriteria-kriteria itu antara lain :
a.       Memiliki kualifikasi Akademis tentang Islam
Dalam hal ini seorang Da’i sekurang-kurangnya memiliki pengetahuan tentang Al-Qur’an dan Al-Hadis, bahwa Al-Qur’an mempunyai fungsi sebagai petunjuk hidup, nasihat bagi yang membutuhkan (mau’idzah) dan pelajaran yang oleh karena itu, selalu menjadi rujukan dalam menghadapi segala macam persoalan. Cirri seorang Da’i yang berilmu antara lain, ia tidak berani mengatakan apa yang tidak dikuasainya dengan menggunakan term-term yang digunakan oleh ahlinya.
b.      Memiliki konsistensi antar Amal dan Ilmunya
Seorang Da’i sekurang-kurangnya harus mengamalkan apa yang ia serukan kepada orang lain. Perbuatan seorang Da’i tidak boleh melecehkan kata-katanya sendiri, apa yang ia demonstrasikan kepada masyarakat haruslah apa yang memang menjadi keyakinan batinnya, sebab inkonsistensi antara kedua hal tersebut akan membuat seruan dakwahnya tidak berbobot dan tidak berwibawa di depan masyarakat.
c.       Santun dan Lapang Dada
Sifat santun dan lapang dada yang memiliki seseorang merupakan indicator dari ketulusan ilmunya dan secara khusus kemampuannya mengendalikan akalnya (ilmunya) dalam praktek kehidupan. Cirri orang santun adalah lembut tutur katanya, tenang jiwanya, tidak gampang marah dan tidak suka omong kosong. Secara psikologis, kepribadian santun dan lapang dada seorang Da’i akan membuat orang mad’u terikat perasaannya, lebih daripada pemahaman melalui pikirannya sehingga masyarakat mad’u cenderung ingin selalu mendekatinya
d.      Bersifat Pemberani
Daya tarik kepemimpinan seseorang antara lain terletak pada keberaniannya. Keberanian yang diperlukan oleh seorang Da’i sudah tentu berbeda dengan keberanian kelompok oposisi yang lebih menekankan asal berbeda, atau keberanian yang asal berani, tetapi keberanian yang konstruktif, yang sejalan dengan konsep dasar dakwah, yaitu keberanian mengemukakan kebenaran. Dalam hal keberanian berargumen, berdialog dan berdebat, seorang Da’i  dituntut untuk tetap konsisten dengan tujuan dakwah bukan asal menang. Oleh karena itu, seorang Da’i tidak dibenarkan mencacimaki agama atau keyakinan orang lain.
e.       Tidak Mengharapkan Pemberian dari Orang
Iffah artinya hatinya bersih dari pengharapan terhadap apa yang ada pada orang lain. Seorang Da’i yang tak terlintas sedikitpun di dalam hatinya keinginan terhadap harta orang lain, maka ia dapat merasa sejajar atau bahkan lebih tinggi atau sekurang-kurangnya memiliki kemerdekaan di dalam dirinya.
f.       Qana’ah atau Kaya Hati
Seorang Da’i boleh miskin harta, tetapi tidak boleh miskin hati, karena kaya hati (qana’ah) itu lebih tinggi nilainya disbanding kekayaan harta. Dalam perspektif psikologi, orang yang memiliki harta melimpah tetapi masih merasa banyak kekurangan dan tidak sempat berpikir untuk memberikan pada orang lain, maka ia adalah orang miskin. Sebaliknya orang yang sebenarnya tidak memiliki kekayaan yang berarti tetapi ia merasa berkecukupan, merasa bersyukur dan bahkan sanggup memberikan sebagian besar milikinya untuk orang lain yang lebih membutuhkan, maka ia adalah orang kaya.
g.      Kemampuan Berkomunikasi
Dakwah adalah mengkomunikasikan pesan kepada mad’u. komunikasi dapat dilakukan dengan lisan, tulisan atau perbuatan, dengan bahasa kata-kata atau bahasa perbuatan. Komunikasi dapat berhasil manakala pesan dakwah itu dipahami oleh mad’u. kaum intelektual lebih mudah memahami bahasa ilmiah sedangkan orang awam lebih mudah memahami bahasa awam. Jadi, seorang Da’i dituntut dapat menggunakan metode yang tepat dalam mengkomunikasikan pesan dakwahnya.
h.      Memiliki Rasa Percaya diri dan Rendah Hati
Seorang Da’i harus memiliki rasa percaya diri, yakni bahwa selama dakwahnya dilandasi oleh keikhlasan dan dijalankan dengan memakai perhitungan yang benar dan mengharap ridha Allah, insyaAllah akan membawa manfaat. Dalam perspektif islam, rendah hati justru akan mendatangkan kehormatan, sementara kesombongan justru akan mengantar pada kehinaan.
i.        Tidak Kikir Ilmu
Pada dasarnya seorang Da’i  dapat diibaratkan sebagai danau menampung air hujan, menyimpannya dan menyediakan diri bagi orang yang membutuhkan. Dalam puncak kerjanya, seorang Da’I dapat diibaratkan sebagai ember yang membawa air dari danau untuk disiramkan ke pohon-pohon yang kekeringan. Jadi, ilmu yang dipelajari oleh seorang Da’i adalah diperuntukkan bagi kepentingan mad’u. oleh karena itu, ia tidak pernah kikir terhadap ilmunya.
j.        Anggun
Salah satu cirri keanggunan seseorang ialah kepribadiannya tetap tersembunyi meskipun namanya sudah banyak dikenal. Rahasia keanggunan justru terletak pada kemampuannya menyembunyikan sisi-sisi pribadinya dari pengetahuan orang banyak.
k.      Selera Tinggi
Artinya ia tidak merasa puas dengan hasil kerja yang tidak sempurna
l.        Sabar
Seorang Da’I dituntut untuk mampu bersabar dalam menghadapi rintangan-rintangan itu. Urgensi sabar berkaitan erat, dengan pencapaian tujuan. Oleh karena itu, Da’i yang selalu ingat akan tujuan utama dakwahnya, ia akan mampu bersabar dan tabah.
m.    Memiliki Nilai Lebih
Manusia cenderung tertarik kepada orang yang memiliki kelebihan dalam bidang apapun. Seorang Da’i yang juga berperan sebagai pemimpin haruslah memiliki nilai lebih atau nilai plus disbanding orang lain yang dipimpin. Oleh karena itu, agar dakwahnya menarik dan mempunyai daya panggil, seorang Da’i yang tidak memiliki nilai plus, apalagi jika dibawah rata-rata maka meskipun kata-kata dakwahnya indah didengar, tetapi tidak atau kurang mempunyai daya panggil, tidak menyentuh hati nurani tak menggores jiwa mad’u.

Kriteria diatas merupakan salah satu pendukung terciptanya dakwah persuasif, tetapi tidak menutup kemungkinan jika ada beberapa criteria yang mungkin tidak terdapat dalam diri seorang da’i selama dakwah yang diberikan dapat mempengaruhi jiwa mad’u atas keinginan diri mad’u itu sendiri maka dapat dikatakan bahwa dakwah tersebut adalah dakwah persuasif. Jadi, criteria seorang da’i hanya sebagai standart dalam keilmuan tetapi kenyataannya seorang da’i juga memiliki kekurangan sehingga tolak ukur dakwah persuasive adalah penyampaian dakwah da’i yang dapat diterima dan dipahami oleh mad’u dengan  tujuan yang diinginkan (mempengaruhi) mad’unya.

Kesimpulan :
Dakwah Persuasif adalah proses kegiatan yang mempengaruhi jiwa seseorang (mad’u) sehingga timbul kesadarannya sendiri untuk mengikuti ajakan pendakwah (da’i) dengan cara halus atau tanpa paksaan.
Usaha untuk mempengaruhi pendapat, pandangan, sikap ataupun tingkah laku seseorang dapat ditempuh dengan cara:
c.       Koersif, yaitu dengan cara paksaan bahkan disertai dengan terror yang dapat menekan batin. Contohnya yaitu adanya penolakan ketidaksetujuan FPI yang kerapkali kita tahu beritanya di media-media dengan cara mereka yang memberontak bahkan anarkis.
d.      Persuasif, yaitu tanpa adanya paksaan dengan mempengaruhi jiwa seseorang sehingga dapat membangkitkan kesadarannya untuk menerima dan menerima suatu tindakan.[6] Persuasif berasal dari istilah bahasa Inggris persuation. Persuation dapat diartikan sebagai membujuk, merayu, meyakinkan, dan sebagainya. Baik koersif ataupun persuasif keduanya bertujuan mengubah perilaku, kepercayaan, dan sikap. Bedanya ialah terletak pada cara penyampaiannya.[7] Contohnya yaitu dakwah yang disampaikan oleh Ust. Maulana yang dapat menggugah pikiran mad’u.

Unsur-unsur yang menyebabkan dakwah itu persuasive ialah: Pesona Da’I, Materi Dakwah, dan Kondisi Psikologis Mad’u





DAFTAR PUSTAKA

Jumantoro, T., 2001, Psikologi Dakwah dengan Aspek-Aspek Kejiwaan yang Qur’ani, Amzah,   Jakarta.
Moh. A.A., 2009, Ilmu Dakwah, Kencana, Jakarta.
Mubarok, A., 2002, Psikologi Dakwah, Pustaka firdaus, Jakarta.
Sukayat, T., 2009, Quantum Dakwah, Rineka Cipta, Jakarta.
Sulthon, M., 2003, Desain Ilmu Dakwah (Kajian Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis), Pustaka Pelajar, Yogyakarta.


[1] Tata Sukayat, 2009, Quantum Dakwah, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 1.
[2] Muhammad Sulthon, 2003, Desain Ilmu Dakwah (Kajian Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 16.
[3] Moh. Ali Aziz, 2009, Ilmu Dakwah, Kencana, Jakarta, hal. 446.
[4] Totok Jumantoro, 2001, Psikologi Dakwah dengan Aspek-Aspek Kejiwaan yang Qur’ani, Amzah, Jakarta, hal. 148.
[5] Ahmad Mubarok, 2002, Psikologi Dakwah, Pustaka firdaus, Jakarta, hlm. 162.
[6] Moh. Ali Aziz, 2009, Ilmu Dakwah, Kencana, Jakarta, hal. 446.
[7] Totok Jumantoro, 2001, Psikologi Dakwah dengan Aspek-Aspek Kejiwaan yang Qur’ani, Amzah, Jakarta, hal. 148.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar