Aku
masih ingat wajah Fahril, seorang anak yang dulu begitu pemalu. Ketika pertama
kali datang ke kegiatan Pramuka, ia hampir tidak pernah berbicara. Namun,
melalui latihan-latihan kecil, dari mendirikan tenda hingga bermain sandi
morse, perlahan ia berubah. Suatu hari, ia berdiri di depan teman-temannya,
memimpin sebuah upacara dengan percaya diri. Saat itu, aku tahu, Pramuka bukan
sekadar kegiatan. Ini adalah tempat di mana karakter tumbuh, keberanian lahir,
dan mimpi-mimpi kecil mulai mekar.
"Kak,
apakah kita masih ada perkemahan bulan depan?" tanya Dina, seorang siswi
kelas sepuluh, saat aku berjalan menuju lapangan sekolah kemarin pagi.
Pertanyaan itu menggantung di udara. Aku tidak tahu harus menjawab apa.
Bagaimana aku menjelaskan bahwa perkemahan itu mungkin menjadi yang terakhir?
Bagaimana aku memberitahu mereka bahwa mereka harus mencari ruang lain untuk
belajar tentang kebersamaan, kemandirian, dan tanggung jawab?
Malam
itu, aku membuka kembali kotak tua yang berisi kenangan-kenangan selama menjadi
pembina. Lencana-lencana kecil, foto-foto upacara di tengah hutan, hingga surat
ucapan terima kasih dari orang tua siswa yang mengaku anaknya berubah menjadi
lebih disiplin. Air mata menetes perlahan. Bukan karena aku merasa kalah,
tetapi karena aku merasa kehilangan.
Namun,
di tengah rasa perih itu, aku tahu aku tidak boleh menyerah. Keputusan itu
memang berat, tetapi semangat Pramuka tidak boleh mati. Jika sekolah tidak lagi
menjadi tempatnya, maka aku harus mencari cara lain. Aku mulai merancang rencana
untuk membentuk komunitas Pramuka mandiri di luar lingkungan sekolah. Tempat di
mana anak-anak masih bisa belajar, bermain, dan tumbuh bersama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar