Hari-hari
berlalu, dan aku mulai melangkah dengan rencana baruku. Aku mendatangi beberapa
orang tua siswa yang selama ini aktif mendukung kegiatan Pramuka. "Bu
Sinta, Pak Adi," aku membuka percakapan di salah satu pertemuan kecil,
"saya ingin membentuk komunitas Pramuka mandiri. Kegiatan ini tidak lagi
di bawah sekolah, tapi kita bisa menyelenggarakannya secara sukarela. Apa Ibu
dan Bapak bersedia membantu?"
Wajah
mereka sempat diliputi kebingungan, tetapi kemudian aku melihat anggukan pelan.
"Kami siap, Kak. Pramuka terlalu berharga untuk dilepaskan begitu
saja," jawab Bu Sinta dengan senyuman yang memberiku semangat baru.
Langkah
selanjutnya adalah mencari tempat. Lapangan kecil di pinggir desa menjadi
pilihan. Meski tidak luas, tempat itu cukup untuk menjadi ruang berkumpul.
Bersama beberapa siswa yang masih bersemangat, kami membersihkan tempat itu,
menyiapkan tenda-tenda kecil, dan memulai kegiatan pertama kami.
Hari
itu, meski sederhana, aku melihat kembali sinar di mata anak-anak. Mereka
tertawa, bersemangat, dan bekerja sama untuk menyelesaikan tugas-tugas kecil.
Aldi, yang kini menjadi salah satu anggota Dewan Ambalan, memimpin
teman-temannya dengan percaya diri. Dina, yang kemarin bertanya dengan nada
khawatir, kini berdiri tegak memimpin barisan.
"Kak,
ini lebih seru daripada di sekolah!" seru Dina di sela-sela kegiatan. Aku
hanya tersenyum. Meski dalam hati aku tahu ini bukan lagi bagian dari
kurikulum, tetapi aku sadar bahwa pendidikan sejati tidak membutuhkan tembok
sekolah. Selama ada hati yang tulus, tempat sederhana ini cukup untuk
melahirkan pemimpin masa depan.
Aku
belajar sesuatu yang penting: keputusan Menteri mungkin mengubah jalannya,
tetapi semangat tidak pernah tergantikan. “Pramuka tetap hidup, bukan
karena aturan, tetapi karena jiwa-jiwa yang mencintainya. Kini, aku berdiri
lebih teguh, siap melangkah ke depan dengan keyakinan bahwa perjuangan ini
belum selesai.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar