Cerber ini mengisahkan perjuangan seorang pembina Pramuka yang menghadapi keputusan sulit ketika ekstrakurikuler Pramuka tak lagi diwajibkan. Dengan semangat pantang menyerah, ia membangun komunitas mandiri, membuktikan bahwa pendidikan karakter tetap hidup melalui kebersamaan, harapan, dan keyakinan akan masa depan yang lebih baik.
Angin
sore menyapa lembut wajahku yang lelah. Di tangan ini, secangkir kopi yang baru
saja kuaduk menjadi teman dalam keheningan. Hari itu, surat keputusan Menteri
Pendidikan yang telah ramai dibicarakan akhirnya sampai di mejaku. Isinya,
keputusan untuk tidak lagi mewajibkan ekstrakurikuler Pramuka di sekolah. Aku
terdiam. Duniaku seolah berhenti sejenak. Aku adalah seorang pembina Pramuka.
Selama lebih dari dua dekade, hidupku tak pernah jauh dari seragam cokelat yang
penuh kebanggaan itu. Setiap pagi hingga sore, aku habiskan waktu bersama
anak-anak yang penuh semangat. Mereka datang dengan berbagai mimpi, dan aku ada
di sana untuk membantu mereka menemukan jalan menuju masa depan.
Namun,
kemarin, semuanya terasa runtuh. Keputusan itu seperti pisau tajam yang memotong
tali pengikat perahu yang telah lama aku dayung. Di benakku, bayangan senyum
anak-anak itu berkelebat. Bagaimana mungkin aku menjelaskan kepada mereka bahwa
kegiatan yang selama ini mereka cintai tak lagi menjadi bagian dari perjalanan
pendidikan mereka?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar