Minggu, 15 Mei 2011

ANALISA SOSIAL1

STRUKTUR SOSIAL

Lebih dahulu perlu dijelaskan apa yang dimaksud dengan struktur sosial. Kita ketahui, bahwa orang-orang yang hidup dalam masyarakat saling berinteraksi. Interaksi ini didasari dan terus diarahkan pada nilai-nilai kebersamaan, norma-norma yaitu standar tingkah laku yang mengatur ineraksi antar individu yang menunjukkan hak dan kewajiban tiap-tiap individu sebagai sarana penting agar tujuan bersama tercapai, dan akhirnya oleh sanksi, baik sanksi yang negatif dalam arti mendapat hukuman kalau melanggar norma maupun sangat positif yaitu mendapat penghargaan karena telah mentaati norma yang ada. Dasar dan arah umum interaksi inlah yang kita mengerti sebagai kultur.
Kecuali itu, interaksi antar individu juga diantur sesuai dengan tujuan-tujuan khusus interaksi itu. Interaksi dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan kehidupan keakraban diatur dalam institusi keluarga. Interaksi dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup diatur dalam institusi ekonomi. Interaksi orang dalam hubungannya dengan Illahi diatur dalam institusi agama. Sedangkan agar keseluruhan interaksi dalam masyarakat umumnya bisa bisa terjamin dan pasti diadakan institusi politik. Institusi-institusi ini saling berhubungan dan saling mempengaruhi. Bagaimana kadar saling hubungan dan saling mempengaruhi, serta mana institusi yang paling berpengaruh harus dilihat langsung dalam masyarakat yang ada.
Perlu diingat, bahwa dalam setiap institusi juga ada nilai-nilai, norma-norma dan sanksi-sanksi, karena tujuan institusi memang untuk mengatur interaksi. Keseluruhan institusi memang untuk mengatur interaksi. Keseluruhan institusi serta saling berhubungan satu sama lain, itulah yang disebut stuktur sosial. Kata stuktur menunjukkan saling adanya hubungan antara bagian keseluruhan. Maka dapat dikatakan stuktur sosial adalah interaksi manusia yang sudah berpola dalam institusi ekonomi, politik, agama, keluarga, budaya. Dengan kata lain struktur sosial adalah pengorganisasian masyarakat yang ada atau keseluruhan aturan permainan dalam berinteraksi.
KEADILAN PERSONAL, KEADILAN SOSIAL
Selanjutnya perlu juga dimengerti perpindahan antara keadilan personal dan keadilan sosial. Dalam keadilan personal sering mudah diketahui siapa yang bertanggungjawab. Si pembeli A membeli barang dengan kualitas tertentu, ternyata dia mendapat barang dengan kualitas rendah. Penjual barang tersebut jelas langsung bisa dimintai pertanggungjawabannya. Jelaslah mengenai keadilan personal, pelaksanaannya tergantung pada kehendak individu yang bersangkutan. Keadilan personal manuntut agar kita memperlakukan setiap orang yang kita hadapi dengan adil. Sebaliknya mengenai ketidak adilan sosial tanggung jawab atas perbuatan dan efek perbuatan menjadi tanggung jawab semua orang. Tidak bisa kita menunjuk satu orang untuk beranggung jawabsebagaimana pada ketidak adilan personal. Pelaksanaan keadilan sosial tergantung pada struktur masyarakat. Karena tergantungnya pad stuktir masyarakat maka tanggung jawab ketidak adilan sosial menjadi tanggung jawab semua pihak.Hal ini diperjelas dengan seringnya individu dalam masyarakat yang tidak bisa bersikap adil meski dia sudah insaf namun karena struktur sosiallah yang menbuat dia tidak bisa bersikap adil. Umpamanya seorang pengusaha tekstil tidak dapat menaikkan upah buruh-buruhnya karena perdagangan tekstil sedemikian rupa sehingga kalau dia menaikkan upah buruh-buruhnya perusahaan akan gulung tikar. Dengan kata lain institusi ekonomi yang ada menyebabkan upah buruh tetap rendah. Kalau pelaksanaan keadilan sosial tergantung pada struktur sosial yang ada, maka perjuangan demi keadilan sosial berarti perjuangan membangun struktur sosial yang semakin adil.
TUJUAN ANALISA SOSIAL
Analisa sosial adalah suatu usaha untuk mempelajari struktur sosial yang ada, mendalami institusi ekonomi, politik, agama, budaya dan keluarga sehingga kita tahu sejauh mana dan bagaimana institusi-institusi itu menyebabkan ketidak adilan sosial. Dengan mempelajari institusi-institusi itu, kita akan mampu melihat satu masalah sosial yang ada dalam konteknya yang lebih luas. Dan kalau kita berhasil melihat suatau masalah sosial yang henadak kita pecahkan dalam kontek yang lebih luas, maka kita pun juga dapat menentukan aksi yang lebih tepat yang diharapkan dapat menyembhkan sebab terdalam masalah tersebut. Demikian menjadi jelas, analisis sosial adalah suatu usaha nyata yang merupakan bagian penting usaha menegakkan keadilan sosial.
MODEL = KERANGKA BERPIKIR
Dalam menganalisis masyarakat, sadar atau tidak sadar orang biasanya mempunyai kerangka berpikir atau memandang. Kerangka berpikir atau memandang inilah yang disebut model. Demikian suatu model adalah asumsi atau gambaran umum mengenai masyarakat. Model ini mempengaruhi begaimana seseorang memilih objek studi dan cara mendekati objek studi tersebut. Sedang teori yang turunkan dari model berifat lebih terbatas dan persis. Suatu model hanya bisa dinilai lengkap, produktif atau berguna, sedang teori bisa salah atau benar.
Ada dua model yang sering melatar belakangi orang dalam mendekati masalah-masalah sosial, yaitu model konsensus dan model konflik.
MODEL KONSENSUS
Menurut model konsensus, stuktur sosial yang ada merupakan hasil konsensus bersama anggota masyarakat, perjanjian dan pengakuan bersama akan nilai-nilai. Menurut model ini, setiap masyarakat pada hakikatnya teratur dan stabil. Keteraturan dan kestabilan ini disebabkan karena adanya kultur bersama yang dianut dan dihayati oleh anggota-anggota masyarakat. Kultur bersama ini meliputi nilai-nilai, norma dan tujuan yang hendak dicapai. Meskipun pada individu-individu ada kemungkinan-kemungkinan perbedaan dalam persepsi dan pengjhayatan kultur bersama itu, toh pada umumnya nilai-nilai sosial yang berdasar serta norma-norma ayang ada. Justru karena adanya konsensus bersama inilah,maka tata sosial dalam suatu masyarakat.
Model ini menilai masalah sosial sebagai penyimpangan dari nilai-nialai dan norma-norma bersama, karenanya juga masalah sosial dianggap membahayakan stabilitas sosial. Penyelesaian masalah sosial selalu diusahakan dalam kerangka tata sosial yang sudah ada. Dengan kata lain tata sosial tidak pernah dipersoalkan , bahkan kelangsungan stuktur sosial yang sudah ada dijunjung tinggi. Model Konsensus melatar belakangi dua ideologi yaitu konservatif dan liberal.
a. Ideologi konservatif
Ideologi konservatif berakar pada kapitalisme dan liberalisme abad ke-19. Pasaran bebas dianggap oleh ideologi iini sebagai fundamen bagi kebebasan ekonomi dan politik. Pasar bebas dianggap akan menjamin adanya desentralisasi kekuatan politik. Kaum konservatif menjunjung tinggi sruktur sosial. Demi tegaknya struktur sosial tersebut menurut kaum konservatif otoritas dinilai sangat hakiki. Termasuk struktur sosial adalah stratifikasi sosial atau tingkat sosial. Adanya perbedaan tingkat sosial ini dikarenkan perbedaan tingkat individu dengan bakat-bakat yang berbeda. Setiap orang harus berkembang sesuai dengan bakat yang berbeda. Setuap orang harus berkembang sesuai dengan bakat dan pembawaannya. Karenanya sudah sewajarnya kalau ada perbedaan dalam tingkat prestasi yang menuntut masyrakat untuk memberi imbalan dan balas jasa yang berbeda-beda, merupakan dasar adanya hak milik pribadi. Dengankata lain hak milik pribadi dianggap sebagai balas jasa atas jerih payah usaha tiap-tiap anggota masyarakat.
Kemiskinan Menurut Ideologi Konservatif
Pada umumya kaum konservatif melihat masalah kemiskinan sebagai kesalahan pada orang miskin sendiri.Orang miskin dinilai umumnya bodoh,malas, tidak punya motivasi beerprestasi tinggi, tidak punya ketrampilan dan sebagainya yang merka bialang sebagai mental dan kultur penyebab kemiskinan. Menilai positif terhadap stuktur sosial yang ada. Dan menggap kemiskinan sebagai penyimpangan ketentuan yang ada dalam konsensus. Kaum konservatif tidak menggap kemiskinan bukan sebagai masalah serius dan kemiskinan akan bisa diselesaikan dengan sendirinya, maka tidak perlu adanya campur tangan pemerintah.
b. Ideologi Liberal
Liberasi memandang manusia pertama-tama sebagai yang digerakan oleh motivasi kepentingan ekonomi pribadi, dan libaeralisme mempertahankan hak manusia untuk semaksimal mungkin cita-cita pribadinay. Liberasi percaya akan efektifitas pasar bebas dan hak atas milik pribadi. Hak-hak, kebebasan individu sangat ditekankan dan diperjuangkan demi untuk melindungi individu-individu terhadap kesewenangan negara.
Kemiskinan Menurut Ideologi Liberal
Berbeda dengan kaum konservatif, kaum liberal memandang kemiskinan sebagai masalah yang serius, karenanya harus dipecahkan. Kemiskinan dapat diselesaikan bila tersedianya kesempatan yang seluas-luasnya tanpa diskriminasi. Kaum liberal percaya bahwa orang miskin dapat mengatasi kemiskinannya asal mereka mendapat kesempatan berusaha yang memadahi, maka diusulkan untuk diperbaikinya pelayanan-pelayanan bagi kaum miskin, membuka kesempatan kerja baru, membangun perumahan dan penyebarluasan pendidikan.
Kesimpulan
Baik konservatif maupun liberal mempertahankan struktur sosial yang telah ada, dan stuktur sosial ini ditandai dengan perbedaan tingkat sosial, sistem ekonomi kapitalis dan demokratis politik. Perbedaan dalam memandang kemiskinan, kalau kaum konservatif kemiskinan adalah kesalahan orang miskin itu sendiri dan kaum konservatif cenderung membiarkan sedang kaum liberal mengusahakan agar orang miskin mendapatkan kesempatan yang sama dan mampu menyesuaikan dalan struktur.
MODEL KONFLIK
Berbeda dengan model konsensus, model konflik ini memandang stuktur sosial yang ada sebagai hasil pemaksaan sekelompok kecil anggota masyarakat terhadap mayoritas warga masyarakat. Jadi struktur sosial bukan merupakan hasil konsensus seluruh warga apalagi persetujuan bersama mengenai nilai-nilai dan norma-norma. Stuktur sosial adalah dominasi sekelompok kecil dan kepatuhan serta ketundukan sebagaian besar warga masyarakat atas dominasi kelompok kecil tersebut. hukum dan undang-undang dalam masyarakat adalah ciptaan kelompok kecil, elit, dan kelompok yang memerintah untuk mempertahankan kepentingan mereka. Hukum dan undang-undang terutama ditujukan untuk melindungi milik-milik pribadi dan kepentingan.
Model ini memandang positif perubahan-perubahan yang memandang konflik sebagai sumber-sumber potensial bagi perubahan sosial yang progresif. Penganut model ini selalu mempertanyakan struktur sosial yang sudah ada. Mereka tidak mempersoalkan bagaimana orang miskin bisa hidup dan berprestasi dalam stuktur sosial yang sudah ada sebagaimana ditekankan kaum liberal, tetapi mereka mempersoalkan struktur sosial itu sendiri dan menganggapnya sebagai penyebab kemiskinan. Maka persoalan kultur dan mentalitas orang miskin tidak menarik perhatian penganut model konflik ini, sebab persoalan kultur orang miskin dianggapnya tidak mempersoalkan secara mendasar struktur dan kekuasaan politik yang sudah ada. Bahkan mereka menilai kultur dan mentalitas orang miskin yang digambarkan oleh kaum konservatuf itu disebabkan oleh struktur sosial itu sendiri yang tetap bertahan berpuluh atau ratusan tahun.
Kaum penganut model menggap struktur sebagai penyebab kemiskinan, untuk membuat analisis keadaan sosial pertanyaan yang mereka adalah:
- Kelompok mana yangmendapat untung dari sistem masyarakat yang ada dan kelompok mana yang dirugikan ?
- Siapa yang menang dan siapa yang kalah dalam kompetisi dalam grup dan diantara grup yang ada ?
- Faktor-faktor mana yang menentukan siapa pemenang dan siapa yang kalah ?
Penganut model ini, melihat masyarakat yang ada sebagai masyarakat massal, yang terdiri dari kelompok elit yang berada di atas massa rakyat banyak yang ada di lapisan bawah yang sama sekali tidak tidak terorganisir sehingga tidak memiliki kekuasaan yang efektif. Rakyat sebagai konsumen media dengan komunikasi dari satu arah tanpa mampu menanggapi dan rekasi berarti. Merka tidak menguasai mass media sehingga protes-protes yang mereka sampaikan tidak pernah mampu menyuarakan pendapat mereka. Dalam kepentingan ekonomi orang miskin didesain untuk dilanggengkan kemiskinannya oleh penguasa dan elit, sebab dengan kemiskinan masih ada kerja-kerja kotor yang bisa dikerjakan oleh orang miskin dengan biaya murah—tenaga.
Orang miskin juga dijadikan komoditi politik –kestabilan politik--oleh elit, karena orang miskin kebanyakan tidak tertarik pada bidang politik dan peluang ini digunakan sebagai pendukung suara dalam pemilu.
Orang-orang miskin dibutuhkan sebagai identifikasi pelanggaran-pelanggaran norma dan nilai, kriminal-kriminal yang ditangkap kebanyakan memang dari orang miskin namun sementara kriminal kerah putih (white collar crime) jauh dari penyelidikan apalagi pengadilan.
Jalan Keluar
Hal yng mengarah pada perubahan sosial sebagaimana digariskan menganut model konflik tadi, disini kita temukan garis moderat sampai pada garis yang benar-benar radikal. Garis moderat menghendaki demokrasi partisipatif baik dalam group-group sosial yang ada maupun dalam organisasi-organisasi sebagai tujuan yang harus dicapai oleh setiap masyarakat. Mereka tidak menganggap pentingnya kepemimpinan, sebaliknya mereka yakin bahwa semua orang ikut ambil bagian dalam pengambilan keputusan-keputusan yang mempengharuhi hidup mereka. Mereka menentang segala bentuk birokrasi, pengaturan dari luar. Mereka menginginkan kontrol mahasiswa atas sekolahnya, rakyat atas polisi, buruh atas pabrik mereka. Sedang penganut garis radikal menganjurkan aksi-aksi menentang sistem sosial yang ada umpamanya ketidaktaatan rakyat akan segala aturan yang ada (civil diobedience), sebab mereka ini yakin bahwa tidak mungkin mengadakan perubahan-perubahan lewat saluran-saluran resmi/legal yang ada atau lewat pemilihan-pemilihan umum, saluran-saluran semacam ini mereka anggap tidak efektif.
EPILOG
Studi ini sebenarnya masih begitu terbatas, analisa sosial akan lebih dipahami ketika kita semua mau untuk mengamati segala sesuatu disekitar kita, kehidupan sosial hidup kita sehari-hari. Kemudian adakan sebuah analisis tentang ketidakadilan sosial yang ada didalamnya dan kita akan bisa menyusun action plan untuk menindaklanjuti sebagai aksi nyata untuk menyelamatkan eksploitasi, pembodohan dan penindasan rakyat kecil atau mungkin diri kita sendiri di lingkungan kita sendiri, mungkin juga di kampus dan organisasi ini ???
Diposkan oleh MAX ALWI di Rabu, November 05, 2008  



1. SEJARAH SINGKAT PERKEMBANGAN PMII
Didirikan pada 17 April 1960 sebagai bagian integral dari organisasi keagamaan terbesar di dunia, NU, PMII memang berfungsi sebagai sayap mahasiswa NU disamping GP Anshor disayap pemuda, Fatayat disayap remaja-putri, Muslimat di sayap ibu-ibu, IPNU/IPPNU di sayap pelajar dan banom-banom lain, maka komitmen PMII kepada jam’iyah NU adalah sesuatu yang tidak dapat ditawar-tawar lagi.
Pada awal berdirinya PMII sepenuhnya berada di bawah naungan NU. PMII terikat dengan segala garis kebijaksanaan partai induknya, NU. PMII merupakan perpanjangan tangan NU, baik secara struktural maupun fungsional. Selanjutnya sejak dasawarsa 70-an, ketika rezim Orde Baru mulai mengkerdilkan fungsi partai politik, sekaligus juga penyederhanaan partai politik secara kuantitas, dan issue back to campus serta organisasi- organisasi profesi kepemudaan mulai diperkenalkan melalui kebijakan NKK/BKK, maka PMII menuntut adanya pemikiran realistis. 14 Juli 1971 melalui Mubes di Murnajati, PMII mencanangkan independensi, terlepas dari organisasi manapun (terkenal dengan Deklarasi Murnajati). Kemudian pada kongres tahun 1973 di Ciloto, Jawa Barat, diwujudkanlah Manifest Independensi PMII.
Namun, betapapun PMII mandiri, ideologi PMII tidak lepas dari faham Ahlussunnah wal Jamaah yang merupakan ciri khas NU. Ini berarti secara kultural- ideologis, PMII dengan NU tidak bisa dilepaskan. Ahlussunnah wal Jamaah merupakan benang merah antara PMII dengan NU. Dengan Aswaja PMII membedakan diri dengan organisasi lain.
Keterpisahan PMII dari NU pada perkembangan terakhir ini lebih tampak hanya secara organisatoris formal saja. Sebab kenyataannya, keterpautan moral, kesamaan background, pada hakekat keduanya susah untuk direnggangkan.
Sebagai organisasi Islam, PMII meyakini kehadirannya adalah untuk mewujudkan peran khalifatullah fil al-ardh, meneruskan risalah kenabian dan menjadi rahmat bagi semua manusia. Sebagai oeganisasi yang berasaskan Pancasila, PMII mempunyai komitmen yang utuh dan proporsional, yang diaktualisasikan melalui partisispasi dalam pembangunan watak bangsa yang berprikemanusiaan dan berkeadilan.
Integrasi dari paham keagamaan dan kebangsaan ini mengharuskan PMII berdialektika aktif dalam bermasyarkat, berbangsa dan bernegara. Perwujudan nyata dari dialektika itu adalah komitmen organisasi terhadap persoalan-persoalan mendasar masyarakat dan kemanusiaan, yang seringkali merupakan akibat negatif yang mengiringi proses pembangunan. Secara kategotis, persoalan-persoalan itu dapat dipilah ke dalam beberapa hal: persoalan keberagamaan dan kebudayaan; pemerataan ekonomi dan perwujudan keadilan sosial, demokratisasi, pemberdayaan masyarakat sipil (civil society) dan penegakan hak azasi manusia; dan kepedulian terhadap lingkungan.

2. Potret PMII Komisariat UIN SGD Cab Kab Bandung
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia adalah organisasi kepemudaan dan kemahasiswaan yang mempunyai dasar visi kerakyatan dan kebangsaan. Selain itu sebagai organisasi pengkaderan yang mampu memprioritaskan gerakannya terhadap pembelaan kepentingan rakyat dan bangsa. PMII juga merupakan wahana gerakan yang mempunyai entitas tinggi terhadap nasib rakyat dari berbagai hal baik yang bersifat nasional maupun internasional
Sebagai sebuah bentuk atas komitmen perjuangan, maka PMII hari ini adalah PMII yang siap melakukan perubahan sosial baik ditubuh PMII itu sendiri (internal), maupun secara eksternal organisasi dalam suatu keterikatan. Hal semacam ini yang menuntut PMII mempunyi kualitas dan integritas prima, karena PMII dituntut menjadi organ gerakan pelopor dalam perubahan baik perubahan sosial politik ekonomi agama dan budaya
Kemudian permasalahan yang paling krusial bagi PMII komisariat UIN SGD Cab. Kab. Bandung adalah meningkatkan kembali soliditas kultural dan struktural agar PMII komisariat UIN SGD Cab. Kab. Bandung dapat lebih optimal dalam kinerjanya dan kepengurusannya.
Pembangunan secara bertahap dari mulai pengembangan dan pelebaran sayap pada tingkatan rayon merupakan langkah strategis untuk dapat menciptakan pola kaderisasi secara sistematis. Juga dalam pemetaan terhadap wacana yang di bangun dalam tubuh PMII Komisariat UIN SGD Cab Kab Bandung sendiri, mengharuskan daya nalar dan intelektual kader sesuai dengan arah, minat, bakat juga sesuai prospek fakultas ataupun jurusan yang mereka duduki.
3. LEBIH DEKAT DENGAN PMII KOMISARIAT UIN SGD Cabang Kabupaten Bandung
PMII UIN SGD Untuk saat ini memiliki acuan program-program yang setiap tahun harus dilaksanankan dan juga terdapat 4 rayon yang merupakan organisasi PMII di tingkatan Fakultas, Keempat Rayon tersebut antara lain:
1. Rayon Al-Maturidi (Fakultas Adab & Humaniora)
2. Rayon Al-Ghazali (Fakultas Tarbiyah & Keguruan)
3. Rayon Ibnu Sina (Dakwah & Komunikasi)
4. Rayon Ibnu Khaldun (Fakultas Syariah & Hukum)
1. Bidang kaderisasi dan pengembangan Organisasi
• Melaksanakan Mapaba
• Mengadakan BIMTES dan Try Out Masuk UIN
• Melaksanakan Pelatihan Kader Dasar (PKD)
• Membuat Format Pengembangan organisasi
• Kemping Pembebasan
• Futsal pergerakan
Bidang Metodologi dan Pengembangan Wacana
• Melaksanakan diskusi rutin (reguler)
• Menyelenggarakan seminar-seminar Nasional
• Mendirikan discussion Group
• Mengadakan sekolah Epistemologi
• Mengadakan bedah buku
• Klipingisasi
Bidang Jaringan, Informasi Dan Data
• Penguatan jaringan kerja
• Pengadaan simbol dan identitas PMII (Networker LeaderShip)
• Data Base (kumpulan data)
Lembaga Pers, Penerbitan Dan Jurnalistik
• Pengadaaan mading
• Penerbitan buletin jum’at
• Pelatihan Jurnalistik
• Penrbitan majalah (Tri Wulan)
Lembaga Seni Dan Pengaabdian Masyarakat
• Mengadakan Marhaba wa Yasinan al-routin
• Mengupayakan masjid binaan
• Mengadakan PHBI dan PHBN
• Bedah Film
Lembaga Studi Analisis Gender
• Pelatihan Studi Gender
• Menerbitkan buletin spesifikasi kajian Gender
• Melakukan pemberdayaan kader-kader putri PMII
• Pelatihan Kewirausahaan

LANDASAN
1. landasan ideal : Pancasila dan UUD 45
2. Landasan Operasioanal :
a. Ahlussunnah Waljama’ah
b. Nilai Dasar Pergerakan (NDP)
c. Pola Pembinaan Pengembangan dan Perjuangan (P-4) PMII
3. Landasan struktural :
a. AD dan ART PMII
b. Hasil MUSKER & Renstra Komisariat 2007-2008
4. Landasan Historis : Produk dan dokumen historis PMII

TUJUAN ORGANISASI PMII
Pergerakan mahasiswa islam Indonesia (PMII) merupakan organisasi mahasiwa ekstra kampus yang bersifat religius, Kemahasiswaan, kekeluargaan, sosial kemasyarakatan dan independent. PMII bertujuan membentuk Pribadi Muslim Indonesia Yang Bertaqwa Kepada Allah SWT, Berbudi Luhur, Berilmu, cakap dan dan bertanggung jawab dalam mengamalkan ilmu pengetahuannya serta mewujudkan cita-cita komitmen atas kemerdekaan Indonesia.
PMII juga yang bergerak pada wilayah religius, membina dan menghimpun mahasiswa islam Indonesia yang berhaluan Ahlussunnah Waljama’ah dalam rangka menegakkan kesejahteraan sosial, kualitas kehidupan serta Rahmatan Lil Alamiin.
Dan dari semua yang dicita-citakan dan dirumuskan oleh para faunding father terdahulu, yaitu menciptakan dan mencetak kader revolusioner sejati yang dalam Al-Quran disebut sebagai kader Ulul Albab

Tri Moto PMII :
Dzikir, Fikir, & Amal Sholeh

Tri Khidmat PMII :
Takwa, Intelektual & Profesional

Tri Komitmen PMII :
Kejujuran, Kebenaran & Keadilan

“Perkokoh barisan & berteriaklah, hancurkanlah angkara murka di bumi pertiwi ini wahai Garda Depan Bangsa dan mari berjuang Untuk Rakyat,”
MAKNA LAMBANG PMII
Pencipta lambang PMII : H. Said Budairi
Bentuk :
a. Perisai berarti ketahanan dan keampuhan mahasiswa Islam terhadap berbagai tantangan dan pengaruh dari luar.
b. Bintang adalah perlambang ketinggian dan semangat cita-cita yang selalu memancar.
c. 5 (lima) bintang sebelah atas melambangkan Rasulullah dengan empat sahabat terkemuka (khulafaurrasyidin).
d. 4 (empat) bintang sebelah bawah menggambarkan empat mazhab yang berhaluan Ahlussunah Wal Jama’ah.
e. 9 (sembilan) bintang secara keseluruhan dapat berarti :
- Rasulullah dengan empat orang sahabatnya serta empat orang imam mazhab itu laksana bintang yang selalu bersinar cemerlang, mempunyai kedudukan yang tinggi dan penerang umat manusia.
- Sembilan bintang juga menggambarkan sembilan orang pemuka penyebar agama islam di Indonesia yang disebut dengan Wali Songo
1.2. Warna:
a. Biru, sebagaimana tulisan PMII, berarti kedalaman ilmu pengetahuan yang harus dimiliki dan harus digali oleh warga pergerakan, biru juga menggambarkan lautan Indonesia dan merupakan kesatuan Wawasan Nusantara
b. Biru muda, sebagaimana dasar perisai sebelah bawah berarti ketinggian ilmu pengetahuan, budi pekerti dan taqwa.
c. Kuning, sebagaimana perisai sebelah atas berarti identitas mahasiswa yang menjadi sifat dasar pergerakan, lambang kebesaran dan semangat yang selalu menyala serta penuh harapan menyongsong masa depan

Informasi lebih lanjut hubungi:
1. Sekretariat PMII Komisariat UIN SGD Cab Kab BDG Jl. Manisi Gg Mandiri No.29C RT01/03 Cibiru Bandung

“Tangan Terkepal dan Maju Kemuka”
Diposkan oleh d'histoirie c'est repete di 08:25  
Label: organisasi


TEKNIK DISKUSI & PERSIDANGAN

1. Pendahuluan
Keterampilan berbicara dan keteampilan memimpin dalam fokus diskusi merupakan salah satu keterampilan yang harus dimiliki oleh seorang kader yang ingin mengembangkan karier kepemimpinannya dalam organisasi
Organisasi dalam bentuk persidangan adalah merupakan proses pertukaran pikiran yang dapat menciptakan suasana demokrasi dalam proses mengambil keputusan. Biasanya diskusi dalam bentuk persidangan proses pengambilan keputusannya diambil berdasarkan musyawarah untuk mufakat, tetapi adakalanya diambil berdasarkan suara terbanyak, tidak berdasarkan pemufakatan. Itulah seni persidangan.
Melalui forum diskusi seorang calon kader bisa mendidik diri untuk bisa mempertajam analisa-analisa berfikir dalam memecahkan berbagai persoalan. Jadi ketajaman berfikir akan dapat dikembangkan melalui forum diskusi.
Jadi diskusi merupakan proses pertukaran pikiran dalam berbagai masalah yang diperlukan oleh dua orang atau lebih untuk mencapai kesepakatan atau keputusan bersama.

a. macam-macam diskusi
- Debat
Ialah proses pertukaran pikiran yang berlangsung seru, sengit dan keras. Dalam debat sering terjadi penyimpangan-penyimpangan antara permainan contoh orang terlibat dalam debat, kemenanganlah yang dicari bukan nilai kebenaran. maka debat akan memungkinkan terjadi antara pihak yang satu dengan pihak yang lainnya.
- Polemik
Merupakan proses pertukaran pikiran antara dua orang manusia atau lebih yang berlangsung lewat tulisan. Jadi proses pertukarannya tidak langsung bertatap muka.
- Musyawarah
Proses pertukaran pikiran antara individu untuk mencapai kebenaran dalam syariat islam. Jadi kode etik dalam musyawarah adalah norma-norma yang terkandung dalam al-quran dan hadist. Kesepakatan yang diambil merupakan pedoman hidup bagi umat islam yang wajib untuk dilaksanakan. Tapi istilah musyawarah sekarang telah menjadi milik bangsa indonesia yang landasannya bukan al-quran dan hadists.
- Saresehan
Yaitu bentuk diskusi yang dilakukan dikalangan rakyat pedesaan, cara ini dilakukan dengan santai. Materi pembicaraan sekitar hidup sehari-hari. Keputusan yang diambil jarang ditulis, namun mengandung nilai-nilai sosial yang sangat berguna bagi kehidupan mesyarakat. Dalam saresehan tidak ada pimpinan sidang jadi setiap orang berbicara berdasarkan pengertian mereka.
- Seminar
Yaitu bentuk diskusi dalam forum resmi yang membicarakan masalah ilmu dan teknologi. Dalam seminar ada pimpinan sidang yang terdiri dari moderator dan notulen, dan penyaji materi.
- Simposium
Adalah bentuk diskusi yang hampir sama dengan seminar, hanya dalam simposium materi yang dibahas adalah seni dan sastra/budaya. Ada juga yang berpendapat bahwa simposium adalah bentuk diskusi yang ltingkatannya lebih tinggi dari seminar.
- Panel
Adalah bentuk diskusi yang membahas masalah kehidupan. Pembahasan materi diproses berdasarkan peninjauan-peninjauan dari berbagai sudut ilmu pengetahuan. Misalnya keluarga besar sejahtra ditinjau dari sudut agama, kependudukan dan kesehatan.

b. Pola Diskusi
- Diskusi Liberal
Jalannya persidangan dalam diskusi ini berlangsung secara bebas, peserta mempunyai hak dan kewajiban yang sama serta mempunyai kebebasan yang luas. Arah diskusi ini tidak tegas dan pasti ketegangan dan kepastiannya tergantung dari kesadaran dan kepentingan pribadi
- Diskusi Otoriter
cirinya tegas,. Hak dan kewajibannya tidak sama. Diantara peserta terdapat kelompok elite yang menguasai persidangan dan kelompok-kelompok tersebut memegang kunci untuk menentukan segalanya. Kebebasan kelompok lain tidak diperhatikan pimpinan sidang. Jadi pola diskusi otoriter ini bukan merupakan forum untuk memperkuat pendapat salah satu kelompok yang telah disusun lewat rapat


- Diskusi Demokrasi
Yaitu proses pertukaran pikiran dalam suatau persidangan yang berjalan secara sehat, peserta dalam diskusi ini mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Pimpinan sidang mempunyai wewenang penuh untuk mengatur jalannya persidangan.

2. Cara Mempersiapkan Persidangan
- Pokok permasalahan harus aktual
- Pokok masalahnya harus bersifat umum
- Perserta diskusi/ persidangan keilmuan mengenai persoalan yang akan dibahas harus mempunyai bahan/ draft dan konsideran
- Peserta diskusi harus mempunyai kepentingan langsung dengan masalah yang akan dibahas

3. Tugas Pempinan Sidang
a. Tugas Pimpinan Umum
- Pimpinan sidang yang baru harus mempersiapkan mental terlebih dahulu.
- Harus memahami dan menguasai materi
- Harus mempunyai gambaran kesimpulan mengenai keputusan yang akan diambil
b. Tugas Praktisi
- membuka sidang dengan tertib menurut kelajiman yang berlaku
- memberikan kata pengantar mengenai maksud dan tujuan diskusi yang disampaikan secara singkat dan padat.
- Membacakan riwayat hidup penyaji materi
- Mempersilahkan pembaca untuk mengemukakan masalahnya setelah pembicara selesai, maka giliran kesempatan pembicara diberikan kepada peserta
- Harus mampu menciptakan suasana yang tenang, hidup dan penuh gairah, jangan sampai peserta yang lesu yang akan membawa kejalan yang buntu. Sebab itu pimpinan sidang harus
• Lincah serta humoris tapi tetap serius dan sopan
• Mempunyai wibawa dan kebijaksanaan yang menunjukan adanya kematangan jiwa 
• Rendah hati dan tegas.
- Pimpinan diskusi jangan terlibat apabila terjadi pertengkaran dikalangan peserta 
- Harus menarik kesimpulan yang baik
- Membuat dokumentasi dan relaksi sebagai laporan.

4. Bentuk-Bentuk Persidangan
- Sindikat (Telapak Kuda)
Pimpinan sidang berada didepan sedangkan peserta menempati tempat duduk yang bentuknya seperti sindikat
- Melingkar
Tempat pimpinan sidang berada hampir berdampingan dengan ujung peserta sidang yang menduduki tempat berbentuk lingkaran
- Segi empat
Pimpinan Sidang berada didepan berhadapan dengan peserta yang berada dibarisan paling depan. Dan semua peserta berada ditempat yang sudah disediakan, bentuknya segi empat

5. Istilah-Istilah Dalam Persidangan
Scorsing yaitu menghentikan jalannya persidangan untuk sementara waktu, guna menyegarkan suasanan persidangan. Scorsing biasanya paling sedikit dua kali lima menit atau selama-lamanya dua puluh empat jam.
Lobying yaitu menghentikan jalannya persidangan dalam waktu singkat untuk mencari penyesuaian pendapat
Pending yaitu menghentikan jalannya persidangan dalam waktu yang tak terbatas. Misal sehari, dua hari, seminggu bahkan sebulan lebih. 
Interupsi yaitu memotong jalannya pembicaraan dari seseorang dalam persidangan yang dilakukan oleh salah seorang peserta yang berbicara atau sudah berhenti dalam pembicaraanya.

6. Macam-Macam Intrupsi
Interupsi Point Of Order, yaitu memotong pembicaraan yang dilakukan oleh salah serang peserta terhadap peserta lain yang sedang berbicara dan pembicaraannya sudah menyimpang dari masalah yang sedang dibahas
Interupsi Point Of Information yaitu memotong pembicaraan dari seorang pesrta yang sedang berbicara atau sudah berhenti berbicaranya untuk melengkapi pembicaraannya
Interupsi Point Of Previlage yaitu memotong pembicaraan peserta yang sedang berbicara dalam persidangan, karena persidanangan sudah menyinggung masalah pribadi
Interupsi Poiny Of Clarifikation yaitu memotong pembicaraan yang dilakukan oleh seseorang untuk mengklarifikasi masalah

7. Penggunaan Palu Sidang
Palu sidang di pukul satu kali artinya:
- untuk mengscorsing
- membuka sidang kembali yang discore untuk selama waktu yang disepakati
- untuk memberikan perhatian kepada peserta
- untuk keputusan sementara
- untuk menyerahkan palu sidang kepada pimpinan sidang yang lain
Palu sidang di pukul dua kali artinya :
- untuk mengscore sidang selama 2 x 10 menit dan seterusnya
- untuk mempending sidang
- untuk membuka dan mencabut sidang kembali
Palu sidang di pukul tiga kali artinya :
- untuk membuka sidang resmi dan menutup sidang resmi
- untuk mengambil keputusan akhir

8. Jenis-Jenis Pernyataan Yang Bisa Dipergunakan Dalam Persidangan
Bertanya adalah awal dari sikap kritis seseorang dalam mengambil keputusan pembicaraan yang diajukan lewat pertanyaan diantaranya :
Reading Questions yaitu pertanyaan langsung yang dajukan pada petugas-petugas contoh “ calon ketua apakah yang saudara ketahui tentang tugas-tugas ketua angkatan.dll
Faktual Questions yaitu pertanyaan yang bertujuan mencari data/ fakta atau informasi tertentu contoh : berapa jumlah anggota/ atau peserta dan panitia yang hadir pada season/ persidangan ini. dll

Sanggahan Dan Cara-Cara Menghadapi Tipe-Tipe Dalam Persidangan
Secara tidak langsung setiap anggota persidangan mempunyai karakter-karakter yang berbeda. Dari karakter itu kita dapat menyimpulkan tipe-tipe yang berbeda pula. Yang menjadi masalah, bagaimana menghadapi masalah masalah tipe-tipe tersebut.
Tipe Egois, pimpinan sidang harus bisa memberi kesempatan kepada kelompok yang lain untuk memukulnya (membantahnya)
Tipe Pencoba, salurkan pertanyaan kepada orang lain atau langsung kepada ia sendiri
Tipe Retorik, pimpinan sidang harus segera siap, batasi waktu pembicaraan
Tipe Pemalu, beri pertanyaan yang mudah-mudah, tingkatkan kepercayaan dirinya, kalu perlu beri dia ujian yang wajar.
Tipe Kepala Batu, singgung ambisinya, yakinilah ia orang yang disenangi 
Tipe Kirtis, pada ilmunya, jangan coba-coba mengkritiknya, pakailah “ya.............akan tetapi.................bagaimana....................kalau..........”
Tipe Positif, beri kesempatan lebih banyak membimbing dan mengarahkan persidangan
Tipe Tangkar, pimpinan sidang harus diam, jika perlu diam setelah memperhatikan kepadanya, jangan melibatkan diri dalam pertengkaran-pertengkaran. Hentikan keinginan untuk bicara terus menerus

Teknik Menyanggah Orang
Untuk menguasai persidangan tiap orang harus berhati-hati dalam mengeluarkan pembicaraan. Salah satu cara menguasai persidangan diantaranya kita harus menguasai dan mengatasi pendapat orang lain dengan cara menyanggah pendapatnya. Cara menyanggah pendapat diantarnya, kita harus menggunakan teknik :
ya..........akan bagaimana kalau..........tidak...............karena................terserah pendapat anda............tapiingat..............menurut pendapat saya...................kerena itu..........

9. Jenis-Jenis Persidangan
Sidang Pleno/ Paripurna (sidang lengkap) yaitu yang dihadiri oleh seluruh aparat, jika perlu seluruh anggota/ peserta
Sidang Komisi, yaitu sidang bagian yang dihadiri khusus oleh komisi yang membahas masalah tertentu yang harus dipertahankan dalam sidang pleno
Sidang Sub-Komisi, yaitu yang dihadir ioleh utusan yang ditunjuk untuk mengklirkan masalah yang berkembang dan tidak diputuskan dalam sidang komisi.


Disampaikan Pada Masa Penerimaan Anggota Baru (MAPABA)
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII)
Komisariat UIN SGD Cabang Kabupaten Bandung

RANCANGAN TATA TERTIB
PEMILIHAN KETUA ANGKATAN MAPABA RAYON TARBIYAH & KEGURUAN 
PMII KOMISARIAT UIN SGD CAB KAB BANDUNG
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
1. Pemilihan ini adalah pemilihan ketua angkatan mapaba Rayon Tarbiyah & Keguruan Pergerakan Mahasiswa Islam indonesia (PMII) komisariat UIN SGD Cab. Kab. Bandung
2. Pemilian ketua angkatan dianggap sah apabila dihadiri oleh dua pertiga peserta mapaba Rayon Tarbiyah & Keguruan PMII Komisariat UIN SGD Cab. Kab. Bandung
3. Pimpinan sidang ditetapkan oleh Steering Commitee pamitia MAPABA dengan persetujuan peserta rapat.
BAB II
TUGAS DAN WEWENANG
Pasal 2
Rapat peserta MAPABA Rayon Tarbiyah & Keguruan PMII Komisariat UIN Cab Kab Bandung mempunyai tugas dan wewenang:
1. Memilih dan menetapkan ketua angkatan mapaba Rayon Tarbiyah & Keguruan PMII Komisariat UIN SGD Cab Kab Bandung
BAB III
PESERTA DAN PENINJAU
Pasal 3
1. Peserta Rapat mapaba Rayon Tarbiyah & Keguruan PMII Komisariat UIN Cab Kab Bandung adalah peserta mapaba Rayon Tarbiyah & Keguruan PMII Komisariat UIN Cab Kab Bandung yang telah mengikuti acara mapaba dari awal hingga akhir
2. Peninjau
BAB IV
HAK DAN KEWAJIBAN PESERTA DAN PENINJAU
Pasal 4
1. Setiap peserta berkewajiban mentatati peraturan dan menjaga ketertiban RPM.
2. Peserta mempunyai hak memilih, dipilih dan hak bicara dan suara sedang peninjau hanya hak bicara.
3. Bila peserta dan peninjau tidak mentaati Tatib RPM ini, maka akan dikeluarkan setelah diperingatkan tiga kali.


BAB V
KRITERIA CALON KETUA ANGKATAN 
Pasal 5
Kriteria calon ketua angkatan :
1. Berakhlakul karimah
2. Mempunyai visi dan misi yang jelas terhadap kinerja seorang ketua angkatan 
3. Menyatakan kesediaan baik secara lisan maupun tulisan

BAB VI
MEKANISME PEMILIHAN
Pasal 6
Pemilihan Ketua angkatan
1. Pemilihan ketua angkatan dilakukan secara bebas, langsung, umum, dan rahasia.
2. Setiap peserta memiliki satu suara
3. Pemilihan diawali dengan pengajuan bakal calon
4. Seorang bakal calon berhak menjadi calon apabila memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. Mendapatkan dukungan suara minimal 5 suara 
b. Memenuhi kriteria calon ketua (bab I Pasal 2)
5. Calon ketua berkewajiban menyampaikan visi dan misinya dalam pengenalan calon ketua selama 10 menit
6. Seorang calon Ketua angkatan dinyatakan terpilih menjadi Ketua Umum apabila mendapatkan suara terbanyak
7. Apabila terjadi perimbangan suara, maka dilakukan pemungutan suara ulang. Dan apabila tetap terjadi perimbangaan suara keputusan diambil secara pemufakatan
BAB VII
KETENTUAN TAMBAHAN
Pasal 7
Tata tertib ini berlaku sejak ditetapkan, hal-hal yang belum diatur dan ditetapkan dalam tata tertib ini akan diatur kemudian berdasarkan kesepakatan.






SURAT KEPUTUSAN RAPAT PESERTA MAPABA
PERGERAKAN MAHASISWA ISLAM INDONESIA (PMII)
RAYON TARBIYAH & KEGURUAN KOMISARIAT UIN SGD CABANG KABUPATEN BANDUNG
TAHUN 2009
No.01.SK.RPM V-II.01.05.2009
Tentang :
TATA TERTIB PEMILIHAN KETUA ANGKATAN
MAPABA RAYA
PERGERAKAN MAHASISWA ISLAM INDONESIA (PMII)
KOMISARIAT UIN SGD CABANG KABUPATEN BANDUNG 2005-2005


Bissmillahirrahmanirrahim
Pimpinan sidang Rapat Peserta MAPABA Rayon Tarbiyah & Keguruan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia KOMISARIAT UIN SGD Cab Kab. Bandung, setelah:
Menimbang :
1. Bahwa dami terwujudnya ketertiban dan kelancaran pelaksanaan pemilihan ketua angkatan MAPABA Rayon Tarbiyah & Keguruan, maka dipandang perlu adanya tata tertib pemilihan ketua angkatan PMII komisariat UIN SGD SGD Cab Kab Bandung
2. Bahwa untuk memberikan kepastian hukum, maka dipndang perlu untuk menetapkan keputusan Rapat peseta MAPABA Rayon Tarbiyah & Keguruan angkatan Pelopor II PMII komisariat UIN SGD Cab Kab Bandung periode 2005-2005
Mengingat: 
1. Anggaran Dasar PMII
2. Anggaran Rumah Tangga PMII
3. Peraturan-peraturan organisasi 
Memperhatikn: hasil-hasil Rapat peserta MAPABA Rayon Tarbiyah & Keguruan PMII Komisariat UIN SGD Cab Kab Bandung
MEMUTUSKAN
Menetapkan: 
1. Tata tertib pemilihn ketua angkatan MAPABA Rayon Tarbiyah & Keguruan PMII komisariat UIN SGD Cab Kab Bandung sebagimana terlampir
2. Ketetapan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dan akan ditinjau kembali jika di kemudian hari terdapat kekeliruan

Wallahul muwafiq Ila aqwamittharieq
Ditetapkan di 
Tanggal Mei 2009 
Waktu 
PIMPINAN SIDANG RAPAT PESERTA MAPABA RAYON TARBIYAH & KEGURUAN
PERGERAKAN MAHASISWA ISLAM INDONESIA
KOMISARIAT UIN SGD CAB. KAB. BANDUNG




_______________ ______________ ________________
Presidium Sidang I Presidium Sidang II Presidium Sidang III
SURAT KEPUTUSAN RAPAT PESERTA MAPABA RAYON TARBIYAH & KEGURUAN
PERGERAKAN MAHASISWA ISLAM INDONESIA (PMII)
kOMISARIAT UIN SGD CABANG KABUPATEN BANDUNG
TAHUN 2009
No: 02.SK.RPM V-II.01. 05.2009
Tentang :
KETUA ANGKATAN MAPABA RAYON TARBIYAH & KEGURUAN
PERGERAKAN MAHASISWA ISLAM INDONESIA (PMII)
KOMISARIAT UIN SGD CABANG KABUPATEN BANDUNG 2009-2010

Bissmillahirrahmanirrahim
Pimpinan sidang Rapat Peserta MAPABA Rayon Tarbiyah & Keguruan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia KOMISARIAT UIN SGD Cab Kab. Bandung, setelah:
Menimbang : 
1. Bahwa telah terpilihnya Ketua angkatan mapaba Rayon Tarbiyah & Keguruan komisariat UIN SGD Cab Kab Bandung
2. Bahwa demi memberi kekuatan hukum atas hasil sidang, maka dipandang perlu unutk menetapkan keputusan Rapat Peserta MAPABA Rayon Tarbiyah & Keguruan tentang ketua angkatan mapaba Rayon Tarbiyah & Keguruan PMII komisariat UIN SGD Cab Kab Bandung periode 2009-2010
Mengingat:
1. Anggaran dasar PMII
2. Anggaran rumah tangga PMII
3. Nilai Dasar Pergerakan PMII
4. Tata tertib pemilihan ketua angkatan mapaba Rayon Tarbiyah & Keguruan PMII komisariat UIN SGD Cab Kab Bandung periode 2009-2010
Memperhatikan: hasil sidang penilihan ketua angkatan Rapat peserta Rayon Tarbiyah & Keguruan MAPABA PMII komisariat UIN SGD Cab Kab Bandung 
MEMUTUSKAN
Menetapkan: 
1. sahabat_________________sebagai ketua angkatan Pelopor II mapaba Rayon Tarbiyah & Keguruan PMII komisariat UIN SGD Cab Kab Bandung 
2. Merekomendasikan kepada ketua angkatan Pelopor II untuk menyusun program kerja dan pembentukan kelompok diskusi PMII komisariat UIN SGD Cab Kab Bandung periode 2009-2010 selambat-lambatnya 7x24 jam setelah Rapat Peserta mapaba berakhir
3. Ketetapan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dan akan ditinjau kembali jika di kemudian hari terdapat kekeliruan

Wallahul muwafiq Ila aqwamittharieq
Ditetapkan di 
Tanggal Mei 2009
Waktu 
PIMPINAN SIDANG RAPAT PESERTA MAPABA RAYON TARBIYAH & KEGURUAN
PERGERAKAN MAHASISWA ISLAM INDONESIA
KOMISARIAT UIN SGD CAB. KAB. BANDUNG

Peta dan Isu Gerakan Perempuan Islam di Indonesia

A. PENDAHULUAN

Gerakan perempuan Islam di Indonesia tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan merupakan sebuah proses bertahap 
yang disertai dengan isu-isu yang sedang berkembang di zamannya. Proses ini dimulai sejak abad ke 19 dalam bentuk 
perlawanan terhadap penjajahan Belanda, misalnya: Cut Nya’ dien, Cut Mutia, Nyai Ageng Serang, dan sebagainya.
Perjuangan dan pergerakan perempuan terus menerus dilakukan oleh tokoh-tokoh perempuan di Indonesia hingga 
sekarang dengan berbagai problematika dan tantangannya. Gerakan perempuan berbasis LSM, Perguruan Tinggi 
maupun yang berbasis keagamaan merasakan perjuangan perempuan tidak pernah tuntas, satu isu berhasil 
diperjuangkan menyusul isu lain muncul dan berkembang mengikuti siklus sesuai dengan perubahan-perubahan social 
dan isu-isu di masyarakat.

B. PERIODESASI GERAKAN PEREMPUAN ISLAM DI INDONESIA

Gerakan perempuan di Indonesia agak sulit dipetakan. Untuk memudahkan pembahasan ini, perlu memngikuti 
periodesasi gerakan pereuan secara umum, yakni dapat dikategorikan menjadi 6 periode/angkatan, yaitu:

1. Angkatan Srikandi.
Pada periode ini gerakan perempuan difokuskan pada perlawanan terhadap penjajahan Belanda. Seluruh potensi bangsa 
Indonesia pada waktu itu tersita untuk memperjuangkan bangsa agar terbebas dari penindasan kaum penjajah. Isu-isu 
tentang perempuan ketika itu belum menjadi prioritas. Tokoh gerakan perempuan pada periode ini adalah semua 
pahlawan wanita Indonesia yang secara fisik turut berjuang di Medan pertempuran melawan Belanda, diantaranya:
1.        Nyai Ageng Serang (1752-1828).
2.        Cut Nya' Dien (1850-1908)
3.        Cut Mutia (1870-1910)

Ketiga srikandi ini berasal dari kelompok elit bangsawan yang memiliki potensi ketokohan dan jiwa juang yang tinggi 
dibanding dengan perempuan sezamannya. Perjuangan yang mereka lakukan dalam bentuk perlawanan fisik bermitra 
dengan suami mereka masing-masing.

2. Angkatan Kartini (Feminis Sosial Gelombang Pertama)

Masa angkatan Kartini merupakan awal dari perjuangan perempuan yang telah dipengaruhi oleh gerakan perempuan di 
Barat. Ide-ide emansipasi wanita yang diperjuangkan perempuan di Eropah dengan model feminisme liberal yang 
menekankan pada akses dan partisipasi perempuan yang sama dengan laki-laki di wilayah publik, peran produktif dan 
isu-isu perempuan tentang pendidikan, perlindungan hukum, dan budaya. Tokoh perempuan muslimah pada angkatan ini 
adalah:
1.        RA. Kartini
2.        Dewi Sartika

Bukan hanya bangsa Indonesia, bangsa-bangsa lainpun mencitrakan Kartini sebagai feminis gelombang awal yang 
penting untuk diperhitungkan. Para penulis biografi membidik sosok Kartini dari berbagai perspektif. Penulis muslim 
menggambarkan Kartini sebagai muslimah yang berjuang melawan otoritas bias gender elit agamawan yang 
berpandangan tidak ramah terhadap perempuan, seperti poligami, kawin paksa, perceraian sewenang-wenang, dan 
tradisi pingitan yang menghambat akses pendidikan bagi perempuan. Kartini dikategorikan sebagai feminis muslim 
karena pikiran-pikiran beliau dipengaruhi pula oleh ibunya yang berpendidikan pesantren.

Dewi Sartika adalah seorang putri bangsawan dari Raden Somanegara dan Raden Ayu Permas, sebagaimana Karting, 
beliau melanjutkan ide-ide persamaan hak perempuan setara dengan laki-laki dalam dengan mendirikan sekolah gedis 
yang pertama, terrenal dengan nama"Sekolah Istri", kemudia diganti nama menjadi "Sekolah Keutamaan Istri". Lembaga 
pendidikan ini berkembang pula di 9 kabupaten di wilayah Pasundan (50% dari seluruh sekolah di Pasundan).
Kartini dan Sartika, berangkat dari kelompok elit bangsawan yang mengusung pentingnya pendidikan bagi perempuan. 
Ketertinggalan perempuan, dan terjadinya diskriminasi terhadap perempuan dalam kehidupan dapat diubah melalui 
pemberian kesempatan bagi perempuan dalam bidang pendidikan. Dalam mengembangkan gagasannya tentang 
pendidikan bagi perempuan dipengaruhi oleh gerakan emansipasi di Barat ketika itu sedang berkembang. Berbeda 
dengan dua periode sebelumnya yang menfokuskan pada isu perjuangan kemerdekaan di mana perempuan 
berpartisipasi dalam isu yang sama. Angkatan ini perjuangan menghadapi dua kekuatan besar yaitu melawan penjajah 
sekaligus melawan dominasi laki-laki terhadap perempuan. dominasi tersebut berakar pada budaya patriarkhi dan 
pemahaman agama yang merugikan perempuan terutama dalam konteks lembaga perkawinan. Karena itu semakin 
tinggi pendidikan perempuan akan semakin tinggi posisi tawar di hadapan laki-laki. Perlawanan Kartini terhadap adat 
Jawa yang sarat dengan mitos, simbol subordinasi dan marjinalisasi perempuan.

3. Angkatan Perintis Kemerdekaan

Titik balik perjuangan perempuan terjadi pada tahun 1928, ketika diselenggarakannya Konggres Perempuan pertama di 
Yogyakarta. Setelah Sukarno menjadi pesiden, ia menegaskan bahwa masalah krusial bangsa ini adalah perjuangan 
kemerdekaan melawan penindasan Belanda. Pergerakan perempuan pada angkatan ini berkonsentrasi pada perjuangan 
kemerdekaan RI melalui organisasi-organisasi dan kelompok-kelompok perempuan. Pergerakan perempuan telah 
terorganisir dalam sebuah wadah, baik yang menjadi bagian dari organisasi yang dominan laki-laki maupun secara 
individu masuk dalam organisasi atau lembaga di mana dia menjadi bagian dari pengambil keputusan.

Tokoh perempuan muslimah pada angkatan ini antara lain:
1.        Nyai Ahmad Dahlan ( 1872 – 31 Mei 1946)
2.        Hají Rasuna Said (14 September 1910- 2 Oktober 1965)
3.        Rahmah El Yunusiyah (10 Juli 1901 – 26 Februari 1969)

Nyai Ahmad Dahlan sebagai pendiri organisasi wanita Muhammadiyah “Sopo Trisno” pada tahun 1917 yang kemudian 
menjadi “Aisyah”. Dia juga endirikan pesantren putri sebagai pusat pelatihan santri dan ulama’, mendirikan sekolah 
umum dan panti asuhan. Haji Rasuna Said (Sumatera Barat) pada tahun 1926 menjadi perumus Sarikat Rakyat yang 
kemudian menjadi PSII, aktif pada organisasi Persatuan Muslim Indonesia tahun 1930, pendiri Komite Nasional Sumatera 
Barat, Dewan Perwakilan Negeri, anggota KNIP, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sumatera, dan anggota Dewan 
Perwakilan Agung (DPA). Adapun Rahmah El Yunusiyah (Padang Panjang) mendirikan Diniyah Putri School di Padang 
Panjang dengan tujuan membentuk putri Islam dan ibu pendidik yang cakap, aktif dan bertanggung jawab terhadap 
kesejahteraan keluarga, masyarakat dan tanah air. Gerakan yag dia lakukan untuk melawan penjajah menganut politik 
non kooperatif. Ia ikut membantu terbentuknya pasukan Sabilillah dan Hisbullah tahun 1919 hingga kemedekaan. Setelah 
kemerdekaan, ia aktif di Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang menjadi inti dari batalyon Merapi. Tahun 1955 Rektor Al 
Azhar berkunjung ke lembaga pendidikan putri yang ia pimpin, kemudian Rahmah di undang ke Al Azhar dan 
mendapatkan gelar “Syaikhah”, jabatan terakhirnya sebagai anggota DPR 1955.

4. Angkatan Proklamasi/Penegak Kemerdekaan (1945-1949)

Pada periode keempat ini gerakan perempuan dilakukan secara mandiri maupun kelompok. Isu yang diusung masih 
diseputar bagaimana perempuan menghadapi awal kemerdekaan, di mana secara umum bangsa Indinesia sedang 
dihadapkan pada mempertahankan kemerdekaan yang baru diraih dengan segala daya. Sebagaimana periode 
sebelumnya bahwa konsentrasi gerakan perempuan belum menyentuh substansi yang diperlukan spesifik isu 
perempuan. Presiden Sukarno lebih menekankanbahwa problem perempuan akan berhasil jika kemerdekaan ini telah 
dicapai. Sejumlah tokoh perempuan berbasis pesantren (ibu nyai) aktif mengasuh santri putri, namun kurang dikenal 
kiprahnya, karena penulis lebih tertarik pada tokoh laki-laki.

5. Angkatan Konsolidasi Kemerdekaan (1950-1965)

Sebagaimana angkatan sebelumnya, angkatan ini gerakan perempuan nasionalis semakin maju, sejumlah tokoh 
perempuan aktif sebagai tenaga profesional yang bekerja pada ranah publik dan juga sebagai pengambil keputusan. 
Kelompok-kelompok perempuan mendirikan organisasi baik berbasis profesi, politik, sosial, maupun daerah yang 
tumbuh sangat banyak. Pergerakan perempuan Islam telah terwadahi dalam organisasi wanita, seperti Aisyiyah, Wanita 
Islam, Muslimat NU dan gerakan perempuan berbasis pesantren, namun akses dan peran sosial tertentu masih terbatas.

6. Angkatan Pembangunan/Orde Baru

Women in Development (WID) yang diperkenalkan oleh Pusat Studi dan LSM perempuan tahun 70an dan 
diimplementasikan tahun 80an, turut mempengaruhi corak gerakan perempuan Islam di Indonesia. WID merupakan 
pendekatan pembangunan dengan mengintegrasikan perempuan dalam sebuah sistem pembangunan nasional yang 
ditandai dengan prinsip effisiensi, dan mengatasi ketertinggalan perempuan dalam pembangunan. Salah satu strategi 
WID adalah memberikan akses pada perempuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan di bidang-bidang yang masih 
beraroma stereotype gender tanpa diikuti penyadaran bagi laki-laki, melahirkan peran ganda perempuan yang berdampak 
pada beban berlipat bagi perempuan. Perempuan lebih banyak mendukung keberhasilan pembangunan, tetapi bukan 
sebagai penikmat hasil pembangunan.

Organisasi wanita yang lahir pada era ini merupakan organisasi subordinat laki-laki, sehingga kurang memiliki 
kemandirian dalam mengelola organisasi. Pergerakan perempuan Islam berbasis organisasi keagamaan tidak lepas 
pula dari pendekatan WID ini. Keberadaan Aisyiyah Muslimat NU, Al Hidayah dan organisasi perempuan bebasis 
pesantren yang telah eksis sejak angkatan sebelum ini, merupakan underbow dari organisasi induknya di mana laki-laki 
mendominasi posisi dan peran tanggung jawab dalam organisasi induk sehingga intervensi laki-laki atas keputusan 
penting masih sangat besar.

7. Gerakan Perempuan Islam Era Reformasi

WID belum cukup efektif menjadi sebuah pendekatan pembangunan. Konferensi Perempuan Dunia ke 3 di Naerobi tahun 
1985 membahas pendekatan baru yaitu Gender and Development (GAD), di mana perempuan dan laki-laki bersama-
sama dalam mendapatkan akses, partisipasi, kontrol atas sumber daya, dan penerima manfaat hasil pembangunan 
secara adil. Kemudian ide pendekatan GAD dibahas lebih lanjut melalui Konferensi Perempuan keempat di Beijing tahun 
1995. Konferensi ini bertema: Persamaan, Pembangunan, Perdamaian ini telah menghasilkan sejumlah rekomendasi 
yang harus dilaksanakan oleh negara-negara anggota PBB dalam upaya meningkatkan akses dan kontrol kaum 
perempuan atas sumber daya ekonomi, politik, sosial dan budaya. Komitmen internasional tersebut melahirkan Beijing 
Platform For Action (BPFA) berikut rumusan Sasaran-sasaran Strategis yang harus dicapai dari 12 Bidang Kritis yang 
ditetapkan, yaitu: 1) Perempuan dan Kemiskinan; 2)Pendidikan dan Pelatihan bagi Perempuan; 3) Perempuan dan 
Kesehatan; 4) Kekerasan terhadap Perempuan; 5) Perempuan dan Konflik Senjata; 6) Perempuan dan Ekonomi; 7) 
Perempuan dalam Kedudukan Pemegang Kekuasaan dan Pengambilan Keputusan; 8) Mekanisme Institusional untuk 
Kemajuan Perempuan; 9) Hak-hak Asasi Perempuan; 10) Perempuan dan Media Massa; 11). Perempuan dan 
Lingkungan; 12) Anak-anak Perempuan

Untuk mengimplementasikan bidang kritis tersebut diperlukan strategi melalui jalur kebijakan yang mempunyai kekuatan 
dalam mengintegrasikan kesetaraan dan keadilan gender ke dalam pembangunan yang dikenal dengan strategi Gender 
Mainstreaming (Pengarustamaan Gender).

Pengarusutamaan Gender (PUG) Pengarusutamaan Gender adalah strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan 
gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas 
kebijakan dan program pembangunan nasional. Sebagai negara peserta konferensi, Indnesia telah menindaklanjuti 
melalui Inpres No. 9 Th. 2000 tetang Pengarusutamaan Gender dalam pembangunan. Adapun untuk mengukur 
keberhasilannya melalui Gender Development Index (GDI) dengan 3 indikator yakni pendidikan, kesehatan, dan ekonomi, 
serta Gender Empowerment dengan indikator peran perempuan dalam pengambilan keputusan publik. Sedangkan 
Millenium Development Goals (MDGs) sebagai tolok ukur pemberdayaan perempuan yang ingin dicapai pada tahun 2005 
dan 2015.


Oleh Mufidah Ch
Mengajarkan Kesetaraan Jender

KOK, enggak ada nama ceweknya, ya, Pak?" Pertanyaan tersebut meluncur dari mulut putri kecil saya yang masih duduk di 
kelas satu sekolah dasar (SD) ketika mengunjungi Taman Makam Pahlawan Kusuma Bakti, Jurug, Solo. Bisa jadi putri 
saya tidak bermaksud protes lewat pertanyaannya tersebut. Bahwa semua yang dimakamkan sebagai pahlawan di sana 
tidak ada yang putri, bisa benar bisa tidak karena tidak sempat menanyakan kepada kantor penjaga makam pahlawan 
tentang jumlah pahlawan laki-laki dan perempuan di sana.

Apakah terjadi di makam pahlawan di kota-kota lain? Juga, sungguh mati, sama sekali tidak terlintas dalam pikiran saya 
seumur-umur mengenai laki-laki atau perempuan, mereka yang dimakamkan di taman pahlawan. Pun, putri kecil saya 
mungkin sekarang sudah lupa dengan pertanyaannya, tetapi saya sebagai bapak akan mengingatnya sebagai saat 
penting seorang anak menunjukkan "kekritisannya".

Kalau taman makam pahlawan yang ada hampir di setiap kota atau kabupaten dibangun sebagai bagian tidak 
terpisahkan dari sejarah perjuangan bangsa ini, bisa ditafsirkan adanya supremasi laki-laki sekaligus mengabaikan 
perempuan dalam perjuangan memerangi penjajah. Kelak putri saya mungkin akan merumuskan pertanyaan lain tentang 
apakah yang berjuang melawan penjajah hanya laki-laki, lantas siapa yang memasok makanan atau mengobati yang 
terluka?

Untuk situasi masyarakat pada zaman kini, inilah awal tumbuhnya kesadaran akan kesederajatan laki-laki dan 
perempuan. Kesadaran mesti dimulai dari keluarga dan ditumbuhkembangkan di sekolah.

PENDIDIKAN yang memperhatikan kesetaraan jender di sekolah-sekolah masih jauh dari yang diidealkan. Mary Astuti 
(2000) menunjuk para guru sebagai pendidik di sekolah kurang mempunyai pengalaman dalam menanamkan nilai-nilai 
baru dalam hubungan heteroseksual dalam pengasuhan anak di sekolah.

Mereka masih memiliki pola berpikir bahwa laki-laki akan menjadi pemimpin, sedangkan anak perempuan akan menjadi 
ibu rumah tangga. Anak laki-laki akan diberikan pelajaran silat atau bela diri supaya mempunyai rasa percaya yang lebih 
besar karena dia akan menjadi kepala keluarga, menjadi pemimpin masyarakat. Anak perempuan diberikan materi 
memasak atau menari sehingga mereka bisa menjadi ibu rumah tangga yang baik atau bisa menjadi penghibur, di 
samping sekaligus pelestari budaya bangsa.

Pembedaan perlakuan antara murid perempuan dan murid laki-laki juga terjadi pada upacara-upacara yang digelar di 
sekolah. Anak laki-laki, karena suaranya keras, selalu dipilih sebagai pemimpin upacara. Mereka tidak menyadari murid 
perempuan juga mampu bersuara keras, bersuara lantang, dan pantas menjadi pemimpin upacara. Pembedaan tersebut 
tidak pernah diprotes siswa perempuan karena semua perlakuan tersebut mereka anggap wajar juga.

Buku-buku pelajaran pun masih menunjukkan adanya ketimpangan jender. Dalam buku pelajaran bahasa Indonesia dari 
sekolah dasar hingga sekolah menengah umum, peran perempuan dan laki-laki dibedakan menurut peran domestik, 
publik, dan sosial. Kegiatan memasak selalu untuk perempuan, sedangkan berkebun, mengurus kendaraan, kepemilikan 
tanah, atau barang-barang yang bernilai ekonomis tinggi selalu untuk laki-laki. Profesi polisi, dokter, atau militer masih 
dilekatkan pada laki-laki, sementara juru masak, penari, penyanyi, identik dengan perempuan. Padahal, sesungguhnya 
telah terjadi banyak perubahan.

Semasa taman kanak-kanak, permainan untuk anak laki-laki adalah perang-perangan, sementara anak perempuan main 
masak-masakan. Sejak dini, perempuan dan laki-laki dibedakan dari bentuk permainan. Pembedaan yang dilakukan 
bukan menunjukkan perbedaan yang esensial, tetapi pembedaan berdasarkan kebiasaan belaka. Perempuan 
diposisikan sebagai makhluk lemah dan perlu dikasihani, sedangkan laki-laki identik dengan dunia yang keras, kasar, 
dan mengandalkan ototnya.

Pemahaman kesetaraan jender, kesadaran, dan sensivitas jender, oleh para penyelenggara pendidikan, para pengarang 
buku pelajaran, serta para guru, kiranya terus-menerus diasah demi perubahan paradigma dan persepsi yang lebih adil 
jender. Dengan membarui paradigma guru lewat pelatihan yang mendalami jender, guru akan dapat memperlakukan 
siswa secara adil jender, dan tidak ada diskriminasi yang merugikan bagi siswa perempuan ataupun laki-laki.

KEMBALI pada pertanyaan putri saya pada awal tulisan ini, tentunya taman makam pahlawan tidak bisa diubah lagi soal 
perempuan atau laki-laki yang mesti ditempatkan sebagai pahlawan. Cukuplah bila kelak putri saya akan mendapatkan 
jawaban kesetaraan jender dengan melihat komposisi anggota parlemen negaranya. Betapa kecut hatinya bahwa 
perlakuan laki-laki dan perempuan di makam pahlawan sama saja dengan perlakuan di Gedung MPR/DPR. Padahal, 
Gedung MPR/DPR bukan makam pahlawan.

St Kartono Mengajar di SMU Kolese De Britto, Yogyakarta.
Sumber: Kompas Cyber Media
Kesetaraan Gender dalam Pendidikan

BANYAK laki-laki mengatakan, sungguh tidak mudah menjadi laki-laki karena masyarakat memiliki ekspektasi yang 
berlebihan terhadapnya. Mereka haruslah sosok kuat, tidak cengeng, dan perkasa.

Ketika seorang anak laki-laki diejek, dipukul, dan dilecehkan oleh kawannya yang lebih besar, ia biasanya tidak ingin 
menunjukkan bahwa ia sebenarnya sedih dan malu. Sebaliknya, ia ingin tampak percaya diri, gagah, dan tidak 
memperlihatkan kekhawatiran dan ketidakberdayaannya.

Ini menjadi beban yang sangat berat bagi anak laki-laki yang senantiasa bersembunyi di balik topeng maskulinitasnya. 
Kenyataannya juga menunjukkan, menjadi perempuan pun tidaklah mudah. Stereotip perempuan yang pasif, emosional, 
dan tidak mandiri telah menjadi citra baku yang sulit diubah. Karenanya, jika seorang perempuan mengekspresikan 
keinginan atau kebutuhannya maka ia akan dianggap egois, tidak rasional dan agresif. Hal ini menjadi beban tersendiri 
pula bagi perempuan.

Bias Gender

Keadaan di atas menunjukkan adanya ketimpangan atau bias gender yang sesungguhnya merugikan baik bagi laki-laki 
maupun perempuan. Membicarakan gender tidak berarti membicarakan hal yang menyangkut perempuan saja. Gender 
dimaksudkan sebagai pembagian sifat, peran, kedudukan, dan tugas laki-laki dan perempuan yang ditetapkan oleh 
masyarakat berdasarkan norma, adat kebiasaan, dan kepercayaan masyarakat.

Bias gender ini tidak hanya berlangsung dan disosialisasikan melalui proses serta sistem pembelajaran di sekolah, 
tetapi juga melalui pendidikan dalam lingkungan keluarga. Jika ibu atau pembantu rumah tangga (perempuan) yang 
selalu mengerjakan tugas-tugas domestik seperti memasak, mencuci, dan menyapu, maka akan tertanam di benak 
anak-anak bahwa pekerjaan domestik memang menjadi pekerjaan perempuan.

Pendidikan di sekolah dengan komponen pembelajaran seperti media, metode, serta buku ajar yang menjadi pegangan 
para siswa sebagaimana ditunjukkan oleh Muthalib dalam Bias Gender dalam Pendidikan ternyata sarat dengan bias 
gender.

Dalam buku ajar misalnya, banyak ditemukan gambar maupun rumusan kalimat yang tidak mencerminkan kesetaraan 
gender. Sebut saja gambar seorang pilot selalu laki-laki karena pekerjaan sebagai pilot memerlukan kecakapan dan 
kekuatan yang "hanya" dimiliki oleh laki-laki.

Sementara gambar guru yang sedang mengajar di kelas selalu perempuan karena guru selalu diidentikkan dengan tugas 
mengasuh atau mendidik. Ironisnya siswa pun melihat bahwa meski guru-gurunya lebih banyak berjenis kelamin 
perempuan, tetapi kepala sekolahnya umumnya laki-laki.

Dalam rumusan kalimat pun demikian. Kalimat seperti "Ini ibu Budi" dan bukan "ini ibu Suci", "Ayah membaca Koran dan 
ibu memasak di dapur" dan bukan sebaliknya "Ayah memasak di dapur dan ibu membaca koran", masih sering 
ditemukan dalam banyak buku ajar atau bahkan contoh rumusan kalimat yang disampaikan guru di dalam kelas. 
Rumusan kalimat tersebut mencerminkan sifat feminim dan kerja domestik bagi perempuan serta sifat maskulin dan 
kerja publik bagi laki-laki.

Demikian pula dalam perlakuan guru terhadap siswa, yang berlangsung di dalam atau di luar kelas. Misalnya ketika 
seorang guru melihat murid laki-lakinya menangis, ia akan mengatakan "Masak laki-laki menangis. Laki-laki nggak boleh 
cengeng". Sebaliknya ketika melihat murid perempuannya naik ke atas meja misalnya, ia akan mengatakan "anak 
perempuan kok tidak tahu sopan santun". Hal ini memberikan pemahaman kepada siswa bahwa hanya perempuan yang 
boleh menangis dan hanya laki-laki yang boleh kasar dan kurang sopan santunnya.

Dalam upacara bendera di sekolah selalu bisa dipastikan bahwa pembawa bendera adalah siswa perempuan. Siswa 
perempuan itu dikawal oleh dua siswa laki-laki. Hal demikian tidak hanya terjadi di tingkat sekolah, tetapi bahkan di tingkat 
nasional. Paskibraka yang setiap tanggal 17 Agustus bertugas di istana negara, selalu menempatkan dua perempuan 
sebagai pembawa bendera pusaka dan duplikatnya. Belum pernah terjadi dalam sejarah: laki-laki yang membawa 
bendera pusaka itu.

Hal ini menanamkan pengertian kepada siswa dan masyarakat pada umumnya bahwa tugas pelayanan seperti 
membawa bendera, lebih luas lagi, membawa baki atau pemukul gong dalamupacara resmi sudah selayaknya menjadi 
tugas perempuan.

Semuanya ini mengajarkan kepada siswa tentang apa yang layak dan tidak layak dilakukan oleh laki-laki dan apa yang 
layak dan tidak layak dilakukan oleh perempuan.

Bias gender yang berlangsung di rumah maupun di sekolah tidak hanya berdampak negatif bagi siswa atau anak 
perempuan tetapi juga bagi anak laki-laki. Anak perempuan diarahkan untuk selalu tampil cantik, lembut, dan melayani. 
Sementara laki-laki diarahkan untuk tampil gagah, kuat, dan berani. Ini akan sangat berpengaruh pada peran sosial 
mereka di masa datang.

Singkatnya, ada aturan-aturan tertentu yang dituntut oleh masyarakat terhadap perempuan dan laki-laki. Jika perempuan 
tidak dapat memenuhinya ia akan disebut tidak tahu adat dan kasar. Demikian pula jika laki-laki tidak dapat memenuhinya 
ia akan disebut banci, penakut ata bukan laki-laki sejati.

William Pollacek dalam Real Boys menunjukkan penemuannya, sebenarnya, bayi laki-laki secara emosional lebih 
ekspresif dibandingkan bayi perempuan. Namun ketika sampai pada usia sekolah dasar, ekspresi emosionalnya hilang. 
Laki-laki pada usia lima atau enam tahun belajar mengontrol perasaan-perasaannya dan mulai malu mengungkapkannya.

Penyebabnya adalah pertama, ada proses menjadi kuat bagi laki-laki yang selalu diajari untuk tidak menangis, tidak 
lemah, dan tidak takut. Kedua, proses pemisahan dari ibunya, yakni proses untuk tidak menyerupai ibunya yang dianggap 
masyarakat sebagai perempuan lemah dan harus dilindungi. Meski berat bagi anak laki-laki untuk berpisah dari sang ibu, 
namun ia harus melakukannya jika tidak ingin dijuluki sebagai "anak mami".

Tidak mengherankan jika banyak guru mengatakan bahwa siswa laki-laki lebih banyak masuk dalam daftar penerima 
hukuman, gagal studi, dan malas. Penyebabnya menurut Sommers, karena anak laki-laki lebih banyak mempunyai 
persoalan hiperaktif yang mengakibatkan kemunduran konsentrasi di kelas.

Sementara itu, menjelang dewasa, pada anak perempuan selalu ada tuntutan-tuntutan di luar dirinya yang memaksa 
mereka tidak memiliki pilihan untuk bertahan. Satu-satunya cara yang dianggap aman adalah dengan membunuh 
kepribadian mereka untuk kemudian mengikuti keinginan masyarakat dengan menjadi suatu objek yang diinginkan oleh 
laki-laki. Objek yang diinginkan ini selalu berkaitan dengan tubuhnya.

Jadilah mereka kemudian anak-anak perempuan yang mengikuti stereotip yang diinginkan seperti tubuh langsing, wajah 
putih nan cantik, kulit halus dll. Tidak heran jika semakin banyak anak perempuan mengusahakan penampilan sempurna 
bak peragawati dengan cara-cara yang justru merusak tubuhnya.

Padahal, di sekolah, siswa perempuan umumnya memiliki prestasi akademik yang lebih baik jika dibandingkan dengan 
laki-laki. Situasi dan kondisi memungkinkan mereka jauh lebih tekun dan banyak membaca buku.

Keterlibatan Semua Pihak

Lalu apa yang dapat dilakukan terhadap fenomena bias gender dalam pendidikan ini? Keterlibatan semua pihak sangat 
dibutuhkan bagi terwujudnya kehidupan yang lebih egaliter.

Kesetaraan gender seharusnya mulai ditanamkan pada anak sejak dari lingkungan keluarga. Ayah dan ibu yang saling 
melayani dan menghormati akan menjadi contoh yang baik bagi anak-anaknya. Demikian pula dalam hal memutuskan 
berbagai persoalan keluarga, tentu tidak lagi didasarkan atas "apa kata ayah". Jadi, orang tua yang berwawasan gender 
diperlukan bagi pembentukan mentalitas anak baik laki-laki maupun perempuan yang kuat dan percaya diri.

Memang tidak mudah bagi orang tua untuk melakukan pemberdayaan yang setara terhadap anak perempuan dan 
laki-lakinya. Sebab di satu pihak, mereka dituntut oleh masyarakat untuk membesarkan anak-anaknya sesuai dengan 
"aturan anak perempuan" dan "aturan anak laki-laki". Di lain pihak, mereka mulai menyadari bahwa aturan-aturan itu 
melahirkan ketidakadilan baik bagi anak perempuan maupun laki-laki.

Kesetaraan gender dalam proses pembelajaran memerlukan keterlibatan Depdiknas sebagai pengambil kebijakan di 
bidang pendidikan, sekolah secara kelembagaan dan terutama guru.

Dalam hal ini diperlukan standardisasi buku ajar yang salah satu kriterianya adalah berwawasan gender. Selain itu, guru 
akan menjadi agen perubahan yang sangat menentukan bagi terciptanya kesetaraan gender dalam pendidikan melalui 
proses pembelajaran yang peka gender. (18)

Dra Sri Suciati, M.Hum, Dosen FPBS IKIP PGRI Semarang, wakil sekretaris PGRI Jawa Tengah.
Sumber: Suara Merdeka










Gender

Kumpulan esai, makalah, dan artikel dalam Bahasa Indonesia

Belajar dari Sejarah tentang Perlindungan Perempuan

Perempuan Indonesia memiliki kedudukan sangat penting sepanjang perjalanan sejarah. Kiprah perempuan di atas 
panggung sejarah tidak diragukan lagi. Lihat hasil perjuangan Kartini, gagasan dia tentang emansipasi senantiasa 
menjadi spirit kaum perempuan Indonesia untuk meningkatkan derajat kehidupan.

Kartini telah meletakkan cita-cita perempuan Indonesia sebagai sosok yang tidak saja piawai dalam peran-peran 
domestik, namun juga peran-peran publik. Kartini telah berjuang mendekonstruksi struktur budaya yang menempatkan 
perempuan sebagai "kanca wingking kaum priya".

Lihat pula berbagai perkumpulan perempuan Indonesia di atas pentas sejarah pergerakan nasional Indonesia. Berbagai 
perhimpunan perempuan yang ada pada masa itu berhasil meletakkan sendi dasar perempuan Indonesia sebagai "Ibu 
Bangsa". Kini hasil perjuangan tersebut menjadi moral force bagi kiprah perempuan Indonesia dalam pembangunan 
manusia Indonesia seutuhnya.

Di balik keagungan eksistensi perempuan dalam sejarah bangsa bahwa "perempuan adalah tiang negara", tidak sedikit 
perempuan Indonesia terjebak dalam perselingkuhan dan korban kekerasan. Kasus-kasus itu sering menghiasi media 
massa. Di satu pihak, perselingkuhan dan kekerasan terhadap perempuan menjadi bahan berita menarik yang dapat 
dikonsumi publik. Di pihak lain, berita itu menjadi derita bagi para korban. Ringannya hukuman atas penyelesaian kasus 
perselingkuhan dan kekerasan terhadap perempuan merupakan faktor penyebab makin maraknya kasus itu kembali 
terjadi.

Sebagai bangsa yang tumbuh dan berkembang dalam pelembagaan sejarah, mengapa kita tidak belajar dari sejarah? 
Ataukah kita memang sengaja melupakan sejarah?

Jika serius mempelajari masa lampau, kita dapat bertindak lebih bijaksana. Setidaknya, terjadinya kasus perselingkuhan 
dan kekerasan terhadap perempuan dapat dibatasi. Mengapa kita tidak belajar dari sejarah tentang perlindungan hak 
perempuan pada zaman sejarah Indonesia klasik? Bukankah sejarah adalah guru kehidupan (historia magistra vitae)?


Paradara

Perlindungan tentang hak perempuan dapat dijumpai pada Kitab Perundangan (Konstitusi) Agama yang berasal dari 
Kerajaan Majapahit. Konstitusi itu pertama kali ditemukan di Bali. Konstitusi Agama Majapahit ditulis dalam bahasa Jawa 
kuno. Konstitusi itu telah menarik perhatian para sejarawan, Indonesia maupun Belanda. Sebut saja beberapa sejarawan 
Belanda, JGG Jonker dan Friederich. Sementara sejarawan Indonesia adalah Prof Dr Slamet Muljana.

Berdasarkan hasil penelitiannya, Jonker menemukan Konstitusi Agama Majapahit berjumlah 275 pasal. Namun, hasil 
penelitian itu dibantah Slamet yang mengatakan bahwa Konstitusi Agama Majapahit tidak berjumlah 275 pasal karena 
pada dua pasal terjadi pengulangan dan satu pasal rusak. Di antara sekian banyak pasal, ada pasal-pasal yang 
berhubungan dengan perlindungan hak perempuan, yaitu Paradara.

Paradara berarti istri orang lain. Paradara berhubungan dengan berbagai sanksi dikenakan kepada orang yang berbuat 
tidak senonoh terhadap istri orang lain atau perempuan telah menikah. Tujuan Paradara adalah membina ketenteraman 
kehidupan keluarga. Siapa pun yang sengaja maupun tidak sengaja merenggangkan hubungan antara suami dan istri 
akan dikenakan pidana. Pada zaman Majapahit konstitusi ini diberlakukan sangat tegas sebab kesejahteraan keluarga 
adalah pangkal maupun sumber kesejahteraan masyarakat.

Dalam pasal-pasal tentang Paradara, sanksi yang dijatuhkan kepada para terpidana berupa denda hingga hukuman mati. 
Pada Pasal 198, misalnya, disebutkan "Siapa menjamah (menggoda/mencolek) istri orang lain maka akan dikenakan 
denda oleh raja". Denda yang dikenakan sangat bervariasi, bergantung pada strata sosial perempuan yang menjadi 
korban. Jika perempuan dari strata atas, dendanya dua laksa (20.000), perempuan strata menengah dendanya selaksa 
(10.000), dan perempuan strata bawah dendanya setengah laksa (5.000). Denda-denda itu bukan milik raja, melainkan 
diterimakan kepada para suami yang istrinya menjadi korban. Sanksi terberat dari perbuatan menjamah istri orang lain 
adalah pemotongan tangan sebagai tanda bahwa orang itu telah berbuat tidak senonoh terhadap istri orang.

Pasal selanjutnya adalah pasal perzinaan. Dikatakan, "Siapa yang meniduri istri orang lain dikenakan pidana mati oleh 
raja maupun suami". Jika hanya pergi ke tempat tidur perempuan yang sudah bersuami dan belum terjadi 
perselingkuhan, dendanya dua laksa (20.000). Hasil pungutan denda itu diserahkan kepada sang suami. Jika perzinaan 
dilakukan karena suruhan orang, orang yang menyuruh berzina itu pun akan mendapat hukuman. Lebih-lebih orang itu 
memberi fasilitas tempat kepada laki-laki dan perempuan itu untuk berzina. Orang tersebut akan dikenakan hukuman mati 
oleh suami korban.

Paradara juga melarang perempuan yang telah menikah berbicara dengan laki-laki bukan suaminya di tempat sepi. 
Pendeta pun juga dilarang keras menegur perempuan yang telah bersuami tersebut di tempat sepi. Aturan ini bersifat 
sangat preventif. Pasalnya, di tempat sepi itulah nafsu birahi sulit dikendalikan.

Konstitusi Paradara juga mencakup perlindungan terhadap gadis dari perbuatan kurang senonoh yang dilakukan laki-laki. 
Pada Pasal 207 dikatakan "Siapa memegang seorang gadis, kemudian gadis itu berteriak dan menangis sementara 
banyak saksi yang mengetahui kejadian tersebut, maka penggoda itu dikenakan pidana mati".


Harapan
Jika mencermati berbagai ketentuan hukum dalam Paradara, sejak dahulu perempuan Indonesia sesungguhnya 
mendapat tempat yang agung. Bahkan dalam suatu kepercayaan, perempuan dianggap sebagai "sakti"- nya kaum lelaki.
Perlindungan yang begitu ketat terhadap eksistensi perempuan bukan suatu hal berlebihan. Tanpa perlindungan seperti 
yang digambarkan dalam paradara, apalah arti "perempuan sebagai tiang negara".
Berdasarkan pengalaman sejarah Indonesia klasik, besar harapan perempuan Indonesia memperoleh kembali 
keagungannya seperti pada masa lampau.
Agus Suprijono Dosen Pendidikan Sejarah dan Sosiologi Unesa
Tren Perjuangan Perempuan dalam Sastra: Merangkul Tabu, Meretas Kekerasan Tersamar
Hari perempuan sedunia yang jatuh tanggal 8 Maret lalu diperingati dengan cukup provokatif. Sejumlah Lembaga 
Swadaya Masyarakat perempuan di Jakarta menuntut pemerintah dan DPR untuk memprioritaskan hak dan kesejahteraan 
perempuan (SH, 9 Maret 2002). Bulan ini, perempuan Indonesia pun merayakan Hari Kartini yang jatuh pada tanggal 21 
April setiap tahun. Esensi kedua hari penting bagi perempuan adalah sama: memperjuangkan hak-hak perempuan di 
segala bidang.
Lalu bagaimana perjuangan perempuan di bidang sastra? Ternyata telah muncul fenomena pemberontakan perempuan 
dalam sastra yang bisa kita sebut spektakuler. Selama ini, jumlah buku sastra Indonesia boleh dibilang sangat sedikit, 
apalagi bila dibandingkan dengan negara-negara lain. Lebih parahnya lagi, karya fiksi yang sedikit ini tak banyak yang 
mempunyai kekuatan untuk menarik perhatian publik. Hingga akhirnya muncul Ayu Utami dengan Saman dan Larung-nya 
serta Dewi Lestari dengan Supernova.
Membakar Kebekuan
Fiksi sastra yang ditulis kedua pengarang perempuan ini mampu membakar kebekuan gerilya sastra sekaligus 
meruntuhkan tembok pembatas antara sastra pop dan sastra serius. Keduanya mampu menjadi trend dan dibaca oleh 
kalangan yang kompleks, mulai dari mereka yang gemar berburu buku-buku porno stensilan hingga doktor-doktor ilmu 
sastra yang mejanya penuh dengan naskah-naskah seminar. Lalu apa resep mereka dalam mendobrak kebekuan sastra 
selama ini?
Yang jelas, salah satu kesamaan menonjol dari sisi feminisme kedua novelis perempuan ini adalah keberanian mereka 
dalam mengemas cinta dan seks dalam bungkus yang benar-benar berbeda. Mereka berani melawan tabu yang selama 
ini menjadi magma terpendam pada masyarakat yang sarat dengan konvensi-konvensi budaya. Seks menarik justru 
karena melanggar kenormalan dalam masyarakat tradisional. Melalui perlawanan terhadap tabu ini, mereka meretas 
fenomena kekerasan tersamar terhadap perempuan, terutama dalam hal seks.
Kehadiran buku-buku ini bagai oase bagi masyarakat yang ”kepanasan” oleh etika timur yang kuat tetapi tak berani 
melawannya secara frontal. Mengalir deras di tengah masyarakat yang dilanda proses diseminasi sosial yang semakin 
cepat. Beradaptasi dengan terjadinya proses pelipatgandaan dan penyebaran secara sosial tanda, citra, informasi, dan 
benda-benda komoditas, khususnya yang bermuatan erotis.
Tanpa disengaja mereka menolak tegas kultur yang menekan eksistensi seks perempuan timur sekaligus mengejek 
terma dalam masyarakat komoditas, di mana tubuh (body), tanda-tanda tubuh (body signs) serta potensi libido di balik 
tubuh (libidinal value) menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya komoditas, yang membentuk semacam sistem 
libidonomics yaitu sebuah sistem ekonomi yang mengeksploitasi setiap potensi libido, semata untuk memperoleh 
keuntungan ekonomi. Mereka mampu merepresentasikan seks sebagai eksistensi keperempuanannya, bukan sebagai 
komoditas masyarakat kapitalis semata.

Eksistensi Seks

Dalam Larung, Ayu menunjukkan keberanian dalam bercerita tentang eksistensi seks perempuan, lewat diary tokoh Cok, 
tahun 1996: ”Cerita ini berawal dari selangkangan teman-temanku sendiri: Yasmin dan Saman, Laila dan Sihar” (hal.77).
Cerita tentang perselingkuhan Yasmin dan Saman serta kecintaan Laila pada Sihar membawa tokoh-tokohnya bertualang 
di negeri Paman Sam. Sebuah negeri yang bisa jadi dianggap sebagai media pelarian ketertekanan seksual sang tokoh 
pada kultur yang membesarkannya. Mungkin karena Amerika–lah yang dianggap negeri yang mampu mewakili 
representasi eksistensi seksual perempuan. Di mana industri seks-nya melimpah, bahkan ada jenis komoditi yang 
menjanjikan seks-seks ilegal, bahkan abnormal semisal bondage sadomasochis (seks sadis), voyeurism (ngintip), 
amateur, mature dan older (orang bangkotan), sampai surveillance sex (dokumentasi seks orang-orang biasa)
Problema-problema seks perempuan, yang selama ini menjadi endapan dalam masyarakat Indonesia yang patriarkal, 
pecah dalam tingkah laku tokoh-tokoh novel ini. Tokoh Yasmin—yang sempurna, cantik, cerdas, kaya, beragama, 
berpendidikan, bermoral pancasila, setia pada suami—kembali menemukan kebebasan seksualnya bersama Saman, 
sang bekas frater.

Itu karena suaminya, Lukas, tak pernah mengolah kekejaman pada dirinya meskipun hanya sebatas imajinasi. Lukas 
lebih tertarik pada eksplorasi posisi fisik daripada eksplorasi relasi psikis seperti yang dikhayalkan Yasmin. Padahal 
Yasmin merasa berbeda dengan para perempuan yang mengukuhkan patriarki. Melokalisasinya pada fantasi seksual. ”
Mereka menerima dominasi pria sebagai suatu ide yang total dan murni, suatu ideal. Aku menerimanya dan melakukan 
seksualitas terhadapnya. Mereka menerimanya sebagai nilai moral, aku sebagai nilai estetis.” (hal. 160)
Kerinduan Yasmin kepada Saman lebih karena perasaan superioritasnya terhadap laki-laki ini. ”…Kamu biarkan aku 
mengikatmu pada ranjang seperti kelinci percobaan. Kamu biarkan jari-jariku bermain-main dengan tubuhmu seperti 
liliput mengeksplorasi manusia yang terdampar. Kamu biarkan aku menyakitimu seperti polisi rahasia mengintrogasi 
mata-mata yang tertangkap. Kamu tak punya pilihan selain membiarkan aku menunda orgasmemu atau membiarkan 
kamu tersiksa tak memperolehnya. Membuatmu menderita oleh coitus interuptus yang harfiah.” (hal. 157)
Eksistensi seksualitas perempuan Indonesia yang selama ini terkungkung budaya patriarki dilibas habis oleh Ayu Utami. 
Hanya saja, seks yang digambarkan Ayu bukanlah teknik persetubuhan melainkan pemaparan problema yang bisa jadi 
dialami banyak wanita.
Misalnya cerita tentang bagaimana Cok melepas keperawanannya. Bagaimana mitos kesucian keperawanan membuat 
Cok membiarkan sang lelaki bermasturbasi dengan payudaranya. ”… tapi membiarkan lelaki masturbasi dengan 
payudara kita bukanlah pengalaman yang menyenangkan kalau terus-terusan. …Lalu kupikir-pikir, kenapa aku harus 
menderita untuk menjaga selaput daraku sementara pacarku mendapat kenikmatan? …Aku pun melakukannya, 
senggama.”

Ejekan atas keperawanan yang menjadi momok pengaturan laki-laki terhadap perempuan dilakukan Ayu melalui tokoh 
Laila meskipun sosok ini mampu melawan gender keperempuanannya. Semasa sekolah dia paling banyak berlatih fisik. 
Naik gunung, berkemah, turun tebing, cross country, dan lain-lain jenis olahraga kelompok yang kebanyakan anggotanya 
lelaki. Juga, tidur bersisian dengan kawan lelaki dalam tenda dan perjalanan. Tapi dialah yang paling terlambat mengenal 
pria secara seksual. Pada masa itu ada rasa bangga bahwa dia memasuki dunia lelaki yang dinamis.
”…tidak semua anak perempuan bisa melakukan itu, menyangkal hal-hal yang lembek, dan ia merasa ada supremasi 
pada dirinya.” (hal. 118)

Ternyata supremasi itu tidak dapat dibawa tokoh Laila sampai dewasa. Ia tak bisa masuk ke dalam dunia pria dewasa. 
Tapi keperawanan Laila yang terjaga —seperti layaknya yang diagungkan budaya Indonesia—justru menjadi problema. 
Ekspresi libido seks Laila terhambat. Lelaki takut padanya. Keperawanan dinilai sebagai tanggung jawab. Itu sebabnya ia 
tak bebas ketika telah sama-sama telanjang dengan Sihar. Tak pernah terjadi persetubuhan yang sebenarnya.
Peran tokoh Shakuntala (Tala) yang androgini dimunculkan Ayu secara estetis sebagai representasi kebebasan untuk 
memilih. Kerinduan Laila pada Sihar membuatnya mampu melihat faktor lelaki pada diri Tala. Gabungan sosok Saman 
dan Sihar, dua lelaki yang dicintai Laila muncul pada diri Tala. Hingga akhirnya Laila melupakan Tala sebagai perempuan. 
Ketertarikan Laila ditanggapi Tala sehingga dalam Larung ini muncul sebuah relasi seksual di mana lelaki benar-benar 
diabaikan.

Dalam hal ini Ayu masih mencoba membela kaumnya. Tala bukanlah seorang androgini yang maniak. Ia hanya ingin 
menyelamatkan Laila. ”…Kamu berbaring di sisiku dan kulihat air mengalir dari matamu ke arah rambut. …Kupeluk kamu. 
Aku mengelus di punggung dan mencium di kening. Dan aku tak pergi. Aku tahu kamu belum pernah mengalami 
orgasme. Juga ketika bercumbu dengannya. Kini tak kubiarkan kamu menemani lelaki itu sebelum kamu mengetahuinya. 
Sebelum kamu mengenali tubuhmu sendiri.” (hal. 153)
Penggambaran tentang dunia lesbian, yang benar-benar belum bisa diterima kultur Indonesia dilakukan Ayu dengan 
metafora yang sangat indah.

Jebakan Politik Tubuh

Memang keberanian Ayu Utami dalam Saman dan Larung, juga Dewi Lestari dalam Supernova-nya, bisa menjerumuskan 
mereka dalam jebakan politik tubuh (body politics), yang terurai dalam tiga terma.
Pertama, ”ekonomi politik tubuh” (political economy of the body) yaitu bagaimana tubuh digunakan dalam berbagai 
kerangka relasi sosial dan ekonomi, berdasarkan konstruksi sosial atau ”ideologi” tertentu. Persoalan politik tubuh berkait 
dengan eksistensi tubuh dalam kegiatan ekonomi-politik, dilihat dalam berbagai relasi sosial.

Kedua, ”ekonomi politik tanda (tubuh)” (political economy of signs) yaitu bagaimana tubuh diproduksi sebagai tanda-tanda 
di dalam sebuah sistem ekonomi pertandaan (sign system) masyarakat informasi yang membentuk citra, makna, dan 
identitas tubuh di dalamnya. Politik tanda berkaitan dengan eksistensi tubuh (pria atau wanita) yang dieksploitasi sebagai 
tanda atau komoditas tanda (sign comodity) dalam berbagai media.
Ketiga, ”ekonomi politik hasrat” (political economy of desire) yaitu bagaimana sistem ekonomi menjadi sebuah ruang 
berlangsungnya pelepasan hasrat dari berbagai kungkungan, dan penyalurannya lewat berbagai kegiatan ekonomi 
(produksi, distribusi, konsumsi). Dalam ekonomi-politik hasrat, sifat-sifat rasionalitas ekonomi dikendalikan sifat-sifat 
irasionalitas hasrat.
Ketika kreativitas ekonomi dikuasai dorongan hasrat dan sensualitas, yang tercipta adalah sebuah ”budaya ekonomi”, 
yang dipenuhi berbagai strategi penciptaan ilusi sensualitas, sebagai cara untuk mendominasi selera (taste), aspirasi, 
dan keinginan masyarakat dieksploitasinya. Sensualitas dijadikan kendaraan ekonomi dalam rangka menciptakan 
keterpesonaan dan histeria massa (mass hysteria) sebagai cara mempertahankan kedinamisan ekonomi.

Akibatnya, apa yang beroperasi di balik aktivitas ekonomi adalah semacam ”teknokrasi sensualitas” (technocracy of 
sensuality)—di dalamnya nilai-nilai budaya ekonomi ditopengi tanda-tanda sensualitas, yang menciptakan semacam ”
erotisasi kebudayaan”. Berbagai bentuk khayalan lewat voyeurisme diciptakan, yang mengondisikan orang memuja ”citra 
tubuh”.

Bisa jadi ekspresi kebebasan dua perempuan pengarang ini dijadikan media penumpahan keliaran libido laki-laki. 
Ekspresi perlawanan terhadap kekerasan tersamar dalam ranah seks perempuan, justru menjadi perangsang laki-laki 
untuk membacanya. Bukan untuk menyelami ketertekanan perempuan tapi sebagai media eskapisme erotisme otak 
mereka.Namun, memang tak gampang meretas kultur yang telah tertanam kuat. Yang jelas, setidaknya mereka berdua 
telah memulainya dan berhasil menarik perhatian publik. Setapak langkah perbaikan telah dimulai dari dunia sastra.

Oleh: R. Sugiarti, Relawan pada UNICEF Indonesia, Pengamat Perempuan & Budaya.
Sumber: Sinar Harapan

Bias Gender dalam Kebijakan Kesehatan Reproduksi di Indonesia

Banyak tulisan dan analisis yang merekam kondisi perempuan dalam konteks yang beraneka ragam: baik dari sisi 
bahasannya (kesehatan, pendidikan, kesehatan, kekerasan terhadap perempuan, partisipasi politik) maupun cara melihat 
kondisi tersebut (misalnya: teori sosial, pendekatan ekonomi, ideologi gender). Diantara sekian banyak permasalahan 
yang perlu dipikirkan solusinya tersebut, tidak ada satu masalah yang lebih penting dibanding yang lain.

Namun demikian, terdapat satu pemikiran bahwa peran politik perempuan mempunyai andil besar dalam usaha 
memecahkan masalah perempuan. Dengan cara memandang masalah domestik sebagai masalah publik, maka 
pelbagai masalah seperti perkawinan, kekerasan dalam keluarga, dan kesehatan reproduksi mulai dibicarakan dalam 
tataran politik dan hukum nasional.

Bagi perempuan di Indonesia,  masalah kesehatan dan pendidikan merupakan masalah penting dilihat dari urgensi dan 
besarnya permasalahan. Dalam bidang kesehatan, misalnya, penerapan program KB (keluarga berencana) dalam tiga 
puluh tahun terakhir membuktikan fokus pemerintah pada alat reproduksi perempuan dalam mengendalikan jumlah 
penduduk. Dalam bidang pendidikan, data statistik kesejahteraan tahun 2000 menunjukkan persentase penduduk buta 
huruf pada perempuan lebih tinggi 0.35 persen dibanding laki-laki. Sedangkan jumlah perempuan bersekolah pada usia 
16-18 tahun lebih rendah 0.76 persen dibanding laki-laki .

Kebijakan Kesehatan Reproduksi di Indonesia

Kesehatan reproduksi perempuan terkait dengan berbagai hal sebagai berikut :
1.        Kebijakan kependudukan
2.        Muncul dan berkembangnya penyakit HIV/AIDS dan PMS (penyakit menular seksual) lainnya
3.        Kecenderungan aktivitas seksual pada usia yang semakin muda

Kesehatan Reproduksi dan Kebijakan Kependudukan
Kesehatan reproduksi perempuan tidak terpisah dengan kebijakan kependudukan. Kebijakan kependudukan meliputi dua 
hal yang mendasar, yaitu .  :
1.        Pengendalian fertilitas
Adalah hak perempuan dan laki-laki untuk mengambil keputusuan tentang kapasitas reproduksi mereka
2.        Pengendalian penduduk
Usaha pihak luar – pemerintah nasional, badan-badan internasional, atau lembaga agama- untuk mengendalikan hak 
keluarga dalam mengambil keputusan tentang jumlah anak yang diinginkan

Oleh karena itu, kebijakan pendudukan menjadi bagian dari pendekatan kesejahteraan karena fokusnya adalah 
perempuan sebagai ibu atau calon ibu.

Banyak hal dapat dilakukan untuk menurunkan tingkat fertilitas seperti : kondisi kesehatan yang lebih baik, penghapusan 
buta aksara, peningkatan kesempatan kerja bagi perempuan dan pemberdayaan perempuan. Namun tindakan ini tidak 
langsung berpengaruh dan efeknya tidak segera terasakan . Lain halnya dengan program Keluarga Berencana (KB). Pada 
masa pemerintahan Soeharto, KB yang dilarang pada masa Soekarno justru dijadikan program nasional besar.  Dalam 
dua dasawarsa penerapan KB di Indonesia, tingkat fertilitas turun total dari 5,5 menjadi 3 kelahiran per perempuan, 
sementara tingkat kelahiran kasar turun  dari 43 menjadi 28 kelahiran per 1000 . Hal ini dicatat sebagai keberhasilan 
Indonesia dalam menangani masalah kependudukan, bahkan Indonesia dijadikan model teladan negara berkembang.

Angka-angka demografi di atas sejalan dengan kebijakan penduduk yang berorientasi target. Namun demikian, terdapat 
beberapa permasalahan yang tidak terwakili dalam angka-angka tersebut, khususnya menyangkut hak reproduksi 
perempuan , seperti :
1.        Pengabaian hubungan gender
KB berasumsi bahwa hasrat seks laki-laki selalu aktif dan harus selalu dipenuhi perempuan, sedang perempuan sendiri 
dilihat sebagai penghasil anak yang menghadapi kemungkinan mengandung.
2.        Pembatasan hak perempuan untuk memilih alat kontrasepsi
Tidak lengkapnya informasi yang tersedia mengakibatkan pilihan hanya terbatas pada beberapa metoda seperti IUD dan 
metoda hormonal. Cara seperti ini merupakan intervensi panjang terhadap alat reproduksi perempuan (selama beberapa 
tahun atau bulan) sedangkan perempuan berpeluang untuk hamil hanya selama beberapa jam dalam setiap siklus haid. 
Beberapa resiko kesehatan seperti tekanan darah tinggi, ketidakteraturan haid, pendarahan, sakit kepala, tidak banyak 
dibicarakan di Indonesia dan negara berkembang lain, berbeda dengan keadaan di negara Barat. Cara kontrasepsi 
berjangka-pendek (misalnya pantang sanggama, kondom) tidak dimasukkan dalam penyuluhan dan peralatan KB. 
Perempuan merupakan obyek utama program KB dengan penggunaan alat kontrasepsi jangka panjang tersebut, hal ini 
terlihat dari penggunaan kontrasepsi di Indonesia tahun 1994/1995 sebagai berikut  :

Alat Kontrasepsi               Persentase
Pil                                        31,4%
Suntik                                 30,9%
IUD                                     22,2%
Implant/Norplant                8,0%
Tubektomi                          4,5%
Kondom                             1,6%
Vasektomi                          1,4%

Dari data diatas, dapat dilihat bahwa hanya 3% dari alat kontrasepsi yang ditujukan kepada laki-laki, sementara 97% 
ditujukan kepada perempuan.
3.        Makin mahalnya harga alat kontrasepsi
Sejak munculnya krisis ekonomi tahun 1997, maka harga alat kontrasepsi meningkat pesat. Hal ini mengakibatkan 
banyaknya ibu hamil yang melakukan cara-cara yang beresiko tinggi untuk menggagalkan kehamilannya seperti : aborsi, 
minum jamu, pijat, dan sebagainya.
4.        Pendekatan target dan akibatnya
Pendekatan target mengakibatkan pemeriksaan medis yang sembrono, informasi yang tidak memadai tentang efek 
sampingan cara kontrasepsi, pelayanan kontrasepsi yang tidak memandang kebutuhan khusus perempuan, penolakan 
untuk mencabut IUD, paksaan menjalankan aborsi.

Kesehatan Reproduksi dan HIV/AIDS
Menurut estimasi WHO, sampai dengan Juni 2000 terdapat sekitar 34,3 juta orang dewasa dan anak mengidap HIV/AIDS 
dan lebih dari 18 juta yang meninggal . Ternyata 95% dari jumlah tersebut berada di negara berkembang, 52000 kasus 
terjadi di Indonesia. Dari kasus HIV/AIDS di Indonesia tersebut, 70 persen adalah ibu rumah tangga .

Penanganan saat ini lebih ditujukan pada perempuan PSK (pekerja seksual) yang dianggap sebagai faktor penyebar virus 
AIDS (misalnya : penyuluhan AIDS pada perempuan PSK kampanye penggunaan kondom pada daerah kerja  PSK), 
dengan melupakan faktor perempuan ibu rumah tangga sebagai korban terbesar dan laki-laki sebagai penyebar potensial 
tertinggi. Hal ini dapat dilihat dari data berikut  :
        Lebih dari 70% infeksi HIV di seluruh dunia terjadi melalui hubungan seks antara laki-laki dan perempuan
        10% melalui hubungan seks antar laki-laki
        kurang dari 5% melalui suntikan narkoba (dimana 80% pengguna narkoba adalah laki-laki)
        Hampir 80% perempuan yang mengidap HIV/AIDS hanya berhubungan dengan satu pria, suaminya

Kesehatan Reproduksi dan Kecenderungan Aktivitas Seksual
Mayoritas perempuan muda di sebagian wilayah dunia, mulai aktif secara seksual pada umur belasan tahun. Di 
Indonesia, data tahun 1994 menunjukkan, 59% perempuan usia 20-24 tahun yang menikah atau hidup bersama sebelum 
usia 18 tahun . Sedangkan 51% perempuan umur 40-44 tahun melahirkan sebelum usia 20 tahun. Terlepas dari norma 
yang mempengaruhi, hubungan seksual pada usia belasan tahun mempunyai resiko tertentu pada perempuan, seperti :
        Perempuan usia muda tidak dapat menjadi pengambil keputusan mengenai kehamilannya : apakah akan diasuh 
atau digugurkan
        Rentan terhadap penyakit menular seksual
        Lemahnya kesehatan

Beberapa kebijakan untuk mengantisipasi kecenderungan aktivitas seksual yang semakin muda saat ini membawa 
resiko terhadap kesehatan reproduksi :
        Besarnya tekanan sosial terhadap hubungan seksual pra-nikah dan kebijakan kependudukan yang menekankan 
pada penundaan perkawinan sampai usia tertentu, mempunyai resiko yang besar terhadap perempuan. Penundaan 
perkawinan pada perempuan yang hamil sebelum menikah harus memutuskan apakah tetap memelihara anaknya di luar 
nikah atau melakukan pengguguran. Dua pilihan ini sama sulitnya :
        Memelihara anak di luar nikah akan beresiko terhadap tekanan sosial (contoh : perdebatan apakah seorang pelajar 
yang hamil harus dikeluarkan dari sekolahnya atau cukup diberikan cuti saja). Apabila remaja perempuan tetap 
mempertahankan kehamilannya, maka resiko yang dihadapi akan lebih tinggi dibanding perempuan usia 20 tahun ke 
atas, misalnya kelahiran prematur, keguguran, kematian bayi dalam kandungan, bayi lahir dengan berat badan tidak 
normal dan meninggal kurang dari satu tahun.
        sementara aborsi akan beresiko terhadap kesehatan reproduksinya (apalagi bila dilakukan dengan cara-cara non 
medis) dan tidak akan mendapat perlindungan hukum.
        Pendidikan seks terhadap remaja yang minim, disertai dengan kondisi sosial yang mentabukan seks pra-nikah, 
mengakibatkan minimnya pengetahuan, akses, dan cara penggunaan kontrasepsi modern. Hal ini mengakibatkan remaja 
menggunakan cara-cara tradisional (pijat, minum jamu, misalnya) untuk menggugurkan kehamilannya.
        Apabila remaja perempuan tetap mempertahankan kehamilannya, maka resiko yang dihadapi akan lebih tinggi 
dibanding perempuan usia 20 tahun ke atas, misalnya kelahiran prematur, keguguran, kematian bayi dalam kandungan, 
bayi lahir dengan berat badan tidak normal dan meninggal kurang dari satu tahun.


Kebijakan Kesehatan dan Penghormatan terhadap Perempuan

Dalam keadaan negara yang mengalami krisis multi dimensi, perempuan yang menanggung beban terberat dalam 
keluarganya. Keragaman perempuan berdasarkan kelas, ras, maupun nasion, dikaitkan dalam benang merah isu-isu 
sentral perempuan seperti pendidikan, kesehatan reproduksi, kerja domestik, upah rendah, peran ganda, kekerasan 
seksual, ideologi jender, terutama pada masyarakat yang telah mengenal kapitalisme dan komersialisasi.

Dari berbagai pendekatan dalam menangani masalah perempuan , seyogyanya beberapa pendekatan berikut dipakai 
sebagai dasar penyusunan kebijakan :
1.        Kebutuhan praktis jender
merupakan kebutuhan yang meringankan beban kerja kehidupan perempuan, tapi tidak menyinggung ketidaksejajaran 
dalam bidang kerja, seksual, pendidikan
2.        Pendekatan kesetaraan (equity approach)
Perempuan merupakan partisipan aktif dalam proses pembangunan yang mempunyai sumbangan dalam pertumbuhan 
ekonomi melalui kegiatan produktif dan reproduktif.
3.        Pendekatan Pemberdayaan (empowerment approach)
Pendekatan ini berdasarkan asumsi bahwa untuk memperbaiki posisi perempuan, beberapa intervensi dari atas, tanpa 
disertai upaya untuk meningkatkan kekuasaan perempuan dalam melakukan negosiasi, tawar-menawar dan mengubah 
sendiri situasinya tidak akan berhasil.

Kebijakan dalam bidang kesehatan reproduksi berikut ini, sebagian perlu dilakukan untuk memperbaiki keadaan buruk 
yang diciptakan oleh kebijakan di masa Soeharto:
1.        Peningkatan kondisi kesehatan perempuan dan peningkatan kesempatan kerja
Hal ini dilakukan dalam upaya untuk meningkatkan usia kawin dan melahirkan, sehingga resiko selama kehamilan akan 
menurun
2.        Pendekatan target pada program KB harus disertai dengan adanya tenaga dan peralatan medis yang cukup. Hal ini 
untuk mencegah terjadinya malpraktek karena keinginan untuk mencapai target.
3.        Peningkatan partisipasi laki-laki dalam menurunkan angka kelahiran
Tidak hanya perempuan yang dituntut untuk mencegah kehamilan, tetapi juga laki-laki, karena pada saat ini sudah 
tersedia beberapa alat kontrasepsi untuk laki-laki.
4.        Penyadaran akan kesetaraan dalam menentukan hubungan seksual dengan laki-laki
Penyadaran bahwa perempuan berhak menolak berhubungan seksual dengan laki-laki, meskipun laki-laki tersebut 
suaminya, bila hal itu membahayakan kesehatan reproduksinya (misalnya laki-laki tersebut mengidap HIV/AIDS)
5.        Pencabutan sanksi sekolah terhadap remaja perempuan yang hamil di luar nikah. Remaja tersebut cukup 
dikenakan wajib cuti selama kehamilannya
6.        Penyuluhan tentang jenis, guna, dan resiko penggunaan alat kontrasepsi
Baik alat kontrasepsi modern maupun tradisional perlu diperkenalkan guna dan resikonya kepada perempuan. Dengan 
demikian perempuan dapat menentukan alat kontrasepsi mana yang terbaik untuk dirinya
7.        Penyuluhan tentang HIV/AIDS dan PMS (penyakit menular seksual) kepada perempuan
8.        Pendidikan seks pada remaja perempuan dan laki-laki
Pengabaian hubungan gender mengakibatkan perempuan menjadi target utama dari kebijakan dalam bidang kesehatan 
dan kependudukan yang selama ini dilakukan pemerintah. Selama ini perempuan ditempatkan hanya sebagai instrumen 
perantara dalam mencapai target kependudukan atau kesehatan yang dicanangkan pemerintah tanpa memandang hak-
hak perempuan atas tubuhnya sendiri. Kebijakan kesehatan yang menghormati hak perempuan atas tubuhnya, dalam 
jangka panjang akan memberikan kontribusi mengatasi masalah kependudukan, dengan resiko yang jauh lebih kecil 
dibanding kebijakan kependudukan menggunakan kontrasepsi modern.


ANALISA DAN REKAYASA SOSIAL EMPIRIK
Pendahuluan
Berbicara tetzang analisis dan rekayasa sosial tak luput dari pembahasan teori sosial. Sebab dalam sebuah analisa tak akan luput dari teori dasarnya. Oleh karena teori sosial melibatkan analisis-analisis isu-isu yang mencakup filsafat meski pada dasarnya bukan filsafat, tugasnya adalah memberikan konsepsi-konsepsi hakekat aktifitas sosial dan perilaku manusia yang ditempatkan dalam realita empirical.Charles Lemert (1993) dalam tulisan Social Theory : The Multicultural and Classic Readings,  menyatakan bahwa teori sosial memang merupakan basis dan pijakan teknis untuk bisa survive.[1] Tetapi teori bukanlah sebuah pandangan dunia, tetapi ia memiliki beberapa titik singgung. Betapapun teori dinyatakan bebas nilai, pada kenyataannya ia juga merupakan refleksi dari sebuah pandangan dunia tertentu, dalam hal ini pandangan dunia yang berakar pada positivis.Anthony Giddens mensyaratkan analisa sosial harus peka terhadap pengaturan ruang-ruang waktu kehidupan sosial.[2] Secara filosofis, terdapat dua macam analisis sosial menurut Giddens :
1. Analisis Institusional  adalah ansos yang menekankan pada ketrampilan dan kesadaran actor yang memperlakukan institusi sebagi sumber daya dan aturan yang diprodusksi terus-menerus.
2. Analisis Perilaku Strategis adalah ansos yang memberikan penekanan institusi sebagai sesuatu yang direprosuksi secara sosial.[3]
Semua penjabaran diatas adalah lebih menggunakan pendekatan sosiologis filosofis dan biasanya digunakan dalam studi-studi ilmu sosial. Hal itu cocok apabila akan melakukan ansos secara mendalam. Tetapi dalam pratek empirik, manusia lebih memilih model analisa praktis dan cepat.
Analisa SosialAnsos biasanya digunakan sebagai alat untuk merekayasa sosial. Ketajaman analisa akan memberikan dampak positif setiap usaha rekayasa. Hakekatnya dalam analisa harus mengetahui secara mendalam kondisi Internal dan Kondisi Ekternal beserta kemungkinan-kemungkinan alternatifnya baik yang menguntungkan atau merugikan.Ada beberapa metode analisa praktis yang dapat digunakan, diantaranya 1) Metode SWOT, 2) Metode Ikan, 3) Metode Buzan (Peta Pemikiran), dllMetode yang mudah digunakan untuk membuat pertimbangan analisa, yaitu teknik mengenal lawan atau teknik MOM (Motive, Oportunity, Mean)

Rekayasa Sosial

Resos merupakan pengejawantahan ansos, dalam istilah politik dan sistem kenegaraan dikenal istilah kebijakan publik. Gerak dakwah hakekatnya untuk mempengaruhi kebijakan public meskipun kita juga memiliki kebijakan public sendiri. Terdapat beberpa hal model membuat kebijakan :1) Model Plebisit (langsung), 2 ) Model rasional-kompherhensif (Koordinatif perwakilan), 3) Model Adjustif (kompromi langsung).[4] Dan yang dapat mempengaruhi kebijakan public ini adalah opini public.            Opini public inilah yang harus kita ciptakan, siapa yang mampu menguasahi opini maka bisa menguasai public secara umum. Bentuk-bentuk yang dapat menjadi opini adalah program kerja organisasi, sikap masing-masingmasing-individu, dan ketokohan

[1] Zainuddin Maliki, Narasi Agung, Surabaya : LPAM, 2003, h. 5
[2] Anthony Giddens, The Constitution of Society, Pasuruan : Pedati, 2004, h. 355
[3] Op. Cit.
[4] Dan Nimo, Komunikasi Politik, Bandung : Remaja karya, h. 259

     Teologi (bahasa Yunani θεος, theos, "Allah, Tuhan", + λογια, logia, "kata-kata," "ucapan," atau "wacana") adalah wacana yang berdasarkan nalar mengenai agama, spiritualitas dan Tuhan (Lih. bawah, "Teologi dan agama-agama lain di luar agama Kristen"). Dengan demikian, teologi adalah ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan keyakinan beragama. Teologi meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan Tuhan. Para teolog berupaya menggunakan analisis dan argumen-argumen rasional untuk mendiskusikan, menafsirkan dan mengajar dalam salah satu bidang dari topik-topik agama. Teologi dapat dipelajari sekadar untuk menolong sang teolog untuk lebih memahami tradisi keagamaannya sendiri ataupun tradisi keagamaan lainnya, atau untuk menolong membuat perbandingan antara berbagai tradisi atau dengan maksud untuk melestarikan atau memperbarui suatu tradisi tertentu, atau untuk menolong penyebaran suatu tradisi, atau menerapkan sumber-sumber dari suatu tradisi dalam suatu situasi atau kebutuhan masa kini, atau untuk berbagai alasan lainnya.
Kata 'teologi' berasal dari bahasa Yunani klasik, tetapi lambat laun memperoleh makna yang baru ketika kata itu diambil dalam bentuk Yunani maupun Latinnya oleh para penulis Kristen. Karena itu, penggunaan kata ini, khususnya di Barat, mempunyai latar belakang Kristen. Namun demikian, di masa kini istilah ini dapat digunakan untuk wacana yang berdasarkan nalar di lingkungan ataupun tentang berbagai agama. Di lingkungan agama Kristen sendiri disiplin 'teologi' melahirkan banyak sekali sub-divisinya.
Pada Abad Pertengahan, teologi merupakan subyek utama di sekolah-sekolah universitas dan biasa disebut sebagai "The Queen of the Sciences". Dalam hal ini ilmu filsafat merupakan dasar yang membantu pemikiran dalam teologi.
 Sejarah istilahnya


Albertus Magnus, santo pelindung para teolog Katolik Roma
Kata "Teologi" diambil dari bahasa Yunani Helenis, namun demikian maknanya telah berubah jauh melalui penggunaannya di dalam pemikiran Kristen di Eropa sepanjang Abad Pertengahan dan Zaman Pencerahan.
Istilah theologia digunakan dalam literatur Yunani Klasik, dengan makna "wacana tentang para dewa atau kosmologi" (lihat Lidell dan Scott Greek-English Lexicon untuk rujukannya).
Aristoteles membagi filsafat teoretis ke dalam mathematice, phusike dan theologike. Yang dimaksud dengan theologike oleh Aristoteles kira-kira sepadan dengan metafisika, yang bagi Aristoteles mencakup pembahasan mengenai hakikat yang ilahi. Sejak itu istilah ini telah diambil oleh berbagai tradisi keagamaan Timur maupun Barat.
Dengan meminjam dari sumber-sumber Yunani, penulis Latin Varro membedakan tiga bentuk wacana ini: mitis (menyangkut mitos-mitos tentang para dewata Yunani), rasional (analisis filosofis mengenai para dewata dan kosmologi) dan sipil (menyangkut ritus dan tugas-tugas keagamaan di tengah masyarakat).
Para penulis Kristen, yang bekerja dengan kerangka Helenistik, mulai menggunakan istilah ini untuk menggambarkan studi mereka. Kata ini muncul sekali dalam beberapa naskah Alkitab, dalam judul Kitab Wahyu: apokalupsis ioannou tou theologou, "penyataan kepada Yohanes sang theologos". Namun demikian, kata ini merujuk bukan kepada Yohanes sang "teolog" dalam pengertian bahasa kita sekarang, melainkan – dengan menggunakan arti akar kata logos dalam arti yang sedikit berbeda, dan di sini tidak dimaksudkan sebagai "wacana rasional" melainkan dalam arti "firman" atau "pesan". Dengan demikian, sang "theologos" di sini dimaksudkan sebagai orang yang menyampaikan firman Allah - logoi tou theou.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar