Benarkah NU tidak mengaku bahwa didirikannya organisasi kaum yang mempertahankan tradisi (entah sunnah entah bid’ah) itu sengaja untuk menghadapi kaum pembaharu yang memberantas bid’ah, khurafat, takhayul, dan kemusyrikan?
Untuk membuktikan itu, maka perlu disimak pembelaan Abdurrahman Wahid dalam tulisannya tahun 1984 ketika ia tampak ingin jadi ketua PBNU. Berikut ini petikan tulisannya dengan judul NU dan Peranan Kesejarahannya.
“Kebanyakan penulis sejarah kita sering kurang adil dalam menilai NU. Umumnya mereka menganggap organisasi ini hanya sebagai reaksi belaka terhadap sesuatu yang lain. Ia lahir untuk ‘menghadapi’ organisasi yang mencanangkan pembaharuan, seperti Muhammadiyah. Mengherankan juga, sebuah organisasi lahir hanya sebagai reaksi adanya organisasi lain belaka. Seolah-olah tidak punya peranannya sendiri, tidak punya keabsahannya sendiri (ini istilah yang salah kaprah. Keabsahan datang dari kata Arab afshahiyah artinya kefasihan menyebut suatu kata. Padahal maksudnya shihhiyyah, kesahan dan ketetapan dalam arti, status dan maksud sesuatu).
NU bermula dari gelora semangat Kiai Abdul wahab Hasbullah untuk berorganisasi. Di Mekah, tahun 1913, ia sudah menjadi sekretaris Sarekat Islam cabang Makah (Ketua Kiai Asnawi Kudus). Pulang ke Jawa, hanya beberapa tahun di kampung kelahirannya, Tambak Beras di Jombang. Lalu ke Surabaya, tempat kakeknya di Kertopaten. Sehari-hari nongkrong di tempat perkumpulannya para tokoh pergerakan di Surabaya. Cokroaminoto dan Kiai Mas Mansur adalah teman berkumpulnya. Wajarlah kalau ia ketularan ‘demam organisasi’ dari kawan-kawannya itu. Ketika ia harus memperjuangkan mempertahankan praktek fahamnya dalam beribadah haji di Mekah dari penghapusan oleh penguasa baru di Tanah Suci, wajar sekali kalau ia lalu melakukan tugas itu dengan cara mengorganisasi kekuatan golongannya sendiri.
Bahwa NU lahir bukan karena untuk menghadapi organisasi lain jelas terlihat dari pendekatannya kepada para penguasa Saudi Arabia waktu itu. Mereka adalah dari kelompok pembaharuan, namun NU didirikan justru untuk berunding dengan mereka tentang masalah di atas. Berhubungan baik-baik, dengan mengakui hak hidup mereka sebagai sesama muslimin. Kalau lahir sebagai reaksi terhadap pembaharuan, tentunya bersikap konfrontatif terhadap pemerintah Saudi Arabia. Dari lahirnya hingga saat ini (1984) ternyata NU tidak pernah bersikap begitu.
Memang NU diisi oleh para Kiai. Dan bukan Kiai yang sering berdebat dengan pihak lain. Terlibat dalam dialog yang terkadang pahit dengan kaum pembaharu. Dan itu akan tetap ada, tetapi NU sebagai organisasi tidaklah lahir dan hidup hanya untuk bertentangan dan berdebat.
NU ada karena sesuatu yang lain, yaitu mewujudkan tradisinya sendiri, mencapai cita-citanya sendiri. Ia ditaqdirkan ‘bernasib’ harus memperjuangkan faham Ahlus Sunnah wal Jama’ah menurut versinya sendiri.
Berfaham Ahlus Sunnah wal Jama’ah menurut versi sendiri itu tidak berarti harus bertentangan dengan orang lain. Memang jelas berbeda dari versi-versi orang lain, tetapi tidak harus bertentangan. Kalau meminjam istilah yang dipopulerkan Kruschov, itu dedengkot Komunis, ‘hidup berdampingan secara damai’. Kalau Komunis dan Kapitalis bisa begitu, apalagi sesama Muslimin.
Tugas kesejarahan ini sangat penting untuk diingat. Ia menentukan watak sesuatu organisasi seperti NU, yang kebetulan punya warga begitu banyak. Ada dimensi politiknya, dimensi sosial budayanya, dimensi pendidikannya, dan begitu seterusnya. Tugas memperjuangkan faham Ahlus Sunnah wal Jama’ah juga begitu. Tidak dapat dipersempit hanya pada satu bidang garapan saja. Atau dengan satu pola perjuangan saja. Pola perjuangan di satu bidang juga tidak dapat dibatasi hanya pada satu agenda belaka. Juga hanya dengan ‘kawan seperjuangan’ yang satu saja.
Karenanya, patut dipertanyakan mengapa NU selama ini hanya menekankan perjuangan politik belaka. Itupun hanya melalui pola perjuangan politik institusional, yang sering disebut politik praktis (padahal ia tidak praktis, karena sering menimbulkan kesulitan). Itupun hanya dengan kawan seperjuangan yang satu saja, yaitu PPP (Partai Persatuan Pembangunan, pen). Kalau NU besar, ia harus memakai jalur ganda dalam perjuangannya. Beragam lapangan perjuangannya, tekanan terpenting justru di bidang-bidang kekuatannya sendiri: pendidikan, dakwah, kesejahteraan masyarakat, komunikasi. Tidak lupa kerja-kerja sosial ekonomis, karena inilah kepentingan jumlah terbesar warga NU sebenarnya, karena kebanyakan mereka masih miskin dan terbelakang.
Secara nasional, NU juga punya tugas kesejarahan penting. Di satu pihak, ia harus melibatkan diri dalam upaya menegakkan sistem pemerintahan yang secara bertahap semakin membaik, menuju demokrasi penuh. Titik itu harus dicapai guna terwujudnya masyarakat adil dan makmur. Kerja itu diletakkan dalam kerangka turut melaksanakan GBHN. Di pihak lain, fungsi tersebut harus didukung oleh peranan untuk lebih mematangkan integrasi nasional yang telah dicapai. Peranan ini berbentuk upaya mencapai titik penuh dalam sikap saling mengerti, saling menghormati, dan saling tenggang rasa dengan golongan lain. Berlainan keturunan etnisnya, bahasanya, agamanya, budayanya, faham politiknya dan seterusnya seharusnya tidak membawa pertentangan dalam kehidupan bangsa. Boleh berbeda, tetapi hidup berdampingan secara damai.
Hanya dengan sayarat tercapainya itu semua integrasi nasional kita dapat dipertahankan. Dan hanya mempertahankan integrasi nasional kita dapat mewujudkan cita-cita kemerdekaan sepenuhnya di kemudian hari.
NU lahir untuk mempertahankan suatu faham, namun sejak lahir ia telah bertradisi hidup bersama faham-faham lain, dan organisasi yang berbeda dari dirinya. Patutlah kalau ia berperanan besar dalam mepertahankan dan mematangkan integrasi nasional kita.
3.10. 1984.”
(Harian Pelita, Jakarta, Sabtu 6/10 1984, halaman I).
Demikianlah tulisan Gus Dur seri pertama mengenai NU di harian Pelita, yang dalam kolom itu dijelaskan bahwa tulisan berikutnya akan dimuat setiap hari Sabtu.
Saat itu menjelang muktamar yang tampaknya Gus Dur ingin dipilih jadi Ketua Umum PBNU. Dan kemudian terpilih. Di antaranya, menurut seorang Humas NU waktu itu (1984), katanya para Kiai tua NU datang ke kuburan Hasyim Asy’ari kakek Gus Dur pendiri NU. Di sana tengah malam itu para Kiai mengaku seolah ada gambar atau bayangan Gus Dur di atas kuburan. Maka mereka lalu menyuarakan untuk menyepakati terpilihnya Gus Dur. Kemudian ternyata Gus Dur terpilih sebagai
Ketua Umum PBNU periode 1984-1989 dengan Musytasyar KHR As’ad Syamsul Arifin bersama 8 Kiyai lainnya, dan Ro’is “Am Syiriyah KH Ahmad Siddiq. Kepemimpina Gus Dur itu bisa terpilih lagi sampai saat Gus Dur terpilih menjadi Presiden RI 1999, dia masih berstatus ketua Umum PBNU. Kemudian kedudukannya digantikan oleh Hasyim Muzadi setelah bersaing ketat dengan Dr Said Agil Siradj dalam muktamar NU di Jawa Timur, dengan isu jangan sampai memilih orang yang suka blusak-blusuk (keluar masuk) ke Gereja, maksudnya adalah Said Agil Siradj. Meskipun isu itu bisa berhasil menggagalkan said Agil Siraj hingga tidak mampu menmgalahkan Hasyim Muzadi, namun hasilnya sama juga, yaitu gemar-gemar juga Hasyim Muzadi itu dalam hal berkasih-kasihan dengan gereja. Buktinya, justru dia mengadakan acara do’a bersama antara agama secara besar-besaran di senayan Jakarta Agustus 2000.
Kembali kepada tulisan Abdurrahman wahid tentang peran kesejarahan NU di atas, satu segi Gus Dur/ Abdurrahman Wahid tidak mengakui bahwa NU itu didirikan sebagai reaksi dari gerakan pembaharu, yaitu gerakan pemberantasan TBC (takhayul, bid’ah, dan Churafat –bentuk-bentuk penyelewengan yang mengotori aqidah dan ibadah dalam Islam. Namun satu segi, Gus Dur mengakui bahwa didirikannya NU itu untuk berorganisasi bagi kaum yang beraliran Ahlus Sunnah menurut versinya sendiri. Menurut Gus Dur, sekalipun beraliran Ahlus Sunnah dengan versinya sendiri namun tidak harus bertentangan dengan golongan lain. Itu sesuai dengan ajaran dedengkot Komunis Kruschov, ‘hidup berdampingan secara damai’.
Tampaknya, karena yang jadi landasan pandangan oleh Gus Dur itu hidayah dari dedengkot Komunis yang anti Tuhan dan tentu saja tidak kenal halal –haram, maka arti ‘hidup berdampingan secara damai’ itu dipraktekkan Gus Dur dalam memimpin NU di antaranya sebagai berikut.
Pihak pembaharu (anti Bid’ah, khurafat, takhayul, dan kemusyrikan) yang di dunia dipelopori pemerintahan Saudi Arabia perlu disikap tegasi. Dengan bagaimana? Di antaranya dengan cara PBNU pimpinan Gus Dur mempersoalkan hibah 2000 eksemplar Al-Qur’an dan Terjemahnya cetakan Kerajaan Saudi Arabia kepada PBNU, dengan alasan terjemahannya ada yang berbeda dengan terjemahan Departemen Agama RI. Apakah alasan itu kuat? Kepala Puslitbang Lektur Agama Departemen Agama, Hafizh Dasuki yang mengetuai Tim Pentashih Qur’an terbitan Madinah itu mengemukakan: Untuk menjaga segala sesuatunya, terlebih dulu diadakan semacam diskusi dengan mereka yang bakal menulis terjemahannya. Maka tiga mahasiswa Indonesia yang belajar ilmu tafsir di Madinah dikirim ke Jakarta untuk bertemu Hafizh.
“Kadang kami bersitegang dengan anak-anak muda yang pintar-pintar itu. Mereka bersikeras menerjemahkan secara harfiah seperti apa adanya,” kata Hafizh. Akhirnya dicapai juga kompromi.... Ada juga terjemahan yang lebih tepat dalam Qur’an cetakan Medinah itu. Misalnya al-birr (Al-Baqarah: 189), oleh departemen Agama diterjemahkan “kebaktian”, diluruskan menjadi “kebajikan.” (Tempo, 25 April 1992, halaman 77).
Di situ, buktinya Departemen Agama tidak mempersoalkan, dan masalahnya sudah selesai. Namun, ‘sikap damai’ ajaran Kruschov yang dilaksanakan Gus Dur dalam NU itu adalah menghadapi dan mempersoalkan bahkan menolak apa yang diberikan oleh pihak yang dianggap pusat pembaharu.
Sebaliknya, kalau mengenai masalah yang seharusnya ditolak karena haram, maka oleh NU pimpinan Gus Dur justru diminta. Contohnya, PBNU minta duit dengan cara mengajukan permintaan ke yayasan judi nasional (YDBKS, Yayasan Dana Bakti Kesejahteraan Sosial pengelola judi nasional SDSB –Sumbangan Dana Sosial Berhadiah – yang meresahkan masyarakat karena banyak yang keranjingan judi dan jatuh miskin serta aneka derita lainnya, di samping banyak dukun-dukun tebak nomor, dan aneka pelanggaran agama lainnya. Akibat Gus Dur menandatangani permintaan duit judi dan kemudian secara tangan terbuka menerima duit judi itu, maka Kiyai Ali Yafie yang duduk dalam jajaran Syuriyah NU menyatakan diri mundur dari kepengurusan PBNU. Pengalaman pahit itulah yang rupanya menjadi trauma bagi Kiyai Ali Yafie, sehingga ketika Gus Dur duduk sebagai presiden RI sedang Ali yafie sebelumnya telah menggantikan kedudukan ketua umum MUI (Majelis Ulama Indonesia) karena KH Hasan Basri meninggal, maka buru-buru Kiyai Ali Yafie menyatakan diri mundur pula dari kursi kepemimpinan MUI.
Ajaran Kruschov yang dipegangi Gus Dur ‘hidup berdampingan secara damai’ itu memang dilaksanakan oleh Gus Dur dengan wadyabalanya di NU secara “baik”. Yaitu sering damai dengan kebatilan, keharaman ataupun musuh-musuh Islam. Namun sebaliknya, sering “damai” (sesamanya) dalam menghadapi kaum pembaharu Islam.
Itulah kurang lebih beberapa contoh peran kesejarahan Ahlus Sunnah wal Jama’ah versinya sendiri yang diperjuangkan sejak berdirinya 1926. Maka tak mengherankan kalau Kiai sepuh As’ad Syamsul Arifin dari Situ Bondo Jawa Timur memilih mufaroqoh --memisahkan diri dari kepemimpinan Gus Dur, karena beliau berpendapat bahwa ibarat imam shalat, Gus Dur telah kentut maka tidak perlu diikuti. Demikian pula sikap Kiyai Ali Yafie memilih mundur dari jabatannya dalam Syuriyah PBNU, karena Gus Dur telah menandatangani dan menerima dana dari duit judi tingkat nasional. Tetapi anehnya, kenapa tindakan para Kiyai sepuh yang tegas untuk menolak tingkah laku Gus Dur itu tidak pernah dijadikan pelajaran oleh kebanyakan para kaum Nahdliyin, baik para elitnya maupun orang awamnya. Ini apakah sudah lebih dominan korak (semacam preman)nya dibanding Qori’ (ahli membaca Al-Qur’an)nya di tubuh NU. Kalau susah demikian, agaknya kaum Nahdliyin perlu belajar mendengarkan dan mencermati nasihat orang. Baik itu berupa perbuatan, perkataan, maupun sikap. Lalu meneliti dan menyeleksi mana yang terbaik, dan mana yang lebih didahulukan. Bukankan sudah diulang-ulang semboyan semacam itu dalam jam’iyah. Paling kurang, santri teklekan (pakai bakiak, sandal kayu) pun hafal ucapan Kiyainya: اقدم الأهم من المهم. . Mendahulukan yang lebih penting daripada yang sekadar penting.
Yang lebih penting itu adalah mengikuti Allah dan Rasulnya. Bukan mengikuti apa kata dan kemauan Gus Dur. Atau apa kata dan kemauan Kiyai. Tetapi tampaknya di jam’iyah ini yang terjadi dan nampak seolah justru model terakhir itu. Dari sinilah mestinya adat buruk itu diberantas. Tetapi resikonya, para Kiyai tidak lagi jadi “tuhan-tuhan” yang dimunduk-munduki oleh santri dan kaum Nahdliyin. Kalau memang kondisinya sengaja dibuat demikian, maka berarti nasihat Kruschov yang telah dipraktekkan oleh kaum Nahdliyin dengan uraian seperti di atas tersebut telah menghasilkan satu bentuk kristalisasi peniruan dari sikap dan pola teman akrab selama ini yaitu Yahudi dan Nasrani. Apa itu? Yaitu menuhankan rahibn-rahib dan pendeta-pendeta mereka, yang dikecam oleh Allah dan Rasul-Nya. Menuhankan rahib-rahib dan pendeta-pendeta itu bukan berarti langsung menyembah mereka bagai menyembah berhala, namun mengikuti apa yang diharamkan dan dihalalkan oleh rahib dan pendeta itu; bukan mengikuti apa yang dihalalkan dan diharamkan Allah dan Rasul-Nya.
Allah SWT melarang manusia merusak di bumi. Rasulullah SAW menunjukkan bahwa menghilangkan halangan atau gangguan di jalan itu termasuk bagian dari iman. Tetapi kalau pemimpin-pemimpin mereka menyuruh agar merusak tanaman dengan menebangi pohon, lalu agar menghalangi jalan raya dsengan pohon-pohon yang ditebangi itu, maka mereka pun melakukan penebangan ratusan pohon dan sengaja menghalangi jalan raya dengan ratusan pohon itu di Jawa Timur. Kalau toh tidak disuruh oleh pemimpinnya, tetapi mereka mengerjakan perusakan dan penghalangan itu dalam rangka mendukung Kiyainya yaitu Gus Dur, maka para pemimpin atau bahkan para Kiyai mereka pun telah salah besar dalam membina anak buah ataupun santri-santrinya. Sebab pembinaan yang dilakukan dengan hasil seperti itu hanyalah perusakan mental berupa pembangkitan ‘ashobiyah alias fanatisme kabilah/ golongan yang sangat dilarang dalam Islam. Dengan demikian, pembelaan dalam bentuk seperti itu sudah merupakan ‘ashobiyah yang sangat bertentangan dengan Islam, sedang caranya dengan mengadakan perusakan-perusakan dan penghalangan itu jelas melanggar larangan Islam.
Diperintah ataupun tidak, tingkah mereka itu sangat erat dengan komando para pemimpin ataupun Kiyai mereka. Hanya komando itu spontan atau berangsur-angsur sedikit demi sedikit. Secara akal, komando itu adalah gabungan dari keduanya, yaitu sedikit demi sedikit, lalu dipraktekkan dengan komando yang spontan. Tidak bisa komando spontan langsung jadi. Dan tidak bisa pula komando sedikit demi sedikit bisa serempak sedemikian rupa. Jadi, secara akal bisa diduga keras bahwa komando itu sedikit demi sedikit sejak lama untuk membentuk sikap ashobiyah yang bertentangan dengan Islam itu, kemudian digerakkan secara serempak dan dalam tempo pas hari H nya secara spontan dalam bentuk perusakan massal.
Seandainya para Kiyai sama sekali tidak memerintahkan seperti itu, maka mereka masih terkena kesalahan, yaitu kenapa tidak mampu membentuk santri-santri dan masyarakatnya untuk tidak terseret oleh apa yang mereka sebut provokator. Ibarat dokar, maka para perusak dan perusuh itu hanyalah kuda. Sedang yang menggerakkan adalah kusir. Namun bagaimanapun, kuda bisa membawa dokar itu mesti sudah diajari lebih dulu oleh kusir atau tukang yang mengajarinya.
Jadi pelajaran yang mereka terima rupanya adalah pelajaran memberhalakan Tuannya, entah itu Kiyainya, atau pemimpin jam’iyahnya, atau pemimpin partainya, atau pemimpin golongannya. Pelajaran buruk itulah yang sangat dikecam dalam Al-Qur’an, dan itu telah dipraktekkan oleh rahib-rahib Yahudi dan pendeta-pendeta Nasrani. Kini orang-orang yang berkasih-kasihan dengan mereka itu agaknya suka rela ketularan tingkah amat buruknya, dan masih pula tidak mau mengakuinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar