Sesuatu yang kita serap sebagai waktu, sebenarnya, adalah suatu metode pembandingan satu momen dengan yang lain. Kami bisa menjelaskan hal ini dengan contoh. Contohnya, ketika seseorang mengetuk suatu obyek, ia mendengar suara tertentu. Ketika ia mengetuk obyek yang sama lima menit kemudian, ia mendengar suara lain. Orang itu mencerap jarak waktu antara suara pertama dan suara kedua, dan ia menyebut interval ini "waktu". Tetapi pada saat ia mendengar suara kedua, suara pertama yang ia dengar tidak lebih dari imajinasi dalam benaknya. Ini hanya sepotong informasi dalam ingatannya. Orang itu merumuskan konsep "waktu" dengan membandingkan saat ia hidup dengan yang ia miliki dalam ingatannya. Jika pembandingan ini tidak dibuat, tidak mungkin ada konsep waktu.
Demikian pula, orang membuat pembandingan ketika ia melihat seseorang yang sedang memasuki ruang melewati pintu dan duduk di lengan kursi di tengah ruang. Pada waktu orang ini duduk di lengan kursi, kesan yang terkait dengan saat ia membuka pintu, berjalan menuju ruang, dan mengarahkan jalannya ke lengan kursi disusun sebagai potongan-potongan informasi dalam otaknya. Pencerapan waktu terjadi kala seseorang membandingkan orang yang sedang duduk di lengan kursi dengan potongan informasi itu.
Pendek kata, waktu menjadi ada sebagai akibat dari pembandingan yang dibuat antara ilusi-ilusi yang tersimpan dalam otak. Jika manusia tidak punya ingatan, maka otaknya tidak akan membuat penafsiran demikian dan karena itu tidak akan pernah membentuk konsep waktu. Satu-satunya alasan mengapa seseorang menentukan dirinya sendiri berusia tiga puluh tahun ialah karena ia telah mengumpulkan informasi berkenaan dengan usia tiga puluh tahun dalam benaknya. Jika ingatannya tidak ada, maka ia tidak akan berpikir tentang keberadaan waktu terdahulu dan ia hanya akan mengalami "saat" tunggal kala ia hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar