MEMPERTIMBANGKAN GAGASAN HASSAN HANAFI
Oleh : Koord. Materi Keislaman
A. Sekilas Biografi Hassan Hanafi Memahami pemikiran seseorang, tidak bisa dilepaskan dari perspektif historis kelahiran pemikiran beserta ruang lingkup yang mempengaruhinya. Ada beragam faktor yang turut terlibat dalam memunculkan karakteristik pemikiran seseorang. Menurut Anton Bakker dan Charis Zubair (1990: 47), sebagaimana dikutip Listiyono Santoso (2007: 267) manusia itu makhluk historis. Maka memahami pemikiran Hanafi juga tidak bisa dilepaskan dari berbagai faktor yang mempengaruhi terbentuknya karakteristk dasar pemikirannya. Hassan Hanafi lahir di Kairo, 13 Februari 1935, dari keluarga musisi (John L. Esposito, 1995:98 ). Pendidikannya diawali di pendidikan dasar, tamat tahun 1948, kemudian di Madrasah Tsanawiyah ‘Khalil Agha’, Kairo, selesai 1952. Selama di Tsanawaiyah ini, Hanafi sudah aktif mengikuti diskusi-diskusi kelompok Ikhwanul Muslimin, sehingga tahu tentang pemikiran yang dikembangkan dan aktivitas-aktivitas sosial yang dilakukan. Selain itu, ia juga mempelajari pemikiran Sayyid Quthub tentang keadilan sosial dan keislaman. Tahun 1952 itu juga, setamat Tsanawiyah, Hanafi melanjutkan studi di Departemen Filsafat Universitas Kairo, selesai tahun 1956 dengan menyandang gelar sarjana muda, terus ke Universitas Sorbone, Prancis. Pada tahun 1966, ia berhasil menyelesaikan program Master dan Doktornya sekaligus dengan tesis ‘Les Methodes d’Exegeses: Essei sur La Science des Fondament de La Conprehension Ilmu Ushul Fiqh’ dan desertasi ‘L’Exegese de la Phenomenologie, L’etat actuel de la Methode Phenomenologie et son Application au Phenomene Religiux’ (Lutfi Syaukani, 1994: 121). Hassan Hanafi harus diakui merupakan seorang intelektual muslim berkebangsan Mesir yang sangat produktif. Pada fase awal pergulatan pemikirannya, tulisan-tulisan Hassan Hanafi bersifat ilmiah murni. Baru setelah itu, ia mulai berbicara tentang keharusan Islam untuk mengembangkan wawasan kehidupan yang progresif dan berdimensi pembebasan (Taharrur, Liberation). Hal itu mengisyaratkan, bahwa fungsi pembebasan jika kita inginkan, dapat membawa masyarakat pada kebebasan dan keadilan. Pada tahun 80-an Hassan Hanafi mulai mengarahkan pemikirannya pada upaya universalisasi Islam sebagai paradigma peradaban melalui sistematisasi proyek “Tradisi dan Modernitas” yang ditampilkan memalui bukunya al-Turas Wa al-Tajdid yang terbit pada tahun 1980. Lalu al-Yasar al-Islami (Kiri Islam); sebuah tulisan yang berbau ideologis. Jika Kiri Islam baru merupakan pokok-pokok pikiran yang belum memberikan rincian dari program pembaruannya, maka, buku Min al-Aqidah ila Al-Tsaurah (5 jilid) yang ditulis hampir sekitar 10 tahun dan baru terbit pada tahun 1988, memuat uraian rinci tentang pembaharuan dan memuat gagasan rekonstruksi ilmu kalam (teologi Islam klasik). Dan tulisan singkat ini mencoba untuk mengurai sedikit tentang gagasan rekonatruksi ilmu kalam ini. C. Dari Teologi Theosentris ke Antroposentris. Selain secara teoritis, teologi klasik dianggap tidak ilmiah dan tidak filosofis, karena cenderung lepas dari sejarah dan pembicaraan tentang manusia disamping cenderung sebagai legitimasi bagi status quo, menurut Hanafi, secara praktis, teologi tidak bisa menjadi ‘pandangan yang benar-benar hidup’ yang memberi motivasi tindakan dalam kehidupan konkrit manusia. Sebab, penyusunan teologi tidak didasarkan atas kesadaran murni dan nilai-nilai perbuatan manusia, sehingga muncul keterpecahan (split) antara keimanan teoritik dan keimanan praktis dalam umat, yang pada gilirannya melahirkan sikap-sikap moral ganda atau ‘singkritisme kepribadian’. Fenomena sinkritis ini tampak jelas, menurut Hanafi, dengan adanya ‘faham’ keagamaan dan sekularisme (dalam kebudayaan), tradisional dan modern (dalam peradaban), Timur dan Barat (dalam politik), konservatisme dan progresivisme (dalam sosial) dan kapitalisme dan sosialisme (dalam ekonomi). (Hanafi, 1991: 59) Kerangka konseptual di atas pada gilirannya membuat Hanafi berani mengajukan konsep baru tentang teologi Islam. Tujuannya untuk menjadikan teologi tidak sekedar sebagai dogma keagamaan yang kering dan kosong melainkan mampu menjelma sebagai ilmu tentang perjuangan sosial, menjadikan keimanan berfungsi secara aktual sebagai landasan etik dan motivasi tindakan manusia. Karena itu, gagasan-gagasan Hanafi yang berkaitan dengan teologi, berusaha untuk mentranformulasikan teologi tradisional yang bersifat teosentris menuju antroposentris, dari Tuhan kepada manusia (bumi), dari tekstual kepada kontekstual, dari teori kepada tindakan, dan dari takdir menuju kehendak bebas. Pemikiran ini, minimal, di dasarkan atas dua alasan; pertama, kebutuhan akan adanya sebuah ideologi (teologi) yang jelas di tengah pertarungan global antara berbagai ideologi. Kedua, pentingnya teologi baru yang bukan hanya bersifat teoritik tetapi sekaligus juga praktis yang bisa mewujudkan sebuah gerakan dalam sejarah (AH. Ridwan, 1998: 44-5). Untuk menggagas satu formulasi baru dan menambal kekurangan teologi klasik yang dianggap tidak berkaitan dengan realitas sosial, Hanafi menawarkan dua teori (Hanafi, 1991: 408-409). Pertama, analisa bahasa. Bahasa dan istilah-istilah dalam teologi klasik adalah warisan nenek moyang dalam bidang teologi yang khas, dan seolah-olah sudah menjadi doktrin yang tidak bisa diganggu gugat. Menurut Hanafi, istilah-istilah dalam teologi sebenarnya tidak hanya mengarah pada realitas yang transenden dan ghaib, tetapi juga mengungkap tentang sifatsifat dan metode keilmuan; yang empirik-rasional seperti iman, amal dan imamah, yang historis seperti nubuwah dan ada pula yang metafisik, seperti Tuhan dan akherat. Kedua, analisa realitas. Menurut Hanafi, analisa ini dilakukan untuk mengetahui latar belakang historis-sosiologis munculnya teologi dimasa lalu dan bagaimana pengaruhnya bagi kehidupan masyarakat atau para penganutnya. Selanjutnya, analisa realitas berguna untuk menentukan stressing bagi arah dan orentasi teologi kontemporer. Untuk melandingkan dua usulannya tersebut, Hanafi paling tidak menggunakan tiga metode berfikir; dialektika, fenomenologi dan hermeunetik. Dialektika adalah metode pemikiran yang didasarkan atas asumsi bahwa perkembangan proses sejarah terjadi lewat konfrontasi dialektis dimana tesis melahirkan antitesis yang dari situ kemudian melahirkan sintesis. Hanafi menggunakan metode ini ketika, sebelumnya, menjelaskan tentang sejarah perkembangan pemikiran Islam. Juga ketika Hanafî berusaha untuk membumikan kalam yang dianggap melangit. Maka apa yang dilakukan Hanafi terhadap kalam klasik ini sama sebagaimana yang dilakukan Marx terhadap pemikiran Hegel. Menurut Marx, pemikiran Hegel berjalan di kepalanya, maka agar bisa berjalanTraining of Trainer (ToT) Pelatihan Kader Dasar (PKD) PMII Tarbiyah Surabaya Selatan “Re-Eksistensi Mahasiswa : Mendobrak Antagonisme Gerakan dan Diabolisme Pemikiran”.
normal ia harus dijalankan diatas kakinya (Bertens, 1996: 235 dan Berten, 1983: 80). Artinya, kalam klasik yang terlalu theosentris harus dipindah menjadi persoalan ‘material’ agar bisa berjalan normal. Akan tetapi, bukan berarti Hanafi terpengaruh atau mengikuti metode dialektika Hegel atau Marx. Hanafi menyangkal jika dikatakan bahwa ia terpengaruh atau menggunakan dialektika Hegel atau Marx. Menurutnya, apa yang dilakukan semata didasarkan dan diambil dari khazanah keilmuan dan realitas sosial muslim sendiri; persoalan kaya-miskin, atasan-bawahan dan seterusnya yang kebetulan sama dengan konsep Hegel maupun Marx. Bahkan ia mengkritik tajam metode dialektika Marx yang dinilai gagal memberi arahan kepada kemanusiaan, karena akhirnya yang terjadi justru totalitarianisme (Hanafi, 1979: 1-2). Disini, barangkali ia terilhami oleh inspirator revolosi sosial Iran; Ali Syariati, ketika dengan metode dialektikanya Syariati menyatakan bahwa manusia adalah syntesa antara ruh Tuhan (tesa) dan setan (anti-tesa). Fenomenologi adalah sebuah metode berfikir yang berusaha untuk mencari hakekat sebuat fenomena atau realitas. Untuk sampai pada tingkat tersebut, menurut Husserl (1859-1938) sang penggagas metode ini, peneliti harus melalui --minamal-- dua tahapan penyaringan (reduksi); reduksi fenomenologi dan reduksi eidetis. Pada tahap pertama, atau yang disebut pula dengan metode apoche, peneliti menyaring atau memberi kurung terhadap fenomena-fenomena yang dihadapi. Peneliti mulai menyingkirkan persoalan-persoalan yang dianggap tidak merupakan hakekat dari objek yang dikaji. Tahap kedua, reduksi adetis, peneliti masuk lebih dalam lagi. Tidak hanya menyaring yang fenonemal tetapi menyaring intisarinya
(Drijarkara, 1984: 121-124 ; Brouwer, 1980: 52 ;Anton Bekker, 1984: 113-7)
Hanafi menggunakan metode ini untuk mengalisa, memahami dan memetakan realitas-realitas sosial, politik ekonomi, realitas khazanah Islam dan realitas tantangan Barat, yang dari sana kemudian dibangun sebuah revolosi (Hanafi, 1981: 84-6). ‘Sebagai bagian dari gerakan Islam di Mesir, saya tidak punya pilihan lain kecuali menggunakan metode fenomenologi untuk menganalisa Islam di Mesir’, katanya. Dengan metode ini, Hanafi ingin agar realitas Islam berbicara bagi dirinya sendiri; bahwa Islam adalah Islam yang harus dilihat dari kacamata Islam sendiri, bukan dari Barat. Jika Barat dilihat dari kacamata Barat dan Islam juga dilihat dari Barat, akan terjadi ‘sungsang’, tidak tepat. Hermeneutik adalah sebuah cara penafsiran teks atau simbol. Metode ini mensyaratkan adanya kemampuan untuk menafsirkan masa lampau yang tidak dialami, kemudian dibawa ke masa sekarang, yang aktivitas penafsirannya itu sendiri merupakan proses triadik; mempunyai tiga segi yang saling berhubungan, yakni teks, penafsir atau perantara dan penyampaian kepada audiens. Orang yang melakukan penafsiran harus mengenal pesan atau kecondongan sebuah teks dan meresapi isinya, sehingga dari yang pada mulanya ‘yang lain’ menjadi ‘aku’ penafsir sendiri (Sumaryono, 1993: 31). Hanafi menggunakan metode hermaunetik untuk melandingkan gagasannya berupa antroposentrismeteologis; dari wahyu kepada kenyataan, dari logos sampai praktis, dari pikiran Tuhan sampai manusia (Hanafi, 1991: 1). Sebab, apa yang dimaksud dengan hermeneutik, bagi Hanafi, bukan sekedar ilmu interpretasi tetapi juga ilmu yang menjelaskan tentang pikiran Tuhan kepada tingkat dunia, dari yang sakral menjadi realitas sosial. D. Operasinalisasi Teologi Hanafi. Dari tawaran konsep diatas plus metode pemikiran yang digunakan, Hanafi mencoba merekonstruksi teologi dengan cara reinterpretasi tema-tema teologi klasik secara metaforis-analogis. Dibawah ini dijelaskan tiga pemikiran penting Hanafi yang berhubungan dengan tema-tema kalam; zat Tuhan, sifat-sifat Tuhan dan persoalan tauhid. Menurut Hanafi, konsep atau nash tentang dzat dan sifat-sifat Tuhan tidak menunjuk pada ke-Maha-an dan kesucian Tuhan sebagaimana yang ditafsirkan oleh para teolog. Tuhan tidak butuh pen-taqdisan manusia, karena tanpa yang lainpun Tuhan tetap Tuhan Yang Maha Suci dengan segala sifat kesempurnaan-Nya. Semua deskripsi Tuhan dan sifat-sifat-Nya, sebagaimana yang ada dalam al-Qur’an maupun Sunnah, sebenarnya lebih mengarah pada pembentukan manusia yang baik, manusia ideal, insan kamil. Diskripsi Tuhan tentang dzat-Nya sendiri memberi pelajaran kepada manusia tentang kesadaran akan dirinya sendiri (cogito), yang secara rasional dapat diketahui melalui perasaan diri (self feeling). Penyebutan Tuhan akan dzatnya sendiri sama persis dengan kesadaran akan keberadaan-Nya, sama sebagaimana Cogito yang ada dalam manusia berarti penunjukan akan keberadaannya. Itulah sebabnya, menurut Hanafi, mengapa deskripsi pertama tentang Tuhan (aushâf) adalah wujud (keberadaan). Adapun deskrip-Nya tentang sifat-sifat-Nya (aushâf) berarti ajaran tentang kesadaran akan lingkungan dan dunia, sebagai kesadaran yang lebih menggunakan desain, sebuah kesadaran akan berbagai persepsi dan ekspresi teori-teori lain. Jelasnya, jika dzat mengacu pada cogito, maka sifat-sifat mengacu pada cogitotum. Keduanya adalah pelajaran dan ‘harapan’ Tuhan pada manusia, agar mereka sadar akan dirinya sendiri dan sadar akan lingkungannya. Disini terlihat Hanafi berusaha mengubah term-term keagamaan dari yang spiritual dan sakral menjadi sekedar material, dari yang teologis menjadi antropologis. Hanafi melakukan ini dalam rangka untuk mengalihkan perhatian dan pandangan umat Islam yang cenderung metafisik menuju sikap yang lebih berorentasi
“Re-Eksistensi Mahasiswa : Mendobrak Antagonisme Gerakan dan Diabolisme Pemikiran”.
pada realitas empirik. Lebih jelas tentang penafsiran Hanafi mengenani sifat-sifat (aushâf) Tuhan yang enam; wujûd, qidâm, baqa’, mukhalafah li al-hawâdits, qiyâm binafsih dan wahdaniyah, menafsirkan sebagai berikut. Pertama, wujûd. Menurut Hanafi, wujud disini tidak menjelaskan wujud Tuhan, karena --sekali lagi-Tuhan tidak memerlukan pengakuan. Tanpa manusia, Tuhan tetap wujud. Wujud disini berarti tajribah wujûdiyah pada manusia, tuntutan pada umat manusia untuk mampu menunjukkan eksistensi dirinya. Inilah yang dimaksud dalam sebuah syair, kematian bukanlah ketiadaan nyawa, kematian adalah ketidakmampun untuk menunjukkan eksistensi diri. Kedua, qidâm (dahulu) berarti pengalaman kesejarahan yang mengacu pada akar-akar keberadaan manusia didalam sejarah. Qidam adalah modal pengalaman dan pengetahuan kesejarahan untuk digunakan dalam melihat realitas dan masa depan, sehingga tidak akan lagi terjatuh dalam kesesatan, taqlid dan kesalahan. Ketiga, baqa berarti kekal, pengalaman kemanusiaan yang muncul dari lawan sifat fana Berarti tuntutan pada manusia untuk membuat dirinya tidak cepat rusak atau fana, yang itu bisa dilakukan dengan cara memperbanyak melakukan hal-hal yang konstruktif; dalam perbuatan maupun pemikiran, dan menjauhi tindakan-tindakan yang bisa mempercepat kerusakan di bumi. Jelasnya, baqa adalah ajaran pada manusia untuk menjaga senantiasa kelestarian lingkungan dan alam, juga ajaran agar manusia mampu meninggalkan karya-karya besar yang bersifat monumental. Keempat, mukhâlafah li al-hawâdits (berbeda dengan yang lain) dan qiyâm binafsih (berdiri sendiri), keduanya tuntunan agar umat manusia mampu menunjukkan eksistensinya secara mandiri dan berani tampil beda, tidak mengekor atau taqlid pada pemikiran dan budaya orang lain. Qiyam binafsih adalah deskripsi tentang titik pijak dan gerakan yang dilakukan secara terencana dan dengan penuh kesadaran untuk mencapai sebuah tujuan akhir, sesuai dengan segala potensi dan kemampuan diri. Kelima, wahdaniyah (keesaan), bukan merujuk pada keesaan Tuhan, pensucian Tuhan dari kegandaan (syirk) yang diarahkan pada faham trinitas maupun politheisme, tetapi lebih mengarah eksperimentasi kemanusiaan. Wahdaniah adalah pengalaman umum kemanusiaan tentang kesatuan; kesatauan tujuan, kesatuan kelas, kesatuan nasib, kesatuan tanah air, kesatuan kebudayaan dan kesatuan kemanusiaan. Dengan penafsiran-penafsiran term kalam yang serba materi dan mendunia ini, maka apa yang dimaksud dengan istilah tauhid, dalam pandangan Hanafi bukan konsep yang menegaskan tentang keesaan Tuhan yang diarahkan pada faham trinitas maupun politheisme, tetapi lebih merupakan kesatuan pribadi manusia yang jauh dari perilaku dualistik seperti hipokrit, kemunafikan ataupun perilaku oportunistik. Menurut Hanafi, apa yang dimaksud tauhid bukan merupakan sifat dari sebuah dzat (Tuhan), deskripsi ataupun sekedar konsep kosong yang hanya ada dalam angan belaka, tetapi lebih mengarah untuk sebuah tindakan kongkrit (fi’li); baik dari sisi penafian maupun menetapan (itsbat). Sebab, apa yang di kehendaki dari konsep tauhid tersebut tidak akan bisa dimengerti dan tidak bisa difahami kecuali dengan ditampakkan. Jelasnya, konsep tauhid tidak akan punya makna tanpa direalisakan dalam kehidupan kongkrit. Perealisasian nafi (pengingkaran) adalah dengan menghilangkan tuhan-tuhan modern, seperti ideologi, gagasan, budaya dan ilmu pengetahuan yang membuat manusia sangat tergantung kepadanya dan menjadi terkotak-kotak sesuai dengan idiologi dan ilmu pengetahuan yang dimiliki dan dipujanya. Realisasi dari isbat (penetapan) adalah dengan penetapan satu ideologi yang menyatukan dan membebaskan manusia dari belenggu-belenggu tuhan-tuhan modern tersebut. Dengan demikian, dalam konteks kemanusiaan yang lebih kongkrit, tauhid adalah upaya pada kesatuan sosial masyarakat tanpa kelas, kaya atau miskin. Distingsi kelas bertentangan dengan kesatuan dan persamaan eksistensial manusia. Tauhid berarti kesatuan kemanusiaan tanpa diskriminasi ras, tanpa perbedaan ekonomi, tanpa perbedaan masyarakat maju dan berkembang, Barat dan bukan Barat, dan seterusnya (Khudori Soleh, 2004: 45-49). E. Penutup. Dari uraian singkat di atas, ada beberapa poin yang perlu dikemukakan. 1. Dari sisi metodologis, Hasan Hanafi dipengaruhi --atau ada kesamaan dengan-- cara berfikir Barat, terutama pemikiran Marxis dan Husserl. Statemennya bahwa kemajuan Islam tidak bisa dilakukan dengan cara mengadopsi Barat (westernisasi) tetapi harus didasarkan atas khazanah pemikiran Islam sendiri jelas modal pemikiran fenomenologi Husserl. Kesamaannya dengan Marxisme adalah ketika Hanafi mencoba mnempatkan persoalan sosial praktis sebagai dasar bagi pemikiran teologinya. Teologi dimulai dari titik praktis pembebasan rakyat tertindas. Kesamannya dengan metode dialektika Marxis juga terlihat ketika Hanafi menjelaskan perkembangan pemikiran Islam dan usaha yang dilakukan ketika merekonstruksi pemikiran teologisnya dengan menghadapkan teologi dengan filsafat Barat untuk kemudian mensintetiskannya. Bedanya, jika dalam pemikiran Marxis dikatakan bahwa pergerakan dan pembebasan manusia tertindas tersebut semata-mata didorong oleh kekuatan materi dan duniawi, dalam Hanafi dibumbui roh yang tidak sekedar materialistik. Ada pranata-pranata yang bersifat religius atau kerohanian yang menggerakkan sebuah perjuangan muslim. Juga, jika dalam perjuangan ala Marxis bisa “Re-Eksistensi Mahasiswa : Mendobrak Antagonisme Gerakan dan Diabolisme Pemikiran”..
dengan menghalalkan segala cara, rekonstruksi kalam Hanafi memakai prinsip kesejahteraan; bahwa perjuangan mesti memperhatikan kebaikan umum, bukan brutal. Sedemikian, hingga pemikiran Hanafi bisa disebut marxis tetapi tidak marxisme, Barat tetapi tidak ‘sekuler’. Ada metode-metode yang orisinal yang dikembangkan oleh Hanafi sendiri. Dari sisi gagasan. Jika ditelusuri dari kritik-kritik dan gagasan para tokoh sebelumnya, terus terang, apa yang disampaikan Hanafi dari proyek rekonstruksi kalamnya sesungguhnya bukan sesuatu yang baru dalam makna yang sebenarnya. Apa yang disampaikan bahwa diskripsi zat dan sifat Tuhan adalah deskripsi tentang manusia ideal, telah disampaikan oleh Muktazilah dan kaum sufis. Begitu pula konsepnya tentang tauhid yang ‘mendunia’ telah disampaikan tokoh dari kalangan Syiah, Murtadha Muthahhari. Kelebihan Hanafi disini adalah bahwa ia mampu mengemas konsep-konsepnya tersebut secara lebih utuh, jelas dan op to dete, sehingga terasa baru. Disinilah orisinalitasan pemikiran Hanafi dalam proyek rekonstruksi teologisnya. Terlepas apakah pemikiran besar Hanafi akan bisa direalisasikan atau tidak sebagaimana diragukan Boullata (Issa J. Boullata, 1993: 20), jelas agenda besar Hanafi adalah langkah berani dan maju dalam upaya untuk meningkatkan kualitas umat Islam dalam mengejar ketertinggalannya dihadapan Barat. Hanya saja, rekonstruksi yang dilakukan dengan cara mengubah term-term teologi yang bersifat spiritual-religius menjadi sekedar material-duniawi akan bisa menggiring pada pemahaman agama menjadi hanya sebagai agenda sosial, praktis dan fungsional, lepas dari muatan-muatan spiritual dan transenden.
Daftar Pustaka
Bertens, L., 1996, Filsafat Abad XX Prancis, Jakarta, Gramedia Bekker, Anton, 1984, Metode-Metode Filsafat, Jakarta, Ghalia ____________, 1990
Metodologi Penelitian Filsafat, Yogyakarta : Kanisius Brouwer, 1980,
Sejarah Filsafat Barat Modern dan Sejaman, Bandung, Alumni Boullata, Issa J., 1993, ‘Hasan Hanafî Terlalu Teoritis untuk Dipraktekkan’ dalam Islamika, Bandung, Mizan Drijarkara, 1984, Percikan Filsafat, Jakarta, Pembangunan Hanafi, Hassan,
1991, Min al-Aqîdah ila al-Tsaurah, I, Kairo: Maktabah Matbuli,
____________, 1981, Muqadimah fi ilm al-Istighrâb, Kairo, Dar al-Faniyah ____________, 1991, Dialog Agama dan Revolosi, Jakarta, Pustaka Firdaus ____________, 1979, Origin of Modern Conservation and Islamic Fundamentalism, Amsterdam, University of Amsterdam _________, 1983,
Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogya, Kanisius, John L. Esposito, 1995,
The Oxford Encyklopedia of the Modern Islamic World, New York: Oxford University Press Santoso, Listiyono, 2007, Kritik Hassan Hanafi Sumaryono, 1993,
Hermaunetik Sebuah Metode Filsafat, Yogya, Kanisius Syaukani, Lutfi, 1994, ‘Oksidentalisme: Kajian Barat setelah Kritik Orientalisme’ dalam Ulumul Qur’an, Vol. V
MENGGAGAS POLITIK KERAKYATAN :
Sebuah Tawaran Ideal dalam Kontestasi Politik di Indonesia
Prolog : Mengenal labirin dan Aporia Politik Kita Bukan hal yang baru, jika negeri yang mayoritas penduduknya muslim ini selalu menjadi pelanggan setia sebagai salah satu negara terkorup di dunia. Transparancy International Indonesia (TII) merilis hasil penelitiannya yang menempatkan Indonesia di peringkat ke-5 negara terkorup di dunia. Rilis semacam itu pada dasarnya tidak mengandung hal-hal baru ; siapapun dan apapun lembaganya niscaya akan menghasilkan peringkat atau indeks korupsi yang kurang lebih sama. Melihat kenyataan ini tampaknya tidak berlebihan jika kita menganggap upaya pemberantasan korupsi di negeri ini hanya merupakan mitos ketimbang realitas. Dengan perangkat hukum dan lembaga anti korupsi yang kian bertambah banyak, seaharusnya upaya pemberantasan korupsi semaki menemukan titik terang. Tetapi kenyataannya wabah korupsi makin menggila dan kian ganas. Berbagai kasus megakorupsi di lingkaran kekuasaan yang terungkap akhir-akhir ini, kian menegsakan moralitas bangsa yang rapuh, bobrok, korup dan sejenisnya. Orang akan mudah berargumentasi, kebobrokan moral bangsa ternyata ditentukan oleh moralitas para politisinya. Ternyata, para elit politik kita, dari dulu hingga kini, tak lebih sebagai pendosa yang mempelopori kebobrokan moral bagi masyarakat secara lebih luas dan sistemik. Para elit politik yang konon merupakan ”putera-puteri terbaik bangsa”, dengan kualifikasi pendidikan yang membanggakan, kata Komaruddin Hidayat dalam sebuah talk show di salah satu stasiun televisi swasta (15/3/2002), ternyata tidak tahan uji saat mereka memasuki lingkaran kekuasaan (Masdar Hilmy, 2008 : 1-10). Seringkali kita dibuat geli menyaksikan perilaku para petualang politik di negeri ini yang sungguh tidak cerdas.dan cenderung amoral. Selalu saja ada argumen yang mereka gunakan untuk memperoleh pembenaran terhadap “manuver” yang mereka lakukan. Yang paling gampang, jelas mencari kambing hitam. Yang paling sering kena sasaran jelas para rival politiknya. Dalam pilkada, misalnya, politisi yang kalah bersaing tak jarang melakukan aksi-aksi vandalistis dengan mengerahkan “tim sukses”-nya atau memburu pendemo bayaran. Mereka direkrut, tentu saja dengan sejumlah upah, untuk menciptakan stigma baru kepada publik. Perilaku elite politik yang menyangsikan kejujuran dalam sebuah pesta demokrasi tanpa bukti dan argumentasi yang jelas, bahkan bertingkah “inkonstitusional”, setidaknya memberikan gambaran bahwa kita masih belum memiliki budaya demokrasi seperti yang diharapkan. Tampaknya, menerima kekalahan menjadi sebuah idiom yang amal mahal harganya. Ada saja “manuver” yang mereka lontarkan untuk membentuk opini publik bahwa mereka telah dicurangi, dipinggirkan, atau dijegal. Pada satu sisi, kondisi semacam itu memang bisa menjadi sinyal dinamika politik yang bertahun-tahun lamanya terpasung dalam belenggu rezim Orde Baru. Namun, pada sisi yang lain, hal itu bisa memberikan citra demokrasi yang tidak sehat bagi rakyat, bahkan akan menjadi bumerang bagi elite politik itu sendiri dalam membangun dan mengibarkan bendera politiknya pada masa-masa mendatang. Rakyat jadi kehilangan simpati dan kepercayaan. Politisi dan Lingkaran Kekuasaan : Sebuah Paradoks Keberagamaan Sedikit uraian tentang fenomena pembusukan moral elit kita di atas, sejatinya adalah sebuah deskrepsi empirik yang menelanjangi tubuh bangsa dengan paradoks keberagamaan. Agak sulit memang untuk dipahami dan dicerna dari perspektif manapun, mengingat lingkaran kekuasaan dihuni cukup banyak ”pendosa politik” yang justru dikenal agamis. Tentu muncul pertanyaan, bagaimana bisa menarik benang merah atau korelasi positif antara tingkat kesalehan seseorang dengan tingkat perbuatan dosa yang dilakukan? Maka, paradoksalitas keberagamaan ini setidaknya telah menyuguhkan indikasi bahwa telah terjadi manipulasi simbol-simbol keagamaan untuk mengelabui masyarakat bahwa elit politik kita religius. Mereka menjadikan ritus-ritus keagamaan hanya sebatas sin laundering yang dianggap akan mencuci dosa-dosa politik yang dilakukan. Impas, antara bobot ibadah dan kejahatan yang dilakukan disertai keyakinan, Tuhan maha Pengasih dan Penyayang tehadap hamba-Nya yang mau bertobat. Selama masih ada kesempatan, menjarah uang negara dan merampok uang rakyat bukan hal tabu dilakukan.
Staemen dan pola sikap yang menyatakan bahwa politik memang kotor, tampaknya menemukan titik justifikasinya dalam konteks ini. Bukan politik namanya kalau masih berbaur dengan ”kebersihan”, kejujuran dan sikap arif lainnya. Dinamika politik mestilah kotor dan karenanya, dengan penuh kesadaran, para politikus kita terlanjur dianggap sah-sah saja melakukan segala hal yang mampu mengantarkannya pada capaian keinginan dan ”cita-citanya”. Merebaknya korupsi hingga membuat bangsa dan negeri ini bangkrut, konon memang bersumber dari pesona uang dan lingkartan kekuasaan. Mungkin ada benarnya kalau Sejarawan Inggris, Lord Acton, menyatakan bahwa kekuasaan pada dasarnya cenderung korup, dan kekuasaan absolut hampir pasti korup secara absolut pula. Ya, ya, ya! Orang yang sedang berkuasa, memang bisa berbuat apa saja. Hukum yang lurus bisa dibengkok-bengkokkan, orang yang benar bisa disalah-salahkan atau sebaliknya, sejarah pun bisa diputarbalikkan sesuai dengan selera penguasa. “Kisah Naga Baru”, sebagaimana diceritakan dalam Wikipedia, menunjukkan betapa kekuasaan bisa membuat seseorang menjadi “mabuk” dan lupa akan kesejatian dirinya. Alkisah pada suatu hari seorang pendekar perguruan silat yang sangat sakti dibujuk oleh murid muridnya untuk masuk ke dalam sebuah goa dan mengalahkan seekor naga yang menghuni goa tersebut. Sudah ratusan pendekar yang masuk dan berusaha membunuh naga tersebut, tetapi mereka tak pernah keluar dari goa dengan selamat. Karena merasa tertantang, sang pendekar guru segera masuk ke dalam goa. Ternyata sang naga sama sekali tidak sakti. Dengan sekali tebasan pedang saja sang naga langsung tersungkur mati. Sang pendekar segera melihat sekeliling goa. Ternyata penuh dengan bongkahan emas permata yang kemilau sangat memesona. Sang pendekar guru tergiur untuk mengambil beberapa genggam permata sebagai oleh-oleh kepada murid-muridnya sekaligus sebagai bukti bahwa dia telah berhasil mengalahkan sang naga. Namun, apa lacur? Begitu meraup harta permata, seketika sang pendekar guru menjelma menjadi seekor naga. Karena merasa malu, sang pendekar guru memilih tetap tinggal di dalam goa dan menjadi Naga Baru. Muridmurid di luar goa merasa cemas dan menyangka gurunya telah tewas diterkam sang naga, padahal sang guru telah menjelma menjadi naga yang baru. Meski hanya sebuah fiksi, kisah ini menunjukkan sebuah ilustrasi betapa dekatnya kekuasaan itu dengan hal-hal yang berbau busuk dan korup. Orang-orang idealis bisa hancur martabatnya setelah masuk dalam lingkaran kekuasaan. “Wong milik nggendhong lali”, kata orang Jawa. Betapa menggiurkannya kekuasaan itu sehingga tak sedikit orang yang rela mengeluarkan banyak duwit untuk “membeli”-nya. Menggagas Politik Kerakyatan : Menyelami Gagasan Brilian Machiavelli Selama ini muncul asumsi yang mengatakan bahwa Machiavelli, yang diakui sebagai pelopor ilmu politik moderen adalah amoral, karena dicurigai menganut paham politik ‘menghalalkan segala cara’; lebih lanjutnya istilah Machiavellianisme dikonotasikan sebagai segala pikiran, sikap, dan tindakan kotor lagi kejam dalam ranah politik. Salah kaprah kepada Machiavelli dan pemikirannya tersebut, adalah disebabkan kekeliruan dalam memahami Machiavelli, dan terutama lagi mengenai salah satu karyanya, yaitu Il Principe (Politik Kekuasaan). Dalam karya dimaksud, memang Machiavelli mengungkapkan kenyataan politik yang ada pada waktu itu; Machiavelli mengungkapkan segala ‘apa yang nyata-nyata’ pada zamannya tersebut, dan bukan mengungkapkan ‘apa yang ideal’ atau kenyataan politik yang ideal menurut dia, yang harus dilakukan oleh para penguasa. ‘Apa yang nyata-nyata’ yang diungkapkan oleh Machiavelli dalam buku dimaksud, memang sering kejam dan amoral. Akan tetapi ‘Apa yang nyata-nyata’ tersebut, merupakan kenyataan politik yang nyata terjadi di zaman Machiavelli, yang diungkapkan olehnya, dan bukan merupakan pemikiran politik Machiavelli. Oleh sebab itu, merupakan kesimpulan yang terburu-buru dan latah dengan menyimpulkan Machiavelli sebagai politikus kotor, dan Machiavellianisme sebagai aliraan ‘penghalal segala cara’. Dalam beberapa karya-karyanya yang lain, dan yang terutama adalah Discorsi Di Niccolo Machiavelli, dengan cukup jelas dan nyata akan Machiavelli yang bukan sebagai poitikus amoral apalagi ‘penghalal segala cara’. Dalam karya Machiavelli yang lebih besar ini, yang berjudul lengkap Discorsi Di Niccolo Machiavelli, Cittadino, et Segretariso Fiorentino, Sopra La Prima Deca Di Tito Livio, a Zanobi Boundel Monti, et a Cosimo Rucellai — yang lebih terkenal dengan DISCORSI, dan lebih tepat diterjemahkan sebagai Politik Kerakyatan menunjukkan akan sosok Machiavelli sebagai politikus kerakyatan, dan sumbangsihnya yang besar terhadap Politik Kerakyatan. Dalam Discorsi, Machiavelli mengungkapkan: “Kita tahu yang baik itu apa, tetapi kita sering tidak mampu melakukannya. Salah satu yang baik dan dapat dilakukan adalah system pemerintahan Republik!.” Dalam melakukan urainnya tentang Politik Kerakyatan dan Republik, Machiavelli kerap menuturkan berbagai hal, yang pada intinya adalah menekankan betapa pentingnya menjunjung tinggi azaz kerakyatan, terutama dalam system pemerintahan. Pertama: Virtu atau Res Publica. Virtu atau Res Publica adalah semangat kerakyatan yang mutlak harus dijunjung tinggi oleh para penguasa. Diceritakan bahwa Alexander Agung pernah dibujuk oleh arsiteknya, Deinocrates untuk mendirikan kerajaan diatas Gunung Athos, sebuah gunung gersang tapi mempesona; letaknya strategis dan gampang untuk dipertahankan. Kemudian Alexander menyela: “Lantas di mana rakyat hidup?” Deinocrates menjawab malumalau bahwa ia tak sempat terfikir akan hal itu. Alexander pun akhirnya mendirikan kerajaannya di tepian Sungai Nil. Kedua: Hukum untuk Res Publica. Res Publica mutlak membutuhkan hukum, guna penegakan disiplin sosial. Adapun mekanisme pembuatan hukum, kota Roma dapat dijadikan contoh: hukum Kota Roma berkembang lambat laun, sesuai dengan keinginan dan prakarsa warga dan masalah yang mereka hadapi bersama. Ketiga: pola pemerintahan Res Publica yang paling ideal menurut Machiavelli adalah, ramuan dari keenam pola pemerintahan yang hari ini ada di dunia: Kerajaan, Aristokrasi, Demokrasi, Tirani, Oligarki, dan Anarki. Oleh karena masing-masing pola mempunyai kelebihan dan kekurangan. Keempat: Supremasi Hukum. Res Publica haruslah terdapat kepastian hukum; rule of law merupakan hal yang sangat penting. Hal iniberarti, jasa seseorang tidak boleh dijadikan alasan untuk membiarkan kejahatannya, untuk tidak mengadilinya, tidak menghukumnya, atau bahkan meringankan hukumannya.1 Politik kerakyatan ala Machiavelli, pada prinsipnya adalah mempersyaratkan keempat hal diatas. Penafian akan salah satu saja daripada unsur syarat diatas, akan mencederai politik kerakyatan itu sendiri. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia ini, tentunya kita tidak jarang menyaksikan kenyataan sosial dan politik yang paradoksal dengan azas-azas politik kerakyatan sebagaimana yang telah disampaikan oleh Niccolo Machiavelli dimaksud. Sementara pada sisi lainnya, kiranya bukanlah hal yang berlebihan: untuk mengatakan dan mengakui Niccolo di Bernardo Machiavelli sebagai politikus kerakyatan; bukan (lagi) sebagai politikus amoral, dan ’penghalal segala cara’, sebagaimana yang selama ini telah diciterakan kepada Machiavelli dan para pengikutnya (baca: Machiavellianisme), yang ternyata keliru tersebut. Epilog : Dari Politik Kerakyatan Menuju Indonesia baru Pada bagian epilog ini, ada beberapa poin yang perlu kita refleksikan bersama, tentang kontestasi politik negara kita ditengah labirin dan aporia yang kian membingungkan. Ironis memang. Di tengah-tengah gencarnya tuntutan dan suara untuk membangun Indonesia Baru yang lebih demokratis di bawah pemerintahan yang bersih, berwibawa, reformatif, dan legitimated, justru tidak sedikit politisi yang berkarakter oportunis, arogan, dan mau menang sendiri, yang sangat bertentangan secara diametral terhadap prinsp-prinsip demokrasi yang mengedepankan nilai kebebasan, kesamaan, persaudaraan, kejujuran, dan keadilan. Terlepas dari hiruk-pikuk politik yang akan terus berlangsung, di luar itu semua, agenda penting dan urgen dan sangat krusial untuk segera digarap ialah membangun budaya politik yang berbasis kerakyatan, memperjuangkan hak-haknya, menciptakan dinamika demokrasi yang sehat, sehingga memiliki apresiasi yang tinggi dan andal terhadap sikap fair, jujur, ksatria, elegan, dan lapang dada terhadap apa pun hasil yang telah disepakati bersama lewat proses demokrasi. Jangan sampai terjadi, “trik-trik” politik yang tidak sehat semacam itu menjadi “patron” dan referensi bagi generasi berikutnya dalam membangun demokrasi. Harus ada upaya serius dan intens untuk menyosialisasikan cara-cara demokrasi yang ideal secara simultan dan berkelanjutan. 1 Untuk lebih jelasnya, baca : Nicollo Mechiavelli, Politik Kerakyatan, Kepustakaan Populer, 1996 Gramedia Training of Trainer (ToT) Pelatihan Kader Dasar (PKD) PMII Tarbiyah Surabaya Selatan “Re-Eksistensi Mahasiswa : Mendobrak Antagonisme Gerakan dan Diabolisme Pemikiran”.
Daftar Pustaka :
Hilmy, Masdar, 2008, Islam Profetik Substansiasi Nilai-nilai Agama dalam Ruang Publik, Yogyakarta: kanisius Nicollo Mechiavelli, Politik Kerakyatan, Kepustakaan Populer, 1996 Gramedia http://id.wikipedia.org/wiki/Kisah_Naga_Baru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar