Abstract
Trash is defined
as human or animal waste that is solid or
semi-solid, which does not have a use value or economic value, so
it needs to be thrown.
A Trash problem is a problem that will continue to evolve and the proceeds, more
and more human activity will affect the amount of generated trash production. Society as trash producers have a role in
keeping the environment clean. However, in reality there are many people,
especially in Pajeng village that
adhered to the classical paradigm to throw
garbage in the river or burn it. The purpose of this study is to determine the paradigm
development of rural trash management to achieve millennium development goals.
Contribution of trash management in East Java village and evolving paradigms
for the MDGs. Furthermore, it will be recommended that strategies need to be
applied in the handling of trash in order to support the achievement of the
MDGs village in East Java. In this study, will be seen the relationship between
paradigms, insight and action by comparing the phase of the current and past
leadership in trash management.
A. Pendahuluan
Bojonegoro merupakan sebuah kabupaten di propinsi
Jawa Timur. Wilayah ini berbatasan dengan Kabupaten Nganjuk di bagian Selatan.
Kecamatan Gondang merupakan salah satu kecamatan yang terdapat di wilayah
selatan Kabupaten Bojonegoro berada di dataran tinggi sekitar 700 meter
di atas permukaan laut. Kecamatan Gondang dapat ditempuh lebih efisien melalui
Kabupaten Nganjuk dari pada melalui kota Bojonegoro dengan jarak tempuh sekitar
23 KM lebih dekat dari pada melalui kota Bojonegoro sendiri.
Desa Pajeng merupakan salah satu desa di Kecamatan
Gondang Kabupaten Bojonegoro. Dengan luas wilayah sekitar 262.850 m2
terdiri dari tanah pemukiman, persawahan, kuburan, pekarangan, perkantoran
serta sarana dan prasarana umum lainnya.[1]
Dengan
kondisi alam yang sangat indah dan dikelilingi gunung, hutan, dan
persawahan, di desa pajeng ada kekurangan dalam hal tempat pembuangan
sampah/limbah dari rumah tangga yang kurang efektif. Sehingga sebagian
masyarakat, lebih suka membuang sampah sembarangan di sekitar sungai dipinggir
jalan utama, karena sebagian masyarakat berpendapat bahwasanya sungai sebagai
pilihan yang baik untuk membuang sampah/limbah mereka. Menurut penuturan bapak
Didik Kristiawan (38) masyarakat di desa pajeng masih kurang peduli
terhadap lingkungan dalam arti mereka kurang sadar akan dampak yang terjadi
bila sampah/limbah dari rumah tangga tersebut secara terus menerus dilakukan
oleh masyarakat. Akan tetapi hanya sebagian kecil masyarakat yang memahami
dampak pembuangan sampah/limbah di sungai, masyarakat tersebut memiliki tempat
pembuangan sampah tersendiri, itupun akhirnya hanya dibakar sebagai wujud untuk
menghindari menumpuknya sampah/limbah.[2]
Kita dapat mengetahui dampak dari
pembuangan sampah secara sembarangan sangat rentan terhadap berlangsungnya
kehidupan di dalam masyarakat. Selain
lingkungan menjadi tidak elok dipandang ada hal lain seperti banjir yang pada
akhirnya berdampak pada kesehatan masyarakat itu sendiri.
Sebagaimana diketahui, setiap aktivitas di pedesaan pasti
menghasilkan buangan yang dapat berbentuk padat, cair, atau gas. Di dalam
pembahasan ini hanya akan dibahas buangan yang berbentuk padat, yang lazim
disebut sampah. Sampah didefinisikan sebagai buangan manusia atau hewan yang
bersifat padat atau semi padat, yang tidak memiliki nilai guna atau nilai
ekonomi, sehingga perlu dibuang.[3]
Undang-undang
Republik Indonesia (UURI) No. 18 tahun 2008 mendefinisikan sampah sebagai sisa kegiatan
manusia sehari-hari dan/atau proses alam yang berbentuk padat. Tumpukan sampah terus meningkat seiring dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk. Ironisnya,
fasilitas pengelolaan sampah di hampir semua desa di Jawa Timur masih terbatas. Dengan adanya Undang Undang Republik Indonesia (UU.R.I) No 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah, pola lama
pengelolaan sampah di Jawa Timur yang berupa pengumpulan-pengangkutan-pembuangan
(P3) mulai bergeser ke pemilahan-pengolahan-pemanfaatan-pembuangan residu (P4).
Pergeseran paradigma pola pengelolaan sampah
tersebut berlangsung
dengan cukup signifikan di beberapa kota metropolitan, seperti Surabaya dan Jakarta,
di mana terdapat peran aktif dari Dinas Kebersihan, yang mendapat dukungan
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), praktisi, serta program Corporate Social
Responsibility (CSR) dari perusahaan-perusahaan industri yang bernuansa penyelamatan lingkungan.
Namun agaknya berbeda dengan realitas yang terjadi
di masyarakat pedesaan terutama desa Pajeng kecamatan Gondang. Mereka kurang
bisa mendapatkan peran aktif dari Dinas Kebersihan kabupaten Bojonegoro,
memperoleh dukungan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), praktisi, serta program Corporate
Social Responsibility (CSR) dari perusahaan-perusahaan industri yang bernuansa penyelamatan lingkungan.
Data survei yang diungkapkan oleh
JICA (2008)
menunjukkan bahwa pengelolaan sampah di pulau
Jawa baru mampu melayani 59% dari total jumlah penduduk. Dilaporkan pula, tingkat
pelayanan pengelolaan sampah pada tingkat nasional hanya mencapai 56%. Padmi
(2006) menyatakan sampah yang tidak terkelola oleh Pemerintah ditangani oleh penduduk dengan cara dibakar (35%), dikubur
(7.5%), dikompos (1.6%), atau dengan cara lainnya (15.9%). Kondisi tersebut masih terjadi sampai sekarang, termasuk di kota Surabaya, begitu juga di desa Pajeng.
Di sisi lain, pesatnya pertumbuhan industri di Jawa
Timur telah mengakibatkan terbentuknya sampah kota yang lebih beragam.
Khususnya limbah jenis Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) meningkat dua kali
lipat dalam satu dekade. Tumpukan
limbah B3 pada tahun 1990 di Jawa Timur adalah 4.3 juta ton. Jumlah ini
meningkat menjadi 8.8 juta ton pada tahun 1998. Diperkirakan lebih dari
75% limbah B3 berasal dari industri manufaktur, 5-10% dari rumah tangga, dan
sisanya dari sumber-sumber lain. Kondisi ini telah mengakibatkan terjadinya
gangguan lingkungan, yang belum terpantau dengan baik. Dikhawatirkan beban pencemaran
oleh limbah B3 akan meningkat sepuluh kali lipat pada tahun 2010, terutama dari
jenis limbah logam berat dan toksikan organik non-biodegradable yang dapat terbioakumulasi di lingkungan hidup
(Anonymous, 1997).
Penyelesaian masalah sampah desa pajeng sebenarnya
berhubungan dengan Millenium Development Goals (MDGs – Tujuan
Pembangunan Millenium) yang ditandatangani oleh 149 Kepala Negara dalam UN
Millenium Summit pada bulan September 2000, namun sebenarnya bukan hanya dalam
kota saja yang perlu diselesaikan akan tetapi di wilayah pedesaan juga perlu
untuk diperhatikan. Sebagaimana dinyatakan oleh UNDP (2006), ada 8 tujuan MDGs
yang ditargetkan dapat tercapai pada tahun 2015, yaitu: (1) teratasinya masalah
kemiskinan dan kelaparan yang ekstrim, (2) tercapainya tingkat pendidikan dasar
umum, (3) meningkatnya peran gender dan kemampuan wanita, (4) berkurangnya
tingkat kematian anak-anak, (5) meningkatnya kesehatan ibu, (6) terkendalinya
HIV/AIDS, malaria, dan penyakit lainnya, (7) tercapainya sustainabilitas lingkungan,
dan (8) berkembangnya kemitraan global untuk pembangunan.
Fokus jurnal ini adalah kontribusi pengelolaan sampah
desa di pajeng
kecamatan Gondang dan paradigma-paradigma yang berkembang terhadap MDGs
terutama pada poin ke-7 yaitu tercapainya sustainabilitas lingkungan dan
Selanjutnya, akan direkomendasikan strategi yang perlu diterapkan dalam
penanganan sampah desa guna menunjang tercapainya MDGs di Jawa Timur.
B. PEMBAHASAN
1. Tumpukan dan Komposisi Sampah
Desa
Acuan mengenai tumpukan sampah kota di Jawa Timur
adalah SNI S-04-1993-03 yang ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional
(SNI). Dalam SNI, ditetapkan bahwa tumpukan sampah di kota sedang adalah
0,7-0,8 kg/orang.hari, sedangkan di kota kecil sebesar 0,5-0,6 kg/orang.hari.
Besaran tumpukan sampah ini berada pada kisaran tumpukan sampah antara negara
berpenghasilan rendah (0,5 kg/orang.hari) dan menengah (0,9 kg/orang.hari). Komposisi sampah menjadi semakin kompleks dari
waktu ke waktu. Komponen sampah basah semakin berkurang, sedangkan kandungan
komponen kering, khususnya sisa kemasan, menjadi semakin meningkat. Ditinjau dari komposisinya, sampah kota di
Jawa Timur masih didominasi oleh sampah basah dan tidak jauh berbeda
dengan kondisi di desa pajeng yang juga demikian adanya. Kondisi tersebut mirip
dengan komposisi sampah di negara-negara berpenghasilan rendah.
Pada masa sekarang, bahan plastik dipandang sebagai
bagian penting dalam hidup manusia, karena sifatnya yang kuat, ringan, murah,
mudah diolah, dan hemat energi. Dengan sifat tersebut, plastik semakin banyak
digunakan sebagai bahan pengemas. Pada saat ini, 40% produk plastik dunia
digunakan untuk bahan pengemas. Sebagai akibatnya, jutaan ton plastik dibuang
sebagai sampah setiap harinya. Data di negara maju menunjukkan setiap orang
membuang 398 kg sampah plastik setiap tahunnya (Majid, 2007), 33 kali lebih
besar dari jumlah sampah plastik yang dihasilkan oleh setiap orang di kota
maupun di desa.
Meskipun jumlah sampah plastik hanya meliputi 12%
saja dari sampah kota, akibat berat jenisnya yang rendah, volumenya membutuhkan
ruang sebesar 25-35% lebih banyak dari volume total sampah. Akibatnya, amat
sangat diperlukan adanya TPA guna memberdayakan pemilahan dan pengolahan sampah
terutama di desa Pajeng kecamatan Gondang kabupaten Bojonegoro. apabila
komponen sampah plastik terus meningkat jumlahnya, kebutuhan akan lahan TPA
akan lebih meningkat pula. Hasil analisis komposisi deposit sampah pada 7 RW
dan 30 RT menunjukkan kandungan plastik yang cukup tinggi, dibandingkan dengan
sampah basah.
2. Kontribusi Perkembangan Teknologi
Pengelolaan Sampah Desa Terhadap MDGs serta Hierarki Penanganan Sampah yang Mendukung Sustainabilitas Lingkungan
a. Pembuangan akhir
Pola
pengelolaan sampah kota dapat digambarkan secara hierarkis (Gambar 1). Gambar tersebut menunjukkan
bahwa semakin tinggi tingkat hierarki kegiatan pengelolaan sampah, semakin
rendah biaya yang dibutuhkan. Tingkat hierarki terendah dalam penanganan sampah desa konvensional adalah
pembuangan akhir (Gambar 1a). Pada hierarki ini, sampah dianggap tidak memiliki
nilai dan harus dibuang atau dimusnahkan. Sebagai konsekuensinya, dibutuhkan
biaya investasi dan operasional yang tinggi, termasuk biaya untuk mengatasi berbagai dampak
lingkungan yang terjadi. Penerapan pengelolaan sampah
kota yang menekankan semua bentuk buangan padat merupakan residu yang harus
dibuang, tidak mendukung MDGs keenam, yaitu sustainabilitas lingkungan.
Teknologi pembuangan sampah yang dilaksanakan di kebanyakan kota di Jawa Timur
masih menyebabkan terjadinya emisi bau, metana, serta gas-gas lainnya ke
atmosfir. Selain itu, juga timbul pencemaran tanah dan air tanah akibat lindi
yang terbentuk, serta terjadinya perkembang biakan vektor-vektor penyakit,
seperti diare,
kolera, tifus, jamur dan beberapa penyakit
lainnya.[4]
|
|
|
|||||||||||||||||||||||||||
(a) Konvensional
|
(b) Trend masa depan
|
|||||||||||||||||||||||||||
Gambar 1. Hierarki pengelolaan sampah kota
(Rudden,
2006, dimodifikasi dalam Trihadiningrum, 2008).
b. Energy recovery
Tingkat hierarki yang lebih tinggi dari pembuangan akhir adalah energy
recovery, di mana sampah dipandang sebagai sumber daya yang dapat
menghasilkan energi. Penerapannya lazim dilakukan di TPA yang difasilitasi dengan
sistem pengumpul dan konversi energi dari gas metana yang terbentuk selama
sampah ditimbun. Proses anaerobik yang secara
alami berlangsung di dalam timbunan sampah mampu mengubah sampah organik biodegradable
menjadi gas metana. Bila tidak dikelola dan dimanfaatkan, gas metana dari TPA
akan teremisi ke atmosfir, dan menjadi salah satu penyebab terjadinya pemanasan
global.
Pemanfaatan
metana dari TPA untuk sumber energi merupakan salah satu contoh kegiatan
pembangunan yang berazas pada pengurangan sumber penyebab pemanasan global,
yang kini lazim disebut Clean Development Mechanism (CDM). PT Navigat
Organic Energy Jawa Timur, misalnya, telah berhasil membangun pembangkit listrik
dengan tenaga sampah di TPA di Bali dan di Bantar Gebang, Bekasi. Produk
listrik yang dihasilkan telah mendapatkan respon dari PLN untuk didistribusikan
kepada masyarakat (Anonim, 2010a).
Selain melalui proses anaerobik, sampah makanan dan sampah biomassa lainnya
dapat pula dikonversi menjadi biofuel alkohol, melalui proses hidrolisis
dan fermentasi. Bentuk energy
recovery lainnya adalah pengubahan energi dari panas yang timbul pada proses
insinerasi sampah, menjadi energi listrik. Belakangan ini, energi dari
briket sampah, yang lazim disebut Refuse Derived Fuel (RDF) yang populer
di Amerika Serikat pada tahun 1970-an mulai dikembangkan kembali
(Ramasamy, 2006). Bentuk terbaru RDF adalah Process Engineered Fuel
(PEF), yang dibuat dari sampah plastik dan kertas (Toinezyk, 2006). Dalam
penggunaannya, PEF dinilai lebih ramah lingkungan dari RDF. Trihadiningrum dkk (2008) meringkas proses-proses biofisik-kimiawi untuk
konversi sampah menjadi energi sebagaimana diuraikan di atas pada Gambar 2.
Gambar 2. Bagan konversi sampah makanan dan biomassa menjadi energi. (Modifikasi
dari Trihadiningrum dkk, 2008).
c. Recycling, reuse, minimisasi dan pencegahan
Hierarki berikutnya adalah daur ulang
sampah untuk menghasilkan produk baru (recycling), yang disusul dengan
hierarki dengan tingkatan lebih tinggi, yaitu pemanfaatan kembali sampah (reuse).
Hierarki lebih tinggi berikutnya adalah minimisasi, yaitu mengurangi Tumpukan sampah
semaksimal mungkin. Sedangkan hierarki tertinggi dalam penanganan sampah kota
yang juga dapat berlaku di desa adalah sedapat mungkin mencegah terbentuknya
sampah (prevention). Contoh-contoh aktifitas pada setiap hierarki dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Contoh
masing-masing tingkatan hirarki penanganan sampah desa.
1.
Pencegahan
|
2.
Minimisasi
|
-
mengurangi pola konsumsi / belanja yang berlebihan
-
menggunakan produk dengan sistem sewa atau pinjam
|
- menggunakan produk dengan kemasan yang dapat
digunakan ulang,
- menggunakan
produk sistem refill
-
melakukan pemilahan sampah yang dapat didaur ulang
|
3. Pemanfaatan kembali (Reuse)
|
4. Daur ulang (Recycling)
|
-
memanfaatkan barang bekas untuk fungsi sama atau berbeda. Misalnya, botol
sirup bekas untuk tempat air, kontainer zat kimia untuk bak air, bak sampah,
dsb
-
menyumbangkan barang bekas ke pihak-pihak yang dapat memanfaatkannya
|
-
mengubah bentuk dan sifat sampah melalui proses bio-fisik-kimiawi menjadi
produk baru yang lebih berharga. Misalnya mengubah sampah basah menjadi
kompos, mengolah sampah plastik menjadi pelet
|
5. Perolehan energi (energy recovery)
|
6. Pembuangan akhir
|
-
mengubah sampah melalui proses biofisikkimiawi menjadi energi; a.l. membuat
briket bahan bakar dari sampah, melalui proses thermal (insinerasi,
pyrolisis, gasifikasi), serta produksi metana melalui biotreatment
|
-
membuang seluruh komponen sampah ke TPA, atau membakarnya
|
Menghadapi trend
kuantitas sampah yang terus meningkat, hierarki pengelolaan sampah masa
depan harus berubah. Trend pengelolaan sampah kota yang
mengutamakan 3R,
yaitu reduce, reuse, dan recycle, perlu didukung, agar jumlah sampah yang dibuang menjadi berkurang. Pola
hierarki pengelolaan sampah masa depan, di mana volume sampah yang dibuang ke
TPA menjadi jauh berkurang dengan lebih diintensifkannya program 3R.
d. Potensi daur ulang sampah desa.
Masih dalam
kerangka bahasan MDGs keenam, yaitu sustainabilitas lingkungan, berbagai komponen sampah menyimpan potensi untuk
dapat dimanfaatkan kembali, atau diolah untuk menghasilkan produk baru non energi melalui proses recovery dan recycling. Potensi reduksi sampah desa dapat ditetapkan
berdasarkan material balance, dengan memperhitungkan recovery factor
setiap komponen sampah. Yang dimaksudkan dengan recovery factor adalah
prosentasi setiap komponen sampah yang dapat dimanfaatkan kembali, di-recovery
atau didaur ulang. Selebihnya merupakan residu yang memerlukan pembuangan
akhir atau pemusnahan. Apabila
strategi reduksi sampah basah maupun sampah kering dapat dilakukan dengan baik,
maka selain diperoleh materi daur ulang yang bemanfaat, juga kebutuhan biaya
penanganan sampah dan kebutuhan lahan TPA dapat dikurangi secara signifikan.
Perlu ditambahkan, bahwa daur ulang sampah
memberikan keuntungan-keuntungan sebagai berikut, sebagaimana diuraikan dalam
USEPA (2006):
· menghemat
penggunaan sumber daya alam
· mengurangi
emisi gas-gas pencemar udara dan polutan lain
· menghemat
penggunaan energi
· menyediakan
bahan baku untuk industri
· menyediakan
lapangan kerja
· menstimulasi
perkembangan teknologi ramah lingkungan
· mengurangi
kebutuhan akan lahan TPA dan insinerator
Khusus
sampah plastik, kegiatan daur ulangnya dapat mengurangi dampak lingkungan yang
sangat signifikan. Dalam proses produksi plastik, dibutuhkan sumber daya alam
berupa minyak bumi yang sangat besar jumlahnya, baik sebagai bahan baku, maupun
sebagai energi untuk proses manufaktur. Produksi setiap ton plastik jenis
polietilen membutuhkan 1,8 ton minyak bumi. Setiap tahunnya, sekitar 4% minyak
bumi dunia digunakan sebagai bahan baku plastik, dan 3-4% digunakan untuk
sumber energi dalam proses manufaktur plastik. Sebagaimana dijelaskan dalam
Anonymous (2006), daur ulang sampah plastik akan menghasilkan dampak lingkungan
positif sebagai berikut:
- mereduksi
67% konsumsi energi
- menurunkan
250% emisi CO, 67% emisi SOx, dan 50% emisi NOx
- mengurangi
penggunaan air sebanyak 90%.
3. Nilai Ekonomi Sampah dan Pengentasan
Kemiskinan
Target MDGs
pertama, yaitu pengentasan kemiskinan, didukung oleh terdapatnya nilai ekonomi
pada sampah. Di Jawa Timur, aktivitas
sektor informal dalam bisnis sampah telah menyatu dengan kegiatan ekonomi lain
di hampir semua kota maupun desa yang memiliki potensi besar akan sampah.
Dengan menggunakan harga komponen sampah kering yang dapat didaur ulang, nilai
ekonomi sampah baik di kota maupun di desa dapat diperkirakan. sebagaimana dapat kita
ketahui bahwa sampah merupakan sumber daya yang tidak dapat diabaikan perannya
dalam ekonomi pedesaan
maupun perkotaan.
Nilai
ekonomi sampah dapat ditingkatkan menjadi hampir dua kali lipat apabila warga
desa Pajeng telah mampu mendaur ulang seluruh sampah basah menjadi kompos.
Penjelasan
di atas menunjang kenyataan bahwa keberadaan sampah desa pun dapat menopang hidup sebagian
warga jika
memang ulet menekuni hal itu, khususnya yang bergerak di
sektor informal. Dalam kaitannya dengan tujuan pertama dari MDGs, potensi
bisnis sampah kota berperan cukup penting dalam pengentasan kemiskinan. Namun,
belum ada data yang pasti mengenai jumlah penduduk yang terlibat dalam sektor
bisnis sampah. Apabila sampah basah diolah menjadi kompos, maka tentu hal ini dapat meningkatkan potensi
perekonomian masyarakat desa pajeng.
4. Peran Gender
Penerapan konsep
penanganan sampah yang berbasis pada aktivitas pemilahan pengolahan pemanfaatan
pembuangan residu berakar pada pola reduksi di sumber, di mana dilakukan
pemisahan terhadap komponen yang masih dapat didaur ulang dan dimanfaatkan
kembali secara langsung. Pada tingkat global, reduksi timbulan seluruh komponen
sampah kota dilakukan melalui program pendidikan dan pembuatan kompos pada
skala rumah tangga. Di kalangan masyarakat Eropa (EC), misalnya, penanganan
sampah kota telah ditetapkan sebagai berikut: 55% didaur-ulang dan dikompos,
35% dimusnahkan di insinerator, dan 10% dibuang ke landfill. Pembuatan
kompos pada skala rumah tangga dinilai sebagai upaya yang paling strategis dan
berwawasan ekologis untuk mengubah sampah basah menjadi produk yang bermanfaat.[5]
Perlu
diketahui bahwa sekitar 70% sampah kota di Jawa Timur berasal dari daerah
pemukiman. Fakta ini menunjukkan bahwa program reduksi sampah di sumber membutuhkan
peran total warga baik
yang di desa maupun di kota. Pada kenyataannya,
pelaku utama kegiatan pemilahan sampah dan pembuatan kompos yang dilakukan di
tingkat rumah tangga di Jawa Timur adalah kaum ibu. Demikian pula pada mata
rantai bisnis sampah desa
maupun kota, cukup banyak dilibatkan pemulung dan pengumpul berjenis kelamin
perempuan. Oleh karenanya, tingkat keberhasilan reduksi sampah desa maupun kota ikut ditentukan oleh
keterlibatan gender. Program Green and Clean sebagaimana di Surabaya Berbunga yang
diselenggarakan Pemerintah Kota Surabaya pun terbukti sangat didominasi oleh
kaum perempuan, dan
besar harapan yang di desa pun dapat melakukan hal yang sama dikarenakan Hal tersebut mendukung tujuan ketiga MDGs, yaitu pemberdayaan gender
dan kemampuan perempuan. Apalagi, hasil studi yang dilakukan oleh World Bank
(1999) menunjukkan bahwa program pembuatan kompos pada skala kecil, termasuk
skala rumah tangga, lebih berhasil bila dibandingkan dengan pada skala besar
(Tabel).
Tabel 2. Perbandingan program
daur ulang, komposting, dan biaya pengelolaan sampah desa maupun kota di negara berpenghasilan rendah, menengah dan
tinggi.
Kegiatan
|
Negara
berpenghasilan rendah
|
Negara
berpenghasilan menengah
|
Negara
berpenghasilan tinggi
|
Daur ulang
|
Umumnya dilakukan sektor
informal, pasar masih terlokalisasi, kerap terjadi import sampah untuk
didaur-ulang
|
Sektor informal masih
terlibat, teknologi canggih mulai digunakan untuk pemilahan dan prosesing,
ada import sampah untuk didaur-ulang
|
Dilakukan pelayanan
pengumpulan sampah yang dapat didaur-ulang, digunakan teknologi canggih untuk
pemilahan dan pengolahan, tersedia market yang sustained
|
Pembuatan kompos
|
Jarang dilakukan, meskipun
komponen sampah basah tinggi
|
Pembuatan kompos skala besar
sering tidak berhasil, pada skala kecil lebih berhasil
|
Sampah basah berjumlah
kecil, pembuatan kompos makin populer, dilakukan pada skala rumah
tangga hingga skala besar
|
Biaya pengelolaan sampah
|
Biaya pengangkutan sampah
80-90% dari biaya total pengelolaan sampah. Besarnya retribusi ditetapkan
Pemerintah, namun dilakukan dengan cara yang tidak efisien
|
Biaya pengangkutan sampah
50-80% dari biaya total pengelolaan sampah. Besarnya retribusi ditetapkan
Pemerintah Pusat dan Daerah, dengan sistem pengumpulan yang lebih baik
|
Biaya pengangkutan sampah
dapat ditekan hingga 10% dari biaya total pengelolaan sampah. Alokasi biaya
yang tinggi digunakan untuk pengolahan. Partisipasi masyarakat dalam recycling
cukup tinggi sehingga mengurangi biaya operasi
|
Sumber: World Bank, 1999
5. Pengendalian
Penyakit
Apabila
Program 3R berhasil dilakukan, maka timbulan sampah dapat dikurangi. Kondisi ini sekaligus menciptakan sanitasi
lingkungan yang lebih baik, sehubungan dengan berkurangnya dampak negatif sampah
terhadap kesehatan masyarakat dengan berkurangnya tumpukan sampah. Dengan
demikian, Program 3R sekaligus menunjang target MDGs ke 4-6 yang terkait dengan
peningkatan kesehatan anak dan ibu, serta anggota masyarakat lainnya.
Sampah
desa
maupun kota yang berasal dari berbagai sumber tidak
mustahil mengandung limbah B3. Yang dimaksudkan dengan limbah
B3 menurut Peraturan Pemerintah RI no. 18/1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun Pasal 1 adalah:
Sisa suatu kegiatan dan/atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya
dan/atau beracun, yang karena sifat dan/atau konsentrasinya dan/atau jumlahnya,
baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau
merusakkan lingkungan hidup, dan/atau dapat membahayakan lingkungan hidup,
kesehatan, kelangsungan hidup manusia, serta mahluk hidup lain.
Adapun yang
dikategorikan sebagai limbah B-3 adalah limbah yang apabila setelah melalui uji
karakteristik atau uji toksikologi, memiliki salah satu atau lebih
karakteristik sebagai berikut: (1) mudah meledak, (2) mudah terbakar, (3)
reaktif, (4) beracun, (5) infeksius, (6) korosif. Karena sifatnya yang dapat
mengganggu dan membahayakan lingkungan, limbah B3 harus ditangani secara khusus
menurut perundangan yang berlaku.
Deposit sampah yang telah terdekomposisi di TPA
sebenarnya berpotensi untuk digali dan dimanfaatkan sebagai kompos. Dengan cara
ini, selain terjadi recovery materi organik, juga dapat mengubah pola
TPA konvensional menjadi TPA yang dapat digunakan kembali (reusable landfill).
Namun, deposit organik di TPA Keputih yang cukup banyak mengandung logam berat
menurunkan peluang untuk digali dan dimanfaatkan sebagai kompos, karena tidak
memenuhi baku mutu kompos. Sebagaimana Setiap rumah tangga di Amerika Serikat menghasilkan sekitar 50kg limbah
B3 setiap tahunnya. Jumlah total limbah B3 rumah tangga yang dihasilkan di
negara tersebut adalah 1.6 juta ton/tahun (US EPA, 2006b). Pada tahun 1980,
beberapa kelompok masyarakat di Amerika mulai memisahkan limbah B3 dari
sampahnya. Pada tahun 1997 sekitar 3000 program yang difokuskan pada pemisahan
dan pengumpulan limbah B3 dari sampah rumah tangga telah berhasil dilaksanakan.
Di Jawa Timur inventarisasi data mengenai komposisi
limbah B3 baru terfokus pada limbah industri, demikian pula peraturan mengenai
penanganannya. Hingga saat ini belum ada data yang pasti mengenai laju timbulan
komposisi limbah B3 dalam sampah rumah tangga. Demikian pula data komponen
limbah B3 dalam sampah institusi (alat perkantoran, sekolah, perguruan tinggi),
laboratorium, rumah sakit, bengkel, apotik, dan sebagainya belum
terinventarisasi dengan baik.
Sampah desa maupun kota yang bersifat beracun
apabila dibuang bersama jenis sampah lainnya dapat masuk ke dalam lingkungan
tanah, air dan udara, yang pada akhirnya menembus rantai makanan. Kontaminan
beracun yang masuk dalam rantai makanan pada akhirnya dapat memengaruhi
kesehatan manusia, termasuk ibu dan anak. Upaya untuk mengurangi efek tersebut
adalah dengan memisahkannya dari sampah kota, dan mengelolanya dengan benar.
Upaya ini turut menunjang tercapainya tujuan keempat hingga ketujuh MDGs, yaitu
berkurangnya tingkat kematian anak, meningkatnya kesehatan Ibu, pengendalian
penyakit, dan tercapainya sustainabilitas lingkungan.
6. Paradigma Baru Dalam Penanganan Sampah Desa
Uraian di atas, menunjukkan pentingnya upaya pemisahan sampah B3 dari sampah desa, mengingat
potensi bahaya yang mungkin ditimbulkannya. Oleh karenanya, paradigma lama
dalam penanganan sampah kota yang semula terdiri atas pola aktivitas P3 (pengumpulan
pengangkutan pembuangan), yang kini tengah bergeser ke pola P4 (pemilahan
pengolahan pemanfaatan pembuangan residu), perlu disempurnakan lebih lanjut
menjadi pola P5, yaitu: pemisahan sampah B3 pemilahan pengolahan pemanfaatan
pembuangan residu. Pendekatan ini, selain dapat mereduksi laju timbulan
sampah kota, juga dapat menjaga mutu lingkungan hidup dari efek
komponen-komponen yang membahayakan kesehatan masyarakat.
Bilamana
pola P5 berhasil diterapkan, maka pergeseran pengelolaan sampah kota akan lebih
mendukung target MDGs. Namun, tentu saja implementasi dari aktivitas P5 memerlukan persiapan
yang seksama, terutama
peraturan pemerintah pendukung UU RI No. 18/2008 tentang
Pengelolaan Sampah, petunjuk
pelaksanaannya,
perencanaan dan penyediaan fasilitas pendukung, sistem pengumpulan dan
pengangkutan khusus, serta pola pengoperasiannya pada tingkat desa apalagi kota.
Faktor penyebab terbatasnya perusahaan industri
yang mau mengirimkan limbahnya ke perusahaan ini adalah kurangnya aspek
penegakan hukum lingkungan, serta kurangnya kepedulian lingkungan dari para penghasil
limbah B3. Dari aspek teknis operasional, faktor penyebab lain adalah mahalnya
biaya transportasi limbah B3 karena faktor jarak, serta mahalnya tarif biaya
pengolahan.
Kondisi tersebut di atas menggambarkan bahwa penerapan
P5 sebagai paradigma baru pengelolaan sampah, masih
akan menghadapi kendala yang
harus diatasi. Pemerintah Kota harus mempersiapkan fasilitas untuk penanganan
sampah B3 yang berasal dari rumah tangga dan sumber-sumber lainnya. Selain itu,
desentralisasi fasilitas pengolahan dan pembuangan limbah B3 perlu dilakukan
mengingat kondisi geografis Jawa Timur yang luas, serta tersebarnya
sumber-sumber limbah B3 di seluruh wilayah Jawa Timur.
7.
Pengelolaan Sampah Desa Berbasis
Masyarakat
a. Pendekatan
Keberhasilan
pelaksanaan program reduksi sampah tidak terlepas dari keterlibatan masyarakat.
Desa Pajeng telah menerapkan sistem pengelolaan sampah desa yang baru dirintis di desa Pajeng. Dalam
upaya pemberdayaan masyarakat dalam pengolahan sampah desa, maka dari kepala
desa mengintruksikan program unggulan berupa pengelolaan sampah mandiri berbasis
komunitas. Program unggulan ini bertujuan untuk mengurangi volume sampah mulai
dari sumber apapun, mekanisme pelaksanaan program unggulan adalah sebagai
berikut:
- Melaksanakan
kegiatan pendampingan dengan membentuk kader lingkungan sehat.
- Melaksanakan
kerjasama dengan komponen masyarakat, dalam hal ini PKK
- Melaksanakan
kerjasama dengan komponen masyarakat, dalam hal ini bersama dengan seluruh
warga desa pajeng dengan dikoordinir oleh ketua RT dan RW
- Melaksanakan
kerjasama dengan komponen masyarakat, dalam hal ini dengan
membentuk RT dan RW percontohan
- Bekerjasama dengan banyak pihak menyelenggarakan lomba kebersihan, diantaranya program Green and Clean, Surabaya Berbunga, serta
lomba kebersihan antar kecamatan
- Melaksanakan
operasi yustisi, yaitu dengan mendatangi langsung setiap gang atau RT maupun RW
percontohan
- Melakukan sosialisasi
budaya bersih melalui RT maupun RW sebagai Upaya Pemerintah Kota Bojonegoro dalam mereduksi sampah di sumber banyak didukung oleh LSM dan sebuah
perusahaan industri besar yang melakukan program Corporate Social
Responsibility (CSR). Kegiatan penanganan sampah yang dilakukan adalah
memisahkan sampah basah dan sampah kering, membuat kompos, membuat berbagai
asesoris, payung, jaket, tas dan sebagainya dari sampah plastik, menjual sampah
kering lainnya berupa kertas, logam yang telah dipisahkan.
Berikut ini adalah
pendekatan-pendekatan yang
dilakukan oleh tim KKN dalam rangka pemberdayaan masyarakat Desa Pajeng untuk mengurangi
sampahnya:
- Pengadaan percontohan pengolahan sampah. Mind-set masyarakat ternyata lebih mudah berubah apabila melihat langsung keberhasilan sebuah program baru, melalui percontohan. Hal inilah yang ditempuh tim KKN yang pada awalnya banyak mengalami kesulitan dalam memperkenalkan teknologi pengolahan sampah kepada masyarakat.
- Pembentukan kader lingkungan. Kader lingkungan diadakan dan dididik melalui program pelatihan yang diadakan DKP dan mitranya. Jumlah kader yang sudah ada pada saat ini baru 20 orang. Tim Penggerak PKK desa Pajeng, bekerjasama dengan DKP secara rutin setiap minggu sekali menyelenggarakan kegiatan penyuluhan bagi warga desa Pajeng. Produk yang diharapkan adalah kader lingkungan yang dapat melaksanakan kegiatan pemilahan dan pengolahan sampah di daerah tempat tinggalnya.
- Pendampingan warga. Kader lingkungan bertugas pula untuk pendampingan warga dalam melaksanakan aktivitas pengelolaan sampah di tingkat rumah tangga. Setiap kader melakukan pendampingan terhadap warga dari satu dasawisma atau 1 RT.
- Pengadaan prasarana kebersihan. DKP bersama LSM melakukan pembagian kresek warna merah dan hitam, selain itu juga komposter rumah tangga (KRT), keranjang Takakura, pengadaan gerobak sampah dan pembangunan rumah kompos. Pemberian fasilitas tersebut memperoleh support dari DKP dan sumber lain, seperti Dinas Pendidikan Nasional, PLN, dan sebagainya.
- Pemantauan. Kegiatan pemantauan pada umumnya dilakukan oleh para kader. Pemantauan dilakukan melalui kunjungan langsung, atau melalui telepon. Informasi yang diperoleh dapat menjadi masukan bagi organisasi pemberdaya masyarakat, Lurah dan DKP untuk meningkatkan kinerja pengelolaan sampah di desa Pajeng.
- Diseminasi kegiatan. Masyarakat melakukan diseminasi kegiatan pemilahan dan pengolahan sampah, baik secara aktif maupun pasif:
· Diseminasi
aktif: Masyarakat
bersama kader lingkungan secara
aktif memberikan penyuluhan dan pelatihan di daerah binaannya bagi masyarakat
luar. Hal ini menjadikan daerah binaan tersebut menjadi pusat pembelajaran,
sekaligus mengubah lokasi yang semula memiliki kecenderungan tertutup, menjadi
terbuka bagi masyarakat luar. Termasuk dalam kategori diseminasi aktif adalah
pelaksanaan penyuluhan dan pelatihan di luar daerah binaan, dengan cara
mengundang kelompok masyarakat yang membutuhkan.
· Diseminasi pasif.
Kegiatan yang dilakukan di daerah binaan secara tidak langsung menjadi sumber
inspirasi, motivasi dan semangat bagi orang-orang yang berkunjung untuk
melaksanakan kegiatan yang sama di tempat tinggalnya.
8. Capaian Program
Studi yang
dilakukan pada tahun 2012 terhadap 2.000 responden yang tersebar di seluruh wilayah desa Pajeng menunjukkan perubahan
persepsi serta perilaku warga kota yang signifikan terhadap sampah dan
pengelolaan sampah. Survei dilakukan di daerah binaan pengelolaan sampah berbasis komunitas dan di
daerah kontrol, yang tidak mendapatkan pembinaan. Di daerah binaan, prosentasi
warga yang menganggap sampah masih dapat dimanfaatkan, serta menganggap
perlunya pemisahan dan pengolahan sampah jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
di daerah yang tidak dibina. Demikian pula jumlah warga yang mau melakukan
pemilahan dan pengolahan sampah di daerah binaan secara signifikan lebih tinggi
dari daerah kontrol.
Kata kunci
kesuksesan kota Bojonegoro dalam menangani sampah adalah pendidikan masyarakat, pendampingan,
adanya kerjasama yang baik antara institusi Pemerintah dan LSM, serta
penyediaan fasilitas yang tepat guna. Pengalaman ini juga memberikan makna akan
pentingnya pendidikan untuk mengubah persepsi dan perilaku masyarakat terhadap
sampah. Rekomendasi yang dapat diangkat dari pengalaman ini adalah memasukkan
materi dan pemahaman tentang pencemaran dan sanitasi lingkungan yang lebih
komprehensif dan menarik ke dalam kurikulum pendidikan dasar (MDG kedua) hingga
menengah. Hal ini diperlukan untuk membentuk pola pikir masyarakat tentang pentingnya
pencegahan kerusakan lingkungan dan pemeliharaan mutu lingkungan sejak dini.
9. Kendala
Perlu
ditambahkan bahwa ada kendala yang harus dihadapi warga pelaku pemisah sampah baik organik
atau an-organik, maupun daur ulang sampah.
Karena sebagian Kompos yang dibuat pada skala rumah tangga, hingga saat ini masih terserap untuk memenuhi keperluan sendiri oleh rumah-tangga
penghasilnya. Kendala ini dirasakan mulai mengganggu semangat warga dalam
melakukan daur ulang. Bila tidak ada pihak yang turun-tangan untuk mengatasi
hal ini, dikhawatirkan sustainabilitas partisipasi warga kota dalam mengurangi
sampah desa dapat teganggu.
C. PENUTUP
Simpulan
Penanganan sampah desa merupakan salah satu bagian
penting dari proses pembangunan berkelanjutan yang memiliki target untuk
memenuhi kepentingan generasi sekarang dan generasi yang akan datang. Dalam
kerangka itu, perkembangan paradigma dalam penanganan sampah kota telah ikut menunjang hampir semua target MDGs, sehubungan
dengan kontribusinya terhadap pengentasan kemiskinan, pemberdayaan peran
gender, penurunan tingkat kematian anak,
peningkatan kesehatan ibu, lebih terkendalinya perkembangan penyakit, dan
tercapainya sustainabilitas lingkungan.
Sampah desa merupakan potensi
sumber daya yang dapat menunjang perekonomian desa maupun kota apabila dikelola
dengan baik, tetapi dapat menjadi bencana apabila tidak dikelola secara layak.
Hal-hal yang dapat direkomendasikan untuk peningkatan
pelayanan pengelolaan sampah desa adalah:
-
Berorientasi pada upaya pencegahan pembentukan sampah
dan minimisasi tumpukan sampah melalui kegiatan 3R dengan melibatkan masyarakat
-
Memasukkan materi tentang pencemaran dan pendekatan sanitasi lingkungan
yang komprehensif dan menarik ke dalam kurikulum pendidikan dasar hingga
menengah
-
Diperlukan peran pemerintah dalam hal penetapan kebijakan yang mendukung
sosialisasi penggunaan produk daur ulang sampah yang dapat membantu peningkatan
produksi dan distribusi hasil daur ulang sampah
-
Masyarakat perlu mendapatkan informasi yang jelas mengenai
karakteristik produk-produk pangan
maupun non pangan yang digunakan, serta cara menangani sampah pasca
pemakaian. Hal ini bertujuan selain untuk meningkatkan pemahaman tentang
potensi dan cara daur ulang, juga untuk mengetahui sejak dini kemungkinan
terdapatnya komponen B3 dalam sampah yang dihasilkan.
-
Pola penanganan sampah P5,
yaitu: pemisahan sampah B3-pemilahan-pengolahan-pemanfaatan-pembuangan residu, sudah saatnya untuk mendapatkan prioritas untuk dilaksanakan. Hal ini
diperlukan guna menekan pencemaran lingkungan oleh komponen yang membahayakan
kesehatan masyarakat dan lingkungan
DAFTAR PUSTAKA
Daftar
Isian Potensi dan Tingkat Perkembangan Desa Pajeng Kecamatan Gondang Kabupaten
Bojonegoro Tahun 2012.
Wawancara
dengan Bpk. Dedy Kristyawan selaku kepala desa pajeng tgl. 22 Februari 2013
jam. 15.00- selesai. Di rumah pak lurah.
Tchobanoglous, G., H. Theisen,
dan S.A.Vigil, 1993. Integrated solid waste management. Engineering
principles and management issues. McGraw Hill International Editions, New
York.
Majid, M.I.A., 2007. “Restricting the use of
plastic packaging. PRN 8099”. Professional Bulletin of the National Poison
Centre, Malaysia.
[1]
Daftar Isian Potensi dan Tingkat Perkembangan Desa Pajeng Kecamatan Gondang
Kabupaten Bojonegoro Tahun 2012
[2]
Wawancara dengan Bpk. Didik Kristyawan selaku kepala desa pajeng tgl. 22
Februari 2013 jam. 15.00- selesai. Di rumah pak lurah.
[3] Tchobanoglous, G., H. Theisen, dan S.A.Vigil,
1993. Integrated solid waste management. Engineering principles and
management issues. McGraw Hill International Editions, New York.
[4] Agung
Suprihatin, S. Pd; Ir. Dwi Prihanto; Dr. Michel Gelbert. 1996. Pengelolaan
Sampah. Malang : PPPGT / VEDC Malang
[5]
Majid, M.I.A., 2007. “Restricting the use of plastic packaging. PRN 8099”. Professional
Bulletin of the National Poison Centre, Malaysia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar