Rabu, 06 Maret 2013

PERKEMBANGAN PARADIGMA PENGELOLAAN SAMPAH DESA DALAM RANGKA PENCAPAIAN MILLENIUM DEVELOPMENT GOALS


Abstract
Trash is defined as human or animal waste that is solid or semi-solid, which does not have a use value or economic value, so it needs to be thrown.  A Trash problem is a problem that will continue to evolve and the proceeds, more and more human activity will affect the amount of generated trash production. Society as trash producers have a role in keeping the environment clean. However, in reality there are many people, especially in Pajeng village that adhered to the classical paradigm to throw garbage in the river or burn it. The purpose of this study is to determine the paradigm development of rural trash management to achieve millennium development goals. Contribution of trash management in East Java village and evolving paradigms for the MDGs. Furthermore, it will be recommended that strategies need to be applied in the handling of trash in order to support the achievement of the MDGs village in East Java. In this study, will be seen the relationship between paradigms, insight and action by comparing the phase of the current and past leadership in trash management.

Keywords: Paradigm, MDGs, Rural Trash Management



A.  Pendahuluan
Bojonegoro merupakan sebuah kabupaten di propinsi Jawa Timur. Wilayah ini berbatasan dengan Kabupaten Nganjuk di bagian Selatan. Kecamatan Gondang merupakan salah satu kecamatan yang terdapat di wilayah selatan  Kabupaten Bojonegoro berada di dataran tinggi sekitar 700 meter di atas permukaan laut. Kecamatan Gondang dapat ditempuh lebih efisien melalui Kabupaten Nganjuk dari pada melalui kota Bojonegoro dengan jarak tempuh sekitar 23 KM lebih dekat dari pada melalui kota Bojonegoro sendiri.
Desa Pajeng merupakan salah satu desa di Kecamatan Gondang Kabupaten Bojonegoro. Dengan luas wilayah sekitar 262.850 m2 terdiri dari tanah pemukiman, persawahan, kuburan, pekarangan, perkantoran serta sarana dan prasarana umum lainnya.[1]
Dengan kondisi  alam yang sangat indah  dan dikelilingi gunung, hutan, dan persawahan, di desa pajeng ada kekurangan dalam hal tempat pembuangan sampah/limbah dari rumah tangga yang kurang efektif. Sehingga sebagian masyarakat, lebih suka membuang sampah sembarangan di sekitar sungai dipinggir jalan utama, karena sebagian masyarakat berpendapat bahwasanya sungai sebagai pilihan yang baik untuk membuang sampah/limbah mereka. Menurut penuturan bapak Didik Kristiawan (38)  masyarakat di desa pajeng masih kurang peduli terhadap lingkungan dalam arti mereka kurang sadar akan dampak yang terjadi bila sampah/limbah dari rumah tangga tersebut secara terus menerus dilakukan oleh masyarakat. Akan tetapi hanya sebagian kecil masyarakat yang memahami dampak pembuangan sampah/limbah di sungai, masyarakat tersebut memiliki tempat pembuangan sampah tersendiri, itupun akhirnya hanya dibakar sebagai wujud untuk menghindari menumpuknya sampah/limbah.[2]
Kita dapat mengetahui dampak dari pembuangan sampah secara sembarangan sangat rentan terhadap berlangsungnya kehidupan di dalam masyarakat. Selain lingkungan menjadi tidak elok dipandang ada hal lain seperti banjir yang pada akhirnya berdampak pada kesehatan masyarakat itu sendiri.
Sebagaimana diketahui, setiap aktivitas di pedesaan pasti menghasilkan buangan yang dapat berbentuk padat, cair, atau gas. Di dalam pembahasan ini hanya akan dibahas buangan yang berbentuk padat, yang lazim disebut sampah. Sampah didefinisikan sebagai buangan manusia atau hewan yang bersifat padat atau semi padat, yang tidak memiliki nilai guna atau nilai ekonomi, sehingga perlu dibuang.[3]
Undang-undang Republik Indonesia (UURI) No. 18 tahun 2008 mendefinisikan sampah sebagai sisa kegiatan manusia sehari-hari dan/atau proses alam yang berbentuk padat. Tumpukan sampah terus meningkat seiring dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk. Ironisnya, fasilitas pengelolaan sampah di hampir semua desa di Jawa Timur masih terbatas. Dengan adanya Undang Undang Republik Indonesia (UU.R.I) No 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah, pola lama pengelolaan sampah di Jawa Timur yang berupa pengumpulan-pengangkutan-pembuangan (P3) mulai bergeser ke pemilahan-pengolahan-pemanfaatan-pembuangan residu (P4). Pergeseran paradigma pola pengelolaan sampah tersebut berlangsung dengan cukup signifikan di beberapa kota metropolitan, seperti Surabaya dan Jakarta, di mana terdapat peran aktif dari Dinas Kebersihan, yang mendapat dukungan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), praktisi, serta program Corporate Social Responsibility (CSR) dari perusahaan-perusahaan industri yang bernuansa penyelamatan lingkungan.
Namun agaknya berbeda dengan realitas yang terjadi di masyarakat pedesaan terutama desa Pajeng kecamatan Gondang. Mereka kurang bisa mendapatkan peran aktif dari Dinas Kebersihan kabupaten Bojonegoro, memperoleh dukungan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), praktisi, serta program Corporate Social Responsibility (CSR) dari perusahaan-perusahaan industri yang bernuansa penyelamatan lingkungan.
Data survei yang diungkapkan oleh JICA (2008) menunjukkan bahwa pengelolaan sampah di pulau Jawa baru mampu melayani 59% dari total jumlah penduduk. Dilaporkan pula, tingkat pelayanan pengelolaan sampah pada tingkat nasional hanya mencapai 56%. Padmi (2006) menyatakan sampah yang tidak terkelola oleh Pemerintah ditangani oleh penduduk dengan cara dibakar (35%), dikubur (7.5%), dikompos (1.6%), atau dengan cara lainnya (15.9%). Kondisi tersebut masih terjadi sampai sekarang, termasuk di kota Surabaya, begitu juga di desa Pajeng.
Di sisi lain, pesatnya pertumbuhan industri di Jawa Timur telah mengakibatkan terbentuknya sampah kota yang lebih beragam. Khususnya limbah jenis Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) meningkat dua kali lipat dalam satu dekade. Tumpukan limbah B3 pada tahun 1990 di Jawa Timur adalah 4.3 juta ton. Jumlah ini meningkat menjadi  8.8 juta ton pada tahun 1998. Diperkirakan lebih dari 75% limbah B3 berasal dari industri manufaktur, 5-10% dari rumah tangga, dan sisanya dari sumber-sumber lain. Kondisi ini telah mengakibatkan terjadinya gangguan lingkungan, yang belum terpantau dengan baik. Dikhawatirkan beban pencemaran oleh limbah B3 akan meningkat sepuluh kali lipat pada tahun 2010, terutama dari jenis limbah logam berat dan toksikan organik non-biodegradable yang dapat terbioakumulasi di lingkungan hidup (Anonymous, 1997).
Penyelesaian masalah sampah desa pajeng sebenarnya berhubungan dengan Millenium Development Goals (MDGs – Tujuan Pembangunan Millenium) yang ditandatangani oleh 149 Kepala Negara dalam UN Millenium Summit pada bulan September 2000, namun sebenarnya bukan hanya dalam kota saja yang perlu diselesaikan akan tetapi di wilayah pedesaan juga perlu untuk diperhatikan. Sebagaimana dinyatakan oleh UNDP (2006), ada 8 tujuan MDGs yang ditargetkan dapat tercapai pada tahun 2015, yaitu: (1) teratasinya masalah kemiskinan dan kelaparan yang ekstrim, (2) tercapainya tingkat pendidikan dasar umum, (3) meningkatnya peran gender dan kemampuan wanita, (4) berkurangnya tingkat kematian anak-anak, (5) meningkatnya kesehatan ibu, (6) terkendalinya HIV/AIDS, malaria, dan penyakit lainnya, (7) tercapainya sustainabilitas lingkungan, dan (8) berkembangnya kemitraan global untuk pembangunan.
Fokus jurnal ini adalah kontribusi pengelolaan sampah desa di pajeng kecamatan Gondang dan paradigma-paradigma yang berkembang terhadap MDGs terutama pada poin ke-7 yaitu tercapainya sustainabilitas lingkungan dan Selanjutnya, akan direkomendasikan strategi yang perlu diterapkan dalam penanganan sampah desa guna menunjang tercapainya MDGs di Jawa Timur.

B.  PEMBAHASAN
1.    Tumpukan dan Komposisi Sampah Desa
Acuan mengenai tumpukan sampah kota di Jawa Timur adalah SNI S-04-1993-03 yang ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional (SNI). Dalam SNI, ditetapkan bahwa tumpukan sampah di kota sedang adalah 0,7-0,8 kg/orang.hari, sedangkan di kota kecil sebesar 0,5-0,6 kg/orang.hari. Besaran tumpukan sampah ini berada pada kisaran tumpukan sampah antara negara berpenghasilan rendah (0,5 kg/orang.hari) dan menengah (0,9 kg/orang.hari). Komposisi sampah menjadi semakin kompleks dari waktu ke waktu. Komponen sampah basah semakin berkurang, sedangkan kandungan komponen kering, khususnya sisa kemasan, menjadi semakin meningkat. Ditinjau dari komposisinya, sampah kota di  Jawa Timur masih didominasi oleh sampah basah dan tidak jauh berbeda dengan kondisi di desa pajeng yang juga demikian adanya. Kondisi tersebut mirip dengan komposisi sampah di negara-negara berpenghasilan rendah.
Pada masa sekarang, bahan plastik dipandang sebagai bagian penting dalam hidup manusia, karena sifatnya yang kuat, ringan, murah, mudah diolah, dan hemat energi. Dengan sifat tersebut, plastik semakin banyak digunakan sebagai bahan pengemas. Pada saat ini, 40% produk plastik dunia digunakan untuk bahan pengemas. Sebagai akibatnya, jutaan ton plastik dibuang sebagai sampah setiap harinya. Data di negara maju menunjukkan setiap orang membuang 398 kg sampah plastik setiap tahunnya (Majid, 2007), 33 kali lebih besar dari jumlah sampah plastik yang dihasilkan oleh setiap orang di kota maupun di desa.
Meskipun jumlah sampah plastik hanya meliputi 12% saja dari sampah kota, akibat berat jenisnya yang rendah, volumenya membutuhkan ruang sebesar 25-35% lebih banyak dari volume total sampah. Akibatnya, amat sangat diperlukan adanya TPA guna memberdayakan pemilahan dan pengolahan sampah terutama di desa Pajeng kecamatan Gondang kabupaten Bojonegoro. apabila komponen sampah plastik terus meningkat jumlahnya, kebutuhan akan lahan TPA akan lebih meningkat pula. Hasil analisis komposisi deposit sampah pada 7 RW dan 30 RT menunjukkan kandungan plastik yang cukup tinggi, dibandingkan dengan sampah basah.

2.  Kontribusi Perkembangan Teknologi Pengelolaan Sampah Desa Terhadap MDGs serta Hierarki Penanganan Sampah yang Mendukung Sustainabilitas Lingkungan
a.    Pembuangan akhir
Pola pengelolaan sampah kota dapat digambarkan secara hierarkis (Gambar 1). Gambar tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat hierarki kegiatan pengelolaan sampah, semakin rendah biaya yang dibutuhkan. Tingkat hierarki terendah dalam penanganan sampah desa konvensional adalah pembuangan akhir (Gambar 1a). Pada hierarki ini, sampah dianggap tidak memiliki nilai dan harus dibuang atau dimusnahkan. Sebagai konsekuensinya, dibutuhkan biaya investasi dan operasional yang tinggi, termasuk biaya untuk mengatasi berbagai dampak lingkungan yang terjadi. Penerapan pengelolaan sampah kota yang menekankan semua bentuk buangan padat merupakan residu yang harus dibuang, tidak mendukung MDGs keenam, yaitu sustainabilitas lingkungan. Teknologi pembuangan sampah yang dilaksanakan di kebanyakan kota di Jawa Timur masih menyebabkan terjadinya emisi bau, metana, serta gas-gas lainnya ke atmosfir. Selain itu, juga timbul pencemaran tanah dan air tanah akibat lindi yang terbentuk, serta terjadinya perkembang biakan vektor-vektor penyakit, seperti diare, kolera, tifus, jamur dan beberapa penyakit lainnya.[4]



Biaya rendah




Biaya tinggi

Pembuangan akhir


Pencegahan


Energy recovery


Recycling


Reuse


Minimisasi


Pembuangan akhir


Recycling


Pencegahan


Minimisasi


Reuse


Energy recovery

(a) Konvensional

(b) Trend masa depan




Gambar 1.  Hierarki pengelolaan sampah kota
(Rudden, 2006, dimodifikasi dalam Trihadiningrum, 2008).
b.  Energy recovery
Tingkat hierarki yang lebih tinggi dari pembuangan akhir adalah energy recovery, di mana sampah dipandang sebagai sumber daya yang dapat menghasilkan energi. Penerapannya lazim dilakukan di TPA yang difasilitasi dengan sistem pengumpul dan konversi energi dari gas metana yang terbentuk selama sampah ditimbun. Proses anaerobik yang secara alami berlangsung di dalam timbunan sampah mampu mengubah sampah organik biodegradable menjadi gas metana. Bila tidak dikelola dan dimanfaatkan, gas metana dari TPA akan teremisi ke atmosfir, dan menjadi salah satu penyebab terjadinya pemanasan global.
Pemanfaatan metana dari TPA untuk sumber energi merupakan salah satu contoh kegiatan pembangunan yang berazas pada pengurangan sumber penyebab pemanasan global, yang kini lazim disebut Clean Development Mechanism (CDM). PT Navigat Organic Energy Jawa Timur, misalnya, telah berhasil membangun pembangkit listrik dengan tenaga sampah di TPA di Bali dan di Bantar Gebang, Bekasi. Produk listrik yang dihasilkan telah mendapatkan respon dari PLN untuk didistribusikan kepada masyarakat (Anonim, 2010a).
            Selain melalui proses anaerobik, sampah makanan dan sampah biomassa lainnya dapat pula dikonversi menjadi biofuel alkohol, melalui proses hidrolisis dan fermentasi. Bentuk energy recovery lainnya adalah pengubahan energi dari panas yang timbul pada proses insinerasi sampah, menjadi energi listrik. Belakangan ini, energi dari  briket sampah, yang lazim disebut Refuse Derived Fuel (RDF) yang populer di Amerika Serikat pada tahun 1970-an mulai dikembangkan kembali (Ramasamy, 2006). Bentuk terbaru RDF adalah Process Engineered Fuel (PEF), yang dibuat dari sampah plastik dan kertas (Toinezyk, 2006). Dalam penggunaannya, PEF dinilai lebih ramah lingkungan dari RDF. Trihadiningrum dkk (2008) meringkas proses-proses biofisik-kimiawi untuk konversi sampah menjadi energi sebagaimana diuraikan di atas pada Gambar 2.
 







Gambar 2. Bagan konversi sampah makanan dan biomassa menjadi energi. (Modifikasi dari Trihadiningrum dkk, 2008).
c.    Recycling, reuse, minimisasi dan pencegahan
Hierarki berikutnya adalah daur ulang sampah untuk menghasilkan produk baru (recycling), yang disusul dengan hierarki dengan tingkatan lebih tinggi, yaitu pemanfaatan kembali sampah (reuse). Hierarki lebih tinggi berikutnya adalah minimisasi, yaitu mengurangi  Tumpukan sampah semaksimal mungkin. Sedangkan hierarki tertinggi dalam penanganan sampah kota yang juga dapat berlaku di desa adalah sedapat mungkin mencegah terbentuknya sampah (prevention). Contoh-contoh aktifitas pada setiap hierarki dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Contoh masing-masing tingkatan hirarki penanganan sampah desa.
1. Pencegahan
2. Minimisasi
-          mengurangi pola konsumsi / belanja yang berlebihan
-          menggunakan produk dengan sistem sewa atau pinjam
-      menggunakan produk dengan kemasan yang dapat digunakan ulang,
-      menggunakan produk  sistem refill
-    melakukan pemilahan sampah yang dapat didaur ulang
3. Pemanfaatan kembali (Reuse)
4. Daur ulang (Recycling)
-    memanfaatkan barang bekas untuk fungsi sama atau berbeda. Misalnya, botol sirup bekas untuk tempat air, kontainer zat kimia untuk bak air, bak sampah, dsb
-    menyumbangkan barang bekas ke pihak-pihak yang dapat memanfaatkannya
-    mengubah bentuk dan sifat sampah melalui proses bio-fisik-kimiawi menjadi produk baru yang lebih berharga. Misalnya mengubah sampah basah menjadi kompos, mengolah sampah plastik menjadi pelet
5. Perolehan energi (energy recovery)
6. Pembuangan akhir
-    mengubah sampah melalui proses biofisikkimiawi menjadi energi; a.l. membuat briket bahan bakar dari sampah, melalui proses thermal (insinerasi, pyrolisis, gasifikasi), serta produksi  metana melalui biotreatment
-    membuang seluruh komponen sampah ke TPA, atau membakarnya

Menghadapi trend kuantitas sampah yang terus meningkat, hierarki pengelolaan sampah masa depan harus berubah. Trend pengelolaan sampah kota yang mengutamakan 3R, yaitu reduce, reuse, dan recycle, perlu didukung, agar jumlah sampah yang dibuang menjadi berkurang. Pola hierarki pengelolaan sampah masa depan, di mana volume sampah yang dibuang ke TPA menjadi jauh berkurang dengan lebih diintensifkannya program 3R.

d.     Potensi daur ulang sampah desa.
Masih dalam kerangka bahasan MDGs keenam, yaitu sustainabilitas lingkungan, berbagai komponen sampah menyimpan potensi untuk dapat dimanfaatkan kembali, atau diolah untuk menghasilkan produk baru non energi melalui proses recovery dan recycling. Potensi reduksi sampah desa dapat ditetapkan berdasarkan material balance, dengan memperhitungkan recovery factor setiap komponen sampah. Yang dimaksudkan dengan recovery factor adalah prosentasi setiap komponen sampah yang dapat dimanfaatkan kembali, di-recovery atau didaur ulang. Selebihnya merupakan residu yang memerlukan pembuangan akhir atau pemusnahan. Apabila strategi reduksi sampah basah maupun sampah kering dapat dilakukan dengan baik, maka selain diperoleh materi daur ulang yang bemanfaat, juga kebutuhan biaya penanganan sampah dan kebutuhan lahan TPA dapat dikurangi secara signifikan.
Perlu ditambahkan, bahwa daur ulang sampah memberikan keuntungan-keuntungan sebagai berikut, sebagaimana diuraikan dalam USEPA (2006):
·         menghemat penggunaan sumber daya alam
·         mengurangi emisi gas-gas pencemar udara dan polutan lain
·         menghemat penggunaan energi
·         menyediakan bahan baku untuk industri
·         menyediakan lapangan kerja
·         menstimulasi perkembangan teknologi ramah lingkungan
·         mengurangi kebutuhan akan lahan TPA dan insinerator
Khusus sampah plastik, kegiatan daur ulangnya dapat mengurangi dampak lingkungan yang sangat signifikan. Dalam proses produksi plastik, dibutuhkan sumber daya alam berupa minyak bumi yang sangat besar jumlahnya, baik sebagai bahan baku, maupun sebagai energi untuk proses manufaktur. Produksi setiap ton plastik jenis polietilen membutuhkan 1,8 ton minyak bumi. Setiap tahunnya, sekitar 4% minyak bumi dunia digunakan sebagai bahan baku plastik, dan 3-4% digunakan untuk sumber energi dalam proses manufaktur plastik. Sebagaimana dijelaskan dalam Anonymous (2006), daur ulang sampah plastik akan menghasilkan dampak lingkungan positif sebagai berikut:
-            mereduksi 67% konsumsi energi
-            menurunkan 250% emisi CO, 67% emisi SOx, dan 50% emisi NOx
-            mengurangi penggunaan air sebanyak 90%.
3.  Nilai Ekonomi Sampah dan Pengentasan Kemiskinan
Target MDGs pertama, yaitu pengentasan kemiskinan, didukung oleh terdapatnya nilai ekonomi pada sampah. Di Jawa Timur, aktivitas sektor informal dalam bisnis sampah telah menyatu dengan kegiatan ekonomi lain di hampir semua kota maupun desa yang memiliki potensi besar akan sampah. Dengan menggunakan harga komponen sampah kering yang dapat didaur ulang, nilai ekonomi sampah baik di kota maupun di desa dapat diperkirakan. sebagaimana dapat kita ketahui bahwa sampah merupakan sumber daya yang tidak dapat diabaikan perannya dalam ekonomi pedesaan maupun perkotaan.
Nilai ekonomi sampah dapat ditingkatkan menjadi hampir dua kali lipat apabila warga desa Pajeng telah mampu mendaur ulang seluruh sampah basah menjadi kompos.
Penjelasan di atas menunjang kenyataan bahwa keberadaan sampah desa pun dapat menopang hidup sebagian warga jika memang ulet menekuni hal itu, khususnya yang bergerak di sektor informal. Dalam kaitannya dengan tujuan pertama dari MDGs, potensi bisnis sampah kota berperan cukup penting dalam pengentasan kemiskinan. Namun, belum ada data yang pasti mengenai jumlah penduduk yang terlibat dalam sektor bisnis sampah. Apabila sampah basah diolah menjadi kompos, maka tentu hal ini dapat meningkatkan potensi perekonomian masyarakat desa pajeng.
4.  Peran Gender
Penerapan konsep penanganan sampah yang berbasis pada aktivitas pemilahan pengolahan pemanfaatan pembuangan residu berakar pada pola reduksi di sumber, di mana dilakukan pemisahan terhadap komponen yang masih dapat didaur ulang dan dimanfaatkan kembali secara langsung. Pada tingkat global, reduksi timbulan seluruh komponen sampah kota dilakukan melalui program pendidikan dan pembuatan kompos pada skala rumah tangga. Di kalangan masyarakat Eropa (EC), misalnya, penanganan sampah kota telah ditetapkan sebagai berikut: 55% didaur-ulang dan dikompos, 35% dimusnahkan di insinerator, dan 10% dibuang ke landfill. Pembuatan kompos pada skala rumah tangga dinilai sebagai upaya yang paling strategis dan berwawasan ekologis untuk mengubah sampah basah menjadi produk yang bermanfaat.[5]
Perlu diketahui bahwa sekitar 70% sampah kota di Jawa Timur berasal dari daerah pemukiman. Fakta ini menunjukkan bahwa program reduksi sampah di sumber membutuhkan peran total warga baik yang di desa maupun di kota. Pada kenyataannya, pelaku utama kegiatan pemilahan sampah dan pembuatan kompos yang dilakukan di tingkat rumah tangga di Jawa Timur adalah kaum ibu. Demikian pula pada mata rantai bisnis sampah desa maupun kota, cukup banyak dilibatkan pemulung dan pengumpul berjenis kelamin perempuan. Oleh karenanya, tingkat keberhasilan reduksi sampah desa maupun kota ikut ditentukan oleh keterlibatan gender. Program Green and Clean sebagaimana di Surabaya Berbunga yang diselenggarakan Pemerintah Kota Surabaya pun terbukti sangat didominasi oleh kaum perempuan, dan besar harapan yang di desa pun dapat melakukan hal yang sama dikarenakan Hal tersebut mendukung tujuan ketiga MDGs, yaitu pemberdayaan gender dan kemampuan perempuan. Apalagi, hasil studi yang dilakukan oleh World Bank (1999) menunjukkan bahwa program pembuatan kompos pada skala kecil, termasuk skala rumah tangga, lebih berhasil bila dibandingkan dengan pada skala besar (Tabel).
Tabel 2. Perbandingan program daur ulang, komposting, dan biaya pengelolaan sampah desa maupun kota di negara berpenghasilan rendah, menengah dan tinggi.

Kegiatan
Negara berpenghasilan rendah
Negara berpenghasilan menengah
Negara berpenghasilan tinggi
Daur ulang
Umumnya dilakukan sektor informal, pasar masih terlokalisasi, kerap terjadi import sampah untuk didaur-ulang
Sektor informal masih terlibat, teknologi canggih mulai digunakan untuk pemilahan dan prosesing, ada import sampah untuk didaur-ulang
Dilakukan pelayanan pengumpulan sampah yang dapat didaur-ulang, digunakan teknologi canggih untuk pemilahan dan pengolahan, tersedia market yang sustained
Pembuatan kompos
Jarang dilakukan, meskipun komponen sampah basah tinggi
Pembuatan kompos skala besar sering tidak berhasil, pada skala kecil lebih berhasil
Sampah basah berjumlah kecil, pembuatan kompos makin populer, dilakukan  pada skala rumah tangga hingga skala besar
Biaya pengelolaan sampah
Biaya pengangkutan sampah 80-90% dari biaya total pengelolaan sampah. Besarnya retribusi ditetapkan Pemerintah, namun dilakukan dengan cara yang tidak efisien
Biaya pengangkutan sampah 50-80% dari biaya total pengelolaan sampah. Besarnya retribusi ditetapkan Pemerintah Pusat dan Daerah, dengan sistem pengumpulan yang lebih baik
Biaya pengangkutan sampah dapat ditekan hingga 10% dari biaya total pengelolaan sampah. Alokasi biaya yang tinggi digunakan untuk pengolahan. Partisipasi masyarakat dalam recycling cukup tinggi sehingga mengurangi biaya operasi
Sumber: World Bank, 1999
5.  Pengendalian Penyakit
Apabila Program 3R berhasil dilakukan, maka timbulan sampah dapat dikurangi.  Kondisi ini sekaligus menciptakan sanitasi lingkungan yang lebih baik, sehubungan dengan berkurangnya dampak negatif sampah terhadap kesehatan masyarakat dengan berkurangnya tumpukan sampah. Dengan demikian, Program 3R sekaligus menunjang target MDGs ke 4-6 yang terkait dengan peningkatan kesehatan anak dan ibu, serta anggota masyarakat lainnya.
Sampah desa maupun kota yang berasal dari berbagai sumber tidak mustahil mengandung limbah B3. Yang dimaksudkan dengan limbah B3 menurut Peraturan Pemerintah RI no. 18/1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun Pasal 1 adalah:
Sisa suatu kegiatan dan/atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan/atau beracun, yang karena sifat dan/atau konsentrasinya dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusakkan lingkungan hidup, dan/atau dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia, serta mahluk hidup lain.
Adapun yang dikategorikan sebagai limbah B-3 adalah limbah yang apabila setelah melalui uji karakteristik atau uji toksikologi, memiliki salah satu atau lebih karakteristik sebagai berikut: (1) mudah meledak, (2) mudah terbakar, (3) reaktif, (4) beracun, (5) infeksius, (6) korosif. Karena sifatnya yang dapat mengganggu dan membahayakan lingkungan, limbah B3 harus ditangani secara khusus menurut perundangan yang berlaku.
Deposit sampah yang telah terdekomposisi di TPA sebenarnya berpotensi untuk digali dan dimanfaatkan sebagai kompos. Dengan cara ini, selain terjadi recovery materi organik, juga dapat mengubah pola TPA konvensional menjadi TPA yang dapat digunakan kembali (reusable landfill). Namun, deposit organik di TPA Keputih yang cukup banyak mengandung logam berat menurunkan peluang untuk digali dan dimanfaatkan sebagai kompos, karena tidak memenuhi baku mutu kompos. Sebagaimana Setiap rumah tangga di Amerika Serikat menghasilkan sekitar 50kg limbah B3 setiap tahunnya. Jumlah total limbah B3 rumah tangga yang dihasilkan di negara tersebut adalah 1.6 juta ton/tahun (US EPA, 2006b). Pada tahun 1980, beberapa kelompok masyarakat di Amerika mulai memisahkan limbah B3 dari sampahnya. Pada tahun 1997 sekitar 3000 program yang difokuskan pada pemisahan dan pengumpulan limbah B3 dari sampah rumah tangga telah berhasil dilaksanakan.
Di Jawa Timur inventarisasi data mengenai komposisi limbah B3 baru terfokus pada limbah industri, demikian pula peraturan mengenai penanganannya. Hingga saat ini belum ada data yang pasti mengenai laju timbulan komposisi limbah B3 dalam sampah rumah tangga. Demikian pula data komponen limbah B3 dalam sampah institusi (alat perkantoran, sekolah, perguruan tinggi), laboratorium, rumah sakit, bengkel, apotik, dan sebagainya belum terinventarisasi dengan baik.
Sampah desa maupun kota yang bersifat beracun apabila dibuang bersama jenis sampah lainnya dapat masuk ke dalam lingkungan tanah, air dan udara, yang pada akhirnya menembus rantai makanan. Kontaminan beracun yang masuk dalam rantai makanan pada akhirnya dapat memengaruhi kesehatan manusia, termasuk ibu dan anak. Upaya untuk mengurangi efek tersebut adalah dengan memisahkannya dari sampah kota, dan mengelolanya dengan benar. Upaya ini turut menunjang tercapainya tujuan keempat hingga ketujuh MDGs, yaitu berkurangnya tingkat kematian anak, meningkatnya kesehatan Ibu, pengendalian penyakit, dan tercapainya sustainabilitas lingkungan.
6.  Paradigma Baru Dalam Penanganan Sampah Desa
Uraian di atas, menunjukkan pentingnya upaya pemisahan sampah B3 dari sampah desa, mengingat potensi bahaya yang mungkin ditimbulkannya. Oleh karenanya, paradigma lama dalam penanganan sampah kota yang semula terdiri atas pola aktivitas P3 (pengumpulan pengangkutan pembuangan), yang kini tengah bergeser ke pola P4 (pemilahan pengolahan pemanfaatan pembuangan residu), perlu disempurnakan lebih lanjut menjadi pola P5, yaitu: pemisahan sampah B3 pemilahan pengolahan pemanfaatan pembuangan residu.  Pendekatan ini, selain dapat mereduksi laju timbulan sampah kota,  juga dapat menjaga mutu lingkungan hidup dari efek komponen-komponen yang membahayakan kesehatan masyarakat.
Bilamana pola P5 berhasil diterapkan, maka pergeseran pengelolaan sampah kota akan lebih mendukung target MDGs. Namun, tentu saja implementasi dari aktivitas P5 memerlukan persiapan yang seksama, terutama peraturan pemerintah pendukung UU RI No. 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah, petunjuk pelaksanaannya, perencanaan dan penyediaan fasilitas pendukung, sistem pengumpulan dan pengangkutan khusus, serta pola pengoperasiannya pada tingkat desa apalagi kota.
Faktor penyebab terbatasnya perusahaan industri yang mau mengirimkan limbahnya ke perusahaan ini adalah kurangnya aspek penegakan hukum lingkungan, serta kurangnya kepedulian lingkungan dari para penghasil limbah B3. Dari aspek teknis operasional, faktor penyebab lain adalah mahalnya biaya transportasi limbah B3 karena faktor jarak, serta mahalnya tarif biaya pengolahan.
Kondisi tersebut di atas menggambarkan bahwa penerapan P5 sebagai paradigma baru pengelolaan sampah, masih akan menghadapi kendala yang harus diatasi. Pemerintah Kota harus mempersiapkan fasilitas untuk penanganan sampah B3 yang berasal dari rumah tangga dan sumber-sumber lainnya. Selain itu, desentralisasi fasilitas pengolahan dan pembuangan limbah B3 perlu dilakukan mengingat kondisi geografis Jawa Timur yang luas, serta tersebarnya sumber-sumber limbah B3 di seluruh wilayah Jawa Timur.
7.  Pengelolaan Sampah Desa Berbasis Masyarakat
a.    Pendekatan
Keberhasilan pelaksanaan program reduksi sampah tidak terlepas dari keterlibatan masyarakat. Desa Pajeng telah menerapkan sistem pengelolaan sampah desa yang baru dirintis di desa Pajeng. Dalam upaya pemberdayaan masyarakat dalam pengolahan sampah desa, maka dari kepala desa mengintruksikan program unggulan berupa  pengelolaan sampah mandiri berbasis komunitas. Program unggulan ini bertujuan untuk mengurangi volume sampah mulai dari sumber apapun, mekanisme pelaksanaan program unggulan adalah sebagai berikut:
-       Melaksanakan kegiatan pendampingan dengan membentuk kader lingkungan sehat.
-       Melaksanakan kerjasama dengan komponen masyarakat, dalam hal ini PKK
-       Melaksanakan kerjasama dengan komponen masyarakat, dalam hal ini bersama dengan seluruh warga desa pajeng dengan dikoordinir oleh ketua RT dan RW
-       Melaksanakan kerjasama dengan komponen masyarakat, dalam hal ini  dengan  membentuk  RT dan RW percontohan
-       Bekerjasama dengan banyak pihak menyelenggarakan lomba kebersihan, diantaranya program Green and Clean, Surabaya Berbunga, serta lomba kebersihan antar kecamatan
-       Melaksanakan operasi yustisi, yaitu dengan mendatangi langsung setiap gang atau RT maupun RW percontohan
-       Melakukan sosialisasi budaya bersih melalui RT maupun RW sebagai   Upaya Pemerintah Kota Bojonegoro dalam mereduksi sampah di sumber banyak didukung oleh LSM dan sebuah perusahaan industri besar yang melakukan program Corporate Social Responsibility (CSR). Kegiatan penanganan sampah yang dilakukan adalah memisahkan sampah basah dan sampah kering, membuat kompos, membuat berbagai asesoris, payung, jaket, tas dan sebagainya dari sampah plastik, menjual sampah kering lainnya berupa kertas, logam yang telah dipisahkan.
Berikut ini adalah pendekatan-pendekatan yang dilakukan oleh tim KKN dalam rangka pemberdayaan masyarakat Desa Pajeng untuk mengurangi sampahnya:
  1. Pengadaan percontohan pengolahan sampah. Mind-set masyarakat ternyata lebih mudah berubah apabila melihat langsung keberhasilan sebuah program baru, melalui percontohan. Hal inilah yang ditempuh tim KKN yang pada awalnya banyak mengalami kesulitan dalam memperkenalkan teknologi pengolahan sampah kepada masyarakat.
  2. Pembentukan kader lingkungan. Kader lingkungan diadakan dan dididik melalui program pelatihan yang diadakan DKP dan mitranya. Jumlah kader yang sudah ada pada saat ini baru 20 orang. Tim Penggerak PKK desa Pajeng, bekerjasama dengan DKP secara rutin setiap minggu sekali menyelenggarakan kegiatan penyuluhan bagi warga desa Pajeng. Produk yang diharapkan adalah kader lingkungan yang dapat melaksanakan kegiatan pemilahan dan pengolahan sampah di daerah tempat tinggalnya.
  3. Pendampingan warga. Kader lingkungan bertugas pula untuk pendampingan warga dalam melaksanakan aktivitas pengelolaan sampah di tingkat rumah tangga. Setiap kader melakukan pendampingan terhadap warga dari satu dasawisma atau 1 RT.
  4. Pengadaan prasarana kebersihan. DKP bersama LSM melakukan pembagian kresek warna merah dan hitam, selain itu juga komposter rumah tangga (KRT), keranjang Takakura, pengadaan gerobak sampah dan pembangunan rumah kompos. Pemberian fasilitas tersebut memperoleh support dari DKP dan sumber lain, seperti Dinas Pendidikan Nasional, PLN, dan sebagainya.
  5. Pemantauan. Kegiatan pemantauan pada umumnya dilakukan oleh para kader. Pemantauan dilakukan melalui kunjungan langsung, atau melalui telepon. Informasi yang diperoleh dapat menjadi masukan bagi organisasi pemberdaya masyarakat, Lurah dan DKP untuk meningkatkan kinerja pengelolaan sampah di desa Pajeng.
  6. Diseminasi kegiatan. Masyarakat melakukan diseminasi kegiatan pemilahan dan pengolahan sampah, baik secara aktif maupun pasif:
·         Diseminasi aktif: Masyarakat bersama kader lingkungan secara aktif memberikan penyuluhan dan pelatihan di daerah binaannya bagi masyarakat luar. Hal ini menjadikan daerah binaan tersebut menjadi pusat pembelajaran, sekaligus mengubah lokasi yang semula memiliki kecenderungan tertutup, menjadi terbuka bagi masyarakat luar. Termasuk dalam kategori diseminasi aktif adalah pelaksanaan penyuluhan dan pelatihan di luar daerah binaan, dengan cara mengundang kelompok masyarakat yang membutuhkan.
·         Diseminasi pasif. Kegiatan yang dilakukan di daerah binaan secara tidak langsung menjadi sumber inspirasi, motivasi dan semangat bagi orang-orang yang berkunjung untuk melaksanakan kegiatan yang sama di tempat tinggalnya.
8.    Capaian Program
Studi yang dilakukan pada tahun 2012 terhadap 2.000 responden yang tersebar di seluruh wilayah desa Pajeng menunjukkan perubahan persepsi serta perilaku warga kota yang signifikan terhadap sampah dan pengelolaan sampah. Survei dilakukan di daerah binaan pengelolaan sampah berbasis komunitas dan di daerah kontrol, yang tidak mendapatkan pembinaan. Di daerah binaan, prosentasi warga yang menganggap sampah masih dapat dimanfaatkan, serta menganggap perlunya pemisahan dan pengolahan sampah jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di daerah yang tidak dibina. Demikian pula jumlah warga yang mau melakukan pemilahan dan pengolahan sampah di daerah binaan secara signifikan lebih tinggi dari daerah kontrol.
Kata kunci kesuksesan kota Bojonegoro dalam menangani sampah adalah pendidikan masyarakat, pendampingan, adanya kerjasama yang baik antara institusi Pemerintah dan LSM, serta penyediaan fasilitas yang tepat guna. Pengalaman ini juga memberikan makna akan pentingnya pendidikan untuk mengubah persepsi dan perilaku masyarakat terhadap sampah. Rekomendasi yang dapat diangkat dari pengalaman ini adalah memasukkan materi dan pemahaman tentang pencemaran dan sanitasi lingkungan yang lebih komprehensif dan menarik ke dalam kurikulum pendidikan dasar (MDG kedua) hingga menengah. Hal ini diperlukan untuk membentuk pola pikir masyarakat tentang pentingnya pencegahan kerusakan lingkungan dan pemeliharaan mutu lingkungan sejak dini.

9.  Kendala
Perlu ditambahkan bahwa ada kendala yang harus dihadapi warga pelaku pemisah sampah baik organik atau an-organik, maupun daur ulang sampah. Karena sebagian Kompos yang dibuat pada skala rumah tangga, hingga saat ini masih terserap untuk memenuhi keperluan sendiri oleh rumah-tangga penghasilnya. Kendala ini dirasakan mulai mengganggu semangat warga dalam melakukan daur ulang. Bila tidak ada pihak yang turun-tangan untuk mengatasi hal ini, dikhawatirkan sustainabilitas partisipasi warga kota dalam mengurangi sampah desa dapat teganggu.
C.  PENUTUP
Simpulan
Penanganan sampah desa merupakan salah satu bagian penting dari proses pembangunan berkelanjutan yang memiliki target untuk memenuhi kepentingan generasi sekarang dan generasi yang akan datang. Dalam kerangka itu, perkembangan paradigma dalam penanganan sampah kota telah ikut menunjang hampir semua target MDGs, sehubungan dengan kontribusinya terhadap pengentasan kemiskinan, pemberdayaan peran gender, penurunan tingkat kematian anak, peningkatan kesehatan ibu, lebih terkendalinya perkembangan penyakit, dan tercapainya sustainabilitas lingkungan.
Sampah desa merupakan potensi sumber daya yang dapat menunjang perekonomian desa maupun kota apabila dikelola dengan baik, tetapi dapat menjadi bencana apabila tidak dikelola secara layak. Hal-hal yang dapat direkomendasikan untuk peningkatan pelayanan pengelolaan sampah desa adalah:
-          Berorientasi pada upaya pencegahan pembentukan sampah dan minimisasi tumpukan sampah melalui kegiatan 3R dengan melibatkan masyarakat
-          Memasukkan materi tentang pencemaran dan pendekatan sanitasi lingkungan yang komprehensif dan menarik ke dalam kurikulum pendidikan dasar hingga menengah
-          Diperlukan peran pemerintah dalam hal penetapan kebijakan yang mendukung sosialisasi penggunaan produk daur ulang sampah yang dapat membantu peningkatan produksi dan distribusi hasil daur ulang sampah
-          Masyarakat perlu mendapatkan informasi yang jelas mengenai karakteristik produk-produk pangan maupun non pangan yang digunakan, serta cara menangani sampah pasca pemakaian. Hal ini bertujuan selain untuk meningkatkan pemahaman tentang potensi dan cara daur ulang, juga untuk mengetahui sejak dini kemungkinan terdapatnya komponen B3 dalam sampah yang dihasilkan.
-          Pola penanganan sampah P5, yaitu: pemisahan sampah B3-pemilahan-pengolahan-pemanfaatan-pembuangan residu, sudah saatnya untuk mendapatkan prioritas untuk dilaksanakan. Hal ini diperlukan guna menekan pencemaran lingkungan oleh komponen yang membahayakan kesehatan masyarakat dan lingkungan

DAFTAR PUSTAKA
Daftar Isian Potensi dan Tingkat Perkembangan Desa Pajeng Kecamatan Gondang Kabupaten Bojonegoro Tahun 2012.
Wawancara dengan Bpk. Dedy Kristyawan selaku kepala desa pajeng tgl. 22 Februari 2013 jam. 15.00- selesai. Di rumah pak lurah.
Tchobanoglous, G., H. Theisen, dan S.A.Vigil, 1993. Integrated solid waste management. Engineering principles and management issues. McGraw Hill International Editions, New York.
Majid, M.I.A., 2007. “Restricting the use of plastic packaging. PRN 8099”. Professional Bulletin of the National Poison Centre, Malaysia.



[1] Daftar Isian Potensi dan Tingkat Perkembangan Desa Pajeng Kecamatan Gondang Kabupaten Bojonegoro Tahun 2012
[2] Wawancara dengan Bpk. Didik Kristyawan selaku kepala desa pajeng tgl. 22 Februari 2013 jam. 15.00- selesai. Di rumah pak lurah.
[3] Tchobanoglous, G., H. Theisen, dan S.A.Vigil, 1993. Integrated solid waste management. Engineering principles and management issues. McGraw Hill International Editions, New York.

[4] Agung Suprihatin, S. Pd; Ir. Dwi Prihanto; Dr. Michel Gelbert. 1996. Pengelolaan Sampah. Malang : PPPGT / VEDC Malang
[5] Majid, M.I.A., 2007. “Restricting the use of plastic packaging. PRN 8099”. Professional Bulletin of the National Poison Centre, Malaysia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar