BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang.
Zakat merupakan ibadah pokok dalam
bidang harta dan termasuk salah satu rukun (rukun ketiga) dari rukun Islam yang
lima, dan juga menjadi salah satu bangunan dari agama Islam, sebagaimana
diungkapkan dalam berbagai hadis Nabi,[1]
oleh karena itu keberadaannya bagi umat Islam adalah selain menjadi doktrin
keagamaan (normative religius) yang mengikat dan bahkan dianggap sebagai
ma’luum minad-diin bidh-dharuurah atau diketahui secara otomatis adanya dan
merupakan bagian mutlak dari keislaman seseorang[2],
juga disadari bahwa zakat mempunyai dimensi sosial ekonomi umat, yaitu sebagai
salah satu instrumen untuk menanggulangi problema ekonomi umat Islam dan senantiasa
menjadi tumpuan umat Islam dalam menanggulangi kemiskinan.
Keterkaitannya sebagai doktrin
keagamaan, zakat merupakan instrumen manusia meraih kebajikan, dapat disebut
orang baik, masuk barisan orang mukmin dan bertakwa serta dapat dibedakan
dengan orang musyrik dan munafik[3].
Selain itu dalam Al-Quran juga dinyatakan bahwa tanpa zakat, seorang manusia
tidak akan memperoleh rahmat dari Allah, tidak berhak memperoleh pertolongan
dari Allah, dari RasulNya dan dari orang-orang beriman, dan tanpa zakat pula,
seorang manusia tidak bisa memperoleh pembelaan dari Allah yang sudah
dijanjikannya.[4]Sehingga
Al Quran memberi apresiasi kepada manusia yang secara sungguh-sungguh membayar
zakat[5].Dan
sebaliknya, AlQuran memberikan ancaman bagi orang yang sengaja meninggalkannya.[6]Demikian
pentingnya zakat dalam Islam sehingga khalifah Abu Bakar bertekat memerangi
orang-orang yang shalat tetapi tidak mau menunaikan zakat.[7]
Perintah menunaikan zakat mengandung
hikmah bagi orang yang membayar zakat (muzakki), penerimanya (mustahik), harta
yang dikeluarkan zakatnya, maupun bagi masyarakat keseluruhan[8].Dalam
prespektif ekonomi, hikmah dari perintah membayar zakat bagi muzakki adalah
agar mereka mengelola hartanya secara produktif. Zakat dengan tarif 2,5 %
terhadap harta merupakan hukuman bagi pemilik harta agar tidak menyimpan harta
benda mereka tanpa menggunakan atau menginvestasikannya di sektor produktif.
Karena kalau tidak demikian, harta itu akan habis secara perlahan-lahan untuk
membayar zakat. Untuk menghindari agar hartanya itu tidak habis untuk kewajiban
membayar zakat, maka harta itu harus diinvestasikan seproduktif mungkin
berdasarkan aturan ilahi. Seruan dan dorongan Islam agar umatnya senantiasa
menggunakan harta secara produktif juga telah diberikan contoh oleh Khalifah
Umar ibn Khattab ketika mengambil tanah milik Bilal ibn Rabbah di Kahaibar
dekat Mekah yang dihadiahkan kepada Rasul Alah SAW, karena Bilal tidak
memanfaatkan tanah tersebut dan membiarkan terlantar begitu saja.[9]
Selain itu juga masih dapat kita sangsikan
bahwa dengan peningkatan produksi belum tentu dapat meningkatkan pendapatan,
khususnya para pekerja.Lain halnya dengan konsep ekonomi
Islam, dimana konsep produksi tidak semata-mata bermotif memaksimalkan
keuntungan dunia tetapi lebih jauh dan penting adalah memaksimalkan keuntungan
akhirat, dengan kata lain seseorang dapat berkompetisi dalam kebaikan untuk
urusan dunia tetapi sejatinya mereka sedang berlomba-lomba mencapai kebaikan di
akhirat. Hal ini seperti yang dijelaskan oleh Alquran dalam
surat al Qashash ayat 77 :
Artinya : Dan carilah pada apa
yang Telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan
janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat
baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah Telah berbuat baik, kepadamu, dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.
Mengenai fungsi produksi, dalam
konsep ekonomi Islam bahwa memproduksi sesuatu bukanlah sekedar untuk dikonsumsi
sendiri atau dijual dipasar melainkan juga mewujudkan fungsi sosial. Oleh karena
itu kegiatan produksi dalam ekonomi Islam harus bergerak diatas dua garis
optimalisasi, yaitu optimalisasi berfungsinya sumber daya insani kearah
pencapaian kondisi full employment dan optimalisasi dalam hal memproduksi
sesuatu yang halal dan bermanfaat bagi masyarakat[10],Target
yang hendak dicapai secara bertahap dalam hal itu adalah kecukupan setiap
individu, swasembada ekonomi umat dan kontribusi untuk mencukupi umat dan bangsa
lain.
Terkait dengan pendistribusian
zakat, seperti yang kita jelaskan diatas, akan menyebabkan naiknya jumlah
permintaan terhadap barang-barang dan jasa kebutuhan mustahik, sehingga akan
mendorong tumbuhnya industri-industri baru yang memproduksi barang atau jasa
tersebut. Lahirnya industri baru ini akan membuka lapangan kerja baru yang
dapat segera diisi oleh golongan masyarakat berpendapatan rendah yang umumnya
masih berstatus pengangguran.
Demikian latar belakang dari
pembahasan makalah kami yang berjudul zakat dalam persepektif ekonomi mikro.
Maka dari itu kami sebagai penulis akan merumuskan masalah dalam pembahasan
makalah kami diantaranya adalah:
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
definisi zakat dan definisi ekonomi mikro ?
2.
Bagaimanakah
Urgensi Dan Tujuan Zakat Di Lihat Dari Sudut Pandang Mikro Ekonomi Islam?
3.
Bagaimanakah Peranan Zakat Dalam
Pembagian Konsumsi?
4.
Bagaimanakah Pengaruh zakat perniagaan dalam ekonomi
mikro islam ?
C.
Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi zakat dan definisi
ekonomi mikro .
2. Untuk mengetahui urgensi dan tujuan zakat di lihat
dari sudut pandang mikro ekonomi islam.
3. Untuk mengetahui peran zakat dalam pembagian konsumsi
4. Untuk mengetahui pengaruh zakat perniagaan dalam ekonomi mikro islam
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Definisi zakat dan definisi ekonomi mikro.
Zakat
menurut bahasa artinya adalah “berkembang” (an namaa`) atau “pensucian” (at
tath-hiir). Adapun menurut syara’, zakat adalah hak yang telah ditentukan
besarnya yang wajib dikeluarkan pada
harta-harta tertentu (haqqun muqaddarun yajibu fi amwalin mu’ayyanah).[11]
Seorang yang membayar zakat karena keimanannya nicaya akan memperoleh
kebaikan yang banyak. Allah SWT berfirman : “Pungutlah zakat dari sebagian
kekayaan mereka dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.”. (QS
: At-Taubah : 103).
Teori Mikroekonomi
Suatu bidang dalam ilmu ekonomi yang
menganalisis mengenai bagian-bagian kecil dari keseluruhan kegiatan
perekonomian dan isu pokok yang dianalisis adalah bagaimana caranya menggunakan
faktor-faktor produksi yang tersedia secara efisien agar kemakmuran masyarakat
dapat dimaksimumkan.
Ilmu ekonomi
mikro (sering juga ditulis mikroekonomi) adalah cabang dari ilmu ekonomi yang
mempelajari perilaku konsumen dan perusahaan serta penentuan harga-harga pasar
dan kuantitas faktor input, barang, dan jasa yang diperjualbelikan. Ekonomi
mikro meneliti bagaimana berbagai keputusan dan perilaku tersebut mempengaruhi
penawaran dan permintaan atas barang dan jasa, yang akan menentukan harga; dan
bagaimana harga, pada gilirannya, menentukan penawaran dan permintaan barang
dan jasa selanjutnya. Individu yang melakukan kombinasi konsumsi atau produksi
secara optimal, bersama-sama individu lainnya di pasar, akan membentuk suatu
keseimbangan dalam skala makro; dengan asumsi bahwa semua hal lain tetap sama
(ceteris paribus).
Salah satu
tujuan ekonomi mikro adalah menganalisa pasar beserta mekanismenya yang
membentuk harga relatif kepada produk dan jasa, dan alokasi dari sumber
terbatas diantara banyak penggunaan alternatif. Ekonomi mikro menganalisa
kegagalan pasar, yaitu ketika pasar gagal dalam memproduksi hasil yang efisien;
serta menjelaskan berbagai kondisi teoritis yang dibutuhkan bagi suatu pasar
persaingan sempurna. Bidang-bidang penelitian yang penting dalam ekonomi mikro,
meliputi pembahasan mengenai keseimbangan umum (general equilibrium), keadaan
pasar dalam informasi asimetris, pilihan dalam situasi ketidakpastian, serta
berbagai aplikasi ekonomi dari teori permainan. Juga mendapat perhatian ialah
pembahasan mengenai elastisitas produk dalam sistem pasar.
Analisis dalam
teori ekonomi mikro dibuat berdasarkan pemikiran bahwa
a. Kebutuhan
dan keinginan manusia adalah tidak terbatas.
b. Kemampuan faktor-faktor produksi menghasilkan barang dan jasa untuk
memenuhi kebutuhan dan keinginan masyarakat adalah terbatas.
Gambar :
Distribusi Sumber Daya[12]
2.
Urgensi Dan
Tujuan Zakat Di Lihat Dari Sudut Pandang Mikro Ekonomi Islam
Zakat pada era emasnya merupakan instrumen fiskal
negara yang berfungsi bukan hanya untuk mendistribusikan kesejahteraan umat
secara lebih adil dan merata tetapi juga merupakan bagian integral
akuntabilitas manusia kepada Allah SWT atas rezeki yang telah diberikan-Nya.
Namun dalam era modern saat ini yang dikarenakan sistem pajak telah menjadi
instrumen fiskal bagi suatu Negara menyebabkan zakat hanya menjadi representasi
tanggung jawab umat manusia atas limpahan rezeki dari Allah SWT sekaligus tidak
jarang hanya menjadi ritual budaya periodik umat Islam Tujuan zakat tidak
sekedar menyantuni orang miskin secara konsumtif, tetapi mempunyai tujuan yang
lebih permanen yaitu mengentaskan kemiskinan. Salah satu yang menunjang
kesejahteraan hidup di dunia dan menunjang hidup di akhirat adalah adanya
kesejahteraan sosial-ekonomi.Ini merupakan seperangkat alternatif untuk
mensejahterakan umat Islam dari kemiskinan dan kemelaratan.Untuk itu perlu
dibentuk lembaga-lembaga sosial Islam sebagai upaya untuk menanggulangi masalah
social tersebut. Sehubungan dengan hal itu, maka zakat dapat berfungsi
sebagai salah satu sumber dana sosial-ekonomi bagi umat Islam. Artinya
pendayagunaan zakat yang dikelola oleh Badan Amil Zakat tidak hanya terbatas
pada kegiatan-kegiatan tertentu saja yang berdasarkan pada orientasi
konvensional, tetapi dapat pula dimanfaatkan untuk kegiatan-kegiatan ekonomi
umat, seperti dalam program pengentasan kemiskinan dan pengangguran dengan
memberikan zakat produktif kepada mereka yang memerlukan sebagai modal usaha.
Zakat memiliki peranan yang sangat strategis dalam upaya pengentasan kemiskinan
atau pembangunan ekonomi. Berbeda dengan sumber keuangan untuk pembangunan yang lain, zakat tidak memiliki
dampak balik apapun kecuali ridhadan mengharap pahala dari Allah semata. Namun
demikian, bukan berarti mekanisme zakat tidak ada sistem kontrolnya.
Pengembangan zakat bersifat produktif dengan cara dijadikannya dana zakat
sebagai modal usaha, untuk pemberdayaan ekonomi penerimanya, dan supaya fakir
miskin dapat menjalankan atau membiayai kehidupannya secara konsisten. Dengan dana
zakat tersebut fakir miskin akan mendapatkan penghasilan tetap,meningkatkan
usaha, mengembangkan usaha serta mereka dapat menyisihkan penghasilannya untuk
menabung. Dana zakat untuk kegiatan produktif akan lebih optimal bila
dilaksanakan Lembaga Amil Zakat karena LAZ sebagai organisasi yang terpercaya
untuk pengalokasian, pendayagunaan, dan
pendistribusian dana zakat, mereka tidak memberikan zakat begitu saja melainkan
mereka mendampingi, memberikan pengarahan serta pelatihan agar dana zakat
tersebut benar-benar dijadikan modal kerja sehingga penerima zakat tersebut
memperoleh pendapatan yang layak dan mandiri. Dengan berkembangnya usaha kecil
menengah dengan modal berasal darizakat akan menyerap tenaga kerja. Hal ini
berarti angka pengangguran bisa dikurangi, berkurangnya angka pengangguran akan
berdampak pada meningkatnya daya beli masyarakat terhadap suatu produk barang
ataupun jasa, meningkatnya daya beli masyarakat akan diikuti oleh pertumbuhan
produksi, pertumbuhan sektor produksi inilah yang akan menjadi salah satu indikator
adanya pertumbuhan ekonomi.Zakat dapat dijadikan sebagai salah satu bentuk
modal bagi usaha kecil. Dengan demikian, zakat memiliki pengaruh yang sangat
besar dalam berbagai hal kehidupan umat, di antaranya adalah pengaruh dalam
bidang ekonomi.Pengaruhzakat yang lainnya adalah terjadinya pembagian
pendapatan secara adil kepada masyarakat Islam. Dengan kata lain, pengelolaan
zakat secara profesional dan produktif dapat ikut membantu perekonomian
masyarakat lemah dan membantu pemerintahdalam meningkatkan perekonomian negara,
yaitu terberdayanya ekonomi umat sesuai dengan misi-misi yang diembannya.
Diantara misi-misi tersebut adalah:
a.
Misi
pembangunan ekonomi dan bisnis yang berpedoman pada ukuranekonomi dan
bisnis yang lazim dan bersifat
universal.
b.
Misi pelaksanaan
etika bisnis dan hukum.
c.
Misi
membangun kekuatan ekonomi untuk Islam, sehingga menjadisumber dana pendukung
dakwah Islam.[13]
3.
Peranan
Zakat Dalam Pembagian Konsumsi
Konsumsi
merupakan alat untuk mencapai falah. Monzer khaf6
memperkenalkan final spending (FS) sebagai variabel standar konsumen
muslim dalam melihat kepuasan optimum. Kahf mengikutkan variabel zakat sebagai
variabel yang menjadi keharusan dalam sistem perekonomian islam. Khaf berasumsi
bahwa zakat merupakan kewajiban bagi para muzakki (golongan yang hartanya
mengenai nisab sehingga di wajibkan zakat atasnya).Dengan demikian zakat tidak
masuk final spending.Final spending dalam seorang individu muslim
dalam analisa dua periode menurut khaf adalah sebagai berikut:
FS = (Y-S) + (S-Sz)
FS = (Y-sY) + (sY-zsY), atau;
FS = Y(1-zs)
Di mana; FS = final spending, Y = pendapatan, S =
total tabungan, s = presentase Y yang di tabung dan z = presentase zakat.
Terlihat bagaimana korelasi negatif antara s dan FS, semakin tinggi s semakin
kecil FS. Sehingga di dapatkan maksimum kepuasannya berdasarkan tingkat
kekayaan dan jumlah pendapatan:
Max U = U (FS,s)
subject to; FS + S = Y dan DW = S ≥ z (W + S)
Di mana: U = kepuasan konsumen, W = Kekayaan konsumen
dan D = time derivative (turunan waktu). Model di atas merupakan gambaran yang
ada pada golongan muzakki.
Berdasarkan
kemampuan ekonominya masyarakat dapat di bagi menjadi 3 golongan; pertama,
golongan masyarakat pembayar zakat atau muzakki.Kedua, golongan penerima zakat
atau mustahik.Ketiga golongan masyarakat non muzakki dan mustahik atau kita
sebut sebagai middle income.
Golongan Muzakki:
FS = Y – S
FS = Cz – (Zy + In + Sh + Wf)
Di mana; Cz = total konsumsi golongan muzakki, Zy =
zakat pendapatan, In = infak, Sh = Shadaqah, Wf = wakaf. Pada model di atas di
asumsikan bahwa zakat bersumber dari pendapatan.Dapat di sebutkan bahwa para
muzakki mampu untuk mengeluarkan zakat, infak-shadaqah, serta memberikan wakaf.
Golongan mustahik:
FS + S = Y S Mustahik = 0 dan Y = 0 atau Y < Co,
maka
1. FS = Z Z = Co, atau;
2. Fs = Y + Z Y + Z = Co
Di mana: Co = konsumsi kebutuhan pokok, Y =
pendapatan, Z = zakat yang di terima. Pada model pertama terlihat bahwa
konsumsi sepenuhnya bersumber dari zakat.Artinya sumber konsumsi golongan
mustahik ini termasuk kategori fakir, ibnussabil dan fisabilillah.Sedangkan
pada golongan yang kedua meliputi mustahik kategori miskin karena belum dapat
memenuhi kebutuhan pokoknya sehingga harus di penuhi oleh zakat.Pada kondisi
ini final spending melebihi tingkat pendapatan.Menurut Imam
Ghazali distribusi zakat hendaknya sebesar kebutuhan mustahik saja7.Artinya
zakat yang di distribusikan pada golongan mustahik hendakya untuk kebutuhan
primer.Jadi Final SpendingMustahik sebesar kebutuhannya.
Golongan Middle income:
FS = Y – S
FS = Cm + In + Sh
Di mana: Cm = total konsumsi golongan middle income,
In = infak, Sh = shadaqah. Golongan Middle income ini dapat memenuhi kebutuhan
primernya dan masih memiliki kemampuan untuk mengonsumsi barang
sekunder.Meskipun begitu kekayaannya belum mencapai nisbah sehingga untuk
mencapai final spendingnya golongan ini mengeluarkan shadaqah atau infak.
Dengan
demikian dapat di simpulkan bahwa zakat pada golongan muzakki akan mengurangi final
spendingnya. Hal ini bertolak belakang dengan golongan mustahik di mana
golongan ini mampu meningkatkan final spendingnya hingga sebatas untuk
memenuhi kebutuhan primernya. Dengan demikian dapat di katakan bahwa zakat
merupakan instrumen yang efektif dalam meningkatkan konsumsi masyarakat muslim
dan salah satu cara untuk menumpuk dan meningkatkan pahala menuju falah (kebahagiaan
dunia dan akhirat).
4. Pengaruh
zakat perniagaan dalam ekonomi mikro islam
Dikenakannya zakat perniagaan memberikan pengaruh yang
berbeda di bandingkan dengan adanya pajak penjualan. Sebagaimana dalam konsep
islam, zakat perniagaan dikenakan apabila teelah terpenuhi adanya dua hal
yakni: nisab (batas minimal harta yang menjadi objek zakat, yakni setara 96
gram emas) dan haul (batas minimal waktu harta tersebut dimiliki yakni satu
tahun). Bila nisab dan haul telah terpenuhi maka wajib mengeluarkan zakatnya
sebesar 2,5%.
Reveneu minus cost merupakan objek zakat perniagaan, yang
berupa barang yang diperjualbelikan[14]. Adapun beberapa ulama
yang berpendapat mengenai komponen biaya[15], sebagian berpendapat
bahwa biaya tetap boleh diperhitungkan yang berarti yang merupakan objek zakat
adalah economic rent, namun sebagian yang lain berpendapat bahwa hanya biaya
variabel saja yang boleh di perhitungkan berarti yang menjadi objek zakat
adalah quasi rent atau producer surplus.
Namun sesungguhnya pendapat manapun yang digunakan atas
objek zakat ini sebenarnya tidak memberikan pengaruh terhadap ATC, yang berarti
tidak ada pengaruh terhadap provit yang dihasilkan, dan pengenaan zakat
perniagaan juga tidak memberikan pengaruh terhadap MC. Yang berarti tidak
memberikan pengaruh pada kurva penawaran. Dimana upaya memaksimalkan profit
berarti memaksimalkan producer surplus, dan sekaligus berarti memaksimalkan
zakat yang harus dibayar. Jadi dengan adanya pengenaan zakat perniagaan
perilaku memaksimalkan profit berjalan sejalan dengan perilaku memaksimalkan
zakat. Sebagaimana kurva pengaruh zakat perniagaan
terhadap laba.
Pada titik Q1, tingkat profit nihil karena
pada tittik ini AR = ATC yang berarti TR=TC. Tingkat profift nihil ini di
gambarkan oleh kurva profit 1 pada diagram bawah, yaitu titik Q1,
pada garis horisontal sumbu X. Begitu pula ketija kurva ATC1
memotong garis harga dari bawah, jumlah penawaran adalah Q1. Pada
titik Q1 ini tingkat profit juga nihil. Itu sebabnya kurva profit1 pada tingkat output
Q1 juga berada pada garis horizontal sumbu X.
Ketika kurva MC1=P, profit mencapai tingkat
maksimal. Ini terjadi pada tingkat produksi Q1, tingkat profit
maksimal ini digambarkan oleh kurva profit1,, pada diagram bawah
yaitu titikQ1 pada titik Q1 pula tingkat zakat maksimal
tercapai. Keadaan ini digambarkan dengan puncak kurva profit dan puncak kurva
zakat yang terjadi pada titik Q1 pada diagram bawah.[16]
KESIMPULAN
Zakat memiliki peranan yang sangat
strategis dalam upaya pengentasan kemiskinan atau pembangunan ekonomi. Berbeda
dengan sumber keuangan untuk pembangunan
yang lain, zakat tidak memiliki dampak balik apapun kecuali ridhadan mengharap
pahala dari Allah semata. zakat memiliki pengaruh yang sangat besar dalam
berbagai hal kehidupan umat, di antaranya adalah pengaruh dalam bidang ekonomi.
Pengaruhzakat yang lainnya adalah terjadinya pembagian pendapatan secara adil
kepada masyarakat Islam.Bagi harta yang dikeluarkan zakatnya (obyek zakat),
terutama adalah zakat dari harta perniagaan, hikmah yang terkandung di dalamnya
adalah mendorong prilaku memaksimalkan keuntungan berjalan seiring dengan
prilaku memaksimalkan zakat. Artinya jika seseorang produsen memaksimalkan
keuntungannya maka pada saat yang bersamaan ia memaksimalkan besarnya zakat yang
dibayarkan. Jadi pengenaan zakat perniagaan tidak berpengaruh terhadap kurva
penawaran, tidak seperti pajak yang mengakibatkan komponen biaya meningkat[17]
Di sisi lain, yaitu jika kita
membahas sisi pemanfaatan zakat untuk kegiatan produktif dari mustahik, dapat
diduga bahwa zakat yang diberikan itu akan membuka peluang untuk dapat
memproduksi sesuatu. Karena zakat yang disalurkan biasanya berbentuk qardhul hasan
maka tidak ada biaya atas penggunaan zakat sebagai faktor produksi. Dengan
demikian mustahik yang menjadi produsen dengan dana zakat produktif dapat
menawarkan barang / jasa dengan biaya yang lebih kompetitif, akibatnya akan
meningkatkan penawaran, artinya kurva penawaran akan bergeser ke bawah akibat
dukungan dana zakat produktif tersebut[18]
Karena tujuan zakat secara ekonomi
adalah untuk meningkatkan standar hidup para dhuafa dengan memberikan hak
kepada mereka untuk memiliki apa yang mereka terima dari orang kaya, maka
dengan penyaluran dana zakat kepada kaum dhuafa (mustahik) akan terjadi
kenaikan pendapatannya, dan secara otomatis akan meningkatkan kemampuan mereka
untuk mengkonsumsi barang-barang dan jasa yang di jual di pasar (daya beli
meningkat), artinya dengan penyaluran dana zakat tersebut akan menimbulkan New Demanderpotensial sehingga akan
meningkatkan permintaan secara agregat, dan pada akhirnya akan mendorong
produsen untuk meningkatkan produksi guna memenuhi permintaan yang ditimbulkan
keadaan tersebut[19]Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa perintah zakat, selain sebagai ibadah murni juga
berdimensi ekonomi.
Terkait dengan timbulnya New Demanderakibat penyaluran dana zakat
kepada mustahik, oleh produsen akan dimanfaatkan guna
meningkatkan produksi. Untuk menganalisis tingkat produksi tersebut, dalam ilmu
ekonomi dinyatakan dengan fungsi produksi yang menunjukkan sifat hubungan
diantara faktor-faktor produksi[20],
yaitu yang secara matematis dinyatakan dalam bentuk rumus : Q = f (K,L,)
dimana:
K = Jumlah Modal
L = Jumlah Tenaga Kerja
Q = Jumlah Produksi Yang Dihasilkan
Dari rumus itu dapat dijelaskan
bahwa K (modal) termasuk didalamnya adalah tanah, gedung, mesin-mesin dan
persediaan, Sedangkan L (tanaga kerja) biasanya dibedakan menjadi tenaga kerja
yang terampil dan tidak terampil. Faktor produksi tersebut sangat berpengaruh
pada tingkat produk yang akan dihasilkan, jika tingkat produksi akan dinaikkan
maka otomatis harus menaikkan komponen yang terdapat dalam faktor produksi
tersebut.
Namun jika produsen mengambil
keputusan ekonomi yaitu memaksimalkan keuntungan maka hal yang dilakukan adalah
yang berkaitan dengan produktifitas atau efisiensi ketika berproduksi, yaitu
dengan menggunakan faktor produksi (input) yang terbatas namun mampu memproduksi
jumlah barang atau jasa (output) yang banyak. Usaha yang demikian itu, yaitu
meminimalkan biaya produksi dengan cara menekan harga input seperti
mengeksploitasi hak pekerja dengan membayar gaji rendah dan menggunakan bahan
mentah yang tidak berkualitas adalah tidak termasuk kategori kerja-kerja
produktif menurut Islam. Sikap yang demikian itu sering berdampak merugikan
pada proses produksi yang biasanya justru lebih banyak menimpa sekelompok
masyarakat yang tidak ada hubungannya dengan produk yang dibuat, baik sebagai
konsumen maupun sebagai bagian dari faktor produksi itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Adiwarman Karim,2002, Ekonomi Mikro Islami,edisi ke I, cet. I, Jakarta :III T Indonesia.
Ali Yafie, 1994, Menggagas Fiqih Sosial Cet.II,,Mizan,Bandung.
Baqir al Hasani and Abbas Mirakhor (eds), 1989,Essays on Iqtisad: The Islamic Approach to
Economic Problems,Silver Spring: Nur CorpnSalam,Riyadh.
Ibnu qudamah, 1984, Al-Mughnivol
2, maktabah tijariyah,makkah.
Mustafa
Edwin Nasution (et.al),2007,Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islamcet kedua,Kencana, Jakarta.
M. Laksono
Tri Rochmawan, 2008, Diktat Pengantar Ekonomi Mikro, Anindyaaguna,
semarang.
Qadir,
Abdurachman. 2001. Zakat Dalam Dimensi Mahdah dan Sosial.Cet. 2. PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Tati Suhartati Joesron dan M. Fathorrozi,2003,Teori
Ekonomi Mikro, Salemba
Empat, Jakarta.
Yusuf Qardawi,2007, Hukum Zakat, terj. Fiqhuz Zakat oleh :Salman Harun, Didin Hafiduddin
dan Hasanuddin cet.x,Pustaka litera Antar Nusa, Bogor.
[1]Lihat misalnya dalam
Hadis Riwayat Muslim dari Abdullah bin Umar, Shahih Muslim (Riyadh : Darr
el-Salam, 1419 H),hal.683.
[2]Ali Yafie, Menggagas
Fiqs Sosial (Bandung:Mizan,1994), Cet.II, hal.231.
[3]Yusuf Qardawi, Hukum
Zakat, terj. Fiqhuz Zakat oleh :Salman Harun, Didin Hafiduddin dan Hasanuddin (
Bogor: Pustaka litera Antar Nusa, 2007) cet.x,hal.69
[4]Q.S, 7 : 156, 5 : 55 –
56, 22 : 40 – 41 dan 22 : 55 - 56
[5]Q.S, 9 : 5, 11, 23 : 4
[6]Q.S, 9 : 34 - 35
[7]Abu Bakar Jaabir al
Jazaari, Minhajul Muslim (Beirut : Daar el-Fikr,1976), hal.248.
[8]Abdurrahman Qadir,
Zakat dalam Dimensi Mahdhah dan Sosial (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
1998), hal.82.
[9]Muhammad ibn Ali bin
Muhammad al Syaukani, Nayl al Awtar, Vol.III (Kairo: Mushthafa al babi al
Halan,tt),h.127. Lihat juga Ibn Hajr al ‘Asqalani, Bulugh al Maram (Kairo: tt)
Hadis nomor 784.
[10]Mustafa Edwin Nasution
(et.al), Pengenalan Eksklusif ….hal.107
[11] Zallum, Abdul Qadim,1983,
Al Amwal fi Daulatil Khilafah .
cetakan I, Darul Ilmi lil Malayin. Beirut, 147.
[12] M. Laksono Tri Rochmawan, 2008, Diktat Pengantar Ekonomi Mikro, Anindyaaguna,
semarang, hal.5-6.
[13]Qadir, Abdurachman.
2001. Zakat Dalam Dimensi Mahdah dan Sosial.Cet. 2. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada
[14]Istilah fiqihnya ‘arudhul tijarah’.lihat misalnya
ibnu qudamah. Al-Mughni, (makkah: maktabah tijariyah,1984) vol 2 hlm.623
[15]Lihat misalnya Baqir al Hasani and Abbas Mirakhor
(eds). Essays on Iqtisad: The Islamic Approach to Economic Problems, (Silver
Spring: Nur Corp, 1989).
[16]Adiwarman A. Karim, 2007, Ekonomi Mikro Islam Edisi Ketiga, Raja Grafindo Persada, jakarta. Hlm. 134-136.
[17]Adiwarman Karim,
Ekonomi Mikro Islami (Jakarta :III T Indonesia, 2002), edisi ke I, cet. I hal.
108.
[18]Mustafa Edwin Nasution
(et.al), Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam (Jakarta: Kencana, 2007 ), cet
kedua, hal.96.
[19]Ibid. hal.50.
[20]Tati Suhartati Joesron
dan M. Fathorrozi, Teori Ekonomi Mikro (Jakarta: Salemba Empat,2003), hal.100.
bagus sekali.. boleh coppas utk tugas saya? thanks
BalasHapus