DIKTAT FIQIH MUAMALAH
Oleh :
Ifa Ratnasari
DAFTAR ISI
BAB I Pendahuluan
a.Pengertian fiqih muamalah
b.Ruang lingkup fiqih muamalah
c.Hubungan fiqih muamalah dengan fiqih lainnya
d.Asas – asas dasar fiqih muamalah
e.Urgensi mempelajari fiqih muamalah
BAB II BA’i ( Jual Beli )
a.Definisi , landasan, dan rukun jual beli
b.Hukum jual beli
c.Kesmpatan, meneruskan, atau membatalkan jual beli
d Jual beli yang sah dan terlarang dalam islam
BAB III KHIYAR
a.Definisi khiyar
b.Pembagian khiyar
c.Hikmah diadakan khiyar
BAB IV RAHN ( Gadai )
a.Definisi , landasan, dan rukun rahn
b.Syarat – syarat rahn dan Hukum rahn dan dampaknya
c.Tujuan dan hikmah rohn
BAB V HUTANG PIUTANG
a.Definisi hutang piutang
b.Dasar Hukum penambahan dan pengembalian hutang
c.Rukun hutang
d.Peringatan keras tentang hutang
BAB VI IJAROH
a. defini dan hukum ijaroh
b. dasar – dasar hukum atau rujukan ijaroh
c. objek ijaroh dan persyaratanya
d. rukun –rukun ijaroh
e.upah dalam pekerjaan ibadah
f.pembayaran upah dan sewa
h.hambatan dan berakhirnya ijaroh
BAB VII WADIAH
a.definisi wadiah
b.dasar hukum wadiah
c.rukun – rukun wadiah
d.batasan dan jenis wadiah
e.jenis barang yang di wadiahkan
f.rubatasan dalam menjaga wadiah
g.aplikasi wadiah dalam perbankan
BAB VIII RIBA
a.Definisi Riba, rukun dan syaratnya.
b.Sebab haramnya riba
c.Macam – macam riba
d.Hal hal yang menimbulkan riba
e.Dampak riba pada ekonomi
f.Pendapat ulama tentang ilat riba
g.Riba dalam benda yang di hitung
h.Kontroversi mengenai bunga bank
i.Mengenai bank syariah
j.Hikmah di haramkan riba
BAB IX HIWALAH
a.Definisi hiwalah
b.Dasar hukum hiwalah
c.rukun hiwalah dan Syarat
d.Masa berakhir hiwalah
e.Fatwah mui tentang hiwalah
f.jenis hiwalah
g.aplikasi hiwalah dalam institusi keuangan
BAB X AL- ARIYAH
a.Definisi ,ariyah
b.Dasar hukum ariyah
c.rukun dan syarat ariyah
d.pembayaran ariyah
e.meminjamkan pinjaman dan menyewakan
f.tanggung jawab peminjam (ariyah)
g.tata krama berhuttang
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
a.Pengertian fiqih muamalah
Secara bahasa kata muamalah adalah masdar dari kata 'AMALA-YU'AMILI-MU'AMALATAN yang berarti saling bertindak, saling berbuat dan saling beramal.
Dalam fiqh muamalah memiliki dua macam pengertian
1. Pengertian fiqh muamalah dalam arti luas
2. Pengertian fiqh muamalah dalam arti sempit
Pengertian fiqh muamalah yang dimaksud dalam tulisan ini adalah pengertian dalam arti sempit yaitu : "muamalah adalah aturan Allah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam usahanya untuk mendapatkan alat-alat keperluan jasmaninya dengan cara yang paling baik" (Idris Ahmad) atau " Muamalah adalah tukar-menukar barang atu sesutu yang bermanfaat dengan cara-cara yang telah ditentukan" (Rasyid Ridho) "(Rahcmat Syafiie, Fiqih Muamalah).
b.Ruang lingkup fiqih muamalah
Ruang lingkup yang dibahas dalam fiqh muamalah ini meliputi dua hal;
1. Muamalah adabiyah: yaitu ditinjau dari subjeknya atau pelakunya. Biasanya yang dibahas mengenai HARTA dan IJAB QOBUL
2. Muamalah madiyah : ditinjau dari segi objeknya.
Meliputi:
a.al Ba'i (jual beli)
b.Syirkah (perkongsian)
c.al Mudharabah (Kerjasama)
d.Rahn (gadai)
e.kafalah dan dhaman (jaminan dan tanggungan)
f.utang piutang
g.Sewa menyewa
h.hiwalah (pemindahan utang)
i sewa menyewa (ijarah)
j.upah
k.syuf'ah (gugatan)
l.Qiradh (memberi modal)
m.Ji'alah (sayembara)
n.Ariyah (pinjam meminjam)
o.Wadi'ah (titipan)
p.Musaraqah
q.Muzara'ah dan mukhabarah
r.Pinjam meminjam
s.Riba
t.Dan beberapa permasalahan kontemporer (asuransi, bank dll)
u.ihyaulmawat
v.wakalah
h. Hubungan fiqih muamalah dengan fiqih lainnya
pembidangan ilmu fiqih. Namun demikian diantara para ulama terjadi perbedaan pemdapat pembidangannya.
1. Ada yang membaginya menjadi dua bagian, yaitu:
a. Ibadah
b. Muamalah
2. Ada yang membaginya menjadi tiga bagian, yaitu:
a. Ibadah
b. Muamalah
c. Uqubah (Pidana Islam)
3. Ada yang membaginya menjadi empat bagian, yaitu:
a. Ibadah
b. Muamalah
c. Munakahat
d. Uqubah
Diantara pembagian di atas, pembagian di atas atau pembagian pertama lebih banyak disepakati oleh para ulama hanyalah meluaskan dari fiqih muamalah karena fiqih muamalah itu sendiri sudah mencakup bidang-bidang fiqih muamalah lainnya.
Dengan demikian, fiqih muamalah dalam arti luas merupakan bagian dari fiqih secara umum, disamping fiqih ibadah yang mencakup bidang-bidang fiqih lainnya seperti fiqih muamalah, fiqih munakahat dalam arti sempit.
i.Asas Dasar Fiqh Mu’malah.
Asas dasar fiqh mu’amalat disini adalah dasar yang dapat dikatakan sebagai teori-teori yang membentuk hukum mu’amalah adapun asas dasar tersebut adalah sebagai berikut :
1. Asas Taba’dul Manafi
Bahwa segala sesuatu bentuk kegiatan mumalat harus memberikan keuntungan dan manfaat bersama bagi pihak-pihak yang terlibat. Hal ini menunjukan bahwa manusia bukanlah pemilik mutlaq melainkan hanya sebagai pemilik hak manfaatnya saja berdasarkan firman Allah :
وَلِلَّهِ مُلْكُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا
“Kepunyaan Allah lah kerajaan langit dan bumi serta apa-apa yang ada diantara keduanya (Al-Maidah -17)”
2. Asas Pemerataan
Asas ini adalah penerpan prinsip keadilan dalam bidang muamalah yang menghendaki agar harta tidak hanya dikuasai oleh segelintir orang sehingga harta itu harus terdistribusikan secara merata diantara masyarakat baik kaya maupun miskin, oleh karena itu dibuatlah hukum zakat, shadaqah, infaq dan sebagainya
Sebagaimana Firman Allah dalam Al-Hasyr ayat 7 :
كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ
Artinya:
“…supaya harta tidak beredar pada orang-orang kaya saja diantara kalian..”
3. Asas keridhaan/ kerelaan
Asas ini menyatakan bahwa setiap bentuk muamalat antar muslim atau antar pihak harus berdasarkan kerelaan masing-masing. Kerelaan disini dalam arti kerelaan melakukan suatu bentuk mu’amalah atau kerelaan dalam menyerahakan benda yang dijadikan obyek perikatan dan bentuk muamalah lainya.
4. ‘Adamul Gharar (Asas Kejujuran).
Asas ini merupakan kelanjutan dari asas saling merelakan. Asas adamul gharar berarti bahwa setiap bentuk mu’malat tidak boleh ada tipu daya atau yang menyebabkan sesuatu pihak merasa dirugikan oleh pihak lain sehingga mengakibatkan hilangnya unsur kerelaan salah satu pihak dalam melakukan suatu transaksi atau perikatan
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ………
Artinya:
“Dan janganlah kamu memakan harta sebahagian yang lain dengan jalan bathil…” (QS. Al-Baqarah 188 ).
5. Al-Bir Wa Taqwa ( Asas Kebaikan dan Ketaqwaan).
Asas ini menyatakan bahwa setiap bentuk muamalat yang dilakukan oleh umat muslim adalah untuk tolong menolong antar sesama manusia dalam rangka al-bir wa taqwa yakni kebajikan dan ketaqwaan dalam berbagai bentuknya
…وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Dan tolong menolonglah kamu dalam kebajikan dan taqwa dan janglah kamu tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan,.dan bertaqwalah kamu kepada Allah sesungguhnya amat berat siksa Allah.
6. Musyarakah
Asas ini menghendaki bahwa setiap bentuk muamalah adalah musyarakah yakni kerja sama antar pihak yang saling menguntungkan, bukan saja yang terlibat melainkan juga bagi seluruh masyarakat manusia.
E. Urgensi Mempelajari Fiqh Mu’amalah
1. Islam menyuruh kepada umat Islam untuk totalitas dalam mengamalkan aturan Allah. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqarah 208:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah 208).
2. Pengetahuan tentang fiqh mu’amalah
Saidina Umar bin Khattab berkata:
لاييع فى سوقنا الا من قد تقه فى الدين
“Tidak Boleh jual beli pasar kita kecuali orang yang benar-benar telah mengerti fiqih (Mu’malah) dalam agama.”
Dari ungkapan umar diatas dapat dijabarkan lebih lanjut bahwa tidak boleh berbisnis, tidak boleh terlibat perbankan, tidak boleh beraktifitas asuransi dan yang lainnya jika tidak mengerti fiqih mu’malah
Ijma Ulama
Ulama bersepakat bahwa muamalah adalah sesuatu masalah kemanusiaan yang maha penting.
Dr. Abdul Sattar Fathullah Sa’id berkata:
ومن ضرورات هذا الاجتماع الانسان وجود معاملات
“Diantara unsur dharurat (terpenting) dalam masyarakat manusia adalah muamalah”
Berdasarkan keterangan diatas maka kiranya dapat dipahami bahwa hukum mempelajari fiqih mu’malah adalah suatu keharusan yang tidak dapat ditawar lagi karena setiap aktifitas manusia tidaka lepas dari aspek ini oleh karena itu wajib hukum nya mempelajari fiqih mu’malah sebagaimana ungkapan
Husein Shahattah dalam kitab Iltizam bi dhawabith As-Syar’iyyah Fil Mu’amalt Maliyah “Fiqh muamalah ekonomi, menduduki posisi yang sangat penting dalam Islam. Tidak ada manusia yang tidak terlibat dalam aktivitas muamalah, karena itu hukum mempelajarinya wajib ‘ain (fardhu) bagi setiap muslim.
Berdasarkan uraian-uraian diatas bahwa mumalah adalah sesuatu hal yang penting maka dengan mempelajari fiqih mu’amalah diharapkan setiap muslim dalam beraktifitas khususnya dalam bidang perekonomiam mampu menerapkan atarun-aturan allah dalam rangka memperoleh, mengembangkan dan memanfaatkan harta, sehingga kebahagiaan dunia dan akhirat akan tercapai sebagaimana tujuan muslim pada umumnya yang senantiasa memohon doa tersebut kepada Allah.
BAB II
BA’I ( Jual Beli )
A.Pengertian, Rukun dan hal hal terlarang dalam jual beli
Muamalat adalah tukar menukar barang, jasa atau sesuatu yang memberi manfaat dengan tata cara yang ditentukan. Termasuk dalam muammalat yakni jual beli, hutang piutang, pemberian upah, serikat usaha, urunan atau patungan, dan lain-lain. Dalam bahasan ini akan menjelaskan sedikit tentang muamalat jual beli.
a.Pengertian Jual Beli :
Jual beli adalah suatu kegiatan tukar menukar barang dengan barang lain dengan tata cara tertentu. Termasuk dalam hal ini adalah jasa dan juga penggunaan alat tukar seperti uang.[1]
b. Rukun Jual Beli
1. Ada penjual dan pembeli yang keduanya harus berakal sehat, atas kemauan sendiri, dewasa/baligh dan tidak mubadzir alias tidak sedang boros.
2. Ada barang atau jasa yang diperjualbelikan dan barang penukar seperti uang, dinar emas, dirham perak, barang atau jasa. Untuk barang yang tidak terlihat karena mungkin di tempat lain namanya salam.
3. Ada ijab qabul yaitu adalah ucapan transaksi antara yang menjual dan yang membeli (penjual dan pembeli).
c. Hal-Hal Terlarang / Larangan Dalam Jual Beli
1. Membeli barang di atas harga pasaran
2. Membeli barang yang sudah dibeli atau dipesan orang lain.
3. Memjual atau membeli barang dengan cara mengecoh/menipu (bohong).
4. Menimbun barang yang dijual agar harga naik karena dibutuhkan masyarakat.
5. Menghambat orang lain mengetahui harga pasar agar membeli barangnya.
6. Menyakiti penjual atau pembeli untuk melakukan transaksi.
7. Menyembunyikan cacat barang kepada pembeli.
8. Menjual barang dengan cara kredit dengan imbalan bunga yang ditetapkan.
9. Menjual atau membeli barang haram.
10. Jual beli tujuan buruk seperti untuk merusak ketentraman umum, menyempitkan gerakan pasar, mencelakai para pesaing, dan lain-lain.
B. Hukum-Hukum Jual Beli
1. Haram
Jual beli haram hukumnya jika tidak memenuhi syarat/rukun jual beli atau melakukan larangan jual beli.
2. Mubah
Jual beli secara umum hukumnya adalah mubah.
3. Wajib
Jual beli menjadi wajib hukumnya tergantung situasi dan kondisi, yaitu seperti menjual harta anak yatim dalam keadaaan terpaksa.
C. Kesempatan Meneruskan/Membatalkan Jual Beli (Khiyar)
Arti definisi/pengertian Khiyar adalah kesempatan baik penjual maupun pembeli untuk memilih melanjutkan atau menghentikan jual beli. Jenis atau macam-macam khiyar yaitu:
1. Khiyar majlis adalah pilihan menghantikan atau melanjutkan jual beli ketika penjual maupun pembeli masih di tempat yang sama.
2. Khiyar syarat adalah syarat tertentu untuk melanjutkan jual beli seperti pembeli mensyaratkan garansi.
3. Khiyar aibi adalah pembeli boleh membatalkan transaksi yang telah disepakati jika terdapat cacat pada barang yang dibeli.
D.Macam-Macam Jual-Beli Yang Sah Dan Terlarang
1) Mulamasah, Muhaqalah, dan Munabadhah
عن جابر رضي الله عنه, أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن المحاقلة, والمزابنة,والمخابرة, وعن ثنيا, إلا أن تعلم. (رواه الخمسة إلا ابن ماجه, وصححه الترميذي)
Artinya :
Dan dari Jabirin ra. : Sesungguhnya Rasulullah SAW melarang (jual beli) muhaqalah, muzabanah, mukhabarah, dan tentang tsun-yi, kecuali jika diketahui. (Diriwayatkan oleh lima rawi kecuali Ibnu Majah, dan dishohihkan oleh Tirmidzi).[2]
a)Muhaqalah
Muhaqalah adalah jual-beli dengan cara memperkiran sewaktu masih di ladang atau di sawah. Jabir seorang perowi hadist mentafsirkan “Al-Muhaqalah”, bahwasanya muhaqalah adalah jual-beli padi yang dilakukan oleh seseorang dari seseorang dengan harga 100 berbeda dari gandum, Abu Abid mentafsirkan bahwasanya muhaqalah adalah jual-beli makanan, yaitu berupa benih. Dan Malik mentafsirkannya mengambil padi yang sebagian sedang tumbuh dan hal yang semacam ini (menurut Malik) adalah sama dengan mukhobaroh. Dan jauh lebih dalam mengenai tafsiran ini bahwasanya sahabat lebih mengetahui dengan tafsiran yang telah diriwayatkannya, dan telah ditafsirkan oleh Jabir dengan apa yang telah ia ketahui seperti yang telah diriwayatkan oleh syafi’i.
b) Muzabanah
Muzabanah diambil dari kata al-zaban dengan cara dibaca fathah za'nya dan menusukun ba' adalah pembayaran yang besar (borongan) seakan-akan setiap orang dari para pembeli membayar yang lain dari (harga) yang sebenarnya atau jual-beli borongan tanpa mengetahui takaran dan timbangannya. Dan Ibn Umar mentafsirkannya seperti apa yang telah diriwayatkan oleh Malik dengan jual-beli kurma basah yang ditakar dengan takaran kurma kering dan jual-beli anggur basah yang ditakar dengan takaran anggur kering (diriwayatkan oleh Syafi’i).
c). Mukhabarah
Mukhabarah adalah jual beli secara perjanjian pengolahan tanah dengan bagi hasil tertentu antara pemilik tanah dengan seseorang yang mengolah tanah, dengan ketentuan bahwa benih diusahakan oleh si pemilik. Mukhabarah sama dengan muzara'ah dan muzara'ah ketentuan benih diusahakan oleh penggarap tanah. Hasil dari pengolahan tanah terebut dibagi dua antara pemilik tanah dengan penggarap. Tanah yang diolah tidak ikut dibagi, tetapi menjadi hak pemilik tanah. Hukum mukhabarah dan muzaraah adalah mubah, yaitu upaya untuk membangun ekonomi umat.
d). Jual-beli tsun-yi (belum diketahui)
Bahwasanya tsun-ya itu dilarang kecuali yang telah diketahui bentuknya menjual sesuatu dan mengecualikan sebagiannya. Kecuali jikalau sebagian telah diketahui maka jual beli tersebut disyahkan. Seperti menjual beberapa pohon atau anggur dan mengecualikan salah atu yang jelas maka jual beli yang seperti itu disyahkan. Kesepakatan Ulama’ mereka berkata kalau ada perkataan kecuali sebagiannya maka tidak syah karena pengecualian itu majhul (tidak diketahui). Dan jelasnya hadis itu adalah jika mengetahui ketentuan pengecualian maka syah secara muthlaq. Dan ada perkataan tidak syah sesuatu yang dikecualikan lebih dari 1/3. Bentuk ini di dalam pelarangan terhadap tsun-yi adalah al-juhalah (tidak diketahui), dan sesuatu yang belum diketahui maka tidak ada alasan karena telah keluar dari hukum pelarangan dan telah diperingatkan oleh nash dalam alasan (ilat) dengan ucapan “إلا أن تعلم ” (kecuali telah diketahui).
وعن أناس قال : نهى رسول الله صلى الله وسلم عن المحاقلة, والمخاضرة, والملا مسة, والمنابذة, والمزابنة. (رواه البخاري
Artinya : Dari Annas Berkata : Rasulullah SAW melarang (jual-beli) muhaqalah, mukhadharah, mulamasah, munabadzah, dan muzabanah. (H.R. Bukhari).
e). Mukhadharah
Adalah jual beli buah-buahan atau benih sebelum terlihat baik (matangnya). Dan telah terjadi ikhtilaf dalam Ulama’ dalam mengesyahkan jual-beli tersebut dari buah-buahan ataupun pertanian dan ada golongan yang mengatakan jikalau telah sampai batas diambil manfa'at darinya walaupun buah yang telah diambil belum matang dan belum tumbuh benihnya maka jual beli seperti ini syah dengan syarat yang putus (jikalau nantinya buahnya tidak tumbuh atau gagal panen maka jual-beli tersebut tidak jadi atau batal). Dan jikalau ada syarat kekal maka tidak syah secara kesepakatan karena syarat itu menurut Malik memberatkan (menyusahkan) pembeli atau karena syarat itu terjadi dua akad antara penjual dan pembeli di dalam sebuah akad adalah sewa-menyewa atau jual-beli, dan jikalau telah sampai batas diambil manfa'at dan belum tumbuh benih dan telah diambil buah yang belum matang maka jual beli tersebut shahih (keepakan ulama') kecuali adanya syarat yang kekal dari pembeli, maka ada perkataan : jual beli tidak dibenarkan dan dikatakan benar (syah) dan dikatakan jikalau ada waktu yang diketahui maka syah dan jikalau waktu terebut belum diketahui maka tidak syah walaupun telah sampai pengambilan manfa'at sebagian darinya tanpa sebagian yang lain maka jual beli itu tidak syah menurut pengikut hanafiah jual beli itu telah terputus dan tidak ada dalilnya.
f). Mulamasah
Dan diantaranya telah diriwayatka oleh Bukhori dari Al-zahro mulamasah adalah Seseorang memegang kain orang lain dengan tangannya pada malam hari atau siang hari tanpa membolak-baliknya, kecuali dengan cara itu dan diriwayatkan oleh Nasa’I dari hadis Abu Hurairoh. Mulamasah adalah seseorang berkata kepada orang lain saya menjual pakaianku dengan pakaianmu dan salah satu dari mereka tidak tidak melihat pakaian yang lain akan tetapi ia memegangnya.tatkala Ahmad meriwayatkan dari Abdurrazaq dari mu'amar mulamasah adalah memegang pakaian dengan tangannya dan tidak membentangkannya dan tidak membaliknya kalau telah memegangnya maka wajib terjadi jual beli dan Muslim dari hadis Abu Hurairah setiap salah satu dari mereka memegang pakaian temannya dari tanpa mengamat-amati (memperhatikan).
g). Munabadzah
Adalah seseorang melempar kain kepada oarang lain, dan orang lain ini balik melemparkan kainnya. Dan ditafsirkan seperti yang diriwayatkan Ibn Majah dari thariq Syufyan dari Zahra al-Munabadzah adalah seseorang berkata lemparlah sesuatu bersamamu kepadaku dan saya melempar sesuatu bersamamu kepadamu dan Nasa'I dari hadis Abu Hurairah berkata saya melempar seuatu bersamaku dan kamu melempar sesuatu bersamamu dan setiap salah satu dari mereka membeli dari yang lainnya dan setiap salah satu dari mereka tidak tahu berapa dengan yang lainnya. Dan Ahmad dari Abdurrazaq dari Mu'amar Al-munabadzah kalau pakaian telah dilempar maka wajib ada jual-beli dan Muslim dari hadis Abu Hurairah munabadzah adalah setiap salah satu dari mereka melempar pakainnya kepada yang lainnya dan salah satu dari mereka belum melihat pakaian temannya dan diketahui dari perkataannya : "maka wajib jual-beli" sesungguhnya jual-beli mulamasah dan munabadzah adalah menjadikan di dalamnya seseorang memegang atau melempar dengan tanpa adanya aqad maka telah jelas pelarangan yang diharamkan.
عن أبى سعيد الخدري, قال : نهي رسول الله صلى الله عليه وسلم عن لباستين وعن بيعتين : نهى عن الملامسة والمنابذة فى البيع : والملامسة لمس الرجل ثوب الأ خر بيده باليل أر باالنهار ولا يقلبه الا بذلك, والمنابذة أن ينبذ الرجل الى الرجل بثوبه وينبذ الأخر ثوبه, ويكون ذلك بيعهما من غير نظر زلا تراض. واللباستين : اشتمال الصماء : والصماء أن يجعل ثوبه على أحد عاتقيه, فيبدو أحد شقيه ليس عليه ثوب, واللباسة الاخرى احتباؤه بثوبه وهو جالس ليس على فرجه منه شئ. (رواه البخرى)
Artinya :
Dari Abu Sa’id Al-Khudri, di mana ia berkiata : Rasulullah SAW melarang dua cara berpakaian dan jual beli. Berliau melarang secara mulamasah dan munabadzah dalam jual beli. Mulamasah ialah : seseorang memegang kain orang lain dengan tangannya pada malam hari atau siang hari tanpa membolak-baliknya, kecuali dengan cara itu. Munabadzah ialah : seseorang melemparkan kain kepada orang lain, dan orang lain ini balik melemparkan kainnya. Dengan demikianlah terjadi jual-beli diantara keduanya dengan tanpa melihat (barang) dan tanpa ada persetujuan. Sedang dua cara berpakaian, ialah : meletakkan kain atas satu pundak, sedang pundak yang sebelah tidak ditutupi maka terbukalah salah satu lambungnya. Cara berpakaian yang lain, ialah duduk memeluk lutut, sedang ia dalam keadaan duduk, yang pada kemaluan (kelamin)-nya tidak ada tutup apapun. (H.R. Bukhari). [3]
h). Jual Beli Ijon dan jual beli ghoror
وعن ابن عباس رضي الله عنهما قال : نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم أن تباع ثمرة حتى تطعم, ولا يباع صوف على ظهر, ولا لبن فى ظرع (رواه الطبراني فى الأوسط, والدارقطني)
Artinya :
Dan dari Ibn Abbas ra. Berkata : Rasulullah SAW melarang menjual buah kecuali telah matang, dan wol tidak boleh dijual (yang masih melekat di) punggung (domba), dan susu tidak boleh dijual (yang masih berada) di dalam tetek hewan.
1. Jual beli ijon
Bahwasanya di dalam islam dilarang jual beli ijon yaitu jual beli pembayaran uang di muka sebelum uang yang akan dijualnya siap dijual, dengan pembayaran jauh lebih murah dari harga yang semestinya, karena pemilik barang sangat membutuhkan uang tersebut. Jual beli system ijon dilarang oleh Rasulullah melalui hadisnya :
عن أناس بن مالك أن رسول الله صلى الله عليه وسلم نهى عن بيع الثمرة حتى تزهي, قالوا وما تزهي قال تحمر(رواه مسلم)
Artinya :
Dari Annas Ibn Malik bahwa Rasulullah SAW melarang menjual buah-buahan kecuali telah masak (waktunya dipanen). Para sahabat bertanya : Bagaimana yang telah masak itu?. Nabi menjawab : Jika telah memerah (HR Musalim).
2. Jual beli ghoror
Jual beli ghoror adalah jual-beli barang yang tidak dapat dipegang atau diraba. Dimisalkan dalam hadis di atas penjualan wol yang masih melekat di punggung domba. Dan penjualan susu yang masih ada di dalam tetek hewan (sapi, dll). Jual-beli ghoror dilarang karena menyebabkan penyesalan bagi pihak pembeli. Kerena barang yang dijual masih belum jelas baik atau buruknya barang terebut. Kalau menjual wol, wol tersebut harus sudah terpisah dari domba dan tidak lagi berbentuk bulu. begitu pula penjualan susu. Susu tersebut harus sudah diperas. Maksudnya jual beli itu syah apabila dimiliki secara penuh.
و عن بن مسعود قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : لا تشتروا السمك فى الماء, فإنه غرار (رواه أحمد) واشار إلى أن الصواب وقفه.
Artinya :
Dari Mas’ud berkata : Rasulullah SAW bersabda : janganlah kamu membeli ikan yang masih ada di dalam air, maka sesungguhnya penjualan tersebut adalah “ghoror”. (HR Ahmad)
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : لا تبيعن شياء اشتريته حتى تقبضه (رواه أحمد وبيهقى)
Artinya :
Bahwa Rasulullah SAW bersabda : janganlah kamu menjual sesuatu yang baru saja engkau beli, sehingga engkau menerimanya secara penuh (HR Baihaqi)
i). Jual Beli Wafa’
Jual beli wafa' adalah jual beli bersyarat. Yaitu seseorang menjual barang dengan harga 400 dengan memberikan syarat kepada pembeli berupa perkataan : "nanti barang ini jangan dijual kepada siapapun, nanti kalau sudah tiga bulan akan saya beli lagi dengan haraga 500".
Dari kasus ini menurut fuqaha' ada unsur riba, karena ada perjanjian awal yang memberikan syarat kepada pembeli dengan membeli lagi barang yang dijual dalam batas waktu dengan harga yang lebih.
BAB III KHIYAR
A.PENGERTIAN KHIYAR
Khiyar secara etimologi adalah berasal dari bentuk mashdar yang berasal dari Ikhtiyar yang berari Memilih, terbebas dari aib, dan melaksanakan pemilihan[4].
Sedangkan secara terminologi khiyar mempunyai beberapa pengertian namun dapat disimpulkan, “khiyar adalah hak orang yang melakukan transaksi (‘aqid) untuk membatalkan transaksi atau meneruskannya karena adanya alasan syar’i yang memboehkannya atau karena kesepakatan dalam transaksi Dapat dikatakan juga bahwa khiyar adalah tuntutan untuk memilih dua hal: meneruskan transaksi atau membatalkannya.
Sedangkan menurut ulama Fiqih khiyar mempunyai pengertian
اَنْ يَكُوْنَ لِلْمُتَعَا قِدِ الْحَقُّ فِى اِمْضَاءِ الْعَقْدَ اَوْ فَسْخِهِ اِنْ كَانَ الْخِيَاَرُ خِيَارُ شَرْطٌ اَوْ رُؤْسَةٍ اَوْ عَيْبٍ اَوْ اَنْ يَخْتَارَ اَحَدُ اْلبَيْعَيْنِ اِنْكِانَ اْلخِيَارُ خِيَارُ تَعْيِيْنٍ
Artinya : “suatu keadaan yang menyebabkan aqid (orang yang akad ) memiliki hak untuk memutuskan akadnya yakni menjadikan atau membatalkannya jika khiyar tersebut berupa khiyar syarat khiyar aib, khiyar ru’yah atau hendaklah memilih diantara dua barang jika khiyar ta’yin.”( Al – Juhaili. 1989 : 250.)[5]
B. PEMBAGIAN KHIYAR
Dalam pegklarifikasian khiyar disini, para ahli (ulama) terjadi perselisihan pendapat.
1. Menurut Hanafiyah sebagaimana yang di kutip Rahmat Syaf’I dari kitab rad Al-Mukhtar, bahwa khiyar jumlahnya ada 17 macam[6]
2. Menurut Malikiyah[7] jumlahnya ada 2 macam yaitu:
· Khiyar At-ta’ammul (melihat, meneliti), yakni khiyar secara mutlak[8]
· Khiyar Naqish ( kurang ), yakni apabila terdapat kekurangan aib pada barang yang dijual ( khiyar al-hukmy ), khiyarnya menjadi batal
3.Syafi’iyah jumlah khiyar ada 2 macam:
· At-tasyhir: Khiyar yang menyebabkan pembeli memperlama transaksi sesuai dengan seleranya terhadap barang baik dalam majlis maupun syarat.
· Khiyar Naqishah : Khiyar yang disebabkan adanya perbedaan dalam lapadz atau adanya kesalahan dalam perbuatan / adanya pergantian.
Menurut syafi’I juga bahwa khiyar menurut syara itu ada 16 macam. Sedangkan yang biasa diketahui hanya ada 3 macam.
4.Menurut Imam Hanbali ada 8 macam
Namun penulis disini hanyalah akan menyuguhkan dan mengkaji pembagian khiyar sebagian saja, yang sering terjadi di masyarakat, yaitu antara lain:
1. Khiyar Majlis
Kata khiyar majlis merupakan bentuk idhafi (kata majemuk). Yakni menyandarkan sesuatu pada tempatnya. Majlis artinya tempat duduk. Yang dimaksud disini adalah tempat melakukan jual beli.
Adapun secara terminologi ulama fiqh mengartikan bahwa khiyar majlis adalah
اَنْ يَكُوْنَ لِكُلِّ مِنَ الْعَا قِدَيْنِ حَقٌّ فََسْحُ الْعَقْدِ مَادَامَ فِى مَجْلِسٍ الْعَقْدِ لَمْ يَتَفَرَّقَاَ بِاَبْدَانِهَايُخَيِّرُاَحَدُهُمَااْلا خَرَ فَيُخْتَارُ لُزُوْمُ اْلعَقْدِ.
Artinya : “Hak bagi semua pihak yang melakukan akad untuk membatalkan akad selagi masih berada ditempat akad dan kedua pihak belum berpisah. Keduanya saling memilih sehingga muncul kelaziman akad.” [9]
Khiyar majlis di pegang teguh oleh fuqaha Syafi’iyah dan Hanabilah berdasarkan pada hadits riwayat Bukhari dan Muslim dimana Rasulullah bersabda:
اَلْبَيِّعَان بِاْخِيَارِمَالَمْ يَتَفَر
Artinya َّقَا: “masing-masing dari penjualdan pembeli memilikihak khiyar selama keduanya belum berpisah”.
Sedangkan fuqaha hanafiyah dan malikiyah menyangkal keberadaan jenis khiyar ini. Menurut mereka akad telah sempurna dan bersifat lazim (pasti) semata berdasarkan kerelaan kedua belah pihak yang dinyatakan secara formal melalui ijab dan qabul[10].
Adapun objek dan masa khiyar majlis adalah
Khiyar majlis berlaku pada jual beli, perdamaian (shulh), ijarah, dan bentuk tukar menukar lainnya yang menyangkut harta.
Mulai berlakunya khiyar majlis disini adalah ketika dimulai saat terjadinya transaksi. Yakni setelah terjadi ijab dan qabul. Masa berlakunya khiyar ini menurut Abu Hanifah dan Asy-Syafi’ie yaitu tidak boleh melebihi 3 hari. Sedangkan malikiyah membolehkan melebihi 3 hari sesuai dengan kebutuhan. Yang shahih (benar), khiyar merupakan hak yang bergantung pada syarat, maka perkiraannya tergantung pada orang yang membuat syarat.[11]
2 Khiyar Syarat
Kata khiyar syrat merupakan murakkab idlafi yang menjadi suatu nama dalam peristilahan fuqaha’. Dengan demikian menurut ulama fikih ( Al – Juhaili.1989 : 254 ) khiyar syarat adalah:
اَنْ يَكُوْنَ ِلأَحَدِالْعَاقِدَيْنِ اَوْلِكِيْلَهُمَا اَوْ لِغَيْرِهُمَاالْحَقِّ فىِ فَسْحِ الْعَقْدِاِوْاِمْضَائِهِ خِلاَلَ مُدَّةٍ مَعْلُوْمَةٍ
Artinya : “ suatu keadaan yang membolehkan salah seorang yang akad atau masing – masing yang akad atau selain kedua belah pihak yang akad memiliki hak atas pembatalan atau penetapan akad selama waktu yang ditentukan.”[12]
Menurut Rasyid ( 2002 : 270 ), Khiyar syarat yaitu khiyar yang dijadikan syarat sewaktu akad oleh keduanya atau oleh salah seorang, seperti kata si penjual,” saya jual barang ini dengan harga sekian dengan syarat khiyar dalam tiga hari atau kurang dari tiga hari,” [13]
Khiyar syarat boleh dilakukan dalam segala macam jual beli, kecuali barang yang barang-barang riba. Masa khiyar syarat paling lama hanya tiga hari tiga malam, terhitung dari waktu akad. Sabda Rasulullah Saw:
اَنْتَ بِاخِيَاِرفِى كُلِّ سَلْعَةٍ اِبْتَعْتَهَا ثَلاَثٍ لَيَالٍ
Artinya : “Engkau boleh khiyar pada segala barang yang telah engkau beli selama tiga hari tiga malam.” ( Riwayat baihaqi dan Ibnu Majah ).
Batasan khiyar , mengenai batasan khiyar ini ada beberapa pendapat diantaranya :
Hanafiyah, jafar dan syafi’iyah berpendapat bahwa khiyar dibolehkan dengan waktu yang ditentukan selagi tidak lebih dari tiga hari. Karena menurut mereka waktu tiga hari itu cukup untuk memenuhi kebutuhan seseorang. Dengan demikian jika melewati tiga hari, jual – beli tersebut batal. Akad tersebut akan tetap menjadi shahih jika tidak melewati batas tiga hari, akan tetapi jika melewati tiga hari maka akadnya menjadi tidak sah. Imam syafi’I berpendapat khiyar yang melebihi tiga hari membatalka jual – beli, sedangkan bila kurang dari tiga hari, hal itu adalah rukhsah ( keringanan ).
Hambali berpendapat khiyar itu diperbolehkan menurut kesepakatan orang yang berakad, baik sebentar maupun lama, sebab khiyar syarat sangat berkaitan dengan orang yang memberi syarat.
Malikiyah berpendapat bahwa khiyar syarat dibolehkan sesuai kebutuhan .
Cara menggugurkan khiyar syarat adalah sebagai berikut:
a.Penguguran jelas (sharih)
b.Pengguguran dengan dilalah
c.Pengguguran khiyar dengan kemadlaratan
Pengguguran ini terdapat dalam beberapa keadaan, antara lain:
1. Berakhirnya batas waktu khiyar[14]
2. Wafatnya shahibul khiyar (hanafiyah dan hanabilah). Dapat berpindah kepada ahli waris ketika shahibul khiyar wafat (syafi’iyah dan malikiyah).
3. Adanya hal-hal yang semakna dengan mati[15]
4. Barang rusak ketika masih khiyar
5. Adanya cacat pada barang
3.Khiyar ‘Aib
Kata khiyar aib secara etimologis adalah bentuk murakkab idlafi yang terdiri dari khiyar dan ‘aib. Kemudian dirangkai menjadi satu, yang merupakan penyandaran sesuatu kepada sebabnya. Artinya khiyar yang sebabnya adalah ‘aib (cacat).[16]
Secara terminologi Menurut ulama fikih ( Al – Juhaili.1989 : 261 ) yang dikutip dari buku fiqh muamalah karya Rachmat Syafi’ie, khiyar ‘Aib ( cacat ) adalah :
اَنْ يَكُوْنَ ِلأَحَدِالْعَاقِدَيِْنِ الْحَقَّ فِى فَسْخِ الْعَقْدِاَوْاِمْضَاءِهِ اِذَا وُجِدَ عَيْبٌ فِى اَحَدِ الْبَدْ لَيْنِ وَلَمْ يَكُنْ صَا حِبُهُ عَالِمًابِهِ وَقْتَ الْعَقْدِ.
Artinya: “Keadaan yang membolehkan salah seoarang yang akad memiliki hak untuk membatalkan akad atau menjadikannya ketika ditemukan aib ( kecacatan ) dari salah satu yang dijadikan alat tukar – menukar yang tidak diketahui pemiliknya waktu akad.”[17]
Perkara yang menghalangi untuk mengembalikan barang yang cacat tidak boleh dikembalikan karena adanya hal – hal sebagai berikut :[18]
a.Rida setelah mengetahui adanya cacat
b.Menggurkan khiyar
c.Barang rusak karena perbuatan pembeli
d.Adanya tambahan pada barang yang bersatu dengan barang tersebut dan bukan berasal dari aslinya atau terpisah dari barangnya.
4. Khiyar Ru’yah
Khiyar ru’yah adalah hak pembeli untuk membatalkan akad atau tetap melangsungkannya ketika ia melihat obyek akad dengan syarat ia belum melihatnya ketika berlangsung akad atau sebelumnya ia pernah melihatnya dalam batas waktu yang memungkinkan telah jadi batas perubahan atasnya[19].
Konsep khiyar ini disampaikan oleh ulama Hanafiyah, Malikiyah, Hanabilah dan Dhahiriyah dalam kasus jual beli benda yang ghaib (tidak ada di tempat) atau benda yang belum pernah di periksa, berdasarkan Hadits yang artinya:
“Barang siapa membeli sesuatu yan g belum pernah dilihatnya, maka baginya hak khiyar ketika melihatnya” (HR. Darul Quthni)
Namun imam Syafi’ie menyangkal keberadaan Khiyar ru’yat ini, karena menurutnya jual beli terhadap barang yang ghaib (tidak ada ditempat) sejak semula sudah tidak sah.
Syarat Khiyar Ru’yah bagi yang membolehkannya antara lain[20]:
a.Barang yang akan ditransaksikan berupa barang yang secara fisik ada dan dapat dilihat berupa harta tetap atau harta bergerak.
b.Barang dagangan yang ditransaksikan dapat dibatalkan dengan mengembalikan saat transaksi.
c.Tidak melihat barang dagangan ketika terjadi transaksi atau sebelumnya, sedangkan barang dagangan tersebut tidak berubah.
5.Khiyar ta’yin
Yang dimaksud dengan khiyar ta'yin adalah hak yang dimiliki oleh orang yang menyelenggarakan akad (terutama pembeli) untuk menjatuhkan atau memastikan pilihan atas sejumlah benda sejenis dan setara sifat atau harganya. [21] Biasanya barang yang dijual memiliki tiga kualitas yaitu biasa, menengah dan istimewa. Pembeli diberikan hak pilih (ta'yin) untuk mendapatkan barang yang terbaik menurut penilaiannya sendiri tanpa menadapatkan tekanan dari manapun juga. Khiyar inipun hanya berlaku bagi akad-akad muawwadat yaitu akad-akad yang mengandung tukar balik seperti macam-macam jual beli dan hibah.
Tidak semua fuqaha sepakat dengan khiyar ini karena menurut mereka wujud khiyar ini mengindikasikan adanya ketidakjelasan dalam barang yang ditransaksikan. Padahal dalam persyaratan akad, barang yang akan dijual harus jelas dan terang. Karena itu dibolehkannya khiyar ta'yin dalam akad seolah-olah bertetangan dengan persyaratan akad. Sementara itu Abu Hanifah (Imam Hanafi) dan kedua sahabatnya (Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad) membolehkan khiyar ta'yin secara istihsan karena hal ini sangat diperlukan dalam kehidupan bisnis. Misalnya ada orang yang mau membeli suatu barang yang ia butuhkan, tetapi ia tidak mengetahui banyak tentang kegunaan secara optimal, kualitas, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan manfaat dan kualitasnya. Untuk itu ia perlu konsultasi dengan orang lain yang lebih ahli dalam bidang itu sehingga dapat memilih secara bijak dan tepat.
Syarat-syarat khiyar ta'yin[22]
a)Biasanya kualitas suatu barang itu dari biasa, menengah dan istimewa. Karena itu khiyar dibatasi hanya pada tiga klasifikasi di atas. Lebih dari itu tidak diperlukan lagi khiyar.
b)Adanya kualitas dan jenis barang atau harganya bertingkat-tingkat.
c)Masa khiyar ta'yin harus tertentu dan dijelaskan, misalnya 3 hari.
Jika pembeli sudah menjatuhkan pilihannya pada salah satu jenis barang yang ditawarkan, maka akad sudah jadi dan kepindahan kepemilikan telah berlaku.
C.Hikmah di adakannya Khiyar
Khiyar dalam jual beli termasuk dari keindahan Islam. Karena terkadang terjadi jual beli secara mendadak tanpa berpikir dan merenungkan harga dan manfaat barang yang dibeli. Karena alasan itulah, Islam memberikan kesempatan untuk mempertimbangkan yang dinamakan khiyar, keduanya bisa memilih di sela-selanya yang sesuai salah satu dari keduanya berupa meneruskan jual beli atau membatalkannya.
Dari Hakim bin Hizam r.a ia berkata: 'Rasulullah SAW bersabda:
اَلْبَيِّعَانِ بِالخِْيَارِ مَالَمْ يَتَفَرَّقَا أَوْ قَالَ: حَتَّى يَتَفَرَّقَا. فَاِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُوْرِكَ لَهُمَا فِى بَيْعِهِمَا وَاِنْ كَتَمَا وَكَذَبَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا.
Artinya: "Dua orang yang melakukan jual beli mempunyai hak memilih selama keduanya belum berpisah, 'atau beliau bersabda: 'sampai keduanya berpisah. Maka jika keduanya benar dan menjelaskan, niscaya diberi berkah untuk keduanya dalam transaksi keduanya, dan jika keduanya menyembunyikan dan berdusta, niscaya dihapus berkah jual beli keduanya." (Muttafaqun 'alaih)
Dengan demikian khiyar dalam jual beli mempunyai hikmah-hikmah yang khusus antara lain[23]:
1.Mengurangi efek ganguan dalam transaksi sejak dini.
2.Membersihkan unsur suka sama suka dari noda-noda
3.Kepuasan ‘aqid
4.Penjual mempunyai peluang atau kesempatan untuk bermusyawaray kepada orang terpercaya mengenai harga yang sesuai dengan barang dagangan.
5.Menghilangkan unsur kelalaianatau penipuan bagi pihak akad[24]
BAB IV RAHN ( Gadai )
A. Pengertian, Sifat, Landasan, Rukun dan Unsur-unsurnya
1. Pengertian Rahn (gadai)
Secara etimologi rahn berarti (tetap dan lama) yakni tetap atau berarti (pengekangan dan keharusan), sedangkan menurut terminologi syara’ rahn berarti :
Artinya : “Penahanan terhadap suatu barang dengan hak sehingga dapat dijadikan sebagai pembayaran dari barang tersebut”.
Rahn dalam bahasa Arab memiliki pengertian tetap dan kontinyu. Dikatakan dalam bahasa Arab: (المَاءُ الرَّاهِنُ ) apabila tidak mengalir dan kata (نِعْمَةٌ رَاهِنَةٌ) bermakna nikmat yang tidak putus. Ada yang menyatakan kata Rahn bermakna tertahan dengan dasar firman Allah :
“Tiap-tiap diri bertanggung jawab (tertahan) atas apa yang telah diperbuatnya” (QS. 74:38) kata Rahienah bermakna tertahan. Pengertian kedua ini hampir sama dengan yang pertama karena yang tertahan itu tetap ditempatnya. Ibnu Faaris menyatakan: Huruf Raa, Haa’ dan Nun adalah asal kata yang menunjukkan tetapnya sesuatu yang diambil dengan hak atau tidak. Dari kata ini adalah kata Al Rahn yaitu sesuatu yang digadaikan. Adapun definisi Rahn dalam istilah Syari’at, dijelaskan para ulama dengan ungkapan : menjadikan harta benda sebagai jaminan hutang untuk dilunasi dengan jaminan tersebut ketika tidak mampu melunasinya, Atau harta benda yang dijadikan jaminan hutang untuk dilunasi (hutang tersebut) dari nilai barang jaminan tersebut apabila tidak mampu melunasinya dari orang yang berhutang. memberikan harta sebagai jaminan hutang agar digunakan sebagai pelunasan hutang dengan harta atau nilai harta tersebut bila pihak berhutang tidak mampu melunasinya.
Sedangkan Syeikh Al Basaam mendefinisikan, Al Rahn sebagai jaminan hutang dengan barang yang memungkinkan pelunasan hutang dengan barang tersebut atau dari nilai barang tersebut apabila orang yang berhutang tidak mampu melunasinya.[25]
Ulama fiqh berbeda pendapat dalam mendefinidikan rahn (gadai) :
a. Menurut ulama Syafi’iyah :
“Menjadikan suatu benda sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan pembayar ketika berhalangan dalam membayar utang”.
b. Menurut ulama Hanabilah
“Harta yang dijadikan jaminan utang sebagai pembayar harga (nilai) utang ketika yang berutang berhalangan (tak mampu) membayar utangnya kepada pemberi pinjaman”.
2. Sifat Rahn (gadai)
Secara umum rahn (gadai) dikategorikan sebagai akad yang bersifat derma sebab apa yang diberikan penggadai (rahin) kepada penerima gadai (murtahin) tidak ditukar dengan sesuatu. Yang diberikan murtahin kepada rahin adalah utang, bukan penukar atas barang yang digadaikan. Rahn juga termasuk akad ainiyah, yaitu dikatakan sempurna sesudah menyerahkan benda yang dijadikan akad, seperti hibah, pinjam-meminjam, titipan dan qirad. Semua termasuk akad tabarru (derma) yang dikatakan sempurna setelah memegang (al-qabdu), sesuai kaidah (tidak sempurna tabarru, kecuali setelah pemegangan).[26]
3. Landasan Rahn (gadai)
Rahn (gadai) disyariatkan berdasarkan Al-Qur’an dan Sunah :
a. Al-Qur’an
“Apabila kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai), sedangkan kamu tidak memperoleh seorang penulis, hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang”. (QS. Al-Baqarah : 283)
b. As-Sunah
“Dari Siti Aisyah r.a. bahwa Rasulullah SAW, pernah membeli makanan dengan menggadaikan baju besi”. (HR. Bukhari dan Muslim)
4. Rukun dan Unsur-unsurnya
Menurut ulama Hanafiyah rukun rahn (gadai) adalah ijab dan qabul dari rahin dan murtahin, sebagaimana pada akad yang lain. Akan tetapi akad dalam rahn (gadai) tidak akan sempurna sebelum adanya penyerahan barang.
Adapun menurut ulama selain Hanafiyah, rukun rahn (gadai) adalah shighat, aqid (orang yang akad), marhun, dan marhun bih.
Rahn memiliki empat unsur : rahin, murtahin, marhun dan marhun bih.
B. Syarat, Hukum dan Dampaknya
1. Syarat rahn
Disyaratkan dalam Al Rahn sebagai berikut :
syarat yang berhubungan dengan transaktor (orang yang bertransaksi) yaitu Orang yang menggadaikan barangnya adalah orang yang memiliki kompetensi beraktivitas, yaitu baligh, berakal dan rusyd (kemampuan mengatur).
2. Syarat yang berhubungan dengan Al Marhun (barang gadai) ada tiga :
a. Barang gadai itu berupa barang berharga yang dapat menutupi hutangnya baik barang atau nilainya ketika tidak mampu melunasinya.
b. Barang gadai tersebut adalah milik orang yang manggadaikannya atau yang dizinkan baginya untuk menjadikannya sebagai jaminan gadai.
c. Barang gadai tersebut harus diketahui ukuran, jenis dan sifatnya, karena Al rahn adalah transaksi atau harta sehingga disyaratkan hal ini.
3 Syarat berhubungan dengan Al Marhun bihi (hutang) adalah hutang yang wajib atau yang akhirnya menjadi wajib.
Mengenai penerimaan barang yang digadaikan, pada garis besarnya disepakati sebagai syarat gadai, berdasarkan firman Allah :
“Sedang kamu tidak mendapat seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh orang berpiutang)”. (QS. Al-Baqarah : 283)
Bagi fuqaha yang menganggap penguasaan sebagai syarat sahnya gadai, akan berpendapat bahwa selama balum terjadi penguasaan akad gadai itu tidak mengikat orang yang menggadaikan. Sebaliknya, bagi fuqaha yang menganggapnya sebagai syarat kelengkapan akan berpendapat bahwa dengan adanya kelengkapan akad gadai itu sudah mengikat dan orang yang menggadaikan dipaksa untuk menyerahkan barang. Kecuali jika penerima gadai menangguhkan permintaan penyerahan barang, sehingga orang yang menggadaikan mengalami kebangkrutan, sakit atau meninggal. [27]
2.Hukum Rahn
Sistem hutang piutang dengan gadai ini diperbolehkan dan disyariatkan dengan dasar Al Qur’an, Sunnah dan ijma’ kaum muslimin.
Dalil Al Qur’an adalah firman Allah:
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang". Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Rabbnya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. 2:283). Dalam ayat ini walaupun ada pernyataan ‘dalam perjalanan’ namun tetap menunjukkan keumumannya, baik dalam perjalanan atau dalam keadaan mukim, karena kata ‘dalam perjalanan’ dalam ayat hanya menunjukkan keadaan yang biasa membutuhkan sistem ini.
Hal inipun dipertegas dengan amalan Rasululloh yang melakukan pergadaian sebagaimana dikisahkan umul mukminin A’isyah dalam pernyataan beliau:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُودِيٍّ إِلَى أَجَلٍ وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ
Sesungguhnya Nabi SAW membeli dari seorang yahudi bahan makanan dengan cara hutang dan menggadaikan baju besinya. (HR Al Bukhori no 2513 dan Muslim no. 1603).
Demikian juga para ulama bersepakat menyatakan pensyariatan Al Rahn ini dalam keadaan safar (perjalanan) dan masih berselisih kebolehannya dalam keadaan tidak safar. Imam Al Qurthubi menyatakan: Tidak ada seorangpun yang melarang Al Rahn pada keadaan tidak safat kecuali Mujaahid, Al Dhohak dan Daud (Al Dzohiri). Demikian juga Ibnu Hazm.
Ibnu Qudamah menyatakan: Diperbolehkan Al rahn dalam keadaan tidak safar (menetap) sebagaimana diperbolehkan dalam keadaan safar (bepergian). Ibnul Mundzir menyatakan: Kami tidak mengetahui seorangpun yang menyelisihi hal ini kecuali Mujahid, ia menyatakan: Al Rahn tidak ada kecuali dalam keadaan safar, karena Allah berfirman:
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)”.
Namun benar dalam hal ini adalah pendapat mayoritas ulama dengan adanya perbuatan Rasululloh SAW diatas dan sabda beliau:
الرَّهْنُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ
“Al Rahn (Gadai) ditunggangi dengan sebab nafkahnya, apabila digadaikan dan susu hewan menyusui diminum dengan sebab nafkah apabila digadaikan dan wajib bagi menungganginya dan meminumnya nafkah. (HR Al Bukhori no. 2512). Pendapat ini dirojihkan Ibnu Qudamah, Al Hafidz Ibnu Hajar dan Muhammad Al Amien Al Singqithi
Setelah jelas pensyariatan Al Rahn dalam keadaan safar (perjalanan), apakah hukumnya wajib dalam safar dan mukim atau tidak wajib pada keseluruhannya atau wajib dalam keadaan safar saja? Para ulama berselisih dalam dua pendapat : Tidak wajib baik dalam perjalanan atau mukim. Inilah pendapat Madzhab imam empat (Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hambaliyah.
Berkata Ibnu Qudamah: Al Rahn tidak wajib, kami tidak mengetahui orang yang menyelisihinya, karena ia adalah jaminan atas hutang sehingga tidak wajib seperti Dhimaan (jaminan pertanggung jawaban).
Dalil pendapat ini adalah dalil-dalil ang menunjukkan pensyariatan Al rahn dalam keadaan mukim diatas yang tidak menunjukkan adanya perintah sehingga menunjukkan tidak wajibnya.
Demikian juga karena Al rahn adalah jaminan hutang sehingga tidak wajib seperti Al Dhimaan (Jaminan oertanggungjawaban) dan Al Kitabah (penulisan perjanjian hutang) dan juga karena ini ada ketika sulit melakukan penulisan perjanjian hutang. Bila Al Kitaabah tidak wajib maka demikian juga penggantinya.
Wajib dalam keadaan safar. Inilah pendapat Ibnu Hazm dan yang menyepakatinya. Pendapat ini berdalil dengan firman Allah:
ﻣﻘﺒﻭﻀﺔ ﻓﺮﻫﺍﻦ ﻻﺘﺒﺎ ﺘﺠﺪﻭﺍ ﻭﻠﻢ ﺴﻔﺮ ﻋﺍﻰ ﻜﻨﺘﻢ ﻭﺍﻦ
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)”.
Mereka menyatakan bahawa kalimat (maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)) adalah berita bermakna perintah. Juga dengan sabda Rasululloh SAW :
كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ
“Semua syarat yang tidak ada dikitabullah maka ia bathil walaupun seratus syarat”. (HR Al Bukhori).
Mereka menyatakan: Pensyaratan Al Rahn dalam keadaan safar ada dalam Al Qur’an dan diperintahkan, sehingga wajib mengamalkannya dan tidak ada pensyaratannya dalam keadaan mukim sehingga ia tertolak.
Pendapat ini dibantah bahwa perintah dalam ayat tersebut bermaksud bimbingan bukan kewajiban. Ini jelas ditunjukkan dalam firman Allah setelahnya:
“Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) (QS. 2:283). Demikian juga pada asalnya dalam transaksi mu’amalah adalah kebolehan (mubah) hingga ada larangannya dan disini tidak ada larangannya.
3.Dampaknya
Jika akad rahn telah sempurna, yakni rahin menyerahkan borg kepada murtahin , maka terjadilah beberapa dampak yaitu :
a. Adanya utang untuk rahi
b. Hak untuk menguasai borg
Menurut ulama Hanafiyah, keberlangsungan akad pada rahn bergantung pada borg yang dipegang murtahin, sedangkan menurut ulama Syafi’iyah penguasaan borg semata-mata sebagai penolong untuk membayar utang rahin.
c.Menjaga barang gadaian Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa murtahin harus menjaga borg sebagaimana menjaga barang miliknya, jika rusak atas kelalaian murtahin, ia harus bertanggungjawab untuk memperbaiki atau menggantinya.
d. Pembiayaan atas borg
Ulama Hanafiyah sepakat bahwa rahin berkewajiban membiayai atau mengurus rahin, menurut ulama Hanabilah, Syafi’iyah, dan Malikiyah berpendapat bahwa rahin bertanggungjawab atas pembiayaan borg.
e. Pemanfaatan Rahn
Jumhur ulama selain Syafi’iyah melarang rahin untuk memanfaatkan borg, ulama Syafi’iyah membolehkannya sejauh tidak memadaratkan murtahin. Fuqaha lain berpendapat, apabila barng gadai itu berupa hewan, maka penerima gadai boleh mengambil air susu dan menungganginya dalam kadar yang seimbang dengan makanan dan biaya yang diberikan kepadanya.
C. Tujuan dan Hikmah
Setiap orang berbeda-beda keadaannya, ada yang kaya dan ada yang miskin, padahal harta sangat dicintai setiap jiwa. Lalu terkadang seorang disatu waktu sangat butuh kepada uang untuk menutupi kebutuhan-kebutuhannya yang mendesak dan tidak mendapatkan orang yang bersedekah kepadanya atau yang meminjamkan uang kapadanya, juga tidak ada penjamin yang menjaminnya. Hingga ia mendatangi orang lain membeli barang yang dibutuhkannya dengan hutang yang disepakati kedua belah pihak atau meminjam darinya dengan ketentuan memberikan jaminan gadai yang disimpan pada pihak pemberi hutang hingga ia melunasi hutangnya.
Oleh karena itu Allah mensyariatkan Al Rahn (gadai) untuk kemaslahatan orang yang menggadaikan (Raahin), pemberi hutangan (Murtahin) dan masyarakat. Untuk Rahin ia mendapatkan keuntungan dapat menutupi kebutuhannya. Ini tentunya bisa menyelamatkannya dari krisis dan menghilangkan kegundahan dihatinya serta kadang ia bisa berdagang dengan modal tersebut lalu menjadi sebab ia menjadi kaya. Sedangkan Murtahin (pihak pemberi hutang) akan menjadi tenang dan merasa aman atas haknya dan mendapatkan keuntungan syar’i dan bila ia berniat baik maka mendapatkan pahala dari Allah.
Adapun kemaslahatan yang kembali kepada masyarakat adalah memperluas interaksi perdagangan dan saling memberikan kecintaan dan kasih sayang diantara manusia, karena ini termasuk tolong menolong dalam kebaikan dan takwa. Disana ada manfaat menjadi solusi dalam krisis, memperkecil permusuhan dan melapangkan penguasa.
BAB V HUTANG PIUTANG
A.Definisi Hutang
Kata hutang dalam kamus bahasa Indonesia terdiri atas dua suku kata yaitu “hutang” yang mempunyai arti uang yang dipinjamkan dari orang lain.[28] Sedangkan kata “piutang” mempunyai arti uang yang dipinjamkan (dapat ditagih dari orang lain).[29]
Sedangkan menurut ahli fiqih hutang atau pinjaman adalah transaksi antara dua pihak yang satu menyerahkan uangnya kepada yang lain secara sukarela untuk dikembalikan lagi kepadanya oleh pihak kedua dengan hal yang serupa. Atau seseorang menyerahkan uang kepada pihak lain untuk dimanfaatkan dan kemudian dikembalikan lagi sejumlah yang dihutang.[30]
Adapun pengertian hutang piutang yang lainnya yaitu memberikan sesuatu (uang atau barang) kepada seseorang dengan perjanjian dia akan membayar yang sama dengan itu.[31]
Pengertian hutang piutang sama dengan perjanjian pinjam meminjam yang dijumpai dalam ketentuan kitab Undang-Undang hokum perdata pasal 1754 yang berbunyi : “pinjam meminjam adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah barang-barang tertentu dan habis karena pemakaian, dengan syarat bahwa yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam keadaan yang sama pula.”[32]
B.Dasar Hukum Hutang Piutang
Adapun yang menjadi dasar hutang piutang dapat dilihat pada ketentuan Al-Qur’an dan Al-Hadits, dalam Al-Qur’an terdapat dalam surat Al-Maidah ayat 2 yang berbunyi :
…وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ (2
“…Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.(Q.S al-Maidah : 2)”[33]
Sedangkan dalam sunnah Rasululllah SAW. Dapat ditemukan antara lain dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah sebagai berikut:
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُقْرِضُ مُسْلِمًا قَرْضًا مَرَّتَيْنِ إِلاَّ كَانَ كَصَدَقَتِهَا مَرَّةً (رواه ابن ماجه
“Seorang muslim yang mempiutangi seorang muslim dua kali, seolah-olah telah bersedekah kepadanya satu kali”.[34]
Hukum memberi hutang piutang bersifat fleksibel tergantung situasi dan toleransi, namun pada umumnya memberi hutang hukumnya sunnah. Akan tetapi memberi hutang atau pinjaman hukumnya bisa menjadi wajib ketika diberikan kepada oaring yang membutuhkan seperti memberi hutang kepada tetangga yang membutuhkan uang untuk berobat karena keluarganya ada yang sakit. Hukum memberi hutang bisa menjadi haram, misalnya memberi hutang untuk hal-hal yang dilarang dalam ajaran islam seperti untuk membeli minuman keras, menyewa pelacur dan sebagainya.[35]
Hukum hutang piutang:
Hukum Hutang piutang pada asalnya DIPERBOLEHKAN dalam syariat Islam. Bahkan orang yang memberikan hutang atau pinjaman kepada orang lain yang sangat membutuhkan adalah hal yang DISUKAI dan DIANJURKAN, karena di dalamnya terdapat pahala yang besar. Adapun dalil-dalil yang menunjukkan disyariatkannya hutang piutang ialah sebagaimana berikut ini:
Dalil dari Al-Qur’an adalah firman Allah:
مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً وَاللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ (245)
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah: 245)
Sedangkan dalil dari Al-Hadits adalah apa yang diriwayatkan dari Abu Rafi’, bahwa Nab pernah meminjam seekor unta kepada seorang lelaki. Aku datang menemui beliau membawa seekor unta dari sedekah. Beliau menyuruh Abu Rafi’ untuk mengembalikan unta milik lelaki tersebut. Abu Rafi’ kembali kepada beliau dan berkata, “Wahai Rasulullah! Yang kudapatkan hanya-lah seekor unta ruba’i terbaik?” Beliau bersabda,“Berikan saja kepadanya. Sesungguhnya orang yang terbaik adalah yang paling baik dalam mengembalikan hutang.” [36]
Nabi juga bersabda:
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُقْرِضُ مُسْلِمًا قَرْضًا مَرَّتَيْنِ إِلاَّ كَانَ كَصَدَقَتِهَا مَرَّةً
“Setiap muslim yang memberikan pinjaman kepada sesamanya dua kali, maka dia itu seperti orang yang bersedekah satu kali.” (HR. Ibnu Majah II/812 no.2430, dari Ibnu Mas’ud. Hadits ini di-hasan-kan oleh Al-Albani di dalam Irwa’ Al-ghalil Fi Takhrij Ahadits manar As-sabil (no.1389).)
Sementara dari Ijma’, para ulama kaum muslimin telah berijma’ tentang disyariatkannya hutang piutang (peminjaman).
C.Rukun Hutang Piutang
Dalam Hutang Piutang Harus Sesuai Rukun yang Ada :
- Ada yang berhutang / peminjam / piutang / debitor
- Ada yang memberi hutang / kreditor
- Ada ucapan kesepakatan atau ijab qabul / qobul
- Ada barang atau uang yang akan dihutangkan[37]
D.PERINGATAN KERAS TENTANG HUTANG:
Dari pembahasan di atas, kita telah mengetahui dan memahami bahwa hukum berhutang atau meminta pinjaman adalah DIPERBOLEHKAN, dan bukanlah sesuatu yang dicela atau dibenci, karena Nabi pernah berhutang.[38]Namun meskipun demikian, hanya saja Islam menyuruh umatnya agar menghindari hutang semaksimal mungkin jika ia mampu membeli dengan tunai atau tidak dalam keadaan kesempitan ekonomi. Karena hutang, menurut Rasulullah, merupakan penyebab kesedihan di malam hari dan kehinaan di siang hari. Hutang juga dapat membahayakan akhlaq, sebagaimana sabda Rasulullah (artinya): “Sesungguhnya seseorang apabila berhutang, maka dia sering berkata lantas berdusta, dan berjanji lantas memungkiri.” (HR. Bukhari).
Rasulullah pernah menolak menshalatkan jenazah seseorang yang diketahui masih meninggalkan hutang dan tidak meninggalkan harta untuk membayarnya. Rasulullah bersabda:
يُغْفَرُ لِلشَّهِيدِ كُلُّ ذَنْبٍ إِلاَّ الدَّيْنَ
“Akan diampuni orang yang mati syahid semua dosanya, kecuali hutangnya.” (HR. Muslim III/1502 no.1886, dari Abdullah bin Amr bin Ash).
Diriwayatkan dari Tsauban, mantan budak Rasulullah, dari Rasulullah bahwa Beliau bersabda:
« مَنْ فَارَقَ الرُّوحُ الْجَسَدَ وَهُوَ بَرِىءٌ مِنْ ثَلاَثٍ دَخَلَ الْجَنَّةَ مِنَ الْكِبْرِ وَالْغُلُولِ وَالدَّيْنِ »
“Barangsiapa yang rohnya berpisah dari jasadnya dalam keadaan terbebas dari tiga hal, niscaya masuk surga: (pertama) bebas dari sombong, (kedua) dari khianat, dan (ketiga) dari tanggungan hutang.” (HR. Ibnu Majah II/806 no: 2412, dan At-Tirmidzi IV/138 no: 1573. Dan di-shahih-kan oleh syaikh Al-Albani).
Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda:
« نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ »
“Jiwa orang mukmin bergantung pada hutangnya hingga dilunasi.” (HR. Ibnu Majah II/806 no.2413, dan At-Tirmidzi III/389 no.1078. dan di-shahih-kan oleh syaikh Al-Albani).
Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah bersabda:
« مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ دِينَارٌ أَوْ دِرْهَمٌ قُضِىَ مِنْ حَسَنَاتِهِ لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ »
“Barangsiapa meninggal dunia dalam keadaan menanggung hutang satu Dinar atau satu Dirham, maka dibayarilah (dengan diambilkan) dari kebaikannya; karena di sana tidak ada lagi Dinar dan tidak (pula) Dirham.” (HR. Ibnu Majah II/807 no: 2414. dan di-shahih-kan oleh syaikh Al-Albani).
عَنْ أَبِى قَتَادَةَ أَنَّهُ سَمِعَهُ يُحَدِّثُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ قَامَ فِيهِمْ فَذَكَرَ لَهُمْ « أَنَّ الْجِهَادَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَالإِيمَانَ بِاللَّهِ أَفْضَلُ الأَعْمَالِ ». فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ قُتِلْتُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ تُكَفَّرُ عَنِّى خَطَايَاىَ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « نَعَمْ إِنْ قُتِلْتَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَأَنْتَ صَابِرٌ مُحْتَسِبٌ مُقْبِلٌ غَيْرُ مُدْبِرٍ ». ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « كَيْفَ قُلْتَ ». قَالَ أَرَأَيْتَ إِنْ قُتِلْتُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ أَتُكَفَّرُ عَنِّى خَطَايَاىَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « نَعَمْ وَأَنْتَ صَابِرٌ مُحْتَسِبٌ مُقْبِلٌ غَيْرُ مُدْبِرٍ إِلاَّ الدَّيْنَ فَإِنَّ جِبْرِيلَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ قَالَ لِى ذَلِكَ »
Dari Abu Qatadah, bahwasannya Rasulullah pernah berdiri di tengah-tengah para sahabat, lalu Beliau mengingatkan mereka bahwa jihad di jalan Allah dan iman kepada-Nya adalah amalan yang paling afdhal. Kemudian berdirilah seorang sahabat, lalu bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika aku gugur di jalan Allah, apakah dosa-dosaku akan terhapus dariku?” Maka jawab Rasulullah kepadanya “Ya, jika engkau gugur di jalan Allah dalam keadaan sabar mengharapkan pahala, maju pantang melarikan diri.” Kemudian Rasulullah bersabda: “Melainkan hutang, karena sesungguhnya Jibril ’alaihissalam menyampaikan hal itu kepadaku.” (HR. Muslim III/1501 no: 1885, At-Tirmidzi IV/412 no:1712, dan an-Nasa’i VI: 34 no.3157. dan di-shahih-kan oleh syaikh Al-Albani dalam Irwa-ul Ghalil no: 1197)
BAB VI IJAROH
A.Pengertian Dan Landasan Hukum Ijarah
Ijarah secara bahasa berarti upah dan sewa jasa/imbalan merupakan transaksi yang memperjual belikan manfaat suatu harta benda. Transaksi Ijarah merupakan salah satu bentuk kegiatan muamalah yang banyak dilakukan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Kebolehan transaksi Ijarah ini didasarkan sejumlah keterangan Al-Qur’an dan Hadits, antara lain sebagaimana di bawah ini:
وَإِنْ أَرَدتُّمْ أَن تَسْتَرْضِعُواْ أَوْلاَدَكُمْ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُم مَّا آتَيْتُم بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُواْ اللّهَ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ{سورة البقرة ۲۳۳}
“Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”(QS. Al Baqarah 233)
Al-Ijarah berasal dari kata al-ajru yang arti menurut bahasanya adalah al-iwadl yang artiu dalam bahasa Indonesianya ialah ganti dan upah.
Sedang menurut istilah, para ulama berbeda-beda mendefinisikan Ijarah, antara lain adalah sebagai berikut:
Menurut Hanafiah bahwa ijarah adalah:
عقد يفيد تتمليك منفعة معاومة مقصودة من العين المستأجرة بعوض
“Akad untuk membolehkan pemilihan manfaat yang diketahui dan disengaja dari suatu zat yang disewa dengan imbalan”
Menurut Malikiyah bahwa Ijarah adalah:
تسمية التعاقد على منفعة الاد مي وبغض المنقولان
“Nama bagi akad-akad untuk kemanfaatan yang bersifat manusiawi dan untuk sebagian yang dapat dipindah-pindahkan.[39]
عقد على منفعة معلمة مقصودة قبلة للبذروالاباحة بعوض وضعا
“Akad atas manfaat yang diketahui dan disengaja untuk memberi dan membolehkan dengan imbalan yang diketahui ketika itu”
Menurut Muhammad As-Syarbini Al-Katib bahwa yang dimaksud dengan Ijarah ialah:
تمليك منعفة بعوض بشروط
“Pemilikan manfaat dengan adanya imbalan dan syarat-syarat.[40]
Menurut Sayyid Sabiq bahwa ijarah ialah “suatu jenis akad yang akad untuk mengambil manfaat dengan jalan pergantian.”
Menurut Hasbi Asy-Shidhiqie bahwa Ijarah adalah:
عقدموضوعةالمبادلة على منفعة الشيئ بمدة محدودة أى تمليكهابعوض فحى بيع المنافع
“Akad yang obyeknya ialah penukaran manfaat untuk masa tertentu, yaitu pemilikan manfaat dengan imbalan, sama dengan menjual manfaat”[41]
Menurut Idris Ahmad bahwa upah artinya mengambil manfaat tenaga orang lain dengan jalan memberi ganti menurut syarat-syarat tertentu.”
B.Dasar-dasar hukum atau rujukan Ijarah adalah al Qur’an, as Sunnah dan al Ijma’.
Dasar hukum Ijarah dalam al Qur’an adalah:
فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ{سورة الطلاق ٦}
“Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya.”
Dasar Hukum Ijarah dari al Hadits adalah:
أعطواالأجيرأجره قبل ان يجف عرقه
“Berikanlah olehmu upah orang sewaan sebelum keringatnya kering (HR. Ibnu Majjah)
Landasan Hukum Ijma' adalah semua umat bersepakat, tidak ada serang ulama pun yang membantah kesepakatan (ijma’) ini. Sekalipun ada beberapa orang diantara mereka yang berbeda pendapat, akan tetapi hal itu tidak dianggap.4
C.Obyek Ijarah Dan Persyaratannya
Dalam beberapa definisi yang disampaikan dimuka dapat digaris bawahi bahwasanya Ijarah sesungguhnya merupakan sebuah transaksi atas suatu manfaat. Tidak semua harta benda boleh diakadkan Ijarah atasnya, kecuali yang memenuhi persyaratan berikut ini:
Manfaat dari obyek akad harus diketahui secara jelas.
Obyek Ijarah dapat diserah terimakan dan dimanfaatkan secara langsung dan tidak mengandung cacat yang menghalangi fungsinya. Tidak dibenarkan transaksi ijarah atas harta benda yang masih dalam penguasaan pihak ketiga.
Obyek Ijarah dan pemanfaatannya haruslah tidak bertentangan dengan hukum-hukum syara’.
Obyek yang disewakan adalah manfaat langsung dari sebuah benda.
Harta benda yang menjadi obyek Ijarah haruslah harta benda yang bersifat isti’maly, yakni harta benda yang dapat dimanfaatkan berulang kali tanpa mengakibatkan kerusakan dzat dan pengurangan sifatnya, contoh: tanah, rumah, mobil. Sedangkan benda yang sifat istilaqy, harta benda yang rusak, berkurang klarena pemakaian seperti makanan, buku tulis, tidak sah Ijarahnya.[42]
D.Rukun-Rukun Ijarah
Rukun-rukun Ijarah adalah sebagai berikut:
Mu’jir dan Musta’jir, yaitu orang yang melakukan akad sewa menyewa atau upah mengupah. Mu’jir adalah yang memberikan upah dan yang menyewakan, Mu’tajir adalah orang yang menerima upah untuk melakukan sesuatu dan yang menyewa sesuatu. Disyaratkanbagi mu’jir dan musta’jir adalah bakligh, berakal, cukup melakukan fasbatruk (mengendalikan harta)dan saling meridloi.
Shighat Ijab Qabul antara Mu’jir dan Musta’jir, Ijab Qabul sewa menyewa dan upah mengupah.
Ujrah disyaratkan diketahui jumlahnya oleh kedua belah pihak, baik dalam sewa menyewa dan upah mengupah.
Barang yang disewakan atau sesuatu yang dikerjakan dalam upah mengupah, disyaratkan pada barang yang disewakan dengan beberapa syarat, yaitu:
Hendaklah barang yang menjadi obyek sewa menyewa dan upah mengupah dapat dimanfaatkan kegunaannya.
Hendaklah benda yang menjadi obyek sewa menyewa dan upah mengupah dapat diserahkan kepada penyewa dan pekerja berikut kegunaannya (khusus dalam sewa menyewa).
Manfaat dari benda yang disewa adalah perkara yang mubah (boleh) menurut Syar’i, dan bukan hal yang dilarang (diharamkan).
Benda yang di sewakan disyaratkan kekal ‘ain (dzat)nya hingga waktu yang ditentukan menurut perjanjian dalam akad.
Adapun Ijarah yang mentransaksikan suatu pekerjaan atau seorang pekerja atau buruh, harus memenuhi beberapa persyaratan-persyaratan berikut:
Perbuatan tersebut harus jelas batas waktu pekerjaan.
Pekerjaan yang menjadi obyek Ijarah tidak berupa pekerjaan yang menjadi kewajiban musta’jir sebelum berlangsung akad Ijarah.
Selain persyaratan yang berkenaan dengan obyek Ijarah hukum Islam juga mengatur sejumlah persyaratan yang berkaitan dengan ujrah (upah/ongkos sewa):
Upah harus berupa mal mutaqawwamim dan upah tersebut harus dinyatakan secara jelas. Upah harus berbeda dengan jenis obyeknya.
E.Upah Dalam Pekerjaan Ibadah
Madzhab Hanafi berpendapat bahwa Ijarah dalam perbuatan taat seperti menyewa orang lain untuk sholat, puasa, haji atau membaca al Qur’an yang pahalanya dihadiahkan kepada orang tertentu, seperti kepada arwah ibu bapak orang yang menyewa, adzan, iqamat, dan menjadi imam haram hukumnya mengambil upah dari pekerjaan tersebut,6 sesuai sabda Rasulullah SAW:
أقرأواالقرأن ولاناكلوابه
“Bacalah olehmu al Qur’an dan jangan kamu (cari) makan dengan cara itu.”
Perbuatan seperti adzan, iqamah, shalat, haji, puasa, membaca al Qur’an dan dzikir adalah tergolong perbuatan taqorrub kepada Allah, karenanya tidak boleh mengambil upah untuk pekerjaan itu selain dari anak.
Menurut madzhab Hambali bahwa pengambilan upah dari pekerjaan adzan, iqamah, mengajarkan al Qur’an, fiqih, hadits, badal haji, puasa adalah tidak boleh, diharamkan bagi pelakunya untuk mengambil upah tersebut. Tapi boleh mengambil upah dari pekerjaan-pekerjaan tersebit jka termasuk kepada mahslib, seperti mengajarkan al Qur’an, hadits, fiqih, dan haram mengambil upah yang termasuk taqorrub seperti membaca al Qur’an, shalat dan lain-lain.
Madzhab Malik, Syafi’i, dan Ibnu Hazm membolehkan mengambil upah sebagai imbalan mengajarkan al Qur’an dan ilmu-ilmu, karena ini termasuk jenis imbalan perbuatan yang diketahui dan dengan tenaga yang diketahui pula.
Dijelaskan oleh Sayyid Sabbiq dalam kitabnya fiqih sunnah, para ulama memfatwakan tentang kebolehan mengambil upah yang dianggap sebagai perbuatan baik, seperti para pengajar al Qur’an, guru-guru disekolah yang dibolehkan mengambil upah, karena mereka membutuhkan tunjangan untuk dirinya dan orang-orang yang menjadi tanggungannya.
Abu Hanifah dan Ahmad melarang pengambilan upah dari tilawat al Qur’an dan mengajarkannya dengan taat dan ibadah. Malik berpendapat boleh mengambil imbalan dari pembacaan dan pengajaran al Qur’an, adzan dan badal haji.
F.Pembayaran Upah Dan Sewa
Hak menerima bagi Musta’jir adalah sebagai berikut:
Ketika pekerjaan selesai dikerjakan, beralasan pada hadits yang diriwayatkan Ibnu Majjah, Rasulullah SAW. bersabda:
أعطواالاحيرأجرة قبلام يحف عرقه
“Berikanlah upah sebelum keringat pekerja itu kering.”
Jika menyewa barang, maka uang sewaan dibayar ketika akad sewa, kecuali bila dalam akad ditetukan lain, manfaat barang yang diijarahkan menglirkan selama penyewaan berlangsung.
G,Beberapa Masalah Dalam Praktek Ijarah
a). Perihal pemanfaatan barang.
Jika seseorang menyewa sebuah rumah tempat tinggal, maka ia berhak memanfaatkan fungsi rumah tersebut sebagai tempat tinggal, baik untuk dirinya maupun untuk orang lain. Ia juga berhak men-tasharub-kan fungsi rumah tersebut, sepanjang ia tidak menyalahi fungsi rumah tersebut
Jika seseorang menyewa sebidang tanah, maka dalam akad harus dijelaskan fungsi tanah tersebut, apakah untuk pertanian, perkebunan atau mendirikan bangunan. Pihak penyewa tidak berhak memanfaatkan tanah kecuali untuk fungsi yang dinyatakan dalam akad.
b). Perihal perbaikan obyek sewa.
Terkadang sebuah obyek persewaan tidak dilengkapi sarana yang layak untuk menunjang fungsinya, seperti rumah yang tidak dilengkapi dengan sumur, tidak ada saluran air, atau tidak berjendela, gentengnya pecah-pecah. Siapakah yang wajib memperbaikinya, apakah pihak penyewa atau pemilik?
Semua bentuk perbaikan fisik rumah yang berkenaan dengan fungsi utama sebagai tempat tinggal pada prinsipnya menjadi kewajiban pemilik rumah. Sekalipun demikian pihak penyewa tidak berhak menuntut perbaikan fasilitas rumah. Sebab pihak pemilik menyewakan rumah dengan segala kekurangan yang ada. Dan kesepakatan pihak penyewa tentunya dilakukan setelah mempertimbangkan segala kekurangan yang ada. Kecuali perbaikan fasilitas tersebut dinyatakan dalam akad. Adapun kewajiban pihak penyewa sebatas pada perawatan, seperti menjaga kebersihan/ tidak merusak. Sebab di tangan pihak penyewa barang sewaan sesungguhnya merupakan amanat.
c). Kerusakan barang sewaan.
Akad Ijarah dapat dikatakan sebagai akad yang menjual belikan antara manfaat barang dengan sejumlah imbalan sewa (ujrah). Dengan demikian tujuan Ijarah dari pihak penyewa adalah pemanfaatan fungsi barang secara optimal. Sedang dari pihak pemilik, Ijarah bertujuan untuk mendapatkan keuntungan dari ongkos sewa.
Apabila obyek sewa rusak sebelum terjadi penyerahan maka akad Ijarah batal. Apabila kerusakan tersebut terjadi setelah penyerahan maka harus dipertimbangkan faktor penyebab kerusakan tersebut. Kalau kerusakan tersebut tidak disebabkan karena kelalaian, kecerobohan pihak penyewa dalam memanfaatkan barang sewaan, maka pihak penyewa berhak membatalkan sewa dan menuntut ganti rugi atas tidak terpenuhinya hak manfaat barang. Sebaliknya jika kerusakan tersebut disebabkan kesalahan pihak penyewa, maka pihak pemilik tidak berhak membatalkan akad sewa, tetapi ia berhak menuntut perbaikan atas kerusakan barang.
Demikian juga bila barang tersebut hilang atau musnah, maka segala bentuk kecerobohan menimbulkan kewajiban atau tanggung jawab atas pelakunya, dan pada sisi lain mendatangkan hak menuntut ganti rugi bagi pihak yang dirugikan.
H. Pembatalan Dan Berakhirnya Ijarah
Ijarah dapat batal dan berakhir apabila:
Terjadi cacat pada barang sewaan yang kejadian itu terjadi pada tangan penyewa.
Rusaknya barang yang disewakan.
Rusaknya barang yang diupahkan (ma’jur alaih), seperti baju yang diupahkan untuk dijahitkan.
Terpenuhinya manfaat yang diakadkan, berakhirnya masa yang telah ditentukan dan selesainya pekerjaan.
Menurut Hanafiah, boleh Fasakh Ijarah dari salah satu pihak, seperti yang menyewa toko untuk dagang, kemudian dagangannya ada yang mencuri, maka ia dibolehkan mem-fasakh-kan sewaan itu
BAB VII WADIAH
A. Definisi Wadiah
Pengertian Wadi`ah menurut bahasa adalah berasal dan akar kata Wada`a yang berarti meninggalkan atau titip. Sesuatu yang dititip baik harta, uang maupun pesan atau amanah. Jadi wadi`ah titipan atau simpanan. Para ulama pikih berbeda pendapat dalam penyampaian defenisi ini karena ada beberapa hukum yang berkenaan dengan wadi`ah itu seperti, Apabila sipenerima wadi`ah ini meminta imbalan maka ia disebut TAWKIL atau hanya sekedar menitip.[43]
Pengertian wadi`ah menurut Syafii Antonio (1999) adalah titipan murni dari satu pihak kepihak lain, baik individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja sipenitip mengkehendaki.
Menurut Bank Indonesia (1999) adalah akad penitipan barang/uang antara pihak yang mempunyai barang/uang dengan pihak yang diberi kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan serta keutuhan barang/uang.[44]
B. DASAR HUKUM
Wadi`ah diterapkan mempunyai landasan hukum yang kuat yaitu dalam :
Al-Qur`nul Karim Suroh An-Nisa` : 58 :
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, …..”
Kemudian dalam Suroh Al Baqarah : 283 :
“…………. akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; …”.
Dalam Al-Hadits lebih lanjut yaitu :
Dari Abu Hurairah, diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Tunaikanlah amanah (titipan) kepada yang berhak menerimanya dan janganlah membalasnya khianat kepada orang yang menghianatimu.” (H.R. ABU DAUD dan TIRMIDZI).
Kemudian, dari Ibnu Umar berkata bahwa Rasulullah SAW telah bersabda: “Tiada kesempurnaan iman bagi setiap orang yang tidak beramanah, tiada shalat bagi yang tiada bersuci.” (H.R THABRANI)
Dan diriwayatkan dari Rasulullah SAW bahwa beliau mempunyai (tanggung jawab) titipan. Ketika beliau akan berangkat hijrah, beliau menyerahkannya kepada Ummu `Aiman dan ia (Ummu `Aiman) menyuruh Ali bin Abi Thalib untuk menyerahkannya kepada yang berhak.” [45]
Dalam dasar hukum yang lain menerangkan yaitu IJMA` ialah para tokoh ulama Islam sepanjang zaman telah melakukan Ijma` (konsensus) terhadap legitimasi Al Wadi`ah karena kebutuhan manusia terhadap hal ini.
Kemudian berdasarkan fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) No: 01/DSN-MUI/IV/2000, menetapkan bahwa Giro yang dibenarkan secara syari’ah, yaitu giro yang berdasarkan prinsip Mudharabahdan Wadi’ah.
Demikian juga tabungan dengan produk Wadi’ah, dapat dibenarkan berdasarkan Fatwa DSN No: 02//DSN-MUI/IV/2000, menyatakan bahwa tabungan yang dibenarkan, yaitu tabungan yang berdasarkan prinsip Mudharabah dan Wadi’ah
C. Rukun Wadi’ah:
* Barang berharga/uang yang disimpan (Wadi’ah)
* Pemilik barang/penitip (Muwaddi’)
* Pihak yang menyimpan/bank (Mustawda’)
* Ijab qobul/kata sepakat (Sighat)
D. BATASAN DAN JENIS WADI`AH
Transaksi wadi`ah termasuk akad Wakalah (diwakilkan) yaitu penitip aset (barang/jasa) mewakilkan kepada penerima titipan untuk menjaganya ia tidak diperbolehkan untuk memanfaatkan barang/uang tersebut untuk keperluan pribadi baik konsumtif maupun produktif, karena itu adalah pelanggaran sebab barang/uang itu masih milik mudi` (penitip). Dilihat dari segi prakteknya ada beberapa bentuk wadi`ah yaitu :
1. WADI`AH YAD AL AMANAH
Adalah akad penitipan barang/uang dimana pihak penerima tidak diperkenankan penggunakan barang/uang tersebut dan tidak bertanggung jawab atas kerusakan atau kelalaian yang bukan disebabkan atas kelalaian penerima titipan dan faktor-faktor diluar batas kemampuannya .Hadis Rasulullah :
“ Jaminan pertanggung jawaban tidak diminta dari peminjam yang tidak menyalah gunakan (pinjaman) dan penerima titipan yang tidak lalai terhadap titipan tersebut.” Ada lagi dalil yang menegaskan bahwa Wadi`ah adalah Akad Amanah (tidak ada jaminan) adalah :
· Amr Bin Syua`ib meriwayatkan dari bapaknya, dari kakeknya, bahwa Nabi SAW bersabda: “Penerima titipan itu tidak menjamin”.
· Karena Allah menamakannya amanat, dan jaminan bertentangan dengan amanat.
· Penerima titipan telah menjaga titipan tersebut tanpa ada imbalan (tabarru)
2.WADI`AH TAD ADH-DHAMANAH
Adalah akad penitipan barang/uang dimana pihak penerima titipan dengan atau tanpa ijin pemilik barang/uang, dapat memanfaatkannya dan bertanggung jawab terhadap kehilangan atau kerusakan barang/uang titipan tersebut. Sesuai dengan hadis Rasulullah SAW:
“Diriwayatkan dari Abu Rafie bahwa Rasulullah SAW pernah meminta seseorang untuk meminjamkannya seekor unta. Maka diberinya unta qurban (berumur sekitar dua tahun), setelah selang beberapa waktu, Rasulullah SAW memrintahkan Abu Rafie untuk mengembalikan unta tersebut kepada pemiliknya, tetapi Abu Rafie kembali kepada Rasulullah SAW seraya berkata,” Ya Rasulullah, unta yang sepadan tidak kami temukan, yang ada hanya unta yang besar dan berumur empat tahun. Rasulullah SAW berkata “Berikanlah itu karena sesungguhnya sebaik-baik kamu adalah yang terbaik ketika membayar.” (H.R MUSLIM)
Wadi`ah dalam presfektif pelaksanaan perbankan islam hampir bersamaan dengan al-qardh yaitu pemberian harta atas dasar sosial untuk dimanfaatkan dan harus dibayar dengan sejenisnya. Juga hampir sama dengan al-iddikhar yakni menyisihkan sebahagian dari pemasukan untuk disimpan dengan tujuan investasi. Keduanya sama-sama akad tabarruyang jadi perbedaan terdapat pada orang yang terlibat didalmnya dimana dalam wadi`ah pemberi jasa adalah mudi`, sedangkan dalam al-qardh pemberi jasa adalah muqridh (pemberi pinjaman).
E.JENIS BARANG YANG DI WADI`AHKAN
Dalam kehidupan kita masa sekarang ini bahkan mungkin sejak adanya bank kompensional kita mungkin hanya mengenal tabungan/wadi`ah itu hanya berbentuk uang, tapi sebenarnya tidak, masih banyak lagi barang yang bisa kita wadi`ahkan seperti :
1.Harta benda, yaitu biasanya harta yang bergerak, dalam bank konvensional tempat penyimpanannya dikenal dengan Safety Box sutu tempat/kotak dimana nasabah bisa menyimpan barang apa saja kedalam kotak tersebut.
2.Uang, jelas sebagaimana yang telah kita lakukan pada umumnya.
3.Dokumen (Saham, Obligasi, Bilyet giro, Surat perjanjian Mudhorobah dll)
4.Barang berharga lainnya (surat tanah, surat wasiat dll yang dianggap berharga mempunyai nilai uang).
F.RUKUN WADI`AH
Rukun wadi`ah adalah hal-hal yang terkait atau yang harus ada didalamnya yang menyebabkan terjadinya Akad Wadi`ah yaitu :
1.Barang/Uang yang di Wadi`ahkan dalam keadaan jelas dan baik.
2.Ada Muwaddi` yang bertindak sebagai pemilik barang/uang sekaligus yang menitipkannya/menyerahkan.
3.Ada Mustawda` yang bertindak sebagai penerima simpanan atau yang memberikan pelayanan jasa custodian.
4.Kemudian diakhiri dengan Ijab Qabul (Sighat), dalam perbankan biasanya ditandai dengan penanda tanganan surat/buku tanda bukti penyimpanan.
Dalam perbankan Syari`ah tanpa salah satu darinya maka proses Wadi`ah itu tidak berjalan/terjadi/sah.
G. BATASAN-BATASAN DALAM MENJAGA WADI`AH (TITIPAN)
Standar batasan-batasan dalam menjaga barang titipan biasanya disesuaikan dengan jenis akadnya dan sebelum akad diikrarkan batasan-batasan ini harus diperjelas seperti al-wadi`ah bighar al- `ajr (wadi`ah tanpa jasa) yaitu wadi` tidak bertanggung jawab terhadap kerusakan barang yang yang bukan karena kelalaiannya dan ia harus menjaga barang tersebut sebagaimana barangnya sendiri. Al-wadi`ah bi `ajr (wadi`ah dengan jasa) ialah wadi` hanya menjaga barang titipan sesuai dengan yang diperjanjikan tanpa harus melakukanseperti halnya tradisi masyarakat.
Kecerobohan/kelalaian (tagshir) dari pihak penerima titipan itu biasa terjadi dan sering terjadi. Adapun kelalaian itu banyak ragamnya namun yang biasa terjadi ialah menjaga titipan tidak sesuai dengan yang diamanatkan oleh mudi`. Ini biasa terjadi pada wadi`ah bi `ajr, namun bila wadi` lalai dari yang diamanatkan maka wadi` harusbertangggung jawab terhadap segala kerusakan barang titipan tadi. Kesalahan yang lain membawa barang titipan bepergian (safar) tanpa ada sebelumnya pembolehan dari mudi`, maka wadi` harus bertanggung jawab atas kehilangan barang tersebut, dalam hal ini wadi`sedang tidak bepergian. Apabila wadi` menerima wadi`ah sedang ia dalam bepergian maka wadi` sudah bertanggung jawab terhadap barang tersebut selama ia dalam perjalanan sampai ia pulang. Seterusnya kesalahan yang lain adalah menitipkan wadi`ah kepada orang lain yang bukan karena udzur, tidak melindungi barang titipan dari hal-hal yang merusak atau hilang maka penerima titipan harus mengganti dengan yang sejenis atau sama nilainya (qima)
Ta`adli hampir sama dengan taqshir bedanya ialah taqshir adalah kelalaian penerima titipan karena ia tidak mematuhi akad wadi`ah sedangkan ta`addli adalah setiap perilaku yang bertentangan dengan penjagaan barang, diantara bentuk taqshir ialah menghilangkan barang dengan sengaja, memanfaatkan barang titipan (mengkonsumsi, menyewakan, meminjamkan dan menginvestasikan)
H. APLIKASI DALAM PERBANKAN
Keynes mengemukakan bahwa orang membutuhkan uang karena : Transaksi, Cadangan dan Investasi, sehingga perbankan menyesuaikannya dengan giro, deposito dan tabungan. Sementara itu pada bank syariah dalam penghimpunan dananya selain bersumber dari modal dasar juga melalui produk tunggal yaitu wadi`ah (tabungan) namun dalam prakteknya setiap bank berbeda, ada yang seperti giro ada yang seperti deposito. Dilihat dari sunber modal yang terbesar selain modal dasar tadi maka wadi`ah dapat dibagi kedalam, Wadi`ah Jariyah/Tahta Thalab dan Wadi`ah Iddikhariyah/Al-Taufir keduanya termasuk kedalam Titipan yang sifatnya biasa.
Menurut Antonio kedua simpanan ini mempunyai karakteristik yakni harta/uang yang dititipkan boleh dimanfaatkan, pihak bank boleh memberikan imbalan berdasarkan kewenangan menajemennya tanpa ada perjanjian sebelumnya dan simpanan ini dalam perbankan dapat disamakan dengan giro dan tabungan
Wadi`ah Istitsmariyah (TITIPAN INVESTASI), seperti halnya wadi`ah yang terbagi atas dua jenis, maka titipan investasi inipun terbagi atas dua bahagian juga yaitu : General Investment(investasi umum) dan Special Investment (investasi khusus).
Kedua jenis investasi ini mempunyai perbedaan yang terletak pada Shahib Al-Malnya daalam praktek penginvestasiannya.
Sesuai dengan pembagian wadi’ah di atas, maka wadi’ah yad al- amanah, pihak yang menerima titipan tidak boleh mengunakan dan memanfaatkan uang atau barang yang ditipkan, tetapi harus benar-benar menjaganya sesuai kelaziman. Pihak penerima titipan dapat membebankan biaya kepada penitip sebagai biaya penitipan. Dengan demikian si penitip tidak akan mendapatkan keuntungan dari titipannya, bahkan dia dibebankan memberikan biaya penitipan, sebagai jasa bagi pihak perbankan. Sehingga skemanya sebagai berikut:[46]
Adapun wadi’ah dalam bentuk yad adh-dhamanahpihak bank dapat memanfaatkan danmenggunakan titipan tersebut, sehingga semua keuntungan yang dihasilkan dari dana titipan tersebut menjadi milik bank (demikian juga bank adalah penanggung seluruh kemungkinan kerugian). Sebagai imbalan bagi si penitip, ia akan mendapatkan jaminan keamanan terhadap titipannya. Tapi walaupun demikian pihak si penerima titipan yang telah menggunakan barang titipan tersebut, tidak dilarang untuk memberikan semacam insentif berupa bonus dengan catatan tidak disyaratkan sebelumnya dan jumlahnya tidak ditettapkan dalam nominal persentase secara advance.
Hal ini sesuai dengan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) No: 01/DSN-MUI/IV/2000, yang menyatakan bahwa ketentuan umum Giro berdasarkan Wadi’ah ialah:
1. Bersifat titipan,
2. Titipan bisa diambil kapan saja (on call), dan
3. Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian (‘athiya) yang bersifat sukarela dari pihak bank.
Demikian juga dalam bentuk tabungan, bahwa ketentuan umum tabungan berdasarkan Wadi’ah adalah:
1. Bersifat simpanan,
2. Simpanan bias diambil kapan saja (on call) atau berdasarkan kesepakatan,
3. Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian (‘athiya) yang bersifat sukarela dari pihak bank.(lihat Fatwa DSN No. 02/DSN-MUI/IV/2000.)
Tetapi dewasa ini, banyak bank Islam yang telah berhasil mengombinasikan prinsip al-wadi’ah dengan prinsip al-mudharabah. Akibatnya pihak bank dapat menetapkan besarnya bonus yang diterima oleh penitip dengan menetapkan persentase. Aplikasinya dapat dilihat dalam skema berikut ini: 2
BAB VIII RIBA
A. Pengertian Riba
Menurut bahasa, riba memiliki beberapa pengertian, yaitu:
1. Bertambah , karena salah satu perbuatan riba adalah meminta tambahan dari sesuatu yang dihutangkan.
2. Berkembang, berbunga , karena salah satu perbuatan riba adalah membungakan harta uang atau yang lainnya yang dipinjamkan kepada orang lain.
3. Berlebihan atau menggelembung.
Sedangkan menurut istilah, ulama fiqih mendefinisikannya sebagai berikut:
1. Ulama Hanabilah : pertambahan sesuatu yang dikhususkan
2. Ulama Hanafifah : tambahan pada harta pengganti dalam pertukaran harta dengan harta.
Menurut Al Mali, yang dimaksud dengan riba adalah akad yang terjadi atas penukaran barang tertentu yang tidak diketahui penimbangannya.
Menurut ukuran syara’, ketika berakad atau dengan mengakhirkan tukaran kedua belah pihak atau salah satu atau keduanya.
B. Sebab-sebab Haramnya Riba
1. Karena Allah dan Rosul-Nya melarang atau mengkharamkannya.
2. Karena riba menghendaki pengambilan harta orang lain dengan tidak ada imbangannya.
3. Dengan melakukan riba, orang tersebut menjadi malas berusaha yang sah menurut syara’.
4. Riba menyebabkan putusnya perbuatan baik terhadap sesama manusia.
Dalam surat Ar-Ruum, Allah SWT berfirman yang artinya: “Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia menambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencari keridhoan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya). (Ar-Ruum: 39)
Ayat tersebut tidak mengandung ketetapan hukum pasti tentang haramnya riba. Karena kala itu riba memang belum diharamkan. Riba baru diharamkan dimasa nabi di Madinah.
1. Dalil keharaman riba
Riba diharamkan berdasarkan Al-Qur’an, sunah dan ijma.
a. Al-Qur’an
وَأَعَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّ بٰوا (البقرة: ٢٧٥
Artinya: Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
b. As Sunah
“Diriwayatkan oleh Ibn Mas’ud r.a bahwa Rasulullah SAW telah melaknat pemakan riba, yang mewakilinya, saksinya dan penulisnya.” (HR. Abu Dawud dan lain-lain)
c. Ijma’
Seluruh ulama sepakat bahwa riba diharamkan dalam Islam.
2. Proses keharaman riba disyariatkan Allah SWT secara bertahap
a. Tahap pertama :
Allah SWT menunjukkan bahwa riba itu bersifat negatif
b. Tahap kedua :
Allah SWT telah memberi isyarat akan keharaman riba melalui kecaman terhadap praktik riba dikalangan masyarakat Yahudi.
c. Tahap ketiga :
Allah SWT mengharamkan salah satu bentuk riba, yaitu yang bersifat berlipat ganda dengan larangan yang tegas.
d. Tahap keempat :
Allah SWT mengharamkan riba secara total dengan segala bentuknya.
3. Riba diharamkan dalam semua syariat yang diturunkan Allah kepada para Nabi
Diharamkannya riba tidak hanya berlaku dalam syariat Islam yang diturunkan kepada nabi Muhammad saja. Tapi dalam seluruh syariat yang diturunkan oleh Allah SWT.
Disebutkan dalam kitab perjanjian lama “apabila anda meminjamkan uang kepada seseorang dari kalangan bangsaku, jangan bersikap seperti rentenir dan jangan mengambil keuntungan dari piutangmu.
C. Macam-macam Riba
1. Menurut Jumhur Ulama
Membagi riba dalam 2 bagian:
a. Riba Fadhli
Adalah jual beli yang mengandung unsur riba pada barang sejenis dengan adanya tambahan pada salah satu benda tersebut.
b. Riba Nasi’ah
Menurut ulama Hanafiyah riba Nasi’ah adalah memberikan kelebihan terhadap pembayaran dari yang ditangguhkan, memberikan kelebihan pada benda dibanding utang pada benda yang ditakar atau ditimbang yang berbeda jenis atau selain dengan yang ditakar dan ditimbang yang sama jenisnya.
2. Menurut Ulama Syafi’iyah
Membagi riba dalam 3 bagian:
a. Riba Fadhl
Adalah jual beli yang disertai adanya tambahan salah satu pengganti (penukar) dari yang lainnya. Riba ini terjadi pada barang yang sejenis seperti menjual satu kilogram kentang dengan setengah kilogram kentang.
b. Riba Yad
Jual beli dengan mengakhirkan penyerahan (Al Qabdu) yakni bercerai berai antara dua orang yang akad sebelum timbang terima, seperti menganggap sempurna jual beli antara gandum dengan syair tanpa harus saling menyerahkan dan menerima ditempat akad.
Menurut ulama hanafiyah, riba ini termasuk riba nasi’ah, yakni menambah yang tampak dari utang.
c. Riba Nasi’ah
Yakni jual beli yang pembayarannya diakhirkan, tetapi ditambahkan harganya. Menurut ulama syafi’iyah, riba yad dan riba nasi’ah sama-sama terjadi pada pertukaran barang yang tidak sejenis. Perbedaannya adalah riba yad mengakhirkan pemegangan barang, sedangkan riba nasi’ah mengakhirkan hak dan ketika akad dinyatakan bahwa waktu pembayaran diakhirkan meskipun sebentar. Al Mutaqalli menambahkan jenis riba dengan riba Qurdi (mensyaratkan adanya manfaat).
D. Hal-hal yang Menimbulkan Riba
Jika seorang menjual benda yang mungkin mendatangkan riba menurut jenisnya seperti seorang menjual salah satu dari dua macam mata uang yaitu mas dan perak dengan yang sejenis atau bahan makanan seperti beras dengan beras dan lain-lain, maka disyaratkan:
1. Sama nilainya (tamasul)
2. Sama ukurannya menurut syara’, baik timbangan, takaran dan ukuran
3. Sama-sama tunai (taqabuth) di majlis akad
Berikut ini contoh riba pertukaran:
a. Seorang menukar uang kertas Rp. 10.000 dengan uang receh Rp. 9.950, uang Rp. 50, tidak ada imbangannya maka uang Rp. 50 adalah riba.
b. Seorang meminjamkan uang sebanyak Rp. 100.000 dengan syarat dikembalikan ditambah 10 persen dari pokok pinjaman. Maka 10 persen dari pokok pinjaman adalah riba karena tidak ada timbangannya.
E. Dampak Riba pada Ekonomi
Kini riba yang dipinjamkan merupakan asas pengembangan harta pada perusahaan dan itu berarti akan memusatkan harta pada penguasaan para hartawan, daya beli mereka pada hsil produksi juga kecil, disamping itu, pendapatan buruh juga kecil. Maka daya beli kebanyakan anggota masyarakat kecil pula.
Siklus ekonomi (masalah penting dalam perekonomian) yang berulang terjadi disebut krisis ekonomi. Para ahli ekonomi berpendapat bahwa penyebab utama krisis ekonomi adalah bunga yang dibayar sebagai peminjaman modal/ dengan kata lain riba.
Riba dapat menimbulkan daya beli masyarakat lemah sehingga persediaan jasa dan barang semakin tertimbun, akibatnya perusahaan macer karena produksinya kurang laku dan akhirnya menyebabkan bertambahnya jumlah pengangguran.
Lord Heynes pernah mengeluh dihadapan majlis tinggi Inggris tentang bunga yang diambil oleh pemerintah Amerika Serikat. Hal ini menunjukkan bahwa negara besar pun seperti Inggris terkena musibah dari bunga pinjaman Amerika Serikat, pada Fuqaha menyebutnya dengan riba. Dengan demikian riba dapat merekatkan hubungan, baik antar negara ataupun antar perorangan.
F. Pendapat Ulama tentang Illat Riba
Ulama sepakat menetapkan riba Fadhl pada tujuh barang seperti terdapat pada nash yaitu emas dan perak, gandum, syair, kurma, garam dan anggur kering.
Adapun pada barang selain, para ulama berbeda pendapat:
1. Zhahiriyyah hanya mengharamkan ketujuh benda tersebut.
2. Menurut pendapat yang Masyhur dari Imam Ahmad dan Abu Hanifah, riba fadhl terjadi pada setiap jual beli barang sejenis dan yang ditimbang.
3. Imam Syafi’i dan sebagian pendapat Iman Ahmad berpendapat bahwa riba fadhl dikhususkan pada emas dan perak dan makanan meskipun tidak ditimbang.
4. Said Ibn Musoyyab dan sebagian riwayat Ahmad mengkhususkan pada makanan jika ditimbang.
5. Imam Malik mengkhususkan pada makanan pokok.
a. Madzhab Hanafi
Illat riba fadhl menurut ulama Hanafiyah adalah jual beli barang yang ditakar serta barang yang sejenis seperti emas, perak, gandum, syair, kurma, garam dan anggur kering. Jika barang-barang tersebut diperjual belikan, terdapat tambahan dari salah satunya terjadilah riba fadhl.
Ulama hanafiyah mendasarkan pendapat mereka pada hadist dari Said Al Khudri dan Ubadah Ibn Sharif r.a bahwa Nabi SAW bersabda
الذهب بالذهب مثلا بمثل يدا بيد والفضل ربا والفضة با لفضة مثلا بمثل يدا بيد والفضد ربا والحنطة مثلا بميل يدا بيد والفضل ربا والسعر بالشعير متلا بميل يدا بيد والفضد ربا والتمر بالتمر متلا عبل بدا بيد والفضل ربا والمح با الملح منلا بمل يدا بيدوالفضل ربا
Artinya: (Jual beli) emas dan perak keduanya sama saja, tumpang terima (apabila ada) tambahan adalah riba, (jual beli) perak dengan perak, keduanya sama, tumpang terima (apabila ada) tambahan adalah riba (jual beli) gandum dengan gandum, keduanya sama, tumpang terima (apabila ada) tambahan adalah riba (jual beli) syair dengan syair keduanya sama tumpang terima (apabila ada) tambahan adalah riba, (jual beli) kurma dengan kurma keduanya sama tumpang terima (apabila ada) tambahan adalah riba (jual beli) garam dengan garam keduanya sama tumpang terima (apabila ada) tambahan adalah riba.
b. Madzhab Malikiyah
Illat diharamkannya riba menurut ulama Malikiyah pada emas dan perak adalah harga, sedangkan mengenai illat riba dalam makanan mereka berbeda pendapat dalam hubungannya dengan riba nasi’ah dan riba fadhl. Illat diharamkannya riba nasi’ah dalam makanan adalah sekedar makanan saja, baik karena pada makanan tersebut terdapat unsur penguat dan kuat disimpan lama atau tidak ada kedua unsur tersebut.
Illat diharamkannya riba fadhl pada makanan adalah makanan tersebut dipandang sebagai makanan pokok dan kuat disimpan lama.
c. Madzhab Syafi’i
Illat pada makanan adalah segala sesuatu yang bisa dimakan dan memenuhi tiga kriteria berikut:
1.) Sesuatu yang biasa ditujukan sebagai makanan atau makanan pokok
2.) Makanan yang lezat atau yang dimaksudkan untuk melezatkan makanan, seperti ditetapkan dalam nash adalah kurma, diqiyaskan padanya, seperti anggur kering.
3.) Makanan yang dimaksudkan untuk menyehatkan badan dan memperbaiki makanan yakni obat
Agar terhindar dari unsur riba, menurut ulama Syafi’iyah jual beli harus memenuhi kriteria:
1.) Dilakukan waktu akad, tidak mengaitkan pembayarannya pada masa yang akan datang.
2.) Sama ukurannya
3.) Tumpang terima
d. Madzhab Hambali
Terdapat tiga riwayat illat riba, yang paling mashyur adalah seperti pendapat ulama hanafiyah. Hanya saja, ulama hambali mengharamkan pada setiap jual beli sejenis yang ditimbang dengan satu kurma.
e. Madzhab Zhahiri
Menurut golongan ini, riba tidak dapat di illatkan, sebab ditetapkan dengan nash saja.
Kesimpulan dari pendapat para ulama di atas antara lain: ullat riba menurut ulama Hanafiyah dan Hanabilah adalah timbangan atau ukuran, sedangkan menurut ulama malikiyah adalah makanan pokok dan makanan tahan lama dan menurut ulama syafi’i adalah makanan.
G. Riba dalam Benda yang dihitung
Yang masyhur dikalangan syi’ah adalah adanya pengecualian transaksi riba dalam benda-benda yang dihitung di antara haramnya transaksi riba. Karena, pengharamannya dikhususkan pada benda-benda yang ditakar dan ditimbang. Masalah ini adalah yang paling ruwet diantara masalah-masalah riba. Karena, bagaimana dapat disahkan takaran, timbangan, dan hitungan menjadi kriteria hukum ini? Padahal kriteria haramnya riba adalah karena kezaliman, khususnya karena ada sebagian benda yang di suatu negara adalah dihitung (diukur dengan hitungan), sedangkan di negara lain adalah ditimbang (diukur dengan timbangan). Demikian pula, hal itu berbeda berdasarkan waktu, dimana perbedaan ini disebabkan adat kebiasaan saja, bukan perubahan yang esensial dalam transaksi. Apakah mungkin diharamkan riba, terutama yang kita kenal tanpa kriteria yang jelas? Apakah kita akan menjadi pengikut ajaran Asy’ari dan menafikan kriteria secara universal?
Masalah ini muncul dikalangan Ahlus-Sunnah dalam bentuk lain. Disini terdapat perbedaan pendapat. Sebagian mereka mengharamkan riba khusus dalam enam macam benda sebagian yang lain mengharamkannya dalam tiap-tiap benda yang bermanfaat. Sebagian lagi, seperti Abu Hanifah, mengharamkannya dalam benda-benda yang ditakar, yang ditimbang dan sebagainya. Pengkal perbedaan pendapat ini adalah riwayat-riwayat Nabi SAW yang tidak memberikan kepastian secara universal, melainkan hanya menjelaskan hukum secara global.
Perlu mengkahi hadist-hadist tentang masalah ini, agar kita dapat melihat apakah benda-benda yang dihitung ini dikecualikan dengan ungkapan: “Tidak ada riba dalam benda-benda yang dihitung”. Atau dengan ungkapan yang ada, yaitu: “Tidak ada riba kecuali dalam benda-benda yang ditakar dan yang ditimbang”.
H. Kontroversi Mengenai Bunga Bank dan Aliran-aliran dalam Islam tentang Bunga Bank
Kontroversi yang utama berkisar mengenai masalah apakah Islam melarang riba atau bunga (interest), atau Islam melarang pembebanan dan pembayaran dari kedua hal tersebut terdapat tiga aliran yang berpandangan pragmatis, aliran yang berpandangan konservatif dan aliran yang berpandangan sosio-ekonomi.
1. Pandangan Pragmatif
Menurut pandangan yang pragmatis, Al-Qur’an melarang unsury yang berlaku selama sebelum era Islam. Tetapi tidak melarang bunga (interest) dalam sistem keuangan modern. Pendapat ini didasarkan pada al Qur’an surat Ali Imron ayat 130 yang melarang pengadaan pinjaman melalui proses yang usuriuos.
Dengan demikian, menurut pandangan yang pragmatis, transaksi-transaksi yang berdasarkan bunga dianggap sah. Bunga menjadi dilarang secara hukum apabila jumlah yang ditambahkan pada dana yang dipinjamkan itu luar biasa tingginya, yang bertujuan agar pemberi pinjaman dapat mengeksploitasi penerima pinjaman, lebih lanjut perundangan yang pragmatis itu berpendapat bahwa pembebanan bunga adalah suatu kebutuhan untuk pembangunan ekonomi negara-negara muslim. Bunga dimaksudkan untuk menggalakkan tabungan dan mengarahkan modal untuk membiayai inventasi-inventasi yang produktif.
2. Pandangan Konservatif
Berlawanan dengan pandangan yang pragmatis, pandangan yang konservatif berpendapat bahwa riba harus diartikan, baik sebagai bunga (interest) maupun unsury. Menurut pandangan ini, penafsiran yang demikian itu didukung oleh Al-Qur’an maupun Al-Hadist. Setiap imbalan yang telah ditentukan sebelumnya atas suatu pinjaman sebagai imbalan (return) untuk pembayaran tertunda atas pinjaman adalah riba dan oleh karena itu dilarang oleh Islam.
Dengan demikian, menurut interpretasi mengenai riba yang sempit, pemungutan dan pembayaran bunga dilarang oleh Islam tanpa memandang apakah tingkat bunga itu tinggi atau rendah, tanpa memandang apakah dana itu akan digunakan untuk tujuan-tujuan produktif atau konsumtif dan tanpa memandang apakah dana itu diperoleh oleh penerima pinjaman swasta atau pemerintah. Pembebanan bunga hanya dikurang oleh Al-Hadist saja.
3. Pandangan Sosio-Ekonomi
Pendapat yang terpenting mengemukakan bahwa bunga mempunyai kecenderungan pengumpulan kekayaan ditangan segelintir orang saja. Pemasuk dana berbunga itu seharusnya tidak tergantung pada ketidak pastian yang dihadapi oleh penerima pinjaman. Pengalihan resiko dari satu pihak kepada pihak lain merupakan pelanggaran hukum, perjanjian yang demikian tidak adil dan tidak dapat menimbulkan rasa hanya mementingkan diri sendiri saja. Menurut prinsip keuangan Islam, baik memberi pinjaman maupun penerima pinjaman harus menghadapi resiko atau mukhtara.
Pendapat lain mengenai larangan terhadap bunga adalah bahwa dalam kerangka ekonomi Islam, modal bukan merupakan suatu faktor produksi yang terpisah melainkan bagian dari faktor produksi yang lain yaitu perusahaan. Hal ini berarti bahwa mengambil keuntungan dari penyediaan modal tanpa adanya keterlibatan pribadi terhadap resiko oleh pemilik dana tidak diinginkan oleh Islam.
I. Mengenai Bank Syariah
a. Pengertian Bank Syari’ah
Bank syari’ah adalah bank yang beroperasi dengan tidak mengandalkan pada bunga. Bank Islam atau biasa disebut dengan bank tanpa bunga adalah lembaga keuangan/perbankan yang operasionalnya dan produknya dikembangkan berlandaskan pada Al-Qur’an dan Al-Hadist Nabi SAW. Dengan kata lain, Bank Islam adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan pembiayaan dan jasa-jasa lainnya. Dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip syari’ah Islam. Untuk menghindari pengoperasian bank dengan sistem bunga, Islam memperkenalkan prinsip-prinsip mu’amalah Islam. Bank Islam lahir di Indonesia, yang gencarnya pada sekitar tahun 1990-an atau tepatnya setelah ada Undang-Undang No.7 tahun 1992, yang direvisi dengan Undang-Undang Perbankan No. 10 tahun 1998, dalam bentuk sebuah bank yang beroperasi dengan sistem bagi hasil atau bank syari’ah.
b. Falsafah Operasional Bank Syari’ah
Setiap lembaga keuangan syari’ah mempunyai falsafah mencari keridhoan Allah untuk memperoleh kebajikan di dunia dan di akhirat, oleh karena itu, setiap kegiatan lembaga keuangan yang dikhawatirkan menyimpang dari tuntutan agama harus dihindari.
a. Menjauhi diri dari unsur riba, caranya:
1) Menghindari penggunaan sistem yang menetapkan dimuka secara pasti keberhasilan suatu usaha. (QS. Luqman: 34)
2) Menghindari penggunaan sistem prosentasi untuk pembebanan biaya terhadap hutang atau pemberian imbalan terhadap simpanan yang mengandung unsur melipat gandakan secara otomatis hutang/simpan tersebut hanya karena berjalannya waktu. (QS. Ali-Imron:130)
3) Menghindari penggunaan sistem perdagangan/penyewaan barng ribawi dengan imbalan barang ribawi lainnya dengan memperoleh kelebihan baik kuantitas/kualitas. (HR. Muslim Bab Riba’ No. 1551 s/d 1567)
4) Menghindari penggunaan sistem yang menetapkan dimuka tambahan atas hutang yang bukan atas prakarsa yang mempunyai hutang secara suka rela. (HR. Muslim Bab Riba’ No. 1569 s/d 1572)
2. Menerapkan sistem bagi hasil dan perdagangan
Dengan mengacu pada Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 275 dan An-Nisa’ ayat 2, maka setiap transaksi kelembagaan syari’ah harus dilandasi atas sistem bagi hasil dan perdagangan atau transaksinya di dasari atas adanya pertukaran antara uang dengan barang. Akibatnya pada kegiatan-kegiatan mu’amalah berlaku prinsip ada barang/jasa uang dengan barang. Sehingga akan mendorong produksi barang/jasa. Mendorong kelancaran arus barang/jasa, dapat dihindari adanya penyalahgunaan kredit, spekulasi dan inflasi.
3. Perbedaan Sistem Bunga dengan Sistem Bagi Hasil
Hal mendasar yang membedakan antara lembaga keuangan non Islam dan Islam adalah terletak pada pengambilan dan pembagian keuntungan yang diberikan oleh nasabah kepada lembaga keuangan dan/atau yang diberikan oleh lembaga keuangan kepada nasabah, sehingga terdapat istilah bunga dan bagi hasil.
Perbedaan Sistem Bunga dengan Sistem Bagi Hasil
Hal Sistem Bunga Sistem Bagi Hasil
Penentuan besarnya hasil Sebelumnya Sesudah berusaha, sesudah ada untungnya.
Yang ditentukan sebelumnya
Bunga, besarnya nilai rupiah Menyepakati proporsi pembagian untung untuk masing-masing pihak, misalnya 50:50, 40:60, 35:65, dst.
Jika terjadi kerugian Ditanggung nasabah saja Ditanggung kedua belah pihak, Nasabah dan Lembaga
Dihitung dari mana? Dari dana yang dipinjamkan, fixed, tetap. Dari untung yang bakal diperoleh, belum tentu besarnya.
Titik perhatian proyek/usaha Besarnya bunga yang harus dibayar nasabah/pasti diterima bank. Keberhasilan proyek/usaha jadi perhatian bersama: Nasabah dan Lembaga
Berapa besarnya? Pasti: (%) kali jumlah pinjaman yang telah pasti diketahui Proporsi (%) kali jumlah untung yang belum diketahui = belum diketahui
Status hukum Berlawanan dengan QS. Luqman:34 Melaksanakan QS. Luqman: 34
J. Hikmah Diharamkannya Riba
Beberapa hikmah yang amat besar dengan diharamkannya riba’ antara lain karena :
1) Riba’ menghilangkan faedah berhutang piutang yang menjadi tulang punggung gotong royong atas kebajikan dan taqwa.
2) Riba’ menimbulkan dan menanamkan jiwa permusuhan antara beberapa individu manusia
3) Riba’ melenyapkan manfaat dan kepentingan yang wajib disampaikan kepada orang yang sangat membutuhkan dan menderita
4) Riba’ menimbulkan mental orang yang suka hidup mewah dan boros serta ingin memperoleh hasil besar tanpa kerja keras diatas kesusahan orang lain
5) Riba’ merupakan jalan atau cara untuk menjajah orang karena yang meminjam tidak dapat mengembalikan pinjamannya
BAB IX HIWALAH
A. Pengertian Hiwalah
Kata Hawalah, huruf haa’ dibaca fathah atau kadang-kadang dibaca kasrah, berasal dari kata tahwil yang berarti intiqal (pemindahan) atau dari kata ha’aul(perubahan). Orang Arab biasa mengatakan haala ’anil ’ahdi, yaitu berlepas diri dari tanggung jawab. Sedang menurut fuqaha, para pakar fiqih, hawalah adalah pemindahan kewajiban melunasi hutang kepada orang lain.Hiwalah merupakan pengalihan hutang dari orang yang berutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya. Dalam hal ini terjadi perpindahan tanggungan atau hak dari satu orang kepada orang lain. Dalam istilah ulama, hiwalah adalah pemindahan beban hutang dari muhil (orang yang berhutang) menjadi tanggunganmuhal ‘alaih (orang yang berkewajiban membayar hutang).
B.DASAR HUKUM HIWALAH
Islam membenarkan hiwalah dan membolehkannya karena ia diperlukan. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Menunda-nunda pembayaran hutang yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezaliman. Maka, jika seseorang di antara kamu dialihkan hak penagihan piutangnya (dihawalahkan) kepada pihak yang mampu, terimalah” (HR. Bukhari).
Pada hadis ini, Rasulullah SAW memerintahkan kepada orang yang menghutangkan, jika orang yang berhutang meng-hiwalah-kan kepada orang yang kaya dan berkemampuan, hendaklah ia menerima hiwalah tersebut dan hendaklah ia mengikuti (menagih) kepada orang yang di-hiwalah-kan (muhal ‘alaih), dengan demikian haknya dapat terpenuhi (dibayar).
Dan Menurut hadist riwayat Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf:
“Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”
Dan menurut Ijma para Ulama, akad hiwalah telah disepakati boleh untuk dilakukan. Hal ini didasari kepada kaidah fiqh:
“Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
“Bahaya (beban berat) harus dihilangkan.”
C. Rukun Dan Syarat-Syarat Dalam Hiwalah
Dalam hal ini, rukun akad hiwalah adalah muhil, yakni orang yang berhutang dan sekaligus berpiutang, muhal , yakni orang berpiutang kepada muhil. Dan muhal ‘alaih, yakni orang yang berhutang kepada muhil dan wajib membayar hutang kepada muhal, muhal bih
1,yakni hutang muhil kepada muhal, dan juga muhal bih
2 sebagai hutang muhal alaih kepada muhil dan rukun terakhir adalah sighat (ijab-qabul),
Untuk sahnya hiwalah disyaratkan hal-hal berikut:
pertama, relanya pihak muhil dan muhal tanpa muhal ‘alaih berdasarkan dalil kepada hadis di atas. Rasulullah SAW telah menyebutkan kedua belah pihak, karenanya muhil yang berhutang berkewajiban membayar hutang dari arah mana saja yang sesuai dengan keinginannya. Dan karena muhal mempunyai hak yang ada pada tanggungan muhil, maka tidak mungkin terjadi perpindahan tanpa kerelaannya.
Kedua, samanya kedua hak, baik jenis maupun kadarnya, penyelesaian, tempo waktu, serta mutu baik dan buruk. Maka tidak sah hiwalah apabila hutang berbentuk emas dan di-hiwalah-kan agar ia mengambil perak sebagai penggantinya. Demikian pula jika sekiranya hutang itu sekarang dan di-hiwalah-kan untuk dibayar kemudian (ditangguhkan) atau sebaliknya. Dan tidak sah pula hiwalah yang mutu baik dan buruknya berbeda atau salah satunya lebih banyak.
Ketiga, stabilnya hutang. Jika peng-hiwalah-an itu kepada pegawai yang gajinya belum lagi dibayar, maka hiwalah tidak sah. Keempat, kedua hak tersebut diketahui dengan jelas. Apabila hiwalah berjalan sah, dengan sendirinya tanggungan muhil menjadi gugur. Andaikata muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia, muhal tidak boleh lagi kembali kepada muhil. Demikianlah menurut pendapat jumhur (kebanyakan) ulama.
D. Berakhirnya Hiwalah
Apabila kontrak hiwalah telah terjadi, maka tanggungan muhil menjadi gugur. Jika muhal’alaih bangkrut (pailit) atau meninggal dunia, maka menurut pendapat Jumhur Ulama, muhal tidak boleh lagi kembali menagih hutang itu kepada muhil. Menurut Imam Maliki, jika muhil “menipu” muhal, di mana ia menghiwalahkan kepada orang yang tidak memiliki apa-apa (fakir), maka muhal boleh kembali lagi menagih hutang kepada muhil.
E. FATWA MUI HIWALAH
Seiring dengan berkembangnya institusi keuangan Islam di Indonesia, maka suatu aturan hukum turut pula dikembangkan untuk melegalisasi serta melindungi akad-akad yang sesuai Syari’ah Islam diterapkan dalam Sistem Keuangan Islam di Indonesia. Maka dari itu, Dewan Syari’ah Nasional – Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa No: 12/DSN-MUI/IV/2000 tentang Hawalah disebutkan bahwa pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad).
F. JENIS-JENIS HIWALAH
Akad Hiwalah, dalam praktiknya dapat dibedakan ke dalam dua kelompok. Yang pertama adalah berdasarkan jenis pemindahannya. Dan yang kedua adalah berdasarkan rukun Hiwalahnya. Kelompok pertama yang berdasarkan jenis pemindahannya, terdiri dari dua jenis Hiwalah, yaitu Hiwalah Dayn dan Hiwalah Haqq. Hiwalah Dayn adalah pemindahan kewajiban melunasi hutang kepada orang lain. Sedangkan Hiwalah Haqq adalah pemindahan kewajiban piutang kepada orang lain[47]
Hiwalah Dayn dan Haqq sesungguhnya sama saja, tergantung dari sisi mana melihatnya. Disebut Hiwalah Dayn jika kita memandangnya sebagai pengalihan hutang, sedangkan sebutan Haqq, jika kita memandangnya sebagai pengalihan piutang. Berdasarkan definisi ini, maka anjak piutang (factoring) yang terdapat pada praktik perbankan, termasuk ke dalam kelompok Hiwalah Haqq, bukan Hiwalah Dayn.
Kelompok kedua yaitu Hiwalah yang berdasarkan rukun Hiwalah, terdiri dari Hiwalah Muqayyadah dan Hiwalah Muthlaqah. Hiwalah Muqayyadah adalah Hiwalah yang terjadi dimana orang yang berhutang, memindahkan hutangnya kepada Muhal Alaih, dengan mengaitkannya pada hutang Muhal alaih padanya. Maka dalam rukun Hiwalah, terdapat Muhal bih 2.
Hiwalah Muthlaqah adalah Hiwalah dimana orang yang berhutang, memindahkan hutangnya kepada Muhal alaih, tanpa mengaitkannya pada hutang Muhal alaih padanya, karena memang hutang muhal alaih tidak pernah ada padanya. Dengan demikian, Hiwalah Muthlaqah ini sesuai dengan konsep anjak piutang pada praktik Perbankan, dimana tidak ada hutang muhal alaih kepadanya sehingga didalam rukun hiwalahnya, tidak terdapat Muhal bih 2.
G. Aplikasi hiwalah dalam institusi keuangan
Dalam praktek perbankan syariah fasilitas hiwalah lazimnya untuk membantu supplier mendapatkan modal tunai agar dapat melanjutkan produksinya. Bank mendapat ganti biaya atas jasa pemindahan piutang. Untuk mengantisipasi resiko kerugian yang akan timbul, bank perlu melakukan penelitian atas kemampuan pihak yang berutang dan kebenaran transaksi antara yang memindahkan piutang dengan yang berutang. Katakanlah seorang supplier bahan bangunan menjual barangnya kepada pemilik proyek yang akan dibayar dua bulan kemudian. Karena kebutuhan supplier akan likuiditas, maka ia meminta bank untuk mengambil alih piutangnya. Bank akan menerima pembayaran dari pemilik proyek.[2] Proses penagihan hutangnya dapat dilihat dalam flowchart berikut:
BAB X AL- ARIYAH (Pinjaman)
A. Pengertian ‘Ariyah
Pinjaman atau ‘ariyah menurut bahasa ialah pinjaman. Sedangkan menurut istilah, ‘ariyah ada beberapa pendapat :
1. Menurut Hanafiyah ‘ariyah ialah:
“Memiliki manfaat secara Cuma-Cuma”
2. Menurut Malikiyah ‘ariyah ialah:
“Memiliki manfaat dalam waktu tertentu dengan tanpa imbalan.
3. Menurut Syafi’iyah ‘ariyah adalah:
“Kebolehan mengambil manfaat dari sesorang yang membebaskannya,apa yang mungkin untuk dimanfaatkan, serta tetap zat barangnya supaya dapat dikembalikan kepada pemiliknya.”
4. Menurut Hanbaliyah ‘ariyah ialah:
“Kebolehan memanfaatkan suatu zat barang tanpa imbalan dari peminjam atau yang lainnya.”
5. Menurut Ibnu Rif’ah berpendapat bahwa yang dimaksud ‘ariyah adalah :
“ Kebolehan mengambil manfaat suatu barang dengan halal serta tetap zatnya supaya dapat dikembalikan”
6. Menurut Al-Mawardi, yang dimaksud ‘ariyah ialah :
“Memberikan manfaat-manfaat”
7. ‘Ariyah adalah kebolehan mengambil manfaat barang-barang yang diberikan oleh pemiliknya kepada orang lain dengan tanpa di ganti
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan ariyah ialah memberikan manfaat suatu barang dari seseorang kepada orang lain secara Cuma-Cuma (gratis). Bila diganti dengan sesuatu atau ada imbalannya, hal itu tidak dapat disebut ‘ariyah.
B. Dasar Hukum ‘Ariyah
Menurut Sayyid Sabiq, tolong menolong (‘Ariyah) adalah sunnah. Sedangkan menurut al-Ruyani, sebagaimana dikutif oleh Taqiy al-Din, bahwa ariyah hukumnya wajib ketika awal islam. Adapun landasan hukumnya dari nash Alquran ialah :
“Dan tolong-menolonglah kamu untuk berbuat kebaikan dan taqwa dan janganlah kamu tolong-menolong untuk berbuat dosa dan permusuhan.” (Al-Maidah:2)
“Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu agar menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” (An-Nisa:58)
Sebagaimana halnya bidang-bidang lain, selain dari Al-Qur’an, landasan hukum yang kedua ialah Al-Hadis. Dalam landasan ini ‘ariyah dinyatakan sebagai berikut :
“Sampaikanlah amanat orang yang memberikan anamanat kepadamu dan janganlah kamu khianat sekalipun dia khianat kepadamu” (Dikeluarkan oleh Abu Dawud)
“Barang pinjaman adalah benda yang wajib dikembalikan”(Riwayat Abu Dawud) “Pinjaman yang tidak berkhianat tidak berkewajiban mengganti kerugian dan orang yang menerima titipan yang tidak khianat tidak kewajiban mengganti kerugian”(Riwayat Daruquthni)
“Siapa yang meminjam harta manusia dengan kehendak membayarnya, maka Allah akan membayarnya, barangsiapa yang meminjam hendak melenyapkannya, maka Allah akan melenyapkan hartanya”(Riwayat Bukhari)
“Orang kaya yang memperlambat (melalaikan) kewajiban membayar utang adalah zalim (berbuat aniaya)”(Riwayat Bukhari dan Muslim)
C. Rukun dan Syarat ‘Ariyah
Menurut Hanafiyah, rukun ‘ariyah satu, yaitu ijiab dan Kabul, tidak wajib diucapkan tetapi cukup dengan menyerahkan pemilik kepada peminjam barang yang dipinjam dan boleh hukum ijiab Kabul dengan ucapan.
Menurut Syafiiyah, rukun ariyah adalah sebagai berikut:
1. Kalimat mengutangkan (lafazh), seperti seseorang berkata, “saya utangkan benda ini kepada kamu” dan yang menerima berkata “ saya mengaku berutang benda anu kepada kamu.” Syarat bendanya adalah sama dengan syarat benda-benda dalam jual beli.
2. Mu’ir yaitu orang yang mengutangkan (berpiutang) dan Mus’tair yaitu orang yang menerima utang. Syarat bagi mu’ir adalah pemilik yang berhak menyerahkannya, sedangkan syarat-syarat bagi mus’tair adalah:
• Baligh, maka batal ‘ariyah yang dilakukan anak kecil atau Shabiy
• Berakal, maka batal ‘ariyah yang dilakukan oleh orang yang sedang tidur dan orang gila.
• orang tersebut tidak dimahjur (dibawah curatelle) maka tidak sah ‘ariyah yang dilakukan oleh orang yang berada dibawah perlindungan (curatelle), seperti pemboros.
3. Benda yang diutangkan, pada rukun ketiga ini disyaratkan dua hal, yaitu:
• Materi yang dipinjamkan dapat dimanfaatkan, maka tidak syah ariyah yang matwrinya tidak dapat digunakan, seperti meminjam karung yang sudah hancur sehingga tidak dapat digunakan untuk menyimpan padi.
• Pemanfaatan itu dibolehkan, maka batal ariyah yang pengambilan manfaat materinya dibatalkan oleh syara, seperti meminjam benda-benda najis.
D. Pembayaran Pinjaman
Setiap orang yang meminjam sesuatu kepada orang lain berarti peminjam memiliki utang kepada yang berpiutang (mu’ir). Setiap utang wajib dibayar sehingga berdosalah orang yang tidak mau membayar utang, bahkan melalaikan pembayaran utang juga termasuk aniaya. Perbuatan aniaya merupakan salah satu perbuatan dosa. Rasulallah Saw, bersabda:
“ Orang kaya yang melalaikan kewajiban membayar utang adalah aniaya”
(Riwayat Bukhari dan Muaslim).
Melebihkan bayaran dari sejumlah pinjaman diperbolehkan, asal saja kelebihan itu merupakan kemauan dari yang berutang semata. Hal ini menjadi nilai kebaikan bagi yang membayar utang.
Rasulallah Saw. Bersabda:
“Sesungguhnya diantara orang yang terbaik dari kamu adalah orang yang sebaik-baiknya dalam membayar utang” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Rasulallah pernah berutang hewan, kemudian beliau membayar hewan itu dengan yang lebih besar dan tua umurnya dari hewan yang beliau pinjam. Kemudian Rasu bersabda:
“ Orang yang paling baik diantara kamu ialah orang yang dapat membayar utangnya dengan yang lebih baik” (Riwayat Ahmad)
Jika penambahan itu dikehendaki oleh orang yang berutang atau telah menjadi perjajian dalam akad berpiutang, maka tambahan itu tidak halal bagi yang berpiutang untuk mengambilnya. Rasul bersabda:
“ Tiap-tiap piutang yang mengambil manfaat, maka itu adalah salah satu cara dari sekian cara riba” ( Dikeluarkan oleh Baihaqi).
E. Meminjam Pinjaman dan Menyewakan
Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa pinjaman boleh meminjamkan benda-benda pinjaman kepada orang lain. Sekalipun pemiliknya belum mengizinkan jika penggunanya untuk hal-hal yang tidak berlainan dengan tujuan pemakaian pinjaman. Menurut Mazhab Hanbali, peminjam boleh memanfaatkan barang pinjaman atau siapa saja yang menggantikan setatusnya selama peminjaman berlangsung, kecuali jika barang tersebut disewakan. Haram hukumnya menurut Hanbaliyah menyewakan barang pinjaman tanpa seizing pemilik barang.
Jika peminjam suatu benda meminjamkan benda pinjaman tersebut kepada orang lain, kemudian rusak ditangan kedua, maka pemilik berhak meminta jaminan kepada salah seorang diantara keduanya. Dalam keadaan seperti ini, lebih baik barang meminta jaminan kepada pihak kedua karena dialah yang memegang ketika barang itu rusak.
F. Tanggung Jawab Peminjam
Bila peminjam telah memegang barang-barang pinjaman, kemudian barang tersebut rusak, ia berkewajiban menjaminnya, baik arena pemakaian yang berlebihan maupun karena yang lainnya. Demonian menurut Idn Abbas, Aisyah, Abu Hurairah,
Syai’I dan Ishaq dalam hadis yang diriwayatkan oleh Samurah, Rasulallah Saw. Bersabda :
“Pemegang kewajiban menjaga apa yang ia terima, hingga ia mengambilkannya”.
Sementara para pengikut Hanafi dan Malik berpendapat bahwa, pemin jam tidak berkewajiban menjamin barang pinjamannya, kecuali karena tindakan yang berlebihan, karena Rasulallah Saw. Bersabda :
“Pinjaman yang tidak berkhianat tidak berkewajiban mengganti kerugian dan orang yang menerima titipan yang tidak khianat tidak kewajiban mengganti kerugian”(Riwayat Daruquthni)
G. Tatakrama Berutang
Ada beberapa hal yang dijadikan penekanan dalam pinjam-meminjam atau utang-piutang tentang nilai-nilia sopan-santun yang terkait di dalamnya, ialah sebagai berikut:
a. Sesuai dengan QS. Al-Bazaar: 282, utang-piutang supaya dikuatkan dengan tulisan dari pihak berutang dengan disaksikan dua orang saksi laki-laki dengan dua orang saksi wanita. Untuk dewasa ini tulisan tresebut dibuat diatas kertas bersegel atau bermaterai.
b. Pinjaman hendaknya dilakukan atas dasar adanya kebutuhan yang mendesak disertai niat dalam hati akan membayarnya/mengembalikannya.
c. Pihak berpiutang hendaknya berniat memberikan pertolongan kepada pihak berutang. Bila yang meminjam tidak mampu mengembelikan, maka yang berpiutang hedaknya membalaskannya.
d. Pihak yang berutang bila sudah mampu membayar pinjaman, hendaknya dipercepat pembayaran utangnya karena lalai dalam pembayaran pinjaman berari berbuat zalim.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Qadir Ahmad Atho, Muhammad, 1988, Subul As-salam, Dar Al-kutub Al alamiyah, Beirut, Lebanon.
Abdul Jalil, Ma’ruf. 2006. Al-Wajiz. Jakarta: Pustaka As-Sunah.
Abdur Rahman al Jazairy, Kitab al Fiqh ‘ala Madzhahib, Al Arba’ab, Juz III.
Abdullah, Al-Muslih dan Shaleh Ash-Shawi. 2003. Bunga Bank haram. Jakarta: Darul Haq.
Agustianto. 2008, Hiwalah/Hawalah. Presentasi Universitas Indonesia, IEF Trisakti, dan Universitas Paramadina. Jakarta.
Al-Khatib, Al-Iqna.
Dewan Syariah Nasional, Fatwa tentang Hawalah, No.12 /DSN-MUI/IV/2000, Majelis Ulama Indonesia
Dahlan, Abdul Aziz.2000, Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve.
Fatimah, Siti. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktek Hiwalah di BMT Bina Ihsanul Fikri (BIF) Gedongkuning Yogyakarta. Thesis UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 2008.
Fuad Abdul Baqi, Muhammad, 1993, Al-lu'lu' wal Marjan, Al-ridha, Semarang,
Bahreisj, Husein, 1987, Himpunan Hadis Shahih Muslim, Al-ikhlas, Surabaya,
Muhammad bin Ahmad Al-muhalli, Halaluddin, 1995, Hashyiyatani Qulyubi wa Umairah, Dar Al-Fikr, Beirut, Lebanon.
Fiqih as Sunah.
Ghufron A. Mas’adi, 2002. Fiqih Muamalah Kontekstual, Jakarta , PT Raja Grafindo Persada.
Hedi Suhendi, 2002. Fiqih Muamalah, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada.
H. Hanai Suhendi, 2002. Fiqih Muamalah, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada.
http://aandurmuni.blogspot.com/2010/02/hadis-tentang-macam-macam-jual-beli.html
http://kafeilmu.com/2011/02/pengertian-hutang-piutang-dalam-islam.html
http://alislamu.com/index (akses tanggal 6 Desember 2008)
http://www.pkes.org/file/publication/ (akses tanggal 6 Desember 2008)
http://www.republika.co.id/launcher/view/mid/19/news_id/8246 (akses tanggal 6 Desember 2008)
Karim Adiwarman A. 2006, Bank Islam, Analisis Fiqh dan Keuangan. RajaGrafindo Persada.
Muhammad. 2004Manajemen Dana Bank Syari’ah. Yogyakarta: Ekonisia.
Muthahhari, Murtadha. 1995. Pandangan Islam tentang Asuransi dan Riba. Bandung: Pustaka Hidayah.
Mulyadi, Ahmad. 2006. Fiqih. Bandung: penerbit Titian Ilmu.
Qur’an Hadis kelas X SMA 9. 2007. Sragen: Alaik Pustaka.
Remi, Syahdeni Sutan. 1955. Perbankan Islam dan Tata Hukum Perbankan Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama.
Suhendi, Hendi. 2007. Fiqih Muamalah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Suhendi, Hedi. 2002. Fiqih muamalat. Jakarta: PT. RAJAGRAFINDO PERSADA
Syafei, Rachmat, 2006, Fiqh Muamalah, Bandung : Pustaka Setia, Cet. 3, Syamhudi, Kholid, www.ustadzkholid.com, Tgl. 27-12-08, Pkl. 15 : 30
Rusyid, Ibnu, 2007, Bidayatul Mujtahid, Jakarta : Pustaka Asmani, Jilid. 3.
Mushthafa Al-Maraghi, Ahmad, 1987, Tafsir Al-Maraghi, Semarang : CV. Tohaputra, Jilid. 3.
Syafi’I, Rachmat. 2009. Fiqih Muamalah. Bandung: Pustaka Setia.
[1] Abdul Qadir Ahmad Atho, Muhammad, Subul As-salam, 1988, Dar Al-kutub Al alamiyah, Beirut, Lebanon, hal. 207
[2] Fuad Abdul Baqi, Muhammad, 1993, Al-lu'lu' wal Marjan, Al-ridha, Semarang, hal. 103
[3] Bahreisj, Husein, 1987, Himpunan Hadis Shahih Muslim, Al-ikhlas, Surabaya, hal. 309
[4] Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, Abdullah bin Muahammad Al-Muthlaq, dkk.,Ensiklopedi Fiqih Muamalah dalam Pandangan 4 madzhab, terj. Miftahul Khairi (Yogyakarta: Maktabah Al-Hanif, 2009), 85
[5] Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islam wa Adillatuhu . (Damsyiq: Dar al-Fikr 1985), IV, 250
[6] Rachmat Syafe’I, Fiqh Muamalat. (Bandung; CV Pustaka Setia, 2006)
[7] Ibn Rusyd. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid. (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1981), II
[8] Rachmat Syafe’I, Fiqh Muamalat, 104
[9] Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islam wa Adillatuhu, IV. 254
[10] Ghufron A. Mas’adi. Fiqh Muamalah Kontekstual. (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), 109
[11] Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, Abdullah bin Muahammad Al-Muthlaq, dkk.,Ensiklopedi Fiqih Muamalah dalam Pandangan 4 madzhab, 89-90
[12] Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islam wa Adillatuhu, IV, 254
[13] “Piqih muamalah tentang khiyar”, http://echyli2n.blogspot.com/2009_06_01_archive.html, di akses tanggal 15 April 2010.
[14] Ghufron A. Mas’adi. Fiqh Muamalah Kontekstual, 111
[15] Rachmat Syafe’I, Fiqh Muamalat, 110
[16] Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, Abdullah bin Muahammad Al-Muthlaq, dkk.,Ensiklopedi Fiqih Muamalah dalam Pandangan 4 madzhab, 93
[17] Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islam wa Adillatuhu, IV, 261
[18] Rachmat Syafe’I, Fiqh Muamalat, 119
[19] Ghufron A. Mas’adi. Fiqh Muamalah Kontekstual, 113-114
[20] Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, Abdullah bin Muahammad Al-Muthlaq, dkk.,Ensiklopedi Fiqih Muamalah dalam Pandangan 4 madzhab, 100
[21] Ghufron A. Mas’adi. Fiqh Muamalah Kontekstual, 114
[22] “khiyar”, http://pelukis.multiply.com/journal/item/1, di akses 17 April 2010
[23] Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar, Abdullah bin Muahammad Al-Muthlaq, dkk.,Ensiklopedi Fiqih Muamalah dalam Pandangan 4 madzhab, 86
[24] Rachmat Syafe’I, Fiqh Muamalat, 105
[25] Syafei, Rachmat, 2006, Fiqh Muamalah, Bandung : Pustaka Setia, Cet. 3, Hal. 159
[26] Syamhudi, Kholid, www.ustadzkholid.com, Tgl. 27-12-08, Pkl. 15 : 30
Rusyid, Ibnu, 2007, Bidayatul Mujtahid, Jakarta : Pustaka Asmani, Jilid. 3, Hal. 197
[27] Mushthafa Al-Maraghi, Ahmad, 1987, Tafsir Al-Maraghi, Semarang : CV. Tohaputra, Jilid. 3, Hal. 121-123
[28] Poerwadarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, hal, 1136
[29] Poerwadarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, hal, 760
[30] Abu Sura’i Abdul Hadi, Bunga Bank Dalam Islam, hal. 125
[31] Chairuman Pasaribu dan Suharwadi K.Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, hal. 136
[32] R. Subekti dan R. Tjitrosudibjo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hal, 451
[33] Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya,hal 157
[34] Chairuman pasaribu, hukum perjanjian dalam islam, h. 137
[35] NN, Hutang Piutang Menurut Ajaran Islam, http:// organisasi. Org
[36] HR. Bukhari dalam Kitab Al-Istiqradh, baba istiqradh Al-Ibil (no.2390), dan Muslim dalam kitab Al-musaqah, bab Man Istaslafa Syai-an Fa Qadha Khairan Minhu (no.1600).
[37] Di poskan pada Wed, 21/06/2006 - 4:32pm — godam64http://organisasi.org/hutang_piutang_menurut_ajaran_islam_definisi_pengertian_hukum_rukun_manfaat_dari_hutang_piutang_pendidikan_agama_islam
[38] HR. Bukhari IV/608 (no.2305), dan Muslim VI/38 (no.4086).
[39] Ghufron A. Mas’adi, Fiqih Muamalah Kontekstual, Jakarta , PT Raja Grafindo Persada, 2002, Hal: 81
[40] Al-Khatib, Al-Iqna, Hal: 70
[41] Hedi Suhendi, Fiqih Muamalah, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2002, Hal: 85-86
[42] Abdur Rahman al Jazairy, Kitab al Fiqh ‘ala Madzhahib, Al Arba’ab, Juz III, Hal: 111
[43] SYAFII ANTONIO dalam Bank Syariah dari Teori ke Praktek(Jakarta GIP 2001) hal 35.
[44] Dr. Hasan Abdullah Amin dalam al Wada`i al Masharifah an Maqdiyah wa Istitsmariha fi al Islam hal. 23 – 31
[45] Dr. Azzuhaily dalam al-Fiqih al-Islami wa adillatuhu dalam kitab Al-Mughni Wa Syarh Kabir Li Ibni Qudhamah danMubsuth Li Imam Sarakhsy
[46] Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktek, Jakarta: Gema Insani, 2001, hlm. 87.
[47] Agustianto. Hiwalah/Hawalah. Presentasi Universitas Indonesia, IEF Trisakti, dan Universitas Paramadina. Jakarta. 2008, hal. 25
Tidak ada komentar:
Posting Komentar