Selasa, 17 April 2012

KHI



Komplikasi Hukum Islam Tentang Hak Waris Anak Angkat
Oleh : Ifa Ratnasari

Abstrak :
Maraknya pengangkatan anak di indonesia karna di sadarinya akan begitu besarnya harapan orang tua atas buah hati dan cintanya yang dapat di jadikan sebuah harapan di masa depan.namun tidak semua orang tua yang beruntung di karuniai buah hati, maka dari itu di antara mereka ada yang mengangkat anak. Sehingga dapat kita ketahui kontroversi akan adanya hukum pengangkatan anak di depan  pandangan para ulama, namun sebenarnya pengangkatan anak itu di perbolehkan jika ada tujuan yang baik sehingga kedepanya bisa mensejahterakan anak yg di adopsinya dan tidak  mensia siakan Hak waris anak angkat terhadap harta warisan yang tertera pada pasal 209 dalam kompilasi Hukum Islam adalah :“Anak angkat yang tidak menerima wasiat tetapi diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya”

Keywoord: KHI (Komplikasi Hukum Islam ),  BW (Burgerlijk Wetboek),  Waris Wajibah.

Pendahuluan
Anak adalah bagian dari segala tumpuhan dan harapan kedua orang tua,  utamanya adalah ayah dan ibu, Namun demikian, tujuan tersebut terkadang tidak dapat tercapai sesuai dengan harapan. Beberapa pasangan hidup, tidaklah sedikit dari mereka mengalami kesulitan dalam memperoleh keturunan. sehingga kemudian di antara merekapun ada yang mengangkat anak.
Pengangkatan anak terbagi dalam dua pengertian, yaitu: pertama, pengangkatan anak dalam arti luas. Ini menimbulkan hubungan nasab sehingga ada hak dan kewajiban selayaknya antara anak sendiri terhadap orang tua sendiri. kedua, ialah pengangkatan anak dalam arti terbatas. yakni pengangkatan anak orang lain ke dalam keluarga sendiri dan hubungan antara anak yang diangkat dan orang tua yang mengangkat hanya terbatas pada Hubungan Sosial saja.
Di Indonesia, ada tiga sistem hukum perdata yang berlaku dalam mengatur permasalahan tentang pengangkatan anak. Ketiga sistem hukum itu adalah Hukum  Perdata Islam, Hukum Perdata Adat dan Hukum Perdata Barat (Muderis Zaini,2006:31). Untuk sementara pembahasan mengenai hukum Adat tidak kami sebutkan di sini, melainkan lebih dikonsentrasikan antara Hukum Islam dan Hukum Perdata Barat (Burgerlijk Wetboek) di Indonesia. Jika yang pertama hukum Islam ditempatkan sebagai blue-print atau cetak biru Tuhan yang selain sebagai kontrol juga sekaligus sebagai social engineering terhadap keberadaan suatu Hukum Islam sebagai satu pranata sosial memiliki dua fungsi; pertama, sebagai kontrol sosial dan kedua sebagai nilai komunitas masyarakat. Sementara yang kedua, hukum lebih merupakan produk sejarah yang dalam batas-batas tertentu diletakkan sebagai justifikasi terhadap tuntutan perubahan sosial, budaya, dan politik. Oleh karena itu, dalam konteks ini, hukum Islam dituntut akomodatif terhadap persoalan umat tanpa kehilangan prinsip-prinsip dasarnya. Sebab kalau tidak, besar kemungkinan hukum Islam akan mengalami kemandulan fungsi  bagi kepentingan umat. Karena itu apabila para pemikir hukum tidak memiliki kesanggupan atau keberanian untuk mereformulasi dan mengantisipasi setiap persoalan yang muncul dalam masyarakat dan mencari penyelesaian hukumnya, maka hukum Islam akan kehilangan aktualitasnya. Menurut Cik Hasan Bisri, tema utama KHI ialah mempositifkan hukum Islam di Indonesia yaitu dengan melengkapi pilar peradilan agama, menyamakan persepsi penerapan hukum, mempercepat proses Taqribi Bainal Ummah dan menyingkirkan paham private affairs. (Cik Hasan Bisri, 2000 :27)
Akan tetapi, berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini bahwa pengangkatan anak telah dilakukan dengan cara dan motivasi yang berbeda-beda sejalan dengan sistem hukum dan perasaan hukum yang hidup serta berkembang di dalam masyarakat yang bersangkutan.
Kenyataan tersebut dapat dilihat antara lain dalam Kompilasi Hukum Islam, Disebutkan bahwa anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawab dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan Pengadilan. Pengangkatan anak yang dimaksud bertujuan untuk menolong atau sekedar meringankan beban hidup bagi orang tua kandung. Sedang pengangkatan anak juga sering dilakukan dengan tujuan untuk meneruskan keturunan bilamana dalam suatu perkawinan tidak memperoleh keturunan. Ada pula yang bertujuan sebagai pancingan seperti di Jawa khususnya. Menurut istilah kepercayaan tersebut, dengan mengangkat anak, keluarga tersebut akan dikaruniai anak kandung sendiri. Disamping itu ada yang disebabkan oleh rasa belas kasihan terhadap anak yang menjadi yatim piatu, kekurangan yang tak kunjung henti-henti sehingga menjadi terlantar atau disebabkan oleh keadaan orang tuanya yang tidak mampu untuk memberi nafkah. Keadaan demikian, kemudian berlanjut pada permasalahan mengenai pemeliharaan harta kekayaan (harta warisan) baik dari orang tua angkat maupun orang tua asli (kandung). Sedang cara untuk meneruskan pemeliharaan harta kekayaan inipun dapat dilakukan melalui berbagai jalur sesuai dengan tujuan semula.
Hal-hal tersebut di atas, membuat penyusun ingin melihat lebih jauh makna filosofis yang terkandung dari adanya pengangkatan anak yang kian marak dilakukan dengan berbagai keinginan. karena keberadaannya, baik secara Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) maupun Kompilasi Hukum Islam (KHI) memberikan hak kepada anak angkat untuk mendapatkan harta dari orang tua angkat.

Hak Waris Anak Angkat Terhadap Harta Warisan
Menurut Rachmadi Usman (2009:01), Dalam istilah bahasa arab hukum kewarisan disebut Fara’id, yang kemudian dalam kepustakaan ilmu hukum belum terdapat keseragaman istilah yang digunakan dan sementara terdapat beberapa istilah seperti hukum warisan, hukum waris, hukum kewarisan, hukum mawaris, hukum fara’id, dan lain-lain. Namun demikian dari segi kebahasaan, istilah yang sesuai untuk penyebutan “Hukum fara’id” tersebut adalah “Hukum kewarisan”, yang juga dipergunakan dalam undang-undang nomor 7 tahun 1989 tentang peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan undang-undang nomor 3 tahun 2006 dan kompilasi hukum islam.
 Menurut istilah bahasa fara’id juga bisa mempunyai arti taqdir (qadar atau ketentuan) dan pada syari’ah ialah bagian yang diqadarkan atau yang ditentukan bagi waris. Adapun asal kalimat fara’id adalah jama’ dari faridlah yang mempunyai arti satu bagian tertentu, jadi fara’id berarti beberapa bagian tertentu. Dengan demikian fara’id dapat diartikan dengan bagian tertentu (yang besar kecilnya sudah ditentukan) yang menjadi hak ahli waris.

Sumber hukum Kewarisan
Berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam ayat Al-Qur’an, bahwa pada prinsipnya hukum Islam bersumber pada penetapan Allah (berupa hukum Allah yang tercantum dalam ayat suci al-qur’an dan kitab-kitab suci yang terdahulu yang diturunkan kepada para Nabi, dan Rasul Allah), penetapan Rasul allah (Berupa hukum Rasul baik dalam bentuk Hadits maupun Sunnah) dan penetapan ulil amri (berupa Hukum Negara –dengan cara “berijtihad” , dalam artian mempergunakan “Logika” untuk menetapkan sesuatu hukum yang didasarkan pada hukum Allah dan  hukum Rasul).
Sumber hukum Islam tersebut satu sama lain berfungsi untuk saling “memperjelas” dan “memperkuat”. Hukum Negara akan berlaku di samping hukum Allah dan hukum rasul, jika tidak bertentangan atau berlawanan dengan hukum Allah dan hukum rasul, sebab penetapan hukum Negara digali dan didasarkan kepada dua sumber hukum Islam yang paling Asasi nilai kebenarannya dan dapat dipertanggung jawabkan keotentikannya, yang langsung atau tidak langsung telah “diperintahkan” atau “diwahyukan” oleh Allah melalui Rasul-Nya. walaupun itu asalnya hanya perbuatan atau perkataan Rasul sendiri, yang kemudian dibenarkan oleh Allah dengan tanpa mengadakan koreksi untuk membatalkannya atau menetapkan hukum (Syara’) yang lain.
Adapun hukum yang ditemukan melalui hasil Ijtihad ini disebut Fiqih. Fiqih merupakan himpunan undang-undang dan pembahasan yang menyampaikan kepada semua orang untuk mempergunakan syari’at amalia yang menunjukkan secara terperinci. Jadi dalam fiqih terkandung hukum-hukum yang terperinci yang merupakan pengembangan dan perluasan dasar-dasar hukum yang telah ada dalam Al-Qur’an maupun Hadits. Oleh karena cara yang dipakai mujtahid dalam usaha pengendalian hukum tidak sama dan kemampuan akalnya pun berbeda, maka terdapatlah hasil Ijtihad (fiqih) yang berbeda-beda. Setiap hasil ijtihad yang telah ditemukan oleh mujtahid terdahulu menjadi pedoman yang tidak mengikat bagi mujtahid yang datang kemudian dalam usahanya menggali hukum pada situasi dan tempat tertentu.
     Adapun Hadits Rasul  yang berhubungan dengan hukum kewarisan di antaranya adalah sebagai berikut :
Hadits Nabi dari Ibnu Abbas, riwayat bukhari dan Muslim, Nabi Muhammad SAW bersabda yang artinya :
     “Berikanlah bagian-bagian tertentu kepada orang-orang yang berhak. Sesudah itu sisanya untuk orang laki-laki yang lebih utama”.
Menurut Idris Djakfar dalam bukunya Rachmadi Usman (2009 : 26), Adapun sebagai tindak lanjut dari Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tersebut, dikeluarkan keputusan menteri agama Nomor 154 Tahun 1991, yang berisikan antara lain agar seluruh lingkungan Instansi Departemen Agama dan Instansi Pemerintah lainnya yang terkait, dalam menyelesaikan masalah-masalah dibidang hukum perkawinan, kewarisan, dan perwaqafan, sedapat mungkin menerapkan Kompilasi Hukum Islam tersebut disamping peraturan perundang-undangan lainnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Kompilasi hukum Islam bukanlah sekedar “Pedoman” bagi hakim dilingkungan peradilan agama dalam menyelesaikan perkara-perkara dan permohonan- permohonan yang diajukan kepadanya, melainkan sumber hukum materil yang harus dipergunakan olehnya dalam mengadili, memutus dan menyelasaikan permasalahan- permasalahan yang terdapat dalam perkawinan, kewarisan dan perwaqafan bagi mereka yang beragama Islam, disamping peraturan perundang-undangan lainnya yang berhubungan dengan perkawinan, kewarisan dan perwaqafan.
Hak waris anak angkat terhadap harta warisan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Menurut Kompilasi Hukum Islam dalam hukum kewarisan (2009 : 261), Indonesia merupakan salah satu negara merdeka dan berdaulat sekaligus sebagai Negara Hukum, yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam,bahkan terdapat lembaga peradilan agama yang berasas personalitas keislaman yang keberadaannya sama dengan persoalan lainnya yang berpuncak pada mahkamah agung sebagai lembaga yudikatif tertinggi di indonesia. Salah satu hukum materiil peradilan agama di indonesia yang di jadikan rujukan oleh para hakim adalah kompilasi hukum Islam, walaupun berlakunya hanya melalui intruksi Presiden Republik Indonesia nomor 1 tahun 1991, sedangkan salah satu materi Kompilasi Hukum Islam adalah pemberian wasiat wajibah kepada anak angkat pasal 209 KHI, hal ini merupakan terobosan baru dalam hukum Islam yang tidak di temukan dalam kitab- kitab klasik bahkan undang- undang mesir dan siria pun tidak menyatakan wasiat wajibah kepada anak angkat. Pasal 209 KHI tidak mungkin tanpa dasar hukum baik melalui istimbat atau istidlal hal ini karena keduanya merupakan metode ijtihad yang tidak boleh di tinggalkan dalam penemuan hukum Islam, terutama hal- hal yang tidak di atur secara jelas dalam nas syara’.
Dengan demikian penulis akan menelaah pasal 209 KHI melalui pendekatan pemahaman petunjuk al- Baqarah ayat 180 sehingga gerak pasal tersebut tetap berpijak pada nas syara’ walaupun tidak menafikan metode nas lain.
Hak waris anak angkat terhadap harta warisan yang tertera pada pasal 209 dalam kompilasi Hukum Islam adalah :
“Anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.”
Sedangkan dalam Ayat Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 180.
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالأقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ

180. Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.
Kata wasiat secara bahasa bermakna suatu bentuk perjanjian yang di buat oleh seseorang agar melakukan sebuah perbuatan, baik orang tersebut masih hidup maupun setelah meninggal dunia. Sedangkan secara istilah ( terminologi) para ulama’ mengartikan bahwa wasiat adalah perbuatan yang berupa pemberian milik dari seseorang kepada yang lain yang pelaksanaannya setelah meninggalnya pemberi wasiat baik berupa benda atau berupa manfaat dari benda, dengan jalan tabarru’ ( sedekah).
Hak waris anak angkat terhadap harta warisan menurut Hukum Perdata (BW)
Berdasarkan ketentuan dalam Staats Blad 1917 laki-laki yang beristri dan tidak mempunyai keturunan laki-laki dalam garis laki-laki, sedangkan yang dapat diangkat sebagai anak hanya anak laki-laki yang belum kawin dan yang belum diambil oleh orang lain sebagai anak angkat. Anak angkat tersebut selanjutnya menggunakan nama keluarga dari keturunan oranng tua angkatnya dan mempunyai kedudukan hukum yang sama dengan anak kandung dari orang tua angkatnya serta terputuslah hubugan hukum antara anak angkat dengan orang tua kandungnya.
Lazimnya, pengangkatan anak yang semacam itu merupakan suatu perbuatan yang menyamakan kedudukan anak angkat dengan anak kandung, baik itu dalam hal pemeliharaan dan sampai pada hal kewarisan. Sedangkan hubungan kekeluargaan dengan orang tua sendiri menurut pasal 12 Staats Blad 1917 No.129 adalah menjadi putus. Begitu pula kaitannya dengan hubungan perdata antara orang tua dengan sanak keluarganya disatu pihak juga terputus sama sekali (pasal 14), dengan perkecualian yang disebutkan dalam pasal 14 bila anak adopsi itu mempunyai nama keluarga dari ayah yang mengadopsinya.
Sebagaimana telah dijelaskan juga dalam pasal 11,12,13 dan 14 dari Staats Blad 1917 N0. 129 bahwa:
a.         Anak angkat mendapat Klan keturunan dari orang tua angkatnya.
b.         Anak yang diadopsi dianggap dilahirkan dari perkawinan suami isteri yang mengadopsi, sehingga dianggap sebagai anak yang sah
c.         Gugur hubungan Perdata antara anak yang diadopsi dengan orang tua kandung / biologis.
Menurut pasal 830 BW (KUHP) yaitu, pewarisan hanya berlangsung karena kematian, dengan demikian warisan itu baru terbuka kalau si peninggal waris sudah meninggal dunia. Jadi dalam hal ini harus ada orang yang meninggal dunia sebagai peninggal warisan dan ahli waris yang masih hidup sebagai penerima warisan dan juga harta warisan yang akan di bagikan kepada ahli waris.
Cara memperoleh warisan menurut hukum Perdata ada dua macam, yaitu :
1.    Sebagai ahli waris menurut undang-undang atau abintestato
2.    Karena ditunjuk dalam surat wasiat (testament)
Dalam pasal 832 KUHP ditetapkan bahwa, yang berhak untuk menjadi ahli waris adalah keluarga sedarah dan yang mempunyai hubungan perkawinan (suami-istri) dengan pewaris. Mereka itu seperti anak atau keturunannya, bapak, ibu, kakek, nenek serta leluhurnya ke atas, saudara atau keturunannya serta suami atau istri.
Undang-undang membagi ahli waris pada kelompok ini menjadi 4 (empat) golongan yaitu: golongan kesatu, kedua, ketiga dan keempat. Mereka diklasifikasikan sebagai berikut:
Golongan kesatu diatur dalam pasal 852, 852a, KUHP terdiri dari:
a.    Anak atau keturunannya
b.    Suami atau istri
Golongan kedua diatur dalam pasal 854, 856, 857 KUHP terdiri dari:
a.    Orang tua, yaitu bapak atau ibu
b.    Saudara-saudara atau keturunannya
Golongan ketiga diatur dalam pasal 853, KUHP terdiri dari:
a.    Kakek atau nenek dari pihak bapak dan seterusnya ke atas
b.    Kakek atau nenek dari pihak ibu dan seterusnya ke atas
Golongan keempat terdiri dari keluarga sedarah lainnya dalam garis menyamping sampai derajat ke 6 (enam) dari pasal 856, 861 KUHP.
Keempat golongan tersebut di atas sekaligus merupakan urutan penerimaannya. Jika golongan pertama ada, maka golongan kedua, ketiga dan keempat tidak dapat bagian warisan. Tetapi jika golongan pertama tidak ada maka yang mendapatkan yaitu golongan kedua. Begitu juga seterusnya.
Kalau semua golongan tersebut di atas tidak ada, menurut pasal 832 BW maka segala harta peninggalan menjadi milik Negara dan Negara wajib melunasi hutang pewaris dengan sekedar harta peninggalan yang mencukupi untuk itu.
Jadi, jika seandainya semua ahli waris yang telah ditentukan oleh undang-undang, misalnya; anak, istri, suami, bapak, ibu, saudara, kakek, nenek, maka warisan akan jatuh kepada anak atau suami istri sebagai golongan pertama. Sedangkan yang lainnya tidak dapat. Begitu juga, kalau ahli waris terdiri dari istri, ibu, bapak dan saudara, maka harta warisan akan jatuh hanya kepada istrinya saja sedangkan bapak dan ibu serta saudara tidak mendapat bagian, dan begitu seterusnya menurut urutan golongan tersebut di atas.
Tentang ahli waris yang dinyatakan tidak patut, tidak pantas menerima wasiat (Onwardig) atau menerima warisan diatur dalam pasal 838, 839 dan 840 BW bagi ahli waris menurut undang-undang dan pasal 912 BW bagi ahli waris menurut wasiat.
Ahli waris yang tidak patut menurut pasal 838 BW:
a.         Mereka yang telah di hukum karena di permasalahan telah membunuh atau mencoba membunuh si pewaris.
b.        Mereka yang dengan putusan hakim telah dipersalahkan karena secara fitnah telah melakukan kejahatan yang diancam hukuman penjara 5 tahun lamanya atau lebih berat
c.         Mereka yang dengan kekerasan atau perbuatan telah mencegah si pewaris untuk membuat atau mencabut surat wasiat.
d.        Mereka yang telah menggelapkan, merusak , memalsukan surat wasiat si pewaris
e.         Sedangkan ahli waris yang menurut wasiat yang dinyatakan tidak patut menurut pasal 912 BW adalah:
a)        Mereka yang telah di hukum karena membunuh si pewaris
b)        Mereka yang telah menggelapkan, membinasakan atau memalsukan surat wasiat si pewaris
c)    Mereka yang dengan paksaan atau kekerasan telah mencegah si pewaris untuk mencabut atau mengubah surat wasiat.
Adapun yang menjadi acuan dalam hukum kewarisan menurut hukum perdata (BW), yaitu pasal 1066 BW yang berbunyi:
1.    Dalam hal seseorang mempunyai hak atas sebagian dari sekumpulan harta benda, seseorang itu tidak di paksa membiarkan harta benda itu tetap tidak dibagi diantara orang-orang yang bersama-sama berhak atasnya.
2.    Pembagian harat ini selalu dapat di tuntut meskipun ada suatu perjanjian yang bertentangan dengan itu.
3.    Dapat diperjanjikan, bahwa pembagian harta benda itu dipertangguhkan selama waktu tertentu.
4.    Perjanjian semacam ini hanya dapat berlaku selama lima tahun tetapi dapat diadakan lagi kalau tenggang waktu lima tahun itu telah berlalu.
Dengan demikian bagi orang-orang Tionghoa dan warga Negara di Indonesia ada penentuan pokok, bahwa segala harta warisan pada umumnya mungkin dibagi-bagi hanya dapat terjadi dengan persetujuan bulat dari para yang berhak atas warisan itu.
Dari uraian tersebut diatas, maka hukum waris (yang merupakan bagian dari hukum Perdata) yang berlaku di Indonesia adalah bermacam-macam yang dapat dibagi menjadi 3 macam, yaitu:
a.         Diatur dalam BW (KUH Perdata) untuk golongan Eropa dan Tionghoa
b.        Hukum-hukum waris dari golongan Timur Asing selain Tionghoa, termasuk di sini bangsa-bangsa yang kebanyakan beragama Islam, seperti Arab, Persia, Pakistan dan sebagainya
c.         Hukum waris adat, yang bermacam-macam bentuknya.
d.        Hukum waris adat, yang bermacam-macam bentuknya.
Hak waris anak angkat (adopsi), diatur dalam hukum adat. Di Indonesia ini sebenarnya, hukum adat banyak dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Islam. Tetapi, kita masih bisa menemukan di Indonesia ini, anak adopsi yang statusnya disamakan dengan anak sendiri di daerah-daerah tertentu, seperti di Sumatera, Bali dan di tempat lainnya. Kita menyadari, karena di Indonesia ini masalah hukum masih memakai produk hukum Belanda dan mempunyai masyarakat yang agamanya berbeda-beda. Maka, walaupun hukum Islam (syari’at Islam melarang adopsi) tetap tidak bisa menghilangkan seluruhnya Karena masyarakatnya majemuk dan berbeda-beda.   

Persamaan Dan Perbedaan Hak Waris Angkat (Adopsi) Terhadap Harta Warisan Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) Dan Hukum Perdata (BW)
1)   Persamaan
a.    Hukum Islam dan hukum Perdata sama-sama mengakui adanya pengangkatan anak tetapi dengan tujuan yang berbeda.
b.    Antara hukum Islam dan hukum Perdata memiliki kesamaan dalam pemeliharaan anak angkat.
c.    Kesamaan dalam tanggungjawab biaya pendidikan terhadap anak angkat tersebut.
d.   Orang tua angkat berhak memberikan kasih sayang pada anak angkatnya seperti memberikan kasih sayang pada anak kandungnya. (muderis Zaini,2006: 7)
Analisis penyusun, yang menyebabkan anak angkat sama-sama mendapatkan harta peninggalan, karena di dalam ajaran Islam sangat menjunjung tinggi nilai tolong-menolong dan ada perasaan moral yang ditimbulkan, yang disebabkan oleh hubungan timbal-balik dari jasa-jasa yang telah dilakukan oleh anak angkat terhadap orang tua angkat, baik mengurangi beban moral atau beban pekerjaan.
Waktu diadakan wawancara dengan kalangan Ulama’ di seluruh Indonesia pada saat pengumpulan bahan-bahan Kompilasi Hukum Islam, tidak seorang ulama’ pun yang dapat menerima penerapan status anak angkat menjadi ahli waris, barangkali peristiwa Zaid bin Haritsah sangat mendalam terkesan dalam ingatan dan penghayatan para ulam’.
Bertitik tolak dari sikap reaktif para ulam’ tersebut, perumus Kompilasi Hukum Islam tidak perlu melangkah membelakangi Ijma’ Ulama’. Karena itu, meskipun Hukum Adat menyamakan hak dan kedudukan anak angkat dengan status anak kandung Kompilasi Hukum Islam tidak mengadaptasi dan mengompromikannya menjadi nilai Hukum Islam. Hal itu dapat dibaca dalam pasal 171 huruf h dan pasal 209:
a.    Anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan.
b.    Keabsahan statusnya pun harus berdasarkan keputusan pengadilan.
c.    Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya. (Cik Hasan Bisri,2001:67)
Sedangkan dalam Hukum Perdata yang termuat dalam Staats Blad tahun 1917 No. 129 menyebabkan anak yang diangkat disamakan dengan anak kandung sendiri. Dengan demikian, jelas anak angkat bisa menduduki atau mendapatkan harta dari peninggalan orang tua angkatnya.
2)             Perbedaan
a.    Kompilasi Hukum Islam
1.    Tidak memutuskan hubungan darah antara anak angkat dengan orang tua kandung
2.    Anak angkat tetap berkedudukan sebagai pewaris dari orang tua kandung dan terhadap orang tua angkat diberi wasiat wajibah dari harta peninggalan anak angkat
3.    Orang tua angkat tidak berhak menjadi wali dalam pernikahan anak angkatnya
4.    Dalam Hukum Islam anak angkat atau orang tua angkat memperoleh harta warisan dengan jalan wasiat yaitu wasiat wajibah yang besarnya 1/3 dari harta warisan anak atau orang tua angkatnya.(Kompilsi Hukum Islam, 2009: 261)

b.             Staats Blad Tahun 1917 Nomor 129
1.    Anak angkat putus hubungan perdata dengan orang tua kandung dan beralih kepada orang tua angkat
2.    Anak angkat berkedudukan sebagai pewaris penuh orang tua angkat dan terhadap orang tua kandung tidak lagi mendapatkan warisan sebagaimana ketentuan Staats Blad Tahun 1917 Nomor 129 pasal 14 yang menyatakan bahwa:
            “Karena berlangsungnya suatu pengangkatan, terputuslah segala hubungan perdata yang berpangkal pada keturunan karena kelahiran antara anak yang diangkat dengan kedudukan orang tuanya dan keluarga kandung dan semua keluarganya yang sedarah”.

Analisis penyusun, yang menyebabkan terjadinya perbedaan antara Kompilasi Hukum Islam (KHI) dengan Staats Blad (BW) tahun1917 No. 129 ini karena ajaran Islam seperti yang telah jelas diterangkan dalam ayat suci Al-Qur’an yang tercantum surat Al-Ahzab ayat 4 :
مَا جَعَلَ اللَّهُ لِرَجُلٍ مِنْ قَلْبَيْنِ فِي جَوْفِهِ وَمَا جَعَلَ أَزْوَاجَكُمُ اللائِي تُظَاهِرُونَ مِنْهُنَّ أُمَّهَاتِكُمْ وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَاءَكُمْ أَبْنَاءَكُمْ ذَلِكُمْ قَوْلُكُمْ بِأَفْوَاهِكُمْ وَاللَّهُ يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ
4. Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu. Yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan.
Yang kemudian larangan memasukkan anak orang lain ke dalam keluarga, sehingga terjadi pertalian nasab dan saling mewarisi dan menimbulkan permasalahan baru. Sedangkan dalam Staats Blad tahun 1917 No. 129 melihat dari kejadian-kejadian orang yang mengangkat anak dengan motif kebudayaan leluhurnya, seperti orang Tionghoa untuk pemujaan dan menjaga abu orang tua angkatnya. Jadi bagi orang yang tidak mempunyai anak laki-laki sangat penting mengangkat anak menjadi anak kandungnya.
Adapun perbedaan anak angkat menurut kompilasi Hukum Islam ia mendapat bagian dari harta maksimal 1/3 dari seluruh harta yang ada. Hal tersebut dinamakan dengan “Wasiat Wajibah”.
Sedangkan dalam Hukum Perdata atau BW (Staats Blad tahun 1917 No. 129) bisa menguasai seluruh harta karena memandang anak angkat disamakan dengan anak sendiri sehingga bisa menguasai seluruh harta orang tua angkatnya.



Penutup.
Berdasarkan uraian-uraian pada bab di atas, dapat diambil sebuah kesimpulan sebagai berikut :
1.      Pengangkatan anak yang dilakukan dengan tujuan untuk memberikan kesejahteraan, terutama dalam masalah pendidikan serta memberikan kasih sayang. Akan tetapi apabila hal yang demikian itu tidak sampai memutuskan hubungan dengan orang tua kandung, maka pengangkatan anak yang demikian itu adalah boleh-boleh saja dan nama yang diberikan kepada anak angkat tersebut bukan sebagai anak angkat, akan tetapi menjadi anak pungut dalam artian semua yang menjadi haram bagi anak pungut tersebut tidak berarti haram semua baginya, karena dia boleh mengawini anak asli dari bapak angkatnya. Akan tetapi haram, karena yang demikian itu bukan muhrim baginya.
2.      pengangkatan anak yang menjadikan anak angkat tersebut terputus segalanya dari orang tua kandungnya, adalah pengangkatan anak yang yang tidak boleh, bahkan sebagian ulama’ mengharamkan, karena secara logika mereka telah memasukkan orang asing terhadap keluarganya, yang semula haram bagi anak angkat tersebut, tiba-tiba menjadi halal, karena anak angkat yang disamakan dengan anak kandung. Begitu pula sebaliknya, hal-hal yang menjadi halal bagi anak angkat tersebut akan menjadi haram. Seperti mengawini anak kandung dari bapak angkatnya.
3.      Hak waris anak angkat terhadap harta warisan yang tertera pada pasal 209 dalam kompilasi Hukum Islam adalah :“Anak angkat yang tidak menerima wasiat tetapi diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya”. Wasiat wajibah merupakan salah satu pemecahan dan merupakan pembaharuan hukum Islam di Indonesia yang memberi hak dan kewajiban terhadap anak angkat untuk memperoleh  warisan dari orang tua angkat. Wasiat wajibah memiliki pengertian sebagai berikut:
a.   Wasiat wajibah adalah yang dilakukan penguasa atau hakim sebagai aparat Negara untuk memaksa atau memberi putusan wajib wasiat bagi orang yang telah meninggal dunia, yang diberikan kepada orang tertentu dalam keadaan tertetu. Suatu wasiat, disebut wasiat wajibah karena dua hal yaitu:
·         Hilangnya unsur ihtiyar bagi si pemberi wasiat dan muncullah   unsur kewajiban melalui sebuah perundangan atau surat keputusan tanpa tergantung kerelaan orang yang berwasiat dan persetuuan sipenerima wasiat,
·         Ada kemiripannya dengan ketentuan pembagian harta warisan dalam hal penerimaan laki- laki 2 (dua) kali lipat bagian perempuan.
b.   Makna wasiat wajibah, seseorang di anggap menurut hukum telah menerima wasiat meskipun tidak ada wasiat secara nyata, anggapan hukuman itu lahir dari asas apabila dalam suatu hal hukum telah menetapkan wajib berwasiat maka ada atau tidak ada wasiat dibuat, wasiat di aggap ada dengan sendirinya.
c.       Wasiat wajibah adalah interpretasi atau bahkan pelaksanaan firman Allah di dalam al-qur’an ( surat al- Baqarah: 180-181), sedangkan inti ayat ini yaitu orang yang merasa dekat dengan ajalnya, sementara ia memiliki harta peninggalan yang cukup banyak, maka ia wajib melakukan wasiat untuk kedua orang tuanya dan kerabatnya, dan bahwa orang yang mengubah isi wasiat tersebut maka menanggung akibatnya.
4.   Dalam Staats Blad 1917 No. 38 pasal 12 dinyatakan “bahwa anak angkat adalah disamakan dengan anak kandung yang lahir dari pasangan suami istri yang mengangkatnya”. Lazimnya, pengangkatan anak yang semacam itu merupakan suatu perbuatan yang menyamakan kedudukan anak angkat dengan anak kandung, baik itu dalam hal pemeliharaan dan sampai pada hal kewarisan. Sedangkan hubungan kekeluargaan dengan orang tua sendiri menurut pasal 12 Staats Blad 1917 No.129 adalah menjadi putus. Begitu pula kaitannya dengan hubungan perdata antara orang tua dengan sanak keluarganya disatu pihak juga terputus sama sekali (pasal 14), dengan perkecualian yang disebutkan dalam pasal 14 bila anak adopsi itu mempunyai nama keluarga dari ayah yang mengadopsinya.
                  Sebagaimana telah dijelaskan juga dalam pasal 11,12,13 dan 14 dari Staats Blad 1917 N0. 129 bahwa:
d.      Anak angkat mendapat Klan keturunan dari orang tua angkatnya.
e.       Anak yang diadopsi dianggap dilahirkan dari perkawinan suami isteri yang mengadopsi, sehingga dianggap sebagai anak yang sah
f.       Gugur hubungan Perdata antara anak yang diadopsi dengan orang tua kandung / biologis.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Ghofar, Asyari, 2003, pandangan islam tentang zina dan perkawinan sesudah hamil, Andes Utama, Jakarta.
Abu Zahra, Muhammad. Tanpa tahun, ushul al-fiqh, Dar al fikr, Beirut.
Ali Afandi, Prof, 2000, Hukum waris, Hukum keluarga, Hukum pembuktian, PT. Bina Aksara, Jakarta.
Al-Anshari, Abu Yahya Zakaria, Fathul Wahab, jus II, tt, Bandung.
Al-Bukhari, Abu Abduallah Muhammad bin Ismail, Al-Bukhari jus III,Dar Ihya al-kutubil-arbiyah, tt, Indonesia.
Alhamdani, HAS, 2000, Risalah Nikah, Pustaka Amani, Jakarta.
Al-Kahlani, Sayyid Imam Muhammad bin Ismail, subulussalam Jilid I, Dahlan, tt, Bandung.
Ash-Shidiq, Hasbi, 2001, Hukumn Fiqih Islam, Bulan Bintang, Jakarta.
Asy-Sirazi, Abu Ishaq Ibrahim bin Ali Ibnu Yusuf, Al-Faruzabani, Al-Muhazzab jus II, Toha Putra, tt, Semarang.
Azizy, Qodri, A. 2002, Eklestisisme Hukum Islam, Gama Media, Yogyakarta.
Departemen Agama RI, 2001, Al-Qur’an dan terjemahan, Gema Risalah Press, Bandung.
Ensiklopedia Indonesia, 2002, Ikhtiar Baru, Jakarta.
Fathurahman, 1993, Ilmu waris, PT. Al-Ma’arif, Bandung.
Ibnu Rusyd, Abdul Walid Muhammad Bin Ahmad, Bidayatul Mujtahid, Usaha Keluarga, juss III, tt, Semarang.
Ibnu surah, Abu Isa Muhammad bin Isa, As-Suna at-Turmudzi,Jilid III, Dar al-Fik, tt, Bairut.
Muslim, 2004, Sholeh Mmuslim, Mesir.
Muhammad Jawal Mughniyah, 2007,  Perbandingan Lima madzhab, penerjemah Maskur. A.B. afif Muhammad Idrus al-kaff, tt, Lentera.
Muhammad Syaltut, al-fatwaSyari’ah, Darul Kalam, Kairo.
Mukhtar Kamal, 2001, Azas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Bulan bintang, Jakarta.
Sabiq Sayyid, 2002, Fiqhus Sunnah jilid II,cet IV, Dar Al-Fikrit, Bairut.
Sirajuddin, AR, D, 2003, Ensiklopedia Islam, PT. Ikhtiar Baru Van hoeve, Jakarta.
Sudarsono, 2000, Etika Islam tentang Kenakalan Remaja, Ranika Cipta, Jakarta.
Subekti, Prof R. Kitaba, 2004, Undang-Undang Perdata (BW), Pradaya Paramita, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar