Komplikasi Hukum Islam Tentang Hak Waris Anak Angkat
Oleh : Ifa Ratnasari
Abstrak :
Maraknya pengangkatan anak di indonesia
karna di sadarinya akan begitu besarnya harapan orang tua atas buah hati dan
cintanya yang dapat di jadikan sebuah harapan di masa depan.namun tidak semua
orang tua yang beruntung di karuniai buah hati, maka dari itu di antara mereka
ada yang mengangkat anak. Sehingga dapat kita ketahui kontroversi akan
adanya hukum pengangkatan anak di depan
pandangan para ulama, namun sebenarnya pengangkatan anak itu di
perbolehkan jika ada tujuan yang baik sehingga kedepanya bisa mensejahterakan
anak yg di adopsinya dan tidak mensia
siakan Hak waris anak angkat terhadap harta warisan yang tertera pada pasal 209
dalam kompilasi Hukum Islam adalah :“Anak angkat yang tidak menerima wasiat
tetapi diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta
warisan orang tua angkatnya”
Keywoord: KHI
(Komplikasi Hukum Islam ), BW
(Burgerlijk Wetboek), Waris Wajibah.
Pendahuluan
Anak adalah bagian dari segala tumpuhan dan
harapan kedua orang tua, utamanya adalah
ayah dan ibu, Namun demikian,
tujuan tersebut terkadang tidak dapat tercapai sesuai dengan harapan. Beberapa
pasangan hidup, tidaklah sedikit dari mereka mengalami kesulitan dalam
memperoleh keturunan. sehingga kemudian di antara merekapun ada yang mengangkat
anak.
Pengangkatan
anak terbagi dalam dua pengertian, yaitu: pertama, pengangkatan anak dalam arti
luas. Ini menimbulkan hubungan nasab sehingga ada hak dan kewajiban selayaknya
antara anak sendiri terhadap orang tua sendiri. kedua, ialah pengangkatan anak
dalam arti terbatas. yakni pengangkatan anak orang lain ke dalam keluarga
sendiri dan hubungan antara anak yang diangkat dan orang tua yang mengangkat
hanya terbatas pada Hubungan Sosial saja.
Di Indonesia, ada tiga sistem hukum perdata
yang berlaku dalam mengatur permasalahan tentang pengangkatan anak. Ketiga
sistem hukum itu adalah Hukum Perdata
Islam, Hukum Perdata Adat dan Hukum Perdata Barat (Muderis Zaini,2006:31).
Untuk sementara pembahasan mengenai hukum Adat tidak kami sebutkan di sini,
melainkan lebih dikonsentrasikan antara Hukum Islam dan Hukum Perdata Barat
(Burgerlijk Wetboek) di Indonesia. Jika yang pertama hukum Islam ditempatkan sebagai blue-print atau cetak
biru Tuhan yang selain sebagai kontrol juga sekaligus sebagai social engineering terhadap keberadaan
suatu Hukum Islam sebagai satu pranata sosial memiliki dua fungsi; pertama,
sebagai kontrol sosial dan kedua sebagai nilai komunitas masyarakat. Sementara
yang kedua, hukum lebih merupakan produk sejarah yang dalam batas-batas
tertentu diletakkan sebagai justifikasi terhadap tuntutan perubahan sosial,
budaya, dan politik. Oleh karena itu, dalam konteks ini, hukum Islam dituntut
akomodatif terhadap persoalan umat tanpa kehilangan prinsip-prinsip dasarnya.
Sebab kalau tidak, besar kemungkinan hukum Islam akan mengalami kemandulan
fungsi bagi kepentingan umat. Karena itu
apabila para pemikir hukum tidak memiliki kesanggupan atau keberanian untuk
mereformulasi dan mengantisipasi setiap persoalan yang muncul dalam masyarakat
dan mencari penyelesaian hukumnya, maka hukum Islam akan kehilangan
aktualitasnya. Menurut Cik Hasan Bisri, tema utama KHI ialah mempositifkan
hukum Islam di Indonesia yaitu dengan melengkapi pilar peradilan agama,
menyamakan persepsi penerapan hukum, mempercepat proses Taqribi Bainal Ummah
dan menyingkirkan paham private affairs. (Cik Hasan Bisri, 2000 :27)
Akan tetapi,
berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini bahwa pengangkatan anak
telah dilakukan dengan cara dan motivasi yang berbeda-beda sejalan dengan
sistem hukum dan perasaan hukum yang hidup serta berkembang di dalam masyarakat
yang bersangkutan.
Kenyataan
tersebut dapat dilihat antara lain dalam Kompilasi Hukum Islam, Disebutkan
bahwa anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya
sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawab dari orang
tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan Pengadilan. Pengangkatan
anak yang dimaksud bertujuan untuk menolong atau sekedar meringankan beban
hidup bagi orang tua kandung. Sedang pengangkatan anak juga sering dilakukan
dengan tujuan untuk meneruskan keturunan bilamana dalam suatu perkawinan tidak
memperoleh keturunan. Ada pula yang bertujuan sebagai pancingan seperti di Jawa
khususnya. Menurut istilah kepercayaan tersebut, dengan mengangkat anak,
keluarga tersebut akan dikaruniai anak kandung sendiri. Disamping itu ada yang
disebabkan oleh rasa belas kasihan terhadap anak yang menjadi yatim piatu,
kekurangan yang tak kunjung henti-henti sehingga menjadi terlantar atau
disebabkan oleh keadaan orang tuanya yang tidak mampu untuk memberi nafkah.
Keadaan demikian, kemudian berlanjut pada permasalahan mengenai pemeliharaan
harta kekayaan (harta warisan) baik dari orang tua angkat maupun orang tua asli
(kandung). Sedang cara untuk meneruskan pemeliharaan harta kekayaan inipun
dapat dilakukan melalui berbagai jalur sesuai dengan tujuan semula.
Hal-hal tersebut di atas, membuat penyusun ingin
melihat lebih jauh makna filosofis yang terkandung dari adanya pengangkatan
anak yang kian marak dilakukan dengan berbagai keinginan. karena keberadaannya,
baik secara Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) maupun Kompilasi Hukum Islam
(KHI) memberikan hak kepada anak angkat untuk mendapatkan harta dari orang tua
angkat.
Hak Waris Anak Angkat Terhadap Harta Warisan
Menurut Rachmadi Usman (2009:01), Dalam istilah bahasa
arab hukum kewarisan disebut Fara’id, yang kemudian dalam kepustakaan ilmu
hukum belum terdapat keseragaman istilah yang digunakan dan sementara terdapat
beberapa istilah seperti hukum warisan, hukum waris, hukum kewarisan, hukum
mawaris, hukum fara’id, dan lain-lain. Namun demikian dari segi kebahasaan,
istilah yang sesuai untuk penyebutan “Hukum fara’id” tersebut adalah “Hukum
kewarisan”, yang juga dipergunakan dalam undang-undang nomor 7 tahun 1989
tentang peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan undang-undang nomor 3
tahun 2006 dan kompilasi hukum islam.
Menurut istilah
bahasa fara’id juga bisa mempunyai arti taqdir (qadar atau ketentuan) dan pada
syari’ah ialah bagian yang diqadarkan atau yang ditentukan bagi waris. Adapun
asal kalimat fara’id adalah jama’ dari faridlah yang mempunyai
arti satu bagian tertentu, jadi fara’id berarti beberapa bagian tertentu.
Dengan demikian fara’id dapat diartikan dengan bagian tertentu (yang besar kecilnya
sudah ditentukan) yang menjadi hak ahli waris.
Sumber hukum Kewarisan
Berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam ayat Al-Qur’an,
bahwa pada prinsipnya hukum Islam bersumber pada penetapan Allah (berupa hukum
Allah yang tercantum dalam ayat suci al-qur’an dan kitab-kitab suci yang
terdahulu yang diturunkan kepada para Nabi, dan Rasul Allah), penetapan Rasul
allah (Berupa hukum Rasul baik dalam bentuk Hadits maupun Sunnah) dan penetapan
ulil amri (berupa Hukum Negara –dengan cara “berijtihad” , dalam artian
mempergunakan “Logika” untuk menetapkan sesuatu hukum yang didasarkan pada
hukum Allah dan hukum Rasul).
Sumber hukum Islam tersebut satu sama lain berfungsi
untuk saling “memperjelas” dan “memperkuat”. Hukum Negara akan berlaku di
samping hukum Allah dan hukum rasul, jika tidak bertentangan atau berlawanan
dengan hukum Allah dan hukum rasul, sebab penetapan hukum Negara digali dan
didasarkan kepada dua sumber hukum Islam yang paling Asasi nilai kebenarannya
dan dapat dipertanggung jawabkan keotentikannya, yang langsung atau tidak
langsung telah “diperintahkan” atau “diwahyukan” oleh Allah melalui Rasul-Nya. walaupun itu asalnya hanya perbuatan atau perkataan Rasul sendiri,
yang kemudian dibenarkan oleh Allah dengan tanpa mengadakan koreksi untuk
membatalkannya atau menetapkan hukum (Syara’) yang lain.
Adapun hukum yang ditemukan melalui hasil Ijtihad ini
disebut Fiqih. Fiqih merupakan himpunan undang-undang dan pembahasan yang
menyampaikan kepada semua orang untuk mempergunakan syari’at amalia yang
menunjukkan secara terperinci. Jadi dalam fiqih terkandung hukum-hukum yang
terperinci yang merupakan pengembangan dan perluasan dasar-dasar hukum yang
telah ada dalam Al-Qur’an maupun Hadits. Oleh karena cara yang dipakai mujtahid
dalam usaha pengendalian hukum tidak sama dan kemampuan akalnya pun berbeda,
maka terdapatlah hasil Ijtihad (fiqih) yang berbeda-beda. Setiap hasil ijtihad
yang telah ditemukan oleh mujtahid terdahulu menjadi pedoman yang tidak
mengikat bagi mujtahid yang datang kemudian dalam usahanya menggali hukum pada
situasi dan tempat tertentu.
Adapun
Hadits Rasul yang berhubungan dengan
hukum kewarisan di antaranya adalah sebagai berikut :
Hadits Nabi dari Ibnu Abbas, riwayat bukhari
dan Muslim, Nabi Muhammad SAW bersabda yang artinya :
“Berikanlah
bagian-bagian tertentu kepada orang-orang yang berhak. Sesudah itu sisanya
untuk orang laki-laki yang lebih utama”.
Menurut Idris Djakfar dalam bukunya Rachmadi Usman
(2009 : 26), Adapun sebagai tindak lanjut dari Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun
1991 Tersebut, dikeluarkan keputusan menteri agama Nomor 154 Tahun 1991, yang
berisikan antara lain agar seluruh lingkungan Instansi Departemen Agama dan
Instansi Pemerintah lainnya yang terkait, dalam menyelesaikan masalah-masalah
dibidang hukum perkawinan, kewarisan, dan perwaqafan, sedapat mungkin
menerapkan Kompilasi Hukum Islam tersebut disamping peraturan
perundang-undangan lainnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Kompilasi
hukum Islam bukanlah sekedar “Pedoman” bagi hakim dilingkungan peradilan agama
dalam menyelesaikan perkara-perkara dan permohonan- permohonan yang diajukan kepadanya, melainkan sumber hukum materil
yang harus dipergunakan olehnya dalam mengadili, memutus dan menyelasaikan
permasalahan- permasalahan yang
terdapat dalam perkawinan, kewarisan dan perwaqafan bagi mereka yang beragama
Islam, disamping peraturan perundang-undangan lainnya yang berhubungan dengan
perkawinan, kewarisan dan perwaqafan.
Hak
waris anak angkat terhadap harta warisan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Menurut
Kompilasi Hukum Islam dalam hukum kewarisan (2009 : 261), Indonesia merupakan
salah satu negara merdeka dan berdaulat sekaligus sebagai Negara Hukum, yang
mayoritas penduduknya memeluk agama Islam,bahkan terdapat lembaga peradilan
agama yang berasas personalitas keislaman yang keberadaannya sama dengan
persoalan lainnya yang berpuncak pada mahkamah agung sebagai lembaga yudikatif
tertinggi di indonesia. Salah satu hukum materiil peradilan agama di indonesia
yang di jadikan rujukan oleh para hakim adalah kompilasi hukum Islam, walaupun
berlakunya hanya melalui intruksi Presiden Republik Indonesia nomor 1 tahun
1991, sedangkan salah satu materi Kompilasi Hukum Islam adalah pemberian wasiat
wajibah kepada anak angkat pasal 209 KHI, hal ini merupakan terobosan baru
dalam hukum Islam yang tidak di temukan dalam kitab- kitab klasik bahkan
undang- undang mesir dan siria pun tidak menyatakan wasiat wajibah kepada anak
angkat. Pasal 209 KHI tidak mungkin tanpa dasar hukum baik melalui istimbat
atau istidlal hal ini karena keduanya merupakan metode ijtihad yang tidak boleh
di tinggalkan dalam penemuan hukum Islam, terutama hal- hal yang tidak di atur
secara jelas dalam nas syara’.
Dengan
demikian penulis akan menelaah pasal 209 KHI melalui pendekatan pemahaman
petunjuk al- Baqarah ayat 180 sehingga gerak pasal tersebut tetap berpijak pada
nas syara’ walaupun tidak menafikan metode nas lain.
Hak
waris anak angkat terhadap harta warisan yang tertera pada pasal 209 dalam
kompilasi Hukum Islam adalah :
“Anak
angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3
dari harta warisan orang tua angkatnya.”
Sedangkan dalam Ayat Al-Qur’an Surat Al-Baqarah
ayat 180.
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا
الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالأقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى
الْمُتَّقِينَ
|
180. Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara
kamu kedatangan maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk
ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, kewajiban atas orang-orang yang
bertakwa.
|
Kata wasiat secara bahasa bermakna suatu
bentuk perjanjian yang di buat oleh seseorang agar melakukan sebuah perbuatan,
baik orang tersebut masih hidup maupun setelah meninggal dunia. Sedangkan
secara istilah ( terminologi) para ulama’ mengartikan bahwa wasiat adalah
perbuatan yang berupa pemberian milik dari seseorang kepada yang lain yang
pelaksanaannya setelah meninggalnya pemberi wasiat baik berupa benda atau
berupa manfaat dari benda, dengan jalan tabarru’ ( sedekah).
Hak waris anak angkat
terhadap harta warisan menurut Hukum Perdata (BW)
Berdasarkan
ketentuan dalam Staats Blad 1917 laki-laki yang beristri dan tidak mempunyai
keturunan laki-laki dalam garis laki-laki, sedangkan yang dapat diangkat
sebagai anak hanya anak laki-laki yang belum kawin dan yang belum diambil oleh
orang lain sebagai anak angkat. Anak angkat tersebut selanjutnya menggunakan
nama keluarga dari keturunan oranng tua angkatnya dan mempunyai kedudukan hukum
yang sama dengan anak kandung dari orang tua angkatnya serta terputuslah
hubugan hukum antara anak angkat dengan orang tua kandungnya.
Lazimnya,
pengangkatan anak yang semacam itu merupakan suatu perbuatan yang menyamakan
kedudukan anak angkat dengan anak kandung, baik itu dalam hal pemeliharaan dan
sampai pada hal kewarisan. Sedangkan hubungan kekeluargaan dengan orang tua
sendiri menurut pasal 12 Staats Blad 1917 No.129 adalah menjadi putus. Begitu
pula kaitannya dengan hubungan perdata antara orang tua dengan sanak
keluarganya disatu pihak juga terputus sama sekali (pasal 14), dengan
perkecualian yang disebutkan dalam pasal 14 bila anak adopsi itu mempunyai nama
keluarga dari ayah yang mengadopsinya.
Sebagaimana
telah dijelaskan juga dalam pasal 11,12,13 dan 14 dari Staats Blad 1917 N0. 129
bahwa:
a.
Anak angkat mendapat Klan keturunan dari orang
tua angkatnya.
b.
Anak yang diadopsi dianggap dilahirkan dari perkawinan
suami isteri yang mengadopsi, sehingga dianggap sebagai anak yang sah
c.
Gugur hubungan Perdata antara anak yang diadopsi dengan
orang tua kandung / biologis.
Menurut pasal 830 BW (KUHP) yaitu, pewarisan hanya
berlangsung karena kematian, dengan demikian warisan itu baru terbuka kalau si
peninggal waris sudah meninggal dunia. Jadi dalam hal ini harus ada orang yang
meninggal dunia sebagai peninggal warisan dan ahli waris yang masih hidup
sebagai penerima warisan dan juga harta warisan yang akan di bagikan kepada
ahli waris.
Cara memperoleh warisan menurut hukum Perdata ada dua
macam, yaitu :
1.
Sebagai ahli waris menurut undang-undang atau
abintestato
2.
Karena ditunjuk dalam surat wasiat (testament)
Dalam pasal 832 KUHP ditetapkan bahwa, yang berhak
untuk menjadi ahli waris adalah keluarga sedarah dan yang mempunyai hubungan
perkawinan (suami-istri) dengan pewaris. Mereka itu seperti anak atau
keturunannya, bapak, ibu, kakek, nenek serta leluhurnya ke atas, saudara atau
keturunannya serta suami atau istri.
Undang-undang membagi ahli waris pada kelompok ini
menjadi 4 (empat) golongan yaitu: golongan kesatu, kedua, ketiga dan keempat.
Mereka diklasifikasikan sebagai berikut:
Golongan kesatu diatur dalam pasal 852, 852a, KUHP
terdiri dari:
a.
Anak atau keturunannya
b.
Suami atau istri
Golongan kedua diatur dalam pasal 854, 856, 857 KUHP
terdiri dari:
a.
Orang tua, yaitu bapak atau ibu
b.
Saudara-saudara atau keturunannya
Golongan ketiga diatur dalam pasal 853, KUHP terdiri
dari:
a.
Kakek atau nenek dari pihak bapak dan seterusnya ke
atas
b.
Kakek atau nenek dari pihak ibu dan seterusnya ke atas
Golongan keempat terdiri dari keluarga sedarah lainnya
dalam garis menyamping sampai derajat ke 6 (enam) dari pasal 856, 861 KUHP.
Keempat golongan tersebut di atas sekaligus merupakan
urutan penerimaannya. Jika golongan pertama ada, maka golongan kedua, ketiga
dan keempat tidak dapat bagian warisan. Tetapi jika golongan pertama tidak ada
maka yang mendapatkan yaitu golongan kedua. Begitu juga seterusnya.
Kalau semua golongan tersebut di atas tidak ada,
menurut pasal 832 BW maka segala harta peninggalan menjadi milik Negara dan
Negara wajib melunasi hutang pewaris dengan sekedar harta peninggalan yang
mencukupi untuk itu.
Jadi, jika seandainya semua ahli waris yang telah
ditentukan oleh undang-undang, misalnya; anak, istri, suami, bapak, ibu, saudara,
kakek, nenek, maka warisan akan jatuh kepada anak atau suami istri sebagai
golongan pertama. Sedangkan yang lainnya tidak dapat. Begitu juga, kalau ahli
waris terdiri dari istri, ibu, bapak dan saudara, maka harta warisan akan jatuh
hanya kepada istrinya saja sedangkan bapak dan ibu serta saudara tidak mendapat
bagian, dan begitu seterusnya menurut urutan golongan tersebut di atas.
Tentang ahli waris yang dinyatakan tidak patut, tidak
pantas menerima wasiat (Onwardig) atau menerima warisan diatur dalam pasal 838,
839 dan 840 BW bagi ahli waris menurut undang-undang dan pasal 912 BW bagi ahli
waris menurut wasiat.
Ahli waris yang tidak patut menurut pasal 838 BW:
a.
Mereka yang telah di hukum karena di permasalahan telah
membunuh atau mencoba membunuh si pewaris.
b.
Mereka yang dengan putusan hakim telah dipersalahkan
karena secara fitnah telah melakukan kejahatan yang diancam hukuman penjara 5
tahun lamanya atau lebih berat
c.
Mereka yang dengan kekerasan atau perbuatan telah
mencegah si pewaris untuk membuat atau mencabut surat wasiat.
d.
Mereka yang telah menggelapkan, merusak , memalsukan
surat wasiat si pewaris
e.
Sedangkan ahli waris yang menurut wasiat yang
dinyatakan tidak patut menurut pasal 912 BW adalah:
a)
Mereka yang telah di hukum karena membunuh si pewaris
b)
Mereka yang telah menggelapkan, membinasakan atau
memalsukan surat wasiat si pewaris
c)
Mereka yang dengan paksaan atau kekerasan telah
mencegah si pewaris untuk mencabut atau mengubah surat wasiat.
Adapun yang menjadi acuan dalam hukum kewarisan menurut
hukum perdata (BW), yaitu pasal 1066 BW yang berbunyi:
1.
Dalam hal seseorang mempunyai hak atas sebagian dari
sekumpulan harta benda, seseorang itu tidak di paksa membiarkan harta benda itu
tetap tidak dibagi diantara orang-orang yang bersama-sama berhak atasnya.
2.
Pembagian harat ini selalu dapat di tuntut meskipun ada
suatu perjanjian yang bertentangan dengan itu.
3.
Dapat diperjanjikan, bahwa pembagian harta benda itu
dipertangguhkan selama waktu tertentu.
4.
Perjanjian semacam ini hanya dapat berlaku selama lima
tahun tetapi dapat diadakan lagi kalau tenggang waktu lima tahun itu telah
berlalu.
Dengan demikian bagi orang-orang Tionghoa dan
warga Negara di Indonesia ada penentuan pokok, bahwa segala harta warisan pada
umumnya mungkin dibagi-bagi hanya dapat terjadi dengan persetujuan bulat dari
para yang berhak atas warisan itu.
Dari uraian tersebut diatas, maka hukum waris (yang
merupakan bagian dari hukum Perdata) yang berlaku di Indonesia adalah
bermacam-macam yang dapat dibagi menjadi 3 macam, yaitu:
a.
Diatur dalam BW (KUH Perdata) untuk golongan Eropa dan
Tionghoa
b.
Hukum-hukum waris dari golongan Timur Asing selain
Tionghoa, termasuk di sini bangsa-bangsa yang kebanyakan beragama Islam,
seperti Arab, Persia, Pakistan dan sebagainya
c.
Hukum waris adat, yang bermacam-macam bentuknya.
d.
Hukum waris adat, yang bermacam-macam bentuknya.
Hak
waris anak angkat (adopsi), diatur dalam hukum adat. Di Indonesia ini
sebenarnya, hukum adat banyak dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Islam. Tetapi,
kita masih bisa menemukan di Indonesia ini, anak adopsi yang statusnya
disamakan dengan anak sendiri di daerah-daerah tertentu, seperti di Sumatera,
Bali dan di tempat lainnya. Kita menyadari, karena di Indonesia ini masalah
hukum masih memakai produk hukum Belanda dan mempunyai masyarakat yang agamanya
berbeda-beda. Maka, walaupun hukum Islam (syari’at Islam melarang adopsi) tetap
tidak bisa menghilangkan seluruhnya Karena masyarakatnya majemuk dan
berbeda-beda.
Persamaan Dan
Perbedaan Hak Waris Angkat (Adopsi) Terhadap Harta Warisan Menurut Kompilasi
Hukum Islam (KHI) Dan Hukum Perdata (BW)
1)
Persamaan
a.
Hukum Islam dan hukum Perdata sama-sama mengakui adanya
pengangkatan anak tetapi dengan tujuan yang berbeda.
b.
Antara hukum Islam dan hukum Perdata memiliki kesamaan
dalam pemeliharaan anak angkat.
c.
Kesamaan dalam tanggungjawab biaya pendidikan terhadap
anak angkat tersebut.
d.
Orang tua angkat berhak memberikan kasih sayang pada
anak angkatnya seperti memberikan kasih sayang pada anak kandungnya. (muderis
Zaini,2006: 7)
Analisis
penyusun, yang menyebabkan anak angkat sama-sama mendapatkan harta peninggalan,
karena di dalam ajaran Islam sangat menjunjung tinggi nilai tolong-menolong dan
ada perasaan moral yang ditimbulkan, yang disebabkan oleh hubungan timbal-balik
dari jasa-jasa yang telah dilakukan oleh anak angkat terhadap orang tua angkat,
baik mengurangi beban moral atau beban pekerjaan.
Waktu
diadakan wawancara dengan kalangan Ulama’ di seluruh Indonesia pada saat
pengumpulan bahan-bahan Kompilasi Hukum Islam, tidak seorang ulama’ pun yang
dapat menerima penerapan status anak angkat menjadi ahli waris, barangkali
peristiwa Zaid bin Haritsah sangat mendalam terkesan dalam ingatan dan
penghayatan para ulam’.
Bertitik
tolak dari sikap reaktif para ulam’ tersebut, perumus Kompilasi Hukum Islam
tidak perlu melangkah membelakangi Ijma’ Ulama’. Karena itu, meskipun Hukum
Adat menyamakan hak dan kedudukan anak angkat dengan status anak kandung
Kompilasi Hukum Islam tidak mengadaptasi dan mengompromikannya menjadi nilai
Hukum Islam. Hal itu dapat dibaca dalam pasal 171 huruf h dan pasal 209:
a.
Anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk
hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya
dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan.
b.
Keabsahan statusnya pun harus berdasarkan keputusan
pengadilan.
c.
Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi
wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.
(Cik Hasan Bisri,2001:67)
Sedangkan
dalam Hukum Perdata yang termuat dalam Staats Blad tahun 1917 No. 129
menyebabkan anak yang diangkat disamakan dengan anak kandung sendiri. Dengan
demikian, jelas anak angkat bisa menduduki atau mendapatkan harta dari peninggalan
orang tua angkatnya.
2)
Perbedaan
a.
Kompilasi Hukum Islam
1.
Tidak memutuskan hubungan darah antara anak angkat
dengan orang tua kandung
2.
Anak angkat tetap berkedudukan sebagai pewaris dari
orang tua kandung dan terhadap orang tua angkat diberi wasiat wajibah dari
harta peninggalan anak angkat
3.
Orang tua angkat tidak berhak menjadi wali dalam
pernikahan anak angkatnya
4.
Dalam Hukum Islam anak angkat atau orang tua angkat
memperoleh harta warisan dengan jalan wasiat yaitu wasiat wajibah yang besarnya
1/3 dari harta warisan anak atau orang tua angkatnya.(Kompilsi Hukum Islam,
2009: 261)
b.
Staats Blad Tahun 1917 Nomor 129
1.
Anak angkat putus hubungan perdata dengan orang tua
kandung dan beralih kepada orang tua angkat
2.
Anak angkat berkedudukan sebagai pewaris penuh orang
tua angkat dan terhadap orang tua kandung tidak lagi mendapatkan warisan
sebagaimana ketentuan Staats Blad Tahun 1917 Nomor 129 pasal 14 yang menyatakan
bahwa:
“Karena berlangsungnya suatu
pengangkatan, terputuslah segala hubungan perdata yang berpangkal pada
keturunan karena kelahiran antara anak yang diangkat dengan kedudukan orang
tuanya dan keluarga kandung dan semua keluarganya yang sedarah”.
Analisis
penyusun, yang menyebabkan terjadinya perbedaan antara Kompilasi Hukum Islam
(KHI) dengan Staats Blad (BW) tahun1917 No. 129 ini karena ajaran Islam seperti yang telah jelas
diterangkan dalam ayat suci Al-Qur’an yang tercantum surat Al-Ahzab ayat 4 :
|
Yang kemudian larangan memasukkan anak orang lain ke
dalam keluarga, sehingga terjadi pertalian nasab dan saling mewarisi dan
menimbulkan permasalahan baru. Sedangkan dalam Staats Blad tahun 1917 No. 129
melihat dari kejadian-kejadian orang yang mengangkat anak dengan motif
kebudayaan leluhurnya, seperti orang Tionghoa untuk pemujaan dan menjaga abu
orang tua angkatnya. Jadi bagi orang yang tidak mempunyai anak laki-laki sangat
penting mengangkat anak menjadi anak kandungnya.
Adapun perbedaan anak angkat menurut kompilasi Hukum
Islam ia mendapat bagian dari harta maksimal 1/3 dari seluruh harta yang ada.
Hal tersebut dinamakan dengan “Wasiat Wajibah”.
Sedangkan dalam Hukum Perdata atau BW (Staats Blad tahun
1917 No. 129) bisa menguasai seluruh harta karena memandang anak angkat
disamakan dengan anak sendiri sehingga bisa menguasai seluruh harta orang tua
angkatnya.
Penutup.
Berdasarkan uraian-uraian pada bab di atas, dapat diambil sebuah
kesimpulan sebagai berikut :
1.
Pengangkatan anak yang dilakukan dengan tujuan untuk
memberikan kesejahteraan, terutama dalam masalah pendidikan serta memberikan
kasih sayang. Akan tetapi apabila hal yang demikian itu tidak sampai memutuskan
hubungan dengan orang tua kandung, maka pengangkatan anak yang demikian itu
adalah boleh-boleh saja dan nama yang diberikan kepada anak angkat tersebut
bukan sebagai anak angkat, akan tetapi menjadi anak pungut dalam artian semua
yang menjadi haram bagi anak pungut tersebut tidak berarti haram semua baginya,
karena dia boleh mengawini anak asli dari bapak angkatnya. Akan tetapi haram,
karena yang demikian itu bukan muhrim baginya.
2.
pengangkatan anak yang menjadikan anak angkat tersebut
terputus segalanya dari orang tua kandungnya, adalah pengangkatan anak yang
yang tidak boleh, bahkan sebagian ulama’ mengharamkan, karena secara logika
mereka telah memasukkan orang asing terhadap keluarganya, yang semula haram
bagi anak angkat tersebut, tiba-tiba menjadi halal, karena anak angkat yang disamakan dengan anak
kandung. Begitu pula sebaliknya, hal-hal yang menjadi halal bagi anak angkat
tersebut akan menjadi haram. Seperti mengawini anak kandung dari bapak
angkatnya.
3.
Hak waris anak angkat terhadap harta warisan yang
tertera pada pasal 209 dalam kompilasi Hukum Islam adalah :“Anak angkat yang
tidak menerima wasiat tetapi diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari
harta warisan orang tua angkatnya”. Wasiat wajibah merupakan salah satu
pemecahan dan merupakan pembaharuan hukum Islam di Indonesia yang memberi hak
dan kewajiban terhadap anak angkat untuk memperoleh warisan dari orang tua angkat. Wasiat wajibah
memiliki pengertian sebagai berikut:
a. Wasiat wajibah
adalah yang dilakukan penguasa atau hakim sebagai aparat Negara untuk memaksa
atau memberi putusan wajib wasiat bagi orang yang telah meninggal dunia, yang
diberikan kepada orang tertentu dalam keadaan tertetu. Suatu wasiat, disebut
wasiat wajibah karena dua hal yaitu:
·
Hilangnya unsur ihtiyar bagi si pemberi wasiat
dan muncullah unsur kewajiban melalui
sebuah perundangan atau surat keputusan tanpa tergantung kerelaan orang yang
berwasiat dan persetuuan sipenerima wasiat,
·
Ada kemiripannya dengan ketentuan pembagian
harta warisan dalam hal penerimaan laki- laki 2 (dua) kali lipat bagian
perempuan.
b. Makna wasiat
wajibah, seseorang di anggap menurut hukum telah menerima wasiat meskipun tidak
ada wasiat secara nyata, anggapan hukuman itu lahir dari asas apabila dalam
suatu hal hukum telah menetapkan wajib berwasiat maka ada atau tidak ada wasiat
dibuat, wasiat di aggap ada dengan sendirinya.
c.
Wasiat wajibah adalah interpretasi atau bahkan
pelaksanaan firman Allah di dalam al-qur’an ( surat al- Baqarah: 180-181),
sedangkan inti ayat ini yaitu orang yang merasa dekat dengan ajalnya, sementara
ia memiliki harta peninggalan yang cukup banyak, maka ia wajib melakukan wasiat
untuk kedua orang tuanya dan kerabatnya, dan bahwa orang yang mengubah isi
wasiat tersebut maka menanggung akibatnya.
4. Dalam
Staats Blad 1917 No. 38 pasal 12 dinyatakan “bahwa anak angkat adalah disamakan
dengan anak kandung yang lahir dari pasangan suami istri yang mengangkatnya”.
Lazimnya, pengangkatan anak yang semacam itu merupakan suatu perbuatan yang
menyamakan kedudukan anak angkat dengan anak kandung, baik itu dalam hal
pemeliharaan dan sampai pada hal kewarisan. Sedangkan hubungan kekeluargaan
dengan orang tua sendiri menurut pasal 12 Staats Blad 1917 No.129 adalah
menjadi putus. Begitu pula kaitannya dengan hubungan perdata antara orang tua
dengan sanak keluarganya disatu pihak juga terputus sama sekali (pasal 14),
dengan perkecualian yang disebutkan dalam pasal 14 bila anak adopsi itu
mempunyai nama keluarga dari ayah yang mengadopsinya.
Sebagaimana telah
dijelaskan juga dalam pasal 11,12,13 dan 14 dari Staats Blad 1917 N0. 129
bahwa:
d.
Anak angkat mendapat Klan keturunan dari orang
tua angkatnya.
e.
Anak yang diadopsi dianggap dilahirkan dari perkawinan
suami isteri yang mengadopsi, sehingga dianggap sebagai anak yang sah
f.
Gugur hubungan Perdata antara anak yang diadopsi dengan
orang tua kandung / biologis.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Ghofar, Asyari, 2003, pandangan
islam tentang zina dan perkawinan sesudah hamil, Andes Utama, Jakarta.
Abu Zahra, Muhammad. Tanpa tahun, ushul al-fiqh, Dar al fikr, Beirut.
Ali Afandi, Prof, 2000, Hukum
waris, Hukum keluarga, Hukum pembuktian, PT. Bina Aksara, Jakarta.
Al-Anshari, Abu Yahya Zakaria, Fathul Wahab, jus II, tt, Bandung.
Al-Bukhari, Abu Abduallah Muhammad bin Ismail, Al-Bukhari jus III,Dar Ihya al-kutubil-arbiyah, tt, Indonesia.
Alhamdani, HAS, 2000, Risalah Nikah, Pustaka Amani, Jakarta.
Al-Kahlani, Sayyid Imam Muhammad
bin Ismail, subulussalam Jilid I, Dahlan,
tt, Bandung.
Ash-Shidiq, Hasbi, 2001, Hukumn Fiqih Islam, Bulan Bintang,
Jakarta.
Asy-Sirazi, Abu Ishaq Ibrahim bin Ali Ibnu Yusuf, Al-Faruzabani, Al-Muhazzab jus II, Toha Putra, tt, Semarang.
Azizy, Qodri, A. 2002, Eklestisisme Hukum Islam, Gama Media,
Yogyakarta.
Departemen Agama RI, 2001, Al-Qur’an dan terjemahan, Gema Risalah
Press, Bandung.
Ensiklopedia
Indonesia, 2002, Ikhtiar Baru, Jakarta.
Fathurahman, 1993, Ilmu waris, PT. Al-Ma’arif, Bandung.
Ibnu Rusyd, Abdul Walid Muhammad Bin Ahmad, Bidayatul Mujtahid, Usaha Keluarga, juss III, tt, Semarang.
Ibnu surah, Abu Isa Muhammad bin
Isa, As-Suna at-Turmudzi,Jilid III, Dar
al-Fik, tt, Bairut.
Muslim, 2004, Sholeh Mmuslim, Mesir.
Muhammad Jawal Mughniyah, 2007, Perbandingan Lima madzhab, penerjemah
Maskur. A.B. afif Muhammad Idrus al-kaff, tt, Lentera.
Muhammad Syaltut, al-fatwaSyari’ah, Darul Kalam, Kairo.
Mukhtar Kamal, 2001, Azas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Bulan bintang, Jakarta.
Sabiq Sayyid, 2002, Fiqhus Sunnah jilid II,cet IV, Dar Al-Fikrit, Bairut.
Sirajuddin, AR, D, 2003, Ensiklopedia Islam, PT. Ikhtiar Baru Van
hoeve, Jakarta.
Sudarsono, 2000, Etika Islam tentang Kenakalan Remaja, Ranika
Cipta, Jakarta.
Subekti, Prof R. Kitaba, 2004, Undang-Undang Perdata (BW), Pradaya
Paramita, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar